Selasa, 15 Mei 2012

Fatwa Syekh Jad Al-Haq Mengenai Para Pengikut Madzhab-madzhab Islam

Bismillah Ar-Rahman Ar-Rahim Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam tercurahkan kepada Rasulullah. Amma Ba’du. Majalah ‘Oktober’ volume 4601 tanggal 25 Agustus 1985 memuat sebuah surat yang ditulis oleh Abdul Aziz Saqid kepada Syekh Al-Azhar saat itu, Syekh Jad Al-Haqq. Ringkasan dari surat dengan judul ‘Al-Azhar Benteng Pertama Agama’ tersebut adalah demikian;
Dalam sepekan terakhir, saya menerima surat yang ditulis oleh sejumlah aktivis pusat-pusat kegiatan Islam negara bagian Virginia Amerika yang isinya sebagai berikut:
“Musuh-musuh Islam terus melakukan langkah-langkah untuk menciptakan perpecahan di tengah warga minoritas muslim di negara-negara Afrika, Asia dan Amerika. Mereka mengemas berbagai isu perbedaan yang ada dengan kemasan agama. Mereka mengkfirkan para pengikut berbagai madzhab Syiah seperti Imamiyah, Zaidiyah, dan lainnya. Serangan licik ini dilakukan untuk memecah belah umat Islam. Sebagian orang beranggapan bahwa ibadah dan muamalah seorang muslim hanya sah jika mengikuti salah satu dari empat mazhab Ahlussunnah wal Jamaah.”
Wahai Syekh yang Terhormat!
Apakah Anda setuju dengan anggapan itu?
Sebagian orang menyebut Syiah sebagai kelompok sesat dan kafir. Mereka berlepas tangan dari keislaman para pengikut Syiah. Apakah jawaban Anda dalam hal ini? Apakah orang Islam dapat mengkafirkan kaum muslimin dari kelompok yang lain?
Mendapat pertanyaan seperti itu kami menyatakan ;
Pertama; tentang masalah taqlid, dan apakah wajib bagi seseorang untuk mengikuti satu madzhab tertentu ataukah tidak? Seluruh ulama ilmu ushul mengatakan bahwa orang yang awam yakni orang yang tidak memiliki kelayakan dan kecakapan untuk berijtihad dalam hukum syariat, orang seperti ini, meski menguasai limu yang lain, dalam masalah syariat harus mengikuti seorang mujtahid dan fatwanya. Prinsip ini sejalan dengan ayat Al-Qur’an yang berbunyi
Bertanyalah kepada orang-orang yang mengetahui jika kalian tidak mengetahui. (Q.S. Al-Nahl ayat 43)
Ayat ini mengandung makna umum yang meliputi semua orang yang tidak menguasai ilmu hukum syariat. Umumnya orang bahkan di zaman para sahabat dan tabi’in dalam masalah syariat dan hukum agama bertanya kepada para mujtahid dan mengamalkan kata-kata mereka. Para mujtahid yang menguasai hukum syariat mengeluarkan fatwa dengan berpijak pada sumber-sumber utama agama Islam untuk dimanfaatkan oleh orang-orang lain. Mereka tidak merasa keberatan untuk menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang awam. Keabsahan untuk bertaqlid dalam masalah furu’ddin adalah hukum yang disepakati oleh semua ulama (ijma’). Hanya saja, orang awam hanya dapat bertaqlid kepada orang yang layak untuk berijtihad dan berfatwa, yaitu orang yang diakui telah mencapai derajat keilmuan tinggi, memiliki keadilan dan layak untuk berfatwa. Sebab masalah agama adalah urusan yang sangat vital dan diperlukan kehati-hatian dalam hal ini.
Mayoritas ulama meyakini bahwa mengikuti satu madzhab tertentu dan mengamalkan kewajiban serta meninggalkan yang dianggap haram didalamnya, bukanlah sebuah kewajiban bagi semua orang. Tidak ada yang bisa memasung seseorang dalam satu madzhab tertentu. Semua orang berhak untuk mengikuti fatwa seorang mujtahid dalam satu kasus dan mengikuti fatwa mujtahid yang lain dalam kasus yang lain. Seluruh mufti sepanjang sejarah, sejak zaman sahabat sampai kini melakukan hal demikian. Pendapat itu diyakini oleh para ulama besar semisal Amudi, Ibnu Hajib, Kamal dalam kitab tahrir, Rafi’i dan lainnya. Sebab memegang teguh satu mdzhab tertentu dalam semua masalah hukum syariat bukan satu keharusan. Satu-satunya hal yang wajib dilakukan adalah yang diwajibkan oleh Allah dan RasulNya. Allah dan RasulNya (SAW) tidak pernah mewajibkan kepada seorang pun untuk mengikuti madzhab tertentu dari madzhab-madzhab yang ada, mengamalkan apa yang dititahkan dalam madzhab tersebut dan meningggalkan pendapat orang lain.
Ibn Amir Hajj salah seorang ulama ilmu Ushul mengatakan, tidak benar menyebut seorang awam dengan embel-embel sebutan suatu madzhab hanya lantaran ia mengikuti madzhab tersebut. Sebab, madzhab hanya bisa dinisbatkan kepada orang yang memiliki pandangan dalam dan argumentatif tentang madzhab yang ia anut, atau orang yang telah membaca dan menguasai kitab-kitab yang ditulis dalam madzhab tersebut sehingga ia mengetahui dengan sempurna fatwa-fatwa dan pendapat imam madzhab tersebut. Karena itu tidak benar menisbatkan madzhab kepada orang yang tidak memiliki kemampuan tersebut dan hanya bertaqlid kepada salah satu madzhab lantas mengatakan bahwa “Saya adalah Hanafi atau Syafi’i”.
Penjelasan tadi mengungkapkan bahwa tidak ada keharusan untuk bertaqlid kepada seorang mujtahid tertentu. Banyak ulama yang meyakini kebolehan mengamalkan talfiq dalam artian bertaqlid dalam satu masalah kepada seorang mujtahid dan dalam masalah yang lain bertaqlid kepdaa mujtahid yang lain. Hal itu bisa dilakukan -dengan sebab apapun- baik dalam masalah ibadaat maupun mu’amalaat. Talfiq semacam rahmat dan kemudahan bagi umat Islam. Bahkan banyak ulama yang memperbolehkan untuk mencari hal-hal yang mudah dan memberi kelonggoran di sela-sela fatwa para mujtahid, sehingga seorang mukallaf dalam menjalankan kewajibannya semudah mungkin dan dalam setiap masalah yang ia belum bertaqlid kepada seorang mujtahid pun, ia bebas memilih mujtahid untuk diikuti.
Singkatnya, setiap orang yang tidak mencapai derajat mujtahid mutlaq harus bertaqlid dalam fiqh, sebab ia wajib untuk mengamalkan hukum syariat. Tetapi ia tidak diwajibkan untuk mengikuti satu madzhab tertentu dalam semua hal. Ia dapat mengikuti fatwa mujtahid lain dalam berbagai masalah. Madzhab setiap orang yang awam adalah fatwa mujtahid yang ia ikuti yang memenuhi syarat keilmuan dan ‘adalah (keadilan). Tidak ada larangan untuk melakukan talfiq yaitu beramal dalam banyak kasus berdasarkan fatwa berbagai mujtahid yang berbeda.
Kedua, hukum takfir, dan apakah boleh orang muslim mengakirkan muslim yang lain?
Dalam menjawab pertanyaan ini pertama kami harus menjelaskan hakikat makna keimanan, keislaman dan kekafiran.
i- Keimanan dan hakikatnya: Iman secara bahasa berarti pembenaran. Pembenaran yang dimaksud tidak terbatas pada hal-hal tertentu. Sedangkan dalam istilah, iman berarti pembenaran akan adanya Tuhan, para nabi, kitab-kitab suci, para malaikat, hari kiamat, serta qadha’ dan qadar.
Allah swt berfirman,
Artinya, “Rasul beriman kepada apa yang diturunkan Allah kepadanya. Demikian juga orang-orang mukmin. Mereka semua beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab dan para rasul. Kami tidak membedakan satupun dari rasul-rasulNya.” (Q. S. Al-Baqarah 285)
Dengan demikian, makna dari iman adalah pembenaran dalam hati kepada agama dan keyakinan-keyakinan yang ada di dalamnya. Hati dipenuhi oleh keyakinan dan pembenaran akan ketuhanan dan tekad untuk mengikuti agamaNya. Kesimpulan ini dikukuhkan oleh Nabi SAW dalam sabdanya,
“Ya Allah tetapkanlah hatiku pada agamaMu.”
Beliau juga pernah bersabda kepada Usamah yang membunuh salah seorang tentara musuh yang telah mengucapkan laa ilaaha illallah. Beliau bersabda, “Apakah engkau telah membelah dadanya (untuk mengetahui apakah ia mengucapkan kalimat tauhid itu dari hati atau hanya sekedar untuk mencari selamat)?” (Shahih Bukhari dan Muslim)
ii- Islam dan hakikat keislaman: Islam berasal dari kata aslama berarti tunduk. Dalam istilah Islam dijelaskan lewat sebuah hadis;
“Islam berarti engkau bersaksi bahwa tidak tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan berhaji ke baitullah jika engkau mampu melakukannya.” (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim)
Karena itu Islam berarti mengamalkan kewajiban agama, mengucapkan ikrar dua kalimah syahadat, melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan Allah dan RasulNya (SAW). Sedangkan iman adalah keyakinan hati. Siapa saja yang mengingkari salah satu prinsip keyakinan yang ada dalam keimanan, berarti ia telah keluar dari golongan kaum muslimin. Allah swt berfirman:
