tag:blogger.com,1999:blog-54841693732339489782024-03-06T00:40:25.721+07:00Hakikat Syiah 12Menelisik Hakekat Syiah Itsna AsyariyahMuhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.comBlogger52125tag:blogger.com,1999:blog-5484169373233948978.post-84495730000335304312012-05-15T17:25:00.000+07:002012-05-15T17:25:15.022+07:00Fatwa Syekh Jad Al-Haq Mengenai Para Pengikut Madzhab-madzhab Islam<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Bismillah Ar-Rahman
Ar-Rahim Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam tercurahkan kepada
Rasulullah. Amma Ba’du. Majalah ‘Oktober’ volume 4601 tanggal 25 Agustus
1985 memuat sebuah surat yang ditulis oleh Abdul Aziz Saqid kepada
Syekh Al-Azhar saat itu, Syekh Jad Al-Haqq. Ringkasan dari surat dengan
judul ‘Al-Azhar Benteng Pertama Agama’ tersebut adalah demikian;</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam sepekan terakhir, saya menerima
surat yang ditulis oleh sejumlah aktivis pusat-pusat kegiatan Islam
negara bagian Virginia Amerika yang isinya sebagai berikut:<span id="more-815"></span></div>
<div style="text-align: justify;">
“Musuh-musuh Islam terus melakukan
langkah-langkah untuk menciptakan perpecahan di tengah warga minoritas
muslim di negara-negara Afrika, Asia dan Amerika. Mereka mengemas
berbagai isu perbedaan yang ada dengan kemasan agama. Mereka mengkfirkan
para pengikut berbagai madzhab Syiah seperti Imamiyah, Zaidiyah, dan
lainnya. Serangan licik ini dilakukan untuk memecah belah umat Islam.
Sebagian orang beranggapan bahwa ibadah dan muamalah seorang muslim
hanya sah jika mengikuti salah satu dari empat mazhab Ahlussunnah wal
Jamaah.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Wahai Syekh yang Terhormat!</div>
<div style="text-align: justify;">
Apakah Anda setuju dengan anggapan itu?</div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagian orang menyebut Syiah sebagai
kelompok sesat dan kafir. Mereka berlepas tangan dari keislaman para
pengikut Syiah. Apakah jawaban Anda dalam hal ini? Apakah orang Islam
dapat mengkafirkan kaum muslimin dari kelompok yang lain?</div>
Mendapat pertanyaan seperti itu kami menyatakan ;<br />
<div style="text-align: justify;">
Pertama; tentang masalah taqlid, dan
apakah wajib bagi seseorang untuk mengikuti satu madzhab tertentu
ataukah tidak? Seluruh ulama ilmu ushul mengatakan bahwa orang yang awam
yakni orang yang tidak memiliki kelayakan dan kecakapan untuk
berijtihad dalam hukum syariat, orang seperti ini, meski menguasai limu
yang lain, dalam masalah syariat harus mengikuti seorang mujtahid dan
fatwanya. Prinsip ini sejalan dengan ayat Al-Qur’an yang berbunyi</div>
<div style="text-align: justify;">
Bertanyalah kepada orang-orang yang mengetahui jika kalian tidak mengetahui. (Q.S. Al-Nahl ayat 43)</div>
<div style="text-align: justify;">
Ayat ini mengandung makna umum yang
meliputi semua orang yang tidak menguasai ilmu hukum syariat. Umumnya
orang bahkan di zaman para sahabat dan tabi’in dalam masalah syariat dan
hukum agama bertanya kepada para mujtahid dan mengamalkan kata-kata
mereka. Para mujtahid yang menguasai hukum syariat mengeluarkan fatwa
dengan berpijak pada sumber-sumber utama agama Islam untuk dimanfaatkan
oleh orang-orang lain. Mereka tidak merasa keberatan untuk menjawab
setiap pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang awam. Keabsahan untuk
bertaqlid dalam masalah furu’ddin adalah hukum yang disepakati oleh
semua ulama (ijma’). Hanya saja, orang awam hanya dapat bertaqlid kepada
orang yang layak untuk berijtihad dan berfatwa, yaitu orang yang diakui
telah mencapai derajat keilmuan tinggi, memiliki keadilan dan layak
untuk berfatwa. Sebab masalah agama adalah urusan yang sangat vital dan
diperlukan kehati-hatian dalam hal ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
Mayoritas ulama meyakini bahwa mengikuti
satu madzhab tertentu dan mengamalkan kewajiban serta meninggalkan yang
dianggap haram didalamnya, bukanlah sebuah kewajiban bagi semua orang.
Tidak ada yang bisa memasung seseorang dalam satu madzhab tertentu.
Semua orang berhak untuk mengikuti fatwa seorang mujtahid dalam satu
kasus dan mengikuti fatwa mujtahid yang lain dalam kasus yang lain.
Seluruh mufti sepanjang sejarah, sejak zaman sahabat sampai kini
melakukan hal demikian. Pendapat itu diyakini oleh para ulama besar
semisal Amudi, Ibnu Hajib, Kamal dalam kitab tahrir, Rafi’i dan lainnya.
Sebab memegang teguh satu mdzhab tertentu dalam semua masalah hukum
syariat bukan satu keharusan. Satu-satunya hal yang wajib dilakukan
adalah yang diwajibkan oleh Allah dan RasulNya. Allah dan RasulNya (SAW)
tidak pernah mewajibkan kepada seorang pun untuk mengikuti madzhab
tertentu dari madzhab-madzhab yang ada, mengamalkan apa yang dititahkan
dalam madzhab tersebut dan meningggalkan pendapat orang lain.</div>
<div style="text-align: justify;">
Ibn Amir Hajj salah seorang ulama ilmu
Ushul mengatakan, tidak benar menyebut seorang awam dengan embel-embel
sebutan suatu madzhab hanya lantaran ia mengikuti madzhab tersebut.
Sebab, madzhab hanya bisa dinisbatkan kepada orang yang memiliki
pandangan dalam dan argumentatif tentang madzhab yang ia anut, atau
orang yang telah membaca dan menguasai kitab-kitab yang ditulis dalam
madzhab tersebut sehingga ia mengetahui dengan sempurna fatwa-fatwa dan
pendapat imam madzhab tersebut. Karena itu tidak benar menisbatkan
madzhab kepada orang yang tidak memiliki kemampuan tersebut dan hanya
bertaqlid kepada salah satu madzhab lantas mengatakan bahwa “Saya adalah
Hanafi atau Syafi’i”.</div>
<div style="text-align: justify;">
Penjelasan tadi mengungkapkan bahwa tidak
ada keharusan untuk bertaqlid kepada seorang mujtahid tertentu. Banyak
ulama yang meyakini kebolehan mengamalkan talfiq dalam artian bertaqlid
dalam satu masalah kepada seorang mujtahid dan dalam masalah yang lain
bertaqlid kepdaa mujtahid yang lain. Hal itu bisa dilakukan -dengan
sebab apapun- baik dalam masalah ibadaat maupun mu’amalaat. Talfiq
semacam rahmat dan kemudahan bagi umat Islam. Bahkan banyak ulama yang
memperbolehkan untuk mencari hal-hal yang mudah dan memberi kelonggoran
di sela-sela fatwa para mujtahid, sehingga seorang mukallaf dalam
menjalankan kewajibannya semudah mungkin dan dalam setiap masalah yang
ia belum bertaqlid kepada seorang mujtahid pun, ia bebas memilih
mujtahid untuk diikuti.</div>
<div style="text-align: justify;">
Singkatnya, setiap orang yang tidak
mencapai derajat mujtahid mutlaq harus bertaqlid dalam fiqh, sebab ia
wajib untuk mengamalkan hukum syariat. Tetapi ia tidak diwajibkan untuk
mengikuti satu madzhab tertentu dalam semua hal. Ia dapat mengikuti
fatwa mujtahid lain dalam berbagai masalah. Madzhab setiap orang yang
awam adalah fatwa mujtahid yang ia ikuti yang memenuhi syarat keilmuan
dan ‘adalah (keadilan). Tidak ada larangan untuk melakukan talfiq yaitu
beramal dalam banyak kasus berdasarkan fatwa berbagai mujtahid yang
berbeda.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kedua, hukum takfir, dan apakah boleh orang muslim mengakirkan muslim yang lain?</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam menjawab pertanyaan ini pertama kami harus menjelaskan hakikat makna keimanan, keislaman dan kekafiran.</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>i-</strong> Keimanan dan
hakikatnya: Iman secara bahasa berarti pembenaran. Pembenaran yang
dimaksud tidak terbatas pada hal-hal tertentu. Sedangkan dalam istilah,
iman berarti pembenaran akan adanya Tuhan, para nabi, kitab-kitab suci,