“Siapapun yang mengingkari Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya dan hari akhir, berarti ia telah tersesat dalam kesesatan yang jauh.” (Q. S Al-Nisa’: 136)
Islam adalah perbuatan dan perkataan. Amal dengan anggota tubuh dan perkataan dengan lisan. Perbedaan antara iman dan islam disebutkan dalam firman Allah swt:
“Orang-orang Badwi berkata, ‘Kami telah beriman’, katakanlah ‘Kalian belum beriman tapi katakana kami telah masuk Islam, karena keimanan belum masuk ke hati kalian” (Q.S. Al-Hujurat: 14)
iii- Kapan seorang masuk kategori sebagai muslim?
Rasul SAW menjawab pertanyaan ini dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari. Beliau bersabda,
“Aku diperintah untuk memerangi umat manusia sampai mereka bersaksi tidak ada tuhan selain Allah serta beriman kepadaku dan kepada apa-apa yang aku bawa. Jika mereka melakukan hal itu berarti darah dan harta benda mereka terjaga dariku kecuali atas hak-haknya masing-masing dan Allah-lah yang akan memperhitungkan mereka (jika mereka ternyata hanya berdusta dan munafik).”
Hadits itu menjelaskan kapan seorang bisa dikatakan muslim. Kapan orang muslim keluar dari kelompok umat Islam? Apakah dengan melakukan maksiat dan mengerjakan perbuatan haram atau meninggalkan kewajiban ia keluar dari keislaman dan kehilangan hak-hak sebagai muslim?
Allah swt berfirman:
“Allah tidak akan mengampuni perbuatan syirik terhadapNya dan mengampuni selainnya jika Dia berkehendak.” (Q. S. Al-Nisa’ 116)
iv- Apa arti kufur?
Kufur secara bahasa berarti menutupi sesuatu. Secara istilah, kufur berarti pengingkaran terhadap perintah Allah untuk beriman padahal kewajiban perintah beriman itu telah sampai kepadanya dan tak alasan baginya untuk ingkar.
Kufur biasa disebut sebagai lawan dari iman. Kufur berarti menutupi kebenaran dan menyembunyikannya. Tetapi terkadang, kufur diartikan sebagai kufur atas nikmat Allah.
Kufur terburuk adalah kufur terhadap keesaan Allah dan menyekutukan Allah dengan selainNya, kufur kepada kenabian Rasulullah SAW dan syariat yang beliau bawa. Kafir adalah sebutan bagi mereka yang terjerumus dalam kekufuran tersebut.
Jika makna keimanan, keislaman dan kekafiran seperti yang telah dijelaskan tadi sesuai dengan dalil-dalil yang ada pada nash Al-Qur’an dan konteks hadits, berarti orang muslim yang melakukan dosa meski ia berdosa dan bermaksiat kepada Allah swt serta berhak mendapat murka Allah dan azab ilahi, namun ia tetap berada dalam lingkungan orang-orang yang beriman dan tetap dianggap sebagai muslim. Ia masih berhak menyandang sebutan muslim dan berhak untuk memperoleh hak-hak sebagai bagian dari umat Islam. Dosa yang dilakukan oleh muslim tadi, baik dosa itu kecil atau besar, tidak akan membuatnya keluar dari lingkup Islam dan iman. Ini adalah makna dan kesimpulan dari ayat suci Al-Qur’an dan firman ilahi yang berbunyi:
Allah swt berfirman:
“Allah tidak akan mengampuni perbuatan syirik terhadapNya dan mengampuni selainnya jika Dia berkehendak.” (Q. S. Al-Nisa’ 116)
v- Bolehkah mengkafirkan seorang muslim karena dosa-dosa yang ia lakukan? Apakah boleh mengkafirkan orang mukmin yang masih tetap memiliki keimanan di hati? Adakah hukum syariat dalam hal ini? Siapakah yang dapat menjelaskan hukum itu?
Allah swt berfirman:
Artinya, “Jangan kalian katakan kepada orang yang mengaku sebagai muslim ‘Engkau bukan orang mukmin’ sehingga dengan itu kalian dapat memperoleh keuntungan duniawi. Sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah adalah keuntungan yang banyak.” (Q. S. Al-Nisa’: 94)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Rasul SAW bersabda;
Artinya, “Ada tiga hal yang menjadi dasar keimanan, salah satunya adalah mencegah adanya gangguan terhadap mereka yang mengucapkan laa ilaaha illallah, tidak menuduhnya kafir karena dosa yang ia lakukan dan tidak menudingnya telah keluar dari Islam karena perbuatannya.”
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda;
Artinya, “Tidak ada yang menuduh orang lain dengan tuduhan fasik atau melemparkan tudingan kafir kepadanya kecuali hal itu kembali kepada pengucapnya jika orang tersebut bukan fasik dan bukan kafir.”
Dari nash-nash tersebut dapat difahami tidak boleh menisbatkan kufur kepada orang muslim karena dosa yang ia lakukan atau kewajiban yang ia tinggalkan atau perbuatan haram yang ia kerjakan. Barang siapa mengkqfirkan seorang muslim atau menuduhnya fasik jika ternyata ia bukan fasik dan bukan kafir, maka tuduhan itu kembali kepada yang menuduh.
vi- Siapakah yang berhak untuk mengeluarkan hukum kekufuran dan kefasikan terhadap orang lain?
Allah swt berfirman;
Artinya, “Jika kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasul…” (Q. S. Al-Nisa’; 59)
Ayat yang lain menyebutkan;
Artinya, “Mengapa sekelompok orang dari mu’minin tidak pergi untuk memperdalam ilmu agama lalu mengingatkan kepada kaumnya ketika mereka kembali.” (Q. S. Al-Taubah : 122)
Di bagian lain Allah swt berfirman;
Artinya, “Bertanyalah kepada orang-orang yang mengetahui jika kalian tidak tahu.” (Q. S. Al Nahl: 43)
Diriwayatkan oleh Zuhri dari Omar Ibn Syuaib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW pernah mendengar sekelompok orang berdebat tentang ayat-ayat Al-Qur’an, lalu beliau bersabda;
Artinya, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena masalah ini, sebagian orang menafikan ayat-ayat Tuhan dengan ayat-ayat yang lain. Padahal ayat-ayat Allah diturunkan untuk saling membenarkan bukan saling mendustakan. Apa yang kalian ketahui sampaikanlah dan yang tidak kalian ketahui serahkanlah kepada orang yang mengetahuinya.”
Ayat-ayat dan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW tersebut mengajarkan kepada kita untuk menyerahkan urusan perbedaan pandangan dalam masalah agama kepada Allah dan RasulNya (SAW). Mereka yang berhak untuk mengurusi masalah agama dan perselisihan ini adalah mereka yang mengetahui tentang Al-Qur’an dan Sunnah. Karena itu, tidak ada seorang muslim pun yang berhak menghukumi muslim lainnya dengan kekafiran atau kefasikan, sementara ia tidak mengetahui orang yang bersangkutan telah terjerumus ke dalam hal-hal yang membuatnya jatuh kepada kekafiran atau tidak mengetahui bahwa orang tersebut benar-benar berbuat dosa sehingga layak disebut fasik.
Islam adalah aqidah dan syariat. Dalam dunia Islam ada banyak ulama yang memiliki spesialisasi dalam masalah ilmu-ilmu keagamaan. Mereka menjalankan perintah dan ajaran Allah dan RasulNya (SAW). Semua orang muslim taat beragama, sedangkan yang berhak untuk berbicara tentang halal dan haram adalah orang-orang yang memiliki spesialisasi di bidang ini. Hanya mereka, para ulama, lah yang berhak.
Karena itu tidak benar bila madzhab-madzhab Islam dijadikan alat untuk kepentingan politik, atau untuk mendukung penguasa atau kelompok tertentu. Sebaiknya, umat Islam diseru untuk memperlakukan sesama layaknya saudara. Mereka hendaknya mengenalkan Islam baik aqidah maupun syariatnya kepada komunitas-komunitas non muslim. Semua madzhab-madzhab Islam yang ada mengambil ajaran dari sumber suci yang sama yaitu, Nabi Muhammad SAW.
Al-Azhar menganggap upaya seperti itu sebagai perbuatan yang keji dan buruk. Al-Azhar mencela tindakan orang-orang yang berbuat demikian. Tidak ada seorang muslim Syiah pun yang berhak mengajak muslim Sunni untuk meninggalkan madzhabnya –Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali- dan mengikuti madzhab Syiah. Orang Sunni juga tidak berhak untuk melakukan hal yang sama terhadap muslim Syiah.
Selama mereka masih termasuk golongan kaum muslimin, mereka harus diperlakukan seperti saudara dalam menyebarkan ajaran Islam di tengah kaum non muslim. Perselisihan dan perpecahan di tubuh umat Islam harus dihindari. Jangan sampai umat Islam memperlakukan madzhab-madzhab Islam layaknya aliran dan partai politik, sebab hal itu tidak pernah dilakukan oleh kaum muslimin di era pertama Islam. Perbuatan itu bertentangan dengan aman ayat Al-Qur’an yang berbunyi:
“Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhan bagi kalian, maka sembahlah Aku.” (Q. S. Al-Mu’minun : 52)[im/mt/taghrib]

Sumber: Islam Muhammadi 

Ikhwanul Muslimin dan Syi’ah

Ikhwanul Muslimin dan Syi’ah
Di bawah ini akan kami ungkapkan pandangan beberapa tokoh organisasi Ikhwanul Muslimin terhadap upaya pendekatan dan persatuan di antara mazhab Ahlulsunnah dan Syi’ah.
Asy-Syahid Hasan Al-Banna telah menghidupkan pemikiran untuk mempersatukan Ahlulsunnah dan Syi’ah. Ia sendiri adalah peserta aktif Jama’ah Taqrib. Sehubungan dengan itu, Imam Hasan Al-Banna pernah berjumpa dengan pemimpin Syi’ah, Ayatullah Abdul Qasim Kasyani pada musim haji tahun 1948, dan terjadilah saling pengertian di antara mereka, seperti yang dinyatakan Abdul Muta’al Al-Jabri dalam bukunya Limadza Yuqtalu Hasan (Mengapa Hasan Al-Banna Dibunuh?). Al-Jabri, seorang murid Al-Banna, mengutip kata-kata Robert Jackson: ”Apabila laki-laki ini berusia lebih panjang, mungkin ia akan membawa banyak manfaat bagi negeri ini, terutama sehubungan dengan persetujuan antar Al-Banna dengan Ayatullah Kasyani, seorang ulama besar Iran, untuk mencabut akar-akar perpecahan antara Sunni dan Syi’ah. Mereka bertemu di Hijaz (Saudi Arabia) tahun 1948. Nampaknya mereka telah mengadakan pembicaraan-pembicaraan dan telah mencapai suatu pengertian dasar, tetapi Al-Banna segera dibunuh.” (Edisi I, hal.33)
Salim AL-Bahansawi, seorang pemikiran Ikhwanul Muslimin, dalam bukunya Al-Sunnah al-Muftara ’alayha (Sunnah yang Dipalsukan), menulis: ”Sejak terbentuknya Jama’ah at-Taqrib baynal Madzahib al-Islamiyyah yang di dalamnya Imam Al-Banna dan Imam Al-Qummi ( ulama Syi’ah Iran) turut serta, terjadilah kerjasama antara Ikhwanul Muslimin yang menghasilkan kunjungan Nawab Safawi (Pemimpin gerakan Fida’iyyin Islam Iran) ke Kairo dalam tahun 1954.” Ia juga mengatakan, ”Kerja sama semacam itu tidaklah mengherankan, tidak merupakan sesuatu yang aneh, karena kepercayaan-kepercayaan dari kedua kalangan (Sunni dan Syi’ah) itu memang mengantarkan ke sana.” (hal. 57, lihat juga hal.151).
Dr. Ishaq Musa Al-Husaini menulis buku al-Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslimin), tentang gerakan Islam modern yang berpusat di Mesir itu. Di dalamnya ia menunjukkan bahwa beberapa orang Syi’ah yang sedang belajar di Mesir telah bergabung dalam organisasi itu. Juga sudah diketahui secara luas bahwa di antara para pemuka ikhwan di Iraq terdapat banyak orang Syi’ah. Demikian juga bahwa pemimpin Ikhwanul Muslimin di Yaman Utara sampai tahun 1981, Abdul Majid Al-Zindani, adalah seorang Muslim Syi’ah. Di sana pun banyak Muslimin Syi’i menjadi anggota Ikhwanul Muslimin.
Ketika Nawab Safawi seorang pejuang Muslim dari Iran mengunjungi Sirya, ia bertemu dengan Dr. Mustafa Al-Siba’i, pemimpin Ikhwanul Muslimin di sana. Tatkala Al-Siba’i mengeluh kepada Safawi tentang beberapa pemuda Syi’ah yang telah bergabung dengan gerakan-gerakan nasional yang sekuler (bersifat duniawiah), pejuang dari Iran itu berkata dalam ceramahnya kepada sekelompok besar orang Syi’ah dan Sunnah: ”Barangsiapa hendak menjadi seorang (Syi’ah) Ja’fari sejati, hendaklah dia bergabung dengan Ikhwanul Muslimin.
Muhammad Ali Al-Dhanawi, dalam bukunya Kubra Al-Harakat al-Islamiyyah fil ’Ashr al-Hadits (Gerakan-gerakan Islam terbesar di jaman modern) mengutip kata-kata Bernad Lewis: ”Walaupun mereka (Fida’iyyin Islam) bermazhab Syi’ah, mereka percaya pada kesatuan Islam, sama besarnya kepercayaan kaum Muslimin Mesir, dan di antara mereka terjalin komunikasi yang sangat lancar. (hal. 150).
Ketika menyimpulkan beberapa prinsip Fida’iyyin Islam, Al-Dhanawi mengatakan: ”Islam merupakan suatu sistem kehidupan yang komprehensif (luas dan lengkap). Tidak ada sektarianisme (fanatik mazhab), antara Sunni dan Syi’ah, di kalangan kaum Muslimin.” Kemudian ia mengutip kata-kata Nawab Safawi: ”Marilah kita bekerja sama untuk Islam, marilah kita lupakan segala sesuatu selain perjuangan kita demi kehormatan Islam. Belum tibakah saatnya bagi kaum Muslimin untuk sadar dan menghilangkan perpecahan di antara Sunni dan Syi’i?”
Fat-hi Yakan menulis, dalam bukunya Mausuu’ah al-Harakah al-Islamiyyah (Ensiklopedia Pergerakan Islam), tentang kunjungan Nawab Safawi ke Kairo serta sambutan hangat yang penuh gairah dari Ikhwanul Muslimin. Tentang hukuman mati yang dijatuhkan pada Nawab Safawi oleh Syah Iran, ia menulis: ”Timbul reaksi keras terhadap keputusan hukum yang tidka adil itu. Massa Muslimin merasa terpukul ketika mendengar berita itu, karena mereka sangat menghargai perjuangan dan tindakan-tindakan heroik mujahid dari Iran ini. Kaum Muslimin berdemonstrasi menentang dan mengutuk keputusan hukum yang dzalim terhadap pejuang dan pahlawan yang mukhlis itu. Kematiannya dipandang sebagai suatu kerugian besar di jaman moderen ini.” (hal.163).
Nawab Safawi yang bermazhab Syi’ah itu oleh Ikhwanul Muslimin itu dicatat sebagai seorang syahid dari Ikhwanul Muslimin. Fat-hi Yakan memandang Nawab dan kawan-kawannya yang gugur dalam perjuangan Islam itu sebagai orang-orang yang ”tergabung dalam barisan para syuhada’ yang abadi”, dan bahwa ”darah mereka yang suci akan menjadi suluh yang menerangi jalan bagi generasi kesyahidan dan kemerdekaan yang datang.”
Dalam bukunya al-Islam, Fikr wa Harakah wa Inqilab (Islam, Pikiran, Gerakan, dan Revolusi), ia menulis: ”Sekarang, setelah Syah Iran mengakui Negara Zionis itu pada tanggal 23 Juli 1960 menjadi kwajiban bagi orang Arab untuk menyadari adanya Nawab dan saudara-saudara Nawab di Iran. Sayang, para penguasa Arab belum berbuat demikian, sehingga gerakan Islam sekarang mencari sokongan untuk menopang perjuangannya dari luar dunia Islam sendiri. Adakah Nawab lain di Iran sekarang?” (hal.56).
Dikutip dari Buletin Suluh, Edisi Khusus Menyambut Bulan Ramadhan, Terbitan Majlis Ilmu dan Zikir ”Al-Huda”, Gedong Sonorejo.

http://ressay.wordpress.com/2007/12/11/ikhwanul-muslimin-dan-syi%E2%80%99ah/

PANDANGAN TOKOH-TOKOH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH TENTANG REVOLUSI ISLAM DI IRAN

PANDANGAN TOKOH-TOKOH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH TENTANG REVOLUSI ISLAM DI IRAN
Sehubungan dengan keberhasilan Revolusi Islam di Iran, pandangan para pejuang Islam di luar Syi’ah dapat pula dijadikan indicator (petunjuk) apakah kaum Syi’ah (Imamiyah) yang merupakan mayoritas besar Iran dipandang sebagai sesame saudara Muslimin oleh kaum Muslimin yang bukan Syi’ah.

Isam Al-Attar, seorang pemimpin gerakan Ikhwanul Muslimin yang berdomisili di Jerman, menyatakan dukungannya kepada Revolusi Islam di Iran. Bahkan sekarang ia sedang menulis buku dan menamakannya Revolusi Islam.

Hasan Al-Turabi, pemimpin Ikhwanul Muslimin di Sudan, menyokong revolusi besar di Iran dan menamakannya Revolusi Islam.
Al-Ma’rifah, majalah gerakan Islam di Tunisia, menyerukan kepada kaum Muslimin untuk membantu gerakan Islam di Iran itu.  

Rasyid AL-Ghannusyi, pemuka gerakan Islam di Tunisia, bahkan menyatakan Khomeini sebagai Imam seluruh kaum Muslimin. Karena pernyataannya itu maka Al-Ma’rifah diberangus.
Rasyid Al-Ghannusyi, dalam bukunya Al-Harakat al-islamiyyah wa al-Tahdits memandang adanya suatu pendekatan Islam yang baru, yakni sebagai yang telah dijelaskan dan diberi bentuk yang kukuh oleh Imam Hasan Al-Banna, Abul A’la Al-Maududi, Sayyid Quthub dan Imam Khomeini wakil-wakil yang paling penting dari cara pendekatan Islam pada gerakan jaman ini. (hal.16). Ia juga meramalkan bahwa keberhasilan Revolusi Islam di Iran itu akan merupakan permulaan suatu peradaban Islam yang baru. (hal.17). Di bawah subjudul Apakah yang kita maksudkan dengan Gerakan Islam? Al-Ghannusyi mengatakan: ”Yang kami maksudkan ialah pendekatan yang bersumber dari pengertian Negara Islam yang komprehensif (bersifat mampu menerima dengan baik), sesuai dengan tiga cara pendekatan (yang benar) oleh Ikhwanul Muslimin, Jama’at Islami di Pakistan, serta gerakan Imam Khomeini di Iran.” (hal.17). Ia pun mengatakan, ”Suatu operasi, yang mungkin akan merupakan suatu dari peristiwa-peristiwa dalam sejarah gerakan kemerdekaan di seluruh kawasan ini, telah dimulai di Iran, yang akan membebaskan Islam dari kekuasaan pemerintah yang memperalat Islam untuk mencegah gelombang revolusi ke kawasan itu.”

Muhammad Abdurrahman Khalifah, Pemimpin Ikhwanul Muslimin di Yordania, menyerukan dukungannya kepada revolusi itu. Lebih lanjut ia sendiri berkunjung ke Iran untuk menyatakan dukungannya.
Di Mesir, majalah-majalah Al-Da’wah, Al-I’tisham, dan Al-Mukhtar berdiri di pihak revolusi di Iran itu dan menekankan watak Islamnya.