para malaikat, hari kiamat, serta qadha’ dan qadar.</div>
<div style="text-align: justify;">
Allah swt berfirman,</div>
<div style="text-align: justify;">
Artinya, “Rasul beriman kepada apa yang
diturunkan Allah kepadanya. Demikian juga orang-orang mukmin. Mereka
semua beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab dan para rasul.
Kami tidak membedakan satupun dari rasul-rasulNya.” (Q. S. Al-Baqarah
285)</div>
Dengan demikian, makna dari iman adalah pembenaran dalam hati kepada
agama dan keyakinan-keyakinan yang ada di dalamnya. Hati dipenuhi oleh
keyakinan dan pembenaran akan ketuhanan dan tekad untuk mengikuti
agamaNya. Kesimpulan ini dikukuhkan oleh Nabi SAW dalam sabdanya,<br />
<div style="text-align: justify;">
“Ya Allah tetapkanlah hatiku pada agamaMu.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Beliau juga pernah bersabda kepada Usamah
yang membunuh salah seorang tentara musuh yang telah mengucapkan laa
ilaaha illallah. Beliau bersabda, “Apakah engkau telah membelah dadanya
(untuk mengetahui apakah ia mengucapkan kalimat tauhid itu dari hati
atau hanya sekedar untuk mencari selamat)?” (Shahih Bukhari dan Muslim)</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>ii-</strong> Islam dan hakikat keislaman: Islam berasal dari kata aslama berarti tunduk. Dalam istilah Islam dijelaskan lewat sebuah hadis;</div>
<div style="text-align: justify;">
“Islam berarti engkau bersaksi bahwa
tidak tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya,
menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan
berhaji ke baitullah jika engkau mampu melakukannya.” (Hadis riwayat
Bukhari dan Muslim)</div>
<div style="text-align: justify;">
Karena itu Islam berarti mengamalkan
kewajiban agama, mengucapkan ikrar dua kalimah syahadat, melaksanakan
kewajiban dan meninggalkan larangan Allah dan RasulNya (SAW). Sedangkan
iman adalah keyakinan hati. Siapa saja yang mengingkari salah satu
prinsip keyakinan yang ada dalam keimanan, berarti ia telah keluar dari
golongan kaum muslimin. Allah swt berfirman:</div>
<div style="text-align: justify;">
“Siapapun yang mengingkari Allah, para
malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya dan hari akhir, berarti ia
telah tersesat dalam kesesatan yang jauh.” (Q. S Al-Nisa’: 136)</div>
Islam adalah perbuatan dan perkataan. Amal dengan anggota tubuh dan
perkataan dengan lisan. Perbedaan antara iman dan islam disebutkan dalam
firman Allah swt:<br />
“Orang-orang Badwi berkata, ‘Kami telah beriman’, katakanlah ‘Kalian
belum beriman tapi katakana kami telah masuk Islam, karena keimanan
belum masuk ke hati kalian” (Q.S. Al-Hujurat: 14)<br />
<div style="text-align: justify;">
<strong>iii-</strong> Kapan seorang masuk kategori sebagai muslim?</div>
<div style="text-align: justify;">
Rasul SAW menjawab pertanyaan ini dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari. Beliau bersabda,</div>
<div style="text-align: justify;">
“Aku diperintah untuk memerangi umat
manusia sampai mereka bersaksi tidak ada tuhan selain Allah serta
beriman kepadaku dan kepada apa-apa yang aku bawa. Jika mereka melakukan
hal itu berarti darah dan harta benda mereka terjaga dariku kecuali
atas hak-haknya masing-masing dan Allah-lah yang akan memperhitungkan
mereka (jika mereka ternyata hanya berdusta dan munafik).”</div>
<div style="text-align: justify;">
Hadits itu menjelaskan kapan seorang bisa
dikatakan muslim. Kapan orang muslim keluar dari kelompok umat Islam?