Jabir Riziq, adalah seorang wartawan Ikhwanul Muslimin terkemuka, menulis dalam al-i’tisham bahwa ”bangsa Iran ini adalah satu-satunya bangsa Muslimin yang mampu berevolusi menentang imperialisme (penjajah) dan salibis-zionis…Para tiran sedang goncang karena khawatir bahwa rakyat mereka sendiri akan berontak, menentang, dan menjungkirkan mereka sebagai yang dilakukan kaum Muslimin di Iran terhadap syah, sang agen…”
Dalam penerbitan bulan Shafar 1410 H ( Juni 1981), pada akhir suatu artikel yang ditulis sehubungan dengan peringatan hari ulang tahun kedua Revolusi Islam di Iran, Riziq melanjutkan: ”….Revolusi Iran berhasil setelah gugurnya ribuan Syuhada’, itulah revolusi terbesar dalam sejarah modern, terbesar dalam kegiatan-kegiatannya, hasil-hasilnya yang positif dan efek-efeknya yang membalikkan perhitungan-perhitungan dan mengubah kriteria-kriteria.” (hal.39).
Sehubungan dengan watak Islam dan kepemimpinan revolusi itu, organisasi internasional Ikhwanul Muslimin itu menyerukan: ”Kaum Muslimin Iran telah membebaskan diri dari penjajah Amerika Zionis melalui suatu perjuangan heroik yang menakjubkan dan satu Revolusi Islam yang membadai, yang unik di dalam sejarah umat manusia, di bawah pimpinan seorang Imam Muslim yang, tak syak lagi, merupakan kehormatan bagi Islam dan kaum Muslimin…”

Maulana Abul A’la Al-Maududi, pendiri dan pemimpin Jama’at Islami di Pakistan, mengeluarkan sebuah fatwa tentang Revolusi di Iran: ”Revolusi Khomaini adalah Revolusi Islam. Pesertanya dari kalangan umat Islam dan pemuda-pemuda yang terdidik dalam gerakan-gerakan Islam. Seluruh kaum Muslimin pada umumnya, dan gerakan-gerakan Islam pada khususnya, harus mendukung revolusi itu dan bekerja sama dengannya dalam segala-galanya.” (Majalah Al-Da’wah, Kairo, 29 Agustus 1979)
Rektor Universitas Al-Azhar dalam wawancaranya dengan koran al-Syarq al-Ausath yang diterbitkan di London dan Jeddah, 3 Februari 1979, mengatakan: ”Imam Khomeini adalah saudara kita dalam Islam. Kaum Muslimin, walaupun berbeda mazhab, adalah sesama saudara dalam Islam, dan Imam Khomeini berdiri di bawah panji yang sama dengan saya: Islam.”

Fat-hi Yakan, dalam bukunya abjadiyat al-Tathawwur al-Haraki lil Amal al Islam (ABC Pengetahuan Praktis Amal Islam), mengungkapkan persengkongkolan kolonialis dan super power dengan menegaskan: ”Ada suatu contoh yang segar tentang apa yang telah kami katakan itu, yakni pengalaman Revolusi di Iran belakangan ini. Itulah suatu contoh yang menunjukkan betapa seluruh kekuatan kufur di muka bumi telah maju serentak memerangi secara sungguh-sungguh untuk menggagalkan revolusi ini, karena revolusi itu islami dan karena ia tidak Timur dan tidak Barat.” (hal.48).
Al-Da’wah, dalam penerbitan bulan Mei 1984, mengatakan: Di dunia sekarang ini, terdapat suatu kesadaran Islam yang sedang meluas. Salah satu isyaratnya ialah Revolusi Islam di Iran yang walaupun menghadapi berbagai halangan, mampu menghancurkan imperium paling tua dan yang merupakan satu di antara rezim anti-Islam yang paling keji.” (hal.20).
Masih banyak lagi pemuka Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari berbagai negeri, seperti Dr. Kalim Shiddiqui (Direktur Muslim Institut, London dan pendiri Koran Internasional Islam, Crescen Internasional, Kanada), Hamid Algar (Seorang pemikir dan penulis Muslim terkemuka berkebangsaan Inggris), Kaukab Siddiqui (Pimpinan Jama’at Muslimin yang berpusat di Amerika Serikat, pecahan dari partai Jama’at Islamnya Maulana Maududi, Mohammad Habibullah Mahmud (Seorang jurnalis terkemuka dari Malaysia) dan banyak lagi, yang berpendapat sama. Memuatnya satu persatu, tentunya, di luar jangkauan risalah kecil ini.
Sebagai penutup, hendak kami ketengahkan ”kesaksian” seorang Kristen, tokoh Marxis berkebangsaan Arab dari Mesir yang dengan nada sumbang dan sarkastik (mengejek) menentang Khomeini dan Revolusi di Iran itu. Ghali Syukri, yang Kristen dan Marxis itu, menulis dalam Dirasat ’Arabiyah (Studi Kearaban), sebagai dikutip oleh Al-Bayadir al-Siyasi (No.2, 1 Februari 1982, halaman 3): ”Para pemikir yang dikenal sebagai berlatar belakang Marxis, hanya dalam sekejap telah berubah menjadi Muslimin yang gigih. Yang lain-lainnya, yang menurut sertifikat kelahirannya adalah orang-orang kristen, dalam sesaat telah menjadi ekstrimis-ekstrimis Muslim. Para pemikir yang menurut pendidikannya tergolong kepada Barat, tanpa cadangan sedikitpun telah berubah menjadi orang-orang Timur yang fanatik. Di bawah panji Khomeini, orang-orang Arab yang terpelajar kembali kepada lingkungan tradisi seperti domba tersesat yang kembali kepada kawannya setelah lama terasing dan terpisah.”[]
Dikutip dari Buletin Suluh, Edisi Khusus Menyambut Bulan Ramadhan, Terbitan Majlis Ilmu dan Zikir ”Al-Huda”

Ahlulsunnah Syi’ah Bersatukah?

Oleh: Yasser Arafat
Belum lama ini saya membaca sebuah artikel yang dibuat oleh Adian Husaini, berisikan resume tentang buku bantahan yang membantah buku “Sunnah Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?yang ditulis oleh Dr. Quraish Shihab. Buku bantahan yang berjudul cukup panjang, “Mungkinkah Sunnah Syi’ah dalam Ukhuwah? Jawaban atas buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah Syi’ah bergandengan tangan! Mungkinkah)” itu disusun oleh Tim Penulis Buku Pustaka Sidogiri, Pondok Pesantren Sidogiri yang dipimpin oleh Ahmad Qusyairi Ismail.
Entah apa yang membuat aku ingin mencoba menanggapi tulisan seorang ulama ternama di Indonesia, yang terkenal kecakapannya sekelas Adian Husaini. Mohon kiranya tanggapanku ini tidak dimaknai sebagai bentuk kelancangan sikap seorang anak kecil yang masih bau kencur kepada seorang ustadz sepintar Adian Husaini. Sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh Ahmad Qusyairi Ismail, yang katanya masih muda, ketika mengkritisi buku dari seorang ulama yang sudah sepuh dan telah menghasilkan satu buku tafsir Al-Qur’an.
Pada bagian sampul belakang buku terbitan Pesantren Sidogiri tersebut, ada sambutan dari KH. A. Nawawi Abdul Djalil seorang pengasuh Pesantren Sidogiri. Beliau berkata, ”Mungkin saja, Syi’ah tidak akan pernah habis sampai hari kiamat dan menjadi tantangan utama akidah Ahlulsunnah. Oleh karena itu, kajian sungguh-sungguh yang dilakukan anak-anak muda seperti ananda Qusyairi dan kawan-kawannya ini, menurut saya merupakan langkah penting untuk membendung pengaruh aliran sesat semacam Syi’ah.”
Membaca komentar dari ustadz A. Nawawi Abdul Djalil diatas, aku tergoda untuk mengutipkan beberapa perkataan ulama dan tokoh pejuang Islam mengenai Syi’ah, Revolusi Iran, dan Imam Khomeini.
Pandangan Beberapa Ulama Ahlulsunnah
Beberapa tahun silam Iran, negara yang saat itu tengah diperintah oleh seorang raja dzalim, melalui kegigihan dan ketabahan Imam Khomeini beserta para pengikutnya, berhasil melakukan sebuah revolusi Islam yang ditandai dengan digulingkannya raja dzalim yang berkuasa pada saat itu. Sehubungan dengan keberhasilan Revolusi Islam di Iran, ada beberapa pandangan negatif terhadapnya. Pandangan negatif itu muncul hanya karena yang melakukan revolusi ini adalah orang-orang Syi’ah yang, menurut sebagian umat Islam, dihakimi sebagai aliran sesat.
Dari ucapan A. Nawawi Abdul Djalil diatas menunjukkan bahwa sebenarnya ditengah-tengah umat Islam masih ada saja stigma negatif atas syi’ah yang berkembang. Usaha untuk mendiskreditkan Syi’ah nampak sekali tidak pernah berhenti sampai sekarang. Mulai dari dari memanipulasi kutipan-kutipan dari ucapan para ulama Syi’ah ternama, sampai menuduhkan sesuatu hal padahal hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh umat Syi’ah. Sering kali juga perilaku salah satu umat Islam Syi’ah yang menyimpang, dijadikan busur panah fitnah yang diarahkan dan siap dilepaskan kepada Syi’ah guna membunuh karakter Syi’ah.
Berangkat dari fenomena tersebut, izinkan aku untuk mengutipkan pandangan para pejuang Islam di luar Syi’ah yang sekiranya dapat dijadikan sebagai indikator (petunjuk) apakah kaum Syi’ah (Imamiyah), yang merupakan mayoritas besar masyarakat Iran, dipandang sebagai sesama saudara Muslimin oleh kaum Muslimin yang bukan Syi’ah.
Dalam bukunya Al-Harakat al-islamiyyah wa al-Tahdits, Rasyid Al-Ghannusyi memandang adanya suatu pendekatan Islam yang baru, yakni sebagai yang telah dijelaskan dan diberi bentuk yang kukuh oleh Imam Hasan Al-Banna, Abul A’la Al-Maududi, Sayyid Quthub dan Imam Khomeini wakil-wakil yang paling penting dari cara pendekatan Islam pada gerakan jaman ini. Beliau juga berkeyakinan bahwa keberhasilan Revolusi Islam di Iran itu akan merupakan permulaan suatu peradaban Islam yang baru. Di bawah subjudul Apakah yang kita maksudkan dengan Gerakan Islam?, Al-Ghannusyi mengatakan: ”Yang kami maksudkan ialah pendekatan yang bersumber dari pengertian Negara Islam yang komprehensif (bersifat mampu menerima dengan baik), sesuai dengan tiga cara pendekatan (yang benar) oleh Ikhwanul Muslimin, Jama’at Islami di Pakistan, serta gerakan Imam Khomeini di Iran.” Beliau menuturkan lebih lanjut, ”Suatu operasi, yang mungkin akan merupakan suatu dari peristiwa-peristiwa dalam sejarah gerakan kemerdekaan di seluruh kawasan ini, telah dimulai di Iran, yang akan membebaskan Islam dari kekuasaan pemerintah yang memperalat Islam untuk mencegah gelombang revolusi ke kawasan itu.”
Maulana Abul A’la Al-Maududi, seorang ulama terkemuka yang juga pendiri dan pemimpin Jama’at Islami di Pakistan, mengeluarkan sebuah fatwa tentang Revolusi di Iran: ”Revolusi Khomaini adalah Revolusi Islam. Pesertanya dari kalangan umat Islam dan pemuda-pemuda yang terdidik dalam gerakan-gerakan Islam. Seluruh kaum Muslimin pada umumnya, dan gerakan-gerakan Islam pada khususnya, harus mendukung revolusi itu dan bekerja sama dengannya dalam segala-galanya.” (Majalah Al-Da’wah, Kairo, 29 Agustus 1979)
Rektor Universitas Al-Azhar dalam wawancaranya dengan koran al-Syarq al-Ausath yang diterbitkan di London dan Jeddah, 3 Februari 1979, mengatakan: ”Imam Khomeini adalah saudara kita dalam Islam. Kaum Muslimin, walaupun berbeda mazhab, adalah sesama saudara dalam Islam, dan Imam Khomeini berdiri di bawah panji yang sama dengan saya: Islam.”
Dari beberapa pendapat ulama-ulama tersebut, semuanya mengatakan bahwa Revolusi yang dipimpin oleh Imam Khomeini di Iran bukanlah Revolusi Iran, tetapi Revolusi Islam. Itu berarti Syi’ah itu muslim, dia bersaudara dengan Ahlulsunnah.
Petunjuk Jalan Lurus
Di dalam shalat yang sehari-hari kita lakukan, sebagai hamba Tuhan mengakui ketidakberdayaan di hadapan-Nya untuk mengetahuai secara pasti jalan manakah yang merupakan jalan lurus (kebenaran) dan jalan sesat (kebatilan). Pengakuan diri itu kita ucapkan ketika membaca surat Al-Fatihah ayat 6-7, Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
Maka menurut hematku, kalau masih ada orang Islam yang merasa dirinya paling benar, dirinya paling berhak atas surga Tuhan, maka sebenarnya dia belum sepenuhnya menghayati makna shalat yang lima kali dalam sehari ia lakukan.
Di dalam Surat An-Nahl ayat 125, Tuhan lebih menegaskan lagi, Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Dengan segala kerendahan hati, aku ingin mengatakan kepada seluruh umat Islam, kita ini adalah makluk yang nisbi. Pengetahuan kita terkadang itu pengetahuan yang nisbi pula. Sudah sepantasnya kita yang nisbi ini merendahkan hati untuk tidak menganggap diri kita paling benar dan paling shaleh diantara yang lain. Bukankah Iblis dilaknat Tuhan ketika Iblis merasa dirinya paling baik dibandingkan manusia. Satu perkataan iblis yang terkenal, ”Ana khairum min hum. Aku lebih baik dari dia.” Perkataan itulah yang mengantarkan iblis pada laknat Tuhan.
Terakhir untuk menutup tulisan ini, aku ingin menyampaikan bahwa dalam Al-Qur’an Tuhan telah memerintahkan umat Islam yang telah terpecah belah, seperti yang disabdakan Rasulullah, untuk bersatu dan tidak berpecah belah. Persatuan Islam, dalam hal ini Ahlulsunnah dan Syi’ah, adalah suatu keniscayaan karena tidak mungkin Allah memerintahkan kita melakukan sesuatu sedangkan kita tidak mampu melakukannya. Tuhan memerintahkan sesuatu sesuai dengan kemampuan hamba-Nya.
Ambillah Hamas dan Hizbullah sebagai contoh. Keduanya menampilkan suatu keharmonisan dan kerjasama dalam melawan Zionis Israel. Ahlulsunnah yang diwakili oleh Hamas dan Syi’ah yang diwakili oleh Hizbullah berjuang melawan agresi militer Zionis Israel yang biadab.
Disaat Zionis Israel menghembuskan propaganda devide et impera, sekelompok umat Islam yang merasa dirinya paling benar dan paling shaleh juga ikut-ikutan menghembuskan nafas permusuhan dikalangan umat Islam. Mengapa sebagian dari kita malah senang melakukan sesuatu yang ujung-ujungnya menguntungkan pihak yang memusuhi Islam?

SUNNAH SYI’AH BERSATU

Oleh: Ust. Miftah F. Rakhmat
Disampaikan pada Seminar Sunni Syi’ah Bersatu, UII Yogyakarta, 17 Desember 2007
Baru saja saya memulai membaca The Kite Runner, sebuah novel yang ditulis dari pengalaman getir pecahnya Afghanistan. Negeri itu terpuruk bukan saja karena pertarungan elit politik, tetapi juga karena rentannya konflik antar mazhab. Bangsa Afghanistan terdiri dari beragam suku: Pashtun yang lebih mirip Pakistan, Hazara yang merupakan keturunan Mongol, dan sebagainya. Afghanistan juga diapit oleh dua negara besar: Iran dan Pakistan. Dari Iran dihembuskan pengaruh Syi’ah dan dari Pakistan pengaruh Sunnah. Di sisi lain, Pakistan juga adalah negara yang tak kalah hebatnya digoncang oleh isu antar mazhab. Dalam dekade terakhir, konflik antar mazhab ini menyulut serangkaian kekerasan yang memakan korban jiwa. Pakistan menuding negaranya telah dijadikan pertempuran yang ”bukan miliki mereka”. Mereka mengatakan Pakistan menjadi negara tempat bertarungnya kepentingan Iran yang Syi’ah dan Saudi Arabia yang Sunnah.
Kita tentu tidak pernah bisa menengarai dengan pasti sebab musabab pertikaian. Bila perbedaan mazhab dijadikan sebab, maka persatuan mazhablah solusi untuk menghindari pertikaian itu.
Ada beberapa teori tentang keterpurukan umat. Pertama, hegemoni dunia Barat. Teori ini dibantah dengan mengatakan bahwa globalisasi yang membawa hegemoni itu tidak hanya meliputi kaum Muslimin, tetapi juga seluruh dunia. Yang terkena imbas bukan hanya Islam, tetapi juga berbagai budaya dan keyakinan yang berbeda. Kedua, Zionisme dan Kristenisasi. Ketiga, Perbedaan mazhab. Diperlukan penelitian lebih jauh mengenai teori Zionisme dan Kristenisasi, tetapi sekiranya benar, maka sebetulnya teori kedua dan ketiga ini sudah terjadi sepanjang sejarah Islam. Pengaruh Yahudi dan Kristen, juga perbedaan mazhab mewarnai era keemasan pemikiran Islam. Pada zaman peralihan kekuasaan antara dinasti Umawi kepada Abbasi, dunia Islam diwarnai oleh benturan berbagai mazhab pemikiran, bukan saja di antara sesama kaum Muslimin, tetapi juga dengan kebudayaan Yunani, India, Budha, Yahudi, dan Ateisme. Semua mendapat tempat yang terhormat dalam dialektika peradaban. Sejarah mencatat munculnya imam-imam mazhab yang kemudian ”dibekukan” oleh penguasa setelahnya. Era keemasan ini juga berlanjut sampai Andalusia, yang berpengaruh melahirkan para pemikir besar semisal Ibn ’Arabi. Mengutip Nashr Hamid Abu Zayd, ”Andalusia adalah cerminan ragam pemikiran yang mewarnai hidup Ibn ’Arabi. Di setiap langkah di Andalusia ada jejak Ibn ’Arabi.”
Tetapi, anggaplah sekarang ini ada sebagian orang yang memandang perbedaan mazhab sebagai sumber keterpurukan. Sabtu malam yang lalu saya mendapat kehormatan diundang makan malam bersama Imam Feisal Abdul Rauf. Beliau adalah Imam Masjid Al-Farah New York, yang letaknya berdekatan dengan lokasi Ground Zero 9/11. Penulis ”Seruan Azan dari Puing WTC” ini dihadapkan pada permasalahan tentang citra Islam pasca serangan itu. Bagi beliau: It doesn’t matter what really happened in 9/11. What matters most is what peope believe in. Tidak soal apa yang sebenarnya terjadi pada 11 September. Masalah yang lebih penting dihadapi adalah “apa yang dipercayai” masyarakat menyebabkan terjadinya serangan itu. Maka, anggaplah bawa perbedaan mazhab “menyumbang” peranan pada keterpurukan umat. Lalu apa yang harus kita lakukan?
Ilaa Kalimatin Sawaa…
Bila kepada Ahli Kitab saja diserukan ajakan ilaa kalimatin sawaa, maka apalagi terhadap sesama Kaum Muslimin. Ajakan pada persamaan ini sering dirusak oleh bisikan ”setan” yang mengatakan bahwa Syi’ah tidak termasuk di antara kaum Muslimin. Cukuplah bagi kita haji sebagai bukti. Setiap tahun jutaan jemaah haji Iran dan muslim Syi’ah dari berbagai negara menunaikan ritual haji. Di beberapa negara timur tengah, persaudaraan antara dua mazhab ini terjalin dengan baik. Suriah, Yordania, dan Lebanon adalah beberapa di antaranya.
Tuduan yang sering dialamatkan kepada Syi’ah lebih banyak dikutip dari buku-buku yang menyerang Syi’ah. Tentu mereka merujuk pada beberapa kitab Syi’ah. Berdasarkan pengalaman saya, sebagian rujukan dikutip keliru; sebagian lagi dikutip tidak lengkap; dan sebagian lainnya dikutip dari hadits-hadits yang dikritik oleh orang Syi’ah. Kita tidak bisa menggeneralisir semua pendapat Syi’ah keliru, sama seperti tidak juga bisa kita semua pendapat Ahlulsunnah benar. Saya sebutkan contoh-contoh tuduhan yang bisa dialamatkan kepada Syi’ah, dan sanggahannya:
  1. Syi’ah punya Al-Qur’an yang berbeda
    1. Jawaban: orang yang mempercayai Syi’ah punya Al-Qur’an yang berbeda tidak meyakini ayat: ”Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan Kamilah yang akan menjaganya.”
    2. Dalam KitabAl-Itqan, Jalaluddin As-Suyuthi juga mengutip beberapa riwayat tentang ”hilangnya” ayat-ayat Al-Qur’an
  2. Syi’ah mencela sahabat
    1. Syi’ah meyakini konsep keadilan Ilahi yang mendasarkan manusia pada amal (Sunni juga) ketimbang pada ”kapan dia dilahirkan”.
    2. Syi’ah meyakini bahwa mencela dalam berbagai bentuknya adalah tindakan yang tidak dibenarkan.
    3. Berbeda dengan Sunni, Syi’ah tidak memandang semua sahabat sebagai ’udul. Mereka lebih menyikapi tarikh dan keterlibatan para sahabat dalam sejarah Islam dengan pandangan yang kritis. Mereka mengambil contoh Perang Uhud, Perang Siffin, dan Perang Jamal.
  3. Syi’ah melecehkan perempuan (dengan nikah mut’ah misalnya)
    1. Terkait dengan fiqih, masalah yang satu ini memang sedikit rumit. Dibutuhkan seminar tersendiri untuk membahasnya. Cukuplah saya mengutip pendapat seorang penulis Mesir: Nikah mut’ah adalah nikah sementara yang kapan saja dapat dilanggengkan. Sedangkan nikah Daim adalah nikah ”langgeng” yang kapan saja dapat diputuskan.”
    2. Hadits Imam Ja’far Shadiq as: “Kuunu lanaa zaynan wa la takuunu ‘alayna syainan.” Jadilah kalian penghias bagi kami, jangan datangkan cela bagi kami.
  4. Syi’ah melebihkan Imam Ali dari Rasulullah Saw
    1. Sekiranya kita baca hadits-hadits Mazhab Syi’ah dengan sendirinya anggapan seperti ini tertolak.
  5. Syi’ah menyiksa diri dalam peringatan Asyura
    1. Irang sudah mengharamkan hal ini. Proses orang Syi’ah sendiri memaknai peringatan Asyura berbeda-beda.
  6. Syi’ah ”munafik” karena mengamalkan taqiyyah.
    1. Bagian ini tidak akan dijelaskan supaya ada pertanyaan.:)
Hembusan Perlawanan dari Orang Syi’ah
Era globalisasi saat ini membawa dampak hegemoni kekuasaan Barat atas negara-negara lain. Dalam dunia Islam, ”perlawanan” terhadap hegemoni ini diwakili oleh Iran dan Hizbullah. Iran-lah satu-satunya negara yang konsisten menyerukan perlawanan terhadap hegemoni Amerika. Di Timur Tengah, Amerika diwakili oleh Israel, dan Hizbullah sebagai organisasi Syi’ah-lah yang tercatat menjadi kekuatan tempur yang paling ditakuti oleh Israel. Iran dan Hizbullah membawa ’izzah bagi Islam di seluruh dunia.
Orang Syi’ah harus belajar dari saudaranya Ahlulsunnah, dan Ahlulsunnah juga harus belajar dari orang Syi’ah. Salah satu yang bisa dipelajari dari Syi’ah adalah contoh sistem politik Islam sekarang ini. Menurut Dr. Kalim Shiddiqui, ”Iran adalah laboratorium politik Islam saat ini.”
Sayangnya, seperti yang terjadi di Irak, hembusan nafas melawan hegemoni global ini dirusak dengan politik devide et impera. Sesama kaum Muslimin diadu, dipertentangkan, dan diperselisihkan. Irak adalah contohnya. Afghanistan dan Pakistan juga sudah menderita banyak korban karena perbedaan ini. Inilah yang kita hindarkan untuk terjadi di Indonesia. Mudah-mudahan seminar kali ini membawa kita pada Islam ukhuwah, yang penuh dengan toleransi terhadap perbedaan pendapat, sebagaimana dicontohkan oleh para Imam besar Mazhab.[]