Apakah dengan melakukan maksiat dan mengerjakan perbuatan haram atau
meninggalkan kewajiban ia keluar dari keislaman dan kehilangan hak-hak
sebagai muslim?</div>
<div style="text-align: justify;">
Allah swt berfirman:</div>
<div style="text-align: justify;">
“Allah tidak akan mengampuni perbuatan syirik terhadapNya dan mengampuni selainnya jika Dia berkehendak.” (Q. S. Al-Nisa’ 116)</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>iv-</strong> Apa arti kufur?</div>
<div style="text-align: justify;">
Kufur secara bahasa berarti menutupi
sesuatu. Secara istilah, kufur berarti pengingkaran terhadap perintah
Allah untuk beriman padahal kewajiban perintah beriman itu telah sampai
kepadanya dan tak alasan baginya untuk ingkar.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kufur biasa disebut sebagai lawan dari
iman. Kufur berarti menutupi kebenaran dan menyembunyikannya. Tetapi
terkadang, kufur diartikan sebagai kufur atas nikmat Allah.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kufur terburuk adalah kufur terhadap
keesaan Allah dan menyekutukan Allah dengan selainNya, kufur kepada
kenabian Rasulullah SAW dan syariat yang beliau bawa. Kafir adalah
sebutan bagi mereka yang terjerumus dalam kekufuran tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
Jika makna keimanan, keislaman dan
kekafiran seperti yang telah dijelaskan tadi sesuai dengan dalil-dalil
yang ada pada nash Al-Qur’an dan konteks hadits, berarti orang muslim
yang melakukan dosa meski ia berdosa dan bermaksiat kepada Allah swt
serta berhak mendapat murka Allah dan azab ilahi, namun ia tetap berada
dalam lingkungan orang-orang yang beriman dan tetap dianggap sebagai
muslim. Ia masih berhak menyandang sebutan muslim dan berhak untuk
memperoleh hak-hak sebagai bagian dari umat Islam. Dosa yang dilakukan
oleh muslim tadi, baik dosa itu kecil atau besar, tidak akan membuatnya
keluar dari lingkup Islam dan iman. Ini adalah makna dan kesimpulan dari
ayat suci Al-Qur’an dan firman ilahi yang berbunyi:</div>
<div style="text-align: justify;">
Allah swt berfirman:</div>
<div style="text-align: justify;">
“Allah tidak akan mengampuni perbuatan syirik terhadapNya dan mengampuni selainnya jika Dia berkehendak.” (Q. S. Al-Nisa’ 116)</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>v-</strong> Bolehkah mengkafirkan
seorang muslim karena dosa-dosa yang ia lakukan? Apakah boleh
mengkafirkan orang mukmin yang masih tetap memiliki keimanan di hati?
Adakah hukum syariat dalam hal ini? Siapakah yang dapat menjelaskan
hukum itu?</div>
<div style="text-align: justify;">
Allah swt berfirman:</div>
<div style="text-align: justify;">
Artinya, “Jangan kalian katakan kepada
orang yang mengaku sebagai muslim ‘Engkau bukan orang mukmin’ sehingga
dengan itu kalian dapat memperoleh keuntungan duniawi. Sesungguhnya apa
yang ada di sisi Allah adalah keuntungan yang banyak.” (Q. S. Al-Nisa’:
94)</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Rasul SAW bersabda;</div>
<div style="text-align: justify;">
Artinya, “Ada tiga hal yang menjadi dasar
keimanan, salah satunya adalah mencegah adanya gangguan terhadap mereka
yang mengucapkan laa ilaaha illallah, tidak menuduhnya kafir karena
dosa yang ia lakukan dan tidak menudingnya telah keluar dari Islam
karena perbuatannya.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda;</div>
<div style="text-align: justify;">
Artinya, “Tidak ada yang menuduh orang
lain dengan tuduhan fasik atau melemparkan tudingan kafir kepadanya
kecuali hal itu kembali kepada pengucapnya jika orang tersebut bukan
fasik dan bukan kafir.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Dari nash-nash tersebut dapat difahami
tidak boleh menisbatkan kufur kepada orang muslim karena dosa yang ia
lakukan atau kewajiban yang ia tinggalkan atau perbuatan haram yang ia
kerjakan. Barang siapa mengkqfirkan seorang muslim atau menuduhnya fasik
jika ternyata ia bukan fasik dan bukan kafir, maka tuduhan itu kembali
kepada yang menuduh.</div>
<strong>vi-</strong> Siapakah yang berhak untuk mengeluarkan hukum kekufuran dan kefasikan terhadap orang lain?<br />
<div style="text-align: justify;">
Allah swt berfirman;</div>
<div style="text-align: justify;">
Artinya, “Jika kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasul…” (Q. S. Al-Nisa’; 59)</div>
<div style="text-align: justify;">
Ayat yang lain menyebutkan;</div>
<div style="text-align: justify;">
Artinya, “Mengapa sekelompok orang dari
mu’minin tidak pergi untuk memperdalam ilmu agama lalu mengingatkan
kepada kaumnya ketika mereka kembali.” (Q. S. Al-Taubah : 122)</div>
<div style="text-align: justify;">
Di bagian lain Allah swt berfirman;</div>
<div style="text-align: justify;">
Artinya, “Bertanyalah kepada orang-orang yang mengetahui jika kalian tidak tahu.” (Q. S. Al Nahl: 43)</div>
<div style="text-align: justify;">
Diriwayatkan oleh Zuhri dari Omar Ibn
Syuaib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW pernah mendengar
sekelompok orang berdebat tentang ayat-ayat Al-Qur’an, lalu beliau
bersabda;</div>
<div style="text-align: justify;">
Artinya, “Sesungguhnya orang-orang
sebelum kalian binasa karena masalah ini, sebagian orang menafikan
ayat-ayat Tuhan dengan ayat-ayat yang lain. Padahal ayat-ayat Allah
diturunkan untuk saling membenarkan bukan saling mendustakan. Apa yang
kalian ketahui sampaikanlah dan yang tidak kalian ketahui serahkanlah
kepada orang yang mengetahuinya.”</div>
Ayat-ayat dan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW tersebut mengajarkan
kepada kita untuk menyerahkan urusan perbedaan pandangan dalam masalah
agama kepada Allah dan RasulNya (SAW). Mereka yang berhak untuk
mengurusi masalah agama dan perselisihan ini adalah mereka yang
mengetahui tentang Al-Qur’an dan Sunnah. Karena itu, tidak ada seorang
muslim pun yang berhak menghukumi muslim lainnya dengan kekafiran atau
kefasikan, sementara ia tidak mengetahui orang yang bersangkutan telah
terjerumus ke dalam hal-hal yang membuatnya jatuh kepada kekafiran atau
tidak mengetahui bahwa orang tersebut benar-benar berbuat dosa sehingga
layak disebut fasik.<br />
<div style="text-align: justify;">
Islam adalah aqidah dan syariat. Dalam
dunia Islam