Obat Mujarab Fikih Persatuan

Saya pernah menonton sebuah film dokumenter tentang Sayyid Musa Sadr di jaringan televisi satelit Al-Manar. Dia ulama besar, pioner pasukan perlawanan Hizbullah Lebanon pada era 70-an, di tahun-tahun awal invasi Zionis Israel. Tapi bukan itu yang ingin saya bicarakan.

Ada sesuatu di film dokumenter itu: sebuah gambar yang melekat di benak hingga kini. Sebuah memori sejarah yang bisa jadi oase pelajaran bagi kita yang hidup sekarang. Bahkan di Indonesia. 
Di film berdurasi panjang itu, ada foto yang memperlihatkan momen-momen dia tengah berbicara di hadapan jamaah sebuah geraja berarsitektur agung. Dengan sorban hitam keulamaanya, dengan wajahnya yang teduh lalu gereja itu, sebuah gereja di Sidon sepertinya, berdiri di sebuah mimbar dengan latar tembok-tembok tinggi dan ornamen kaca gereja yang memukau.

Dua keagungan seperti berkumpul di foto itu. Seperti perasan yang terbaik dari Islam dan Kristen.

Musa Sadr memang menara suar kala itu -- sebelum akhirnya hilang misterius. Dia, hingga kini dianggap pahlawan oleh hampir semua kalangan dan agama di Lebanon, diyakini kemungkinan besar diculik saat berkunjung ke Libya. Nasibnya tak jelas sejak itu. Ada yang bilang dia telah mati, meski tak sedikit yang meyakininya masih hidup dan tertawan.

Tapi sebelum kepergiannya, dia telah mewariskan sesuatu yang berharga: fikih persatuan. Secara singkat, dia memfatwakan bahwa di saat persatuan umat beragama dan bangsa dan negara jadi taruhan, urusan fikih harus dimundurkan. Sepenting apapun.

Tak pada tempatnya saya berpanjang-panjang soal tersebut. Tapi satu yang jelas, fikih persatuan itu menghasilkan buah yang segar; sesuatu yang mungkin menjelaskan aliansi super-kuat antara kalangan Kristen dengan pasukan perlawanan Hizbullah dalam kancah politik modern Lebanon dan front bersenjata menghadapi agresor Israel hingga detik ini.

Nah, saya cerita semua itu dengan benak yang masih terendam berita-berita mencemaskan dalam dua bulan terakhir. Di berbagai penjuru dunia orang dengan mudah melihat adanya kekuatan yg seperti hendak membenturkan Islam dan Kristen, Islam dan Islam. Kita lihat ada upaya pembakaran Al Qur'an di Amerika Serikat, ada penghargaan untuk kartunis penghina Nabi di Eropa, dan masih banyak rangkaian peristiwa lain.
Termasuk di Indonesia.

Di Bekasi beberapa waktu yang lalu misalnya, televisi seperti ingin kita percaya kalau telah terjadi perselisihan hebat antara Islam dan Kristen di sana. Antara warga Muslim dan warga Kristen dalam soal pendirian rumah peribadatan. Lalu di Cirebon, Bogor, Jakarta dan Nusa Tenggara kita dengar berita yang kurang lebihnya sama: perselisihan besar antara pengikut Ahmadiyah dan mereka yang menolak keberadaan kelompok itu. Darah telah tumpah. Kecemasan timbul-tenggelam.
Tulisan ini tak bermaksud menyajikan jawaban untuk persoalan pelik itu. Meski jelas, kita semua menanti kehadiran pemimpin agama yang visioner. Kita menanti banyak ulama seperti Musa Sadr yang mengajarkan persatuan jauh lebih penting ketimbang apapun. Kita perlu suara ulama yang bisa mengerem dan menghentikan pucuk-pucuk ekstrim yang kadang menyembul dan menciptakan keriuhan besar – untuk tidak mengatakan memprovokasi benturan antar penganut agama.
Kita sudah punya banyak persoalan dan ekstrimisme, baik dalam cara pikir maupun pola tindak, adalah hal terakhir yang ingin kita saksikan.
Dan kabar yang terdengar dari Iran dalam sepekan terakhir sepertinya bisa jadi contoh. Ceritanya ini berawal dari sebuah surat Istiftai (permohonan fatwa) dari kalangan ulama Syiah di Arab Saudi ke Ayatullah Sayyed Ali Khameini, wali faqih sekaligus pemimpin Republik Islam Iran. Secara khusus di surat itu, mereka meminta jawaban tegas atas sejumlah hal yang menurut mereka “sangat mencemaskan”, “sumber bagi kekacauan internal” kalangan Muslim.

Telah terdengar oleh mereka bahwa Yasir al-Habib, seorang yang menyebut dirinya ulama dan berdomisili di London, sering melontarkan hujatan dan penghinaan berupa “kalimat-kalimat tak senonoh dan melecehkan terhadap istri Rasul, Ummul Mu’minin Aisyah”.
Langkah itu, kata mereka dalam surat, telah menghadirkan “sensasi negatif berupa ketegangan di tengah masyarakat Islam”. Sebagian orang, karena minimnya pengatahuan dan pandangan, nampaknya membeli ucapan Yasir itu, kata mereka. Sebagian lagi, meski lebih kecil, mengeksploitasinya “secara sistematis” di sejumlah televisi satelit dan internet demi “mengacaukan dan mengotori dunia Islam dan menyebarkan perpecahan antarmuslimin.”

Dari Tehran, Sayyed Ali Khamenei memberikan yang mereka minta. Sebuah fatwa, putusan yang mengikat dan membawa implikasi hukum. Bunyinya singkat: “Diharamkan melakukan penghinaan terhadap (tokoh-tokoh yang diagungkan) Ahlussunnah wal Jamaah apalagi melontarkan tuduhan terhadap istri Nabi dengan perkataan-perkataan yang menodai kehormatannya, bahkan tindakan demikian haram dilakukan terhadap istri-istri para Nabi terutama penghulu mereka Rasul termulia.”
Fatwa itu merupakan yang mutakhir dan menempati posisi terpenting dalam rangkaian kecaman kalangan ulama Syiah atas Yasir al-Habib dan para provokator sebangsanya.

Fatwa Pemimpin Tertinggi Iran ini jelas berbeda dengan fatwa-fatwa yang biasa keluar dari majlis-majlis ulama di dunia Sunni. Pasalnya, fatwa ini membawa solusi kaki tangan pelaksanaan yang didukung segenap aparatur Republik Islam Iran.

Dari Kairo, Syaikh Al-Azhar segera menyambut fatwa historis Ayatullah Ali Khamenei ini.
***
Pandhu Grahita

Iran, Mesir dan Pemikiran Taqrib

Oleh: Mohsen Pak Ain

Taqrib bermakna ajakan untuk mendekatkan pandangan antar mazhab Islam. Pemikiran ini memiliki sejarah khusus di negara-negara Islam, terutama Mesir. Taqrib juga berarti kerjasama antara ulama untuk menyelesaikan kesalahpahaman yang ada pada mazhab-mazhab Islam terutama mazhab Syiah dan Ahli Sunnah.

Para ulama Taqrib berkeyakinan bahwa untuk mewujudkan tujuan Taqrib, Ahli Sunnah dan Syiah tidak harus meninggalkan ajarannya; akan tetapi, poros Taqrib antar mazhab Islam adalah hidup bersama dengan jiwa bersaudara tanpa ada rasa bermusuhan satu sama lain. Alhasil, tujuan Taqrib adalah mengurangi kekerasan dan permusuhan antara pengikut mazhab-mazhab Islam.


Sejak lama Universitas al-Azhar Mesir sangat mendukung ajakan pada Taqrib hingga pada masa pemerintahan Anwar Sadat. Hasan Ibrahim Hasan dalam kitab "Tarikh al-Daulah al-Fatimiah" menulis:

"Nama al-Azhar berdasarkan nama putri Rasulullah saw, Fatimah Zahra as. karena "Fatimiun" -yang pada tahun 909 M di Mesir sampai pada tanjuk kekuasaan- mengaku sebagai keturunan beliau. Fatimiun mendirikan al-Azhar pada tahun 972 M untuk perluasan mazhab Syiah. Para pemimpin silsilah ini meyakini masa dakwah Syiah dengan memperkenalkan ilmunya sudah sampai dan ajaran-ajaran mazhab ini harus diperluas dengan pendidikan. Fatimiun tidak merasa cukup dengan mendirikan al-Azhar saja, akhirnya pada tahun 1005 M membentuk lembaga pusat kebudayaan "Dar al-Hikmah" yang juga bertujuan untuk dakwah Syiah."

Dapat dikatakan, berbeda dengan gerakan moderat Fatimiun pada awal pemerintahannya dalam memperluas mazhab Syiah, pada tahun-tahun berikutnya hal ini menjadi ekstrim dan berlebihan. Sebagai contoh, dinsti Fatimiah melarang masyarakat untuk membaca kitab-kitab mazhab lain dan berusaha untuk menghilangkan Ahli Sunnah. Mungkin siasat ini yang menjadi salah satu sebab penggerak Ayyubiun untuk menda'wahkan Ahli Sunnah dan diterimanya silsilah ini (Ayyubiun) oleh pengikut mazhab ini.

Ayyubiun yang memegang kekuasaan setelah tergulingnya dinasti Fatimiun pada tahun 1175 M merubah Mesir menjadi pusat kebudayaan yang kuat untuk memperluas mazhab Ahli Sunnah. Pendiri pemerintahan ini, Salahuddin Ayyubi yang bermazhab Syafi'i, melarang pengajaran fiqih Syiah di Al-Azhar. Siasat ini menyebabkan penurunan intelektual di al-Azhar dan kondisi ini berlangsung salama kurang lebih 80 tahun. Akan tetapi, pada masa pemerintahan "Mamlukian" dan "Utsmanian" di Mesir, meskipun pemerintahan berasaskan Ahli Sunnah, tetapi kondisi orang-orang Syiah lebih baik dari masa pemerintahan Ayyubian. Shalat Jumat di al-Azhar kembali dijalankan dan disamping pelajaran fiqih Syafi'i, beberapa ulama juga ditetapkan untuk mengajar fiqih mazhab lain termasuk mazhab Syiah.

Pada tahun 1789 penyerangan Perancis terhadap Mesir menyebabkan ulama al-Azhar mengangkat bendera perlawanan terhadap Perancis dengan dukungan dari masyarakat dan mewujudkan persatuan muslimin dengan melupakan perbedaan-perbedaan mazhab. Kerjasama ulama al-Azhar dan orang-orang Syiah serta anggota Taqrib yang lain menyebabkan kekalahan Perancis. Pada masa ini hukuman mati ulama Islam oleh kekuatan Perancis menguatkan lingkaran persatuan antarMuslim dalam menghadapi musuh luar.

Muhammad Ali terpilih sebagai wali Mesir pada tahun 1805. Dia, seorang yang mencintai kekuasaan, menganggap wujud ulama-ulama al-Azhar terutama persatuan di antara mereka dan masyarakat Islam sebagai penghalang untuk mengokohkan kekuasaannya. Untuk menghilangkan penghalang-penghalang ini, dengan menggunakan senjata perselisihan ia menimbulkan perpecahan, memerintah dengan sewenang-wenang dan memisahkan antara agama dan politik untuk melemahkan al-Azhar dan ulama Islam.

Politik ini –yang berakhir dengan tidak mampunya al-Azhar untuk mengelola keuangannya- menyebabkan gradasi bertahap universitas tersebut dan memaksanya untuk menggantungkan masalah keuangan pada pihak lain, terutama pemerintah Inggris. Pada tahun 1915 penasehat keuangan pemerintah Mesir –seorang Inggris- menyarankan kepada pemimpin al-Azhar untuk menerima bantuan dari pemerintah Inggris untuk memperbaiki keuangan ulama-ulama al-Azhar (1). Pada masa ini, siasat pemerintah Mesir dan pendatang dari Inggris adalah pemisahan antara agama dan politik serta menghalangi persatuan mazhab yang berbeda-beda dalam satu lingkup Islam. Dengan ini, ulama mazhab-mazhab di al-Azhar tidak dapat menjalankan misi Islami mereka dikarenakan tidak adanya persatuan, fanatisme dan memperhatikan keuntungan pribadi.

Pada tahun 70-an peningkatan hubungan antar ulama dan pusat-pusat lembaga agama yang berbeda-beda, terutama Syiah dan Ahli Sunnah, mendorong terbentuknya "Dar al-Taqrib" di Mesir. Beberapa marja' faqih Syiah dunia, seperti Ayatullah Uzdma Burujerdi ra. memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan pusat lembaga ini. Beliau memiliki keyakinan kuat akan perlunya pemecahan masalah di antara mazhab-mazhab Islam dan perwujudan hal ini akan meninggikan martabat Islam.

Ayatullah Uzdma Boroujerdi mengetahui dengan kebijaksanaan bahwa jika kesepakatan di antara orang-orang muslim akan dibentuk, harus bersumber dari lembaga keilmuan. Dari sisi lain, beliau juga mengetahui tingkatan keilmuan al-Azhar. Jadi, beliau menggunakan fasilitas dan kesempatan ini secara efisien untuk mengadakan hubungan dengan ulama-ulama Mesir. Untuk memulai hubungan ini beliau mengirim Allamah Syeikh Muhammad Tagi Qumi ke Mesir sebagai perwakilannya. Tugas beliau adalah berusaha untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan Taqrib di Mesir dan mendorong ulama Islam untuk mementingkan terwujudnya persatuan umat Islam.

Allamah Syeikh Muhammad Taqi Qumi menyampaikan pesan lisan Ayatullah kepada Syeikh Majid Salim yang menjabat sebagai presiden al-Azhar pada waktu itu. Pesan jawaban Syeikh Salim kepada Ayatullah Burujerdi membuka pintu kerjasama dan surat menyurat dalam hal Taqrib antara hauzah Qom dan al-Azhar. Tidak lama kemudian Syeikh Hasan Baquri, dosen dan seorang alim universitas al-Azhar, dan menteri wakaf Mesir, pergi ke Iran untuk bertemu dengan Ayatullah Boroujerdi. Sebagai balasan, kitab "Mukhtasar al-Manafi' Allamah Hilli dan kitab tafsir "Majma' al-Bayan" َAllamah Tabarsi dicetak dan dipelajari di Mesir.

Berdasarkan itu universitas al-Azhar untuk pertama kalinya dalam sejarah pendiriannya, mengadakan majlis Asyura' (acara peringatan syahadah imam Husein as.) yang sangat besar. Syeikh Syaltut mengemban kepemimpinan universitas al-Azhar setelah meninggalnya Syeikh Majid Salim. Beliau, seorang yang menginginkan persatuan umat Islam dan memiliki pengetahuan yang dalam tentang masalah Taqrib, menjalin hubungan erat dengan Ayatullah Boroujerdi ra dan dalam salah satu suratnya, beliau memanggilnya dengan sebutan "saudara yang agung".

Pendirian Darul Taqrib Baina Mazahib Al Islami di Mesir berperan penting dalam penyelarasan antara mazhab-mazhab Islam dan pada akhirnya menjadi satu langkah yang penting dan menentukan. Langkah penting ini adalah pengajaran fiqih mazhab-mazhab Islam, Ahli Sunnah maupun Syiah, di universitas al-Azhar. Hal ini ditulis di bab ke tiga undang-undang Dar al-Taqrib seperti berikut:

"Pengajaran fiqih mazhab-mazhab Islam di universitas-universitas Islam dan di pusat-pusat pendidikan lainnya, akan dilaksanakan sebaik mungkin."

Saran program pengajaran mazhab Ja'fari di al-Azhar meskipun tidak terlaksana akan tetapi berhubungan dengan satu kejadian penting yang lain yaitu fatwa syeikh Syaltut yang berisikan pembolehan menganut fiqih Syiah. Dengan ini, marja' terbesar Ahli Sunnah Mesir mengatakan bahwa para pengikut mazhab Syiah Itsna Asyariah memiliki hak yang sama sebagai seorang muslim seperti pengikut mazhab-mazhab lain; meskipun selalu ada propaganda-propaganda buruk yang merugikan. Kepada seluruh umat Muslim Ahli Sunnah Wa Jamma'ah juga diperbolehkan untuk mengikuti fatwa-fatwa ulama Syiah.

Ulama-ulama Mesir setelah masa Syeikh Syaltut juga memiliki hubungan erat dengan hauzah-hauzah ilmiah Syiah; ia pun terus melanjutkan kegiatan-kegiatan Taqrib. Hal ini menciptakan hubungan erat antara masyarakat Iran dan Mesir. Dapat dikatakan meskipun fiqih yang dikenalkan di Mesir bukanlah fiqih Syiah, tetapi hati nurani masyarakat Mesir memiliki kecondongan terhadap Syiah. Karena itu, pengikut mazhab Wahabi dengan niat menjauhkan masyarakat Mesir dari garis-garis fiqih dan pemikiran logis mazhab Syiah, melawan tasyayu' dan berusaha untuk menyimpangkan kecenderungan persatuan ulama dan masyarakat Mesir.

Saat ini ada banyak dalil yang menunjukkan kecenderungan masyarakat Mesir untuk saling memahami dengan saudara-saudara Syiah dan hal ini disebabkan kecintaan mereka pada Ahlul Bait as. Sebagai contoh, masyarakat Mesir suka berziarah ke makam-makam mulia ma'sumin dan membolehkan menciumnya. Nama yang paling banyak dipakai di Mesir setelah nama nabi Muhammad Saw adalah nama Ali (untuk laki-laki) dan Fatimah (untuk perempuan). Dalam banyak syair kanak-kanak Mesir yang paling terkenal, Sayyidah Fatimah as disebut sebagai ibu dan Ali as sebagai ayah. Khususnya pada penyelenggaraan hari-hari Ied dan adat-adat bulan suci Ramadhan, masyarakat Mesir mengikuti adat-adat khusus Fatimiah yang berasal dari budaya Syiah.

Penerbitan kitab "Al-Muraja'at" yang merupakan surat menyurat dari diskusi antara ulama besar Islam, Abdul Husain Syarafuddin Al-Musawi, salah satu dari pembawa bendera Taqrib di Jabal Amil, Lebanon, dan Syeikh Salim, Syeikh al-Azhar, mempunyai peran penting dalam menyelesaikan kesalahpahaman Ahli Sunnah terhadap Syiah. Syeikh Salim dalam pertemuan terakhirnya mengakui bahwa tidak ada perbedaan (yang mendasar-pent.) di antara Ahli Sunnah dan Syiah dan pertentangan yang ada diantara Syiah dan Ahli Sunnah lebih sedikit dari pertentangan antara imam-imam empat mazhab.

Sebenarnya kehidupan kebudayaan Mesir memimiliki kecondongan kuat untuk mewujudkan misi Taqrib. Alasannya adalah sebagai berikut:

1. Adanya makam orang-orang yang dinisbatkan ke Ahllul Bait, seperti Malik Asytar di Mesir, yang menyebabkan masyarakat negara ini menunjukkan kecintaannya pada Ahlul Bait lebih dari masyarakat Negara-negara lain.

2. Masyarakat Mesir secara terbuka memiliki kecenderungan untuk bersatu dan saling memahami antarsaudara Muslim yang lain, termasuk Syiah; dan kecenderungan ini bertambah setelah kemenangan revolusi Islam.

3. Peran al-Azhar yang merupakan basis besar dalam sisi moral dan spiritual, yang pada awalnya didirikan untuk memperluas mazhab Syiah dan pendekatan antarmazhab, tidak dapat dipandang sebelah mata.

4. Dari sisi sejarah, pendirian pemerintahan Fatimiun oleh orang-orang Syiah di Mesir dan permusuhan bersejarah antara masyarakat Mesir dengan Wahabi selalu menjadi penghalang usaha musuh-musuh Islam untuk menebar perpecahan. Tidak mengherankan jika dengan alasan di atas sebagian penetapan undang-undang Mesir dilakukan berasaskan paham mazhab Syiah. Sebagai contoh, dua pasal dari hukum perdata Mesir diambil dari mazhab Syiah. Pada masa Abdul Nasir, al-Azhar menerbitkan sebuah ensiklopdi fiqih yang bernama "Fiqh-e Islam Dar Mazaheb-e Hasytgone" (fiqih Islam dalam 8 mazhab) yaitu 4 mazhab Ahli Sunnah, mazhab Syiah 12 Imam, Zaidi, Ibadhi dan Dhohiri.

Suatu perkumpulan bernama Ahlul Bait dibentuk di Mesir dalam dekade ini dan terdaftar dalam daftar kementrian perkara sosial dengan nomor 1852. Kelompok ini memiliki beberapa karya yang sudah diterbitkan. Namun Ahlul Bait dihentikan oleh Anwar sadat setelah kemenangan revolusi Islam Iran. Kelompok ini juga memiliki peran penting dalam misi Taqrib. Di Mesir para sadah (keturunan nabi) dikenal sebagai "Asyraf" dan kelompok ini bertugas untuk menjaga nasab keturunan Ahlul Bait yang sudah meninggal.

Ada kelompok yang bernama "Ja'afirah" yang nasab mereka sampi pada imam Ja'far as. di daerah Said, terutama di provinsi Qina dan Iswan. Mereka juga menganut faham Taqrib dan hidup bersama secara akur dengan Ahli Sunnah. Jumlah pengikut Ja'afirah di Mesir mencapai 2 juta orang.

"Buhrah" adalah kelompok Syiah Ismailiah Afrika yang hijrah ke Mesir pada masa pemerintahan Anwar Sadat. Mereka menggunakan kemampuannya untuk meyakinkan menteri Wakaf Mesir agar memperbaiki masjid-masjid Syiah Fatimi –dengan kemampuan mereka– seperti masjid al-Anwar yang pada akhirnya menjadi tempat tinggal mereka. Buhrah juga memperbaiki dan membangun ulang masjid al-Husain as dan masjid Zainab as.

Mazhab Sufi di Mesir yang merupakan pengikut imam Ali as juga selalu memiliki kerjasama ilmiah yang baik dengan ulama-ulama Ahli Sunnah. Mereka juga selalu berusaha keras menghadang Wahabi untuk menyebarkan perpecahan antar umat.

Wujud Buhrah, Sufi, Ja'afirah dan kelompok-kelompok pengikut Ahlu Bait lain dari satu sisi, dan dari sisi lain pemikiran cerah sebagian ulama Ahli Sunnah Mesir seperti Syeikh Syaltut dan Kawakibi menyebabkan berkembangnya pemikiran Taqrib di Mesir secara pesat, meskipun usaha-usaha Wahabi yang dimulai pada masa Abdul Nasir sampai sekarang guna menjatuhkan misi ini selalu ada.

Setelah kemenangan revolusi Islam di Iran dan berkibarnya bendera persatuan dari imam Khomeini ra, masyarakat Mesir menyambut persatuan ini dengan semangat dan kegembiraan yang mendalam. Akan tetapi, alat-alat propaganda Barat dan media internasional Wahabi berusaha menghapus wajah tasyayyu' di kalangan Ahli Sunnah dengan menerbitkan buku-buku "miring". Dengan ini, kitab-kitab yang menghina dan memojokkan Syiah dan kitab-kitab yang menyerang pemikran Ahli Sunnah dikeluarkan dari gudangnya dan disebarkan kembali. Penerbitan al-Shohwah digunakan kembali untuk menghadang pemikiran Syiah di Mesir. Penerbit ini menerbitkan lebih dari 100 buku terkait dari tahun 1983 sampai 1986. Seluruh biaya penerbitan buku-buku ini dipasok oleh Wahabi.

Meskipun penyerangan ini mengecam mazhab Syiah, tap dari sisi lain menguntungkan dakwah Taqrib, karena masyarakat Mesir menjadi ingin mencari tahu perbedaan Syiah dan Ahlu Sunnah. Munculnya intelek-intelek masa itu membuat isu Taqrib semakin diangkat. Sebagai contoh, marhum Allamah Syeikh Muhammad Ghazali, seorang ulama yang diterima diseluruh kalangan masyarakat Mesir, selalu membantah perselisihan diantara umat Islam dan mendukung pemikiran Taqrib. Beliau berkata:

"Kekhawatiran akan perbedaan dalam fiqih tidak perlu dikhawatirkan. Karena perbedaan Fiqih tidak dapat dipungkiri. Pelarangan taqlid pada mazhab tertentu tidak lebih dari sekedar fanatisme yang tidak berharga". (Koran al-Zahram, 17/12/1370)

Para pemimpin Ikhwanul Muslimin juga sangat mementingkan masalah pendekatan dan menganggap urgen persatuan umat Islam dalam menghadapi musuh yang bersatu pada zaman ini.

Program Taqrib di Mesir terus berlangsung. Para ulama dan intelek Mesir yang dalam gerakan baru mereka berusaha menghidupkan Islam murni, mengetahui pentingnya persatuan dalam menghadapi musuh bersama. Sejarah dan kebudayaan masyarakat juga membuktikan hal ini. Jadi, dapat dikatakan jika Taqrib di Mesir dibimbing pada jalan yang benar, pada masa yang akan datang dapat menjadi sandaran kuat untuk persatuan politik dan persaudaraan dunia Islam. Jelas, perubahan positif apapun dalam hubungan antara Iran dan Mesir akan memperkuat posisi para pendukung Taqrib di kedua negara. (IRIB Indonesia/Taqrib/SL)

Sumber
1.Khaterat-e Zendegani-e Hadzrat-e Ayatullah Al-Udzma Aghay-e Boroujerdi, Muhammad husein Tabataba'i.
2.Majalah Taqrib j 1,2 dan 3, bagian konferensi persatuan Islam.

Catatan kaki:
1)Akan tetapi tidak ada catatan mengenai penerimaan hal ini oleh Al-Azhar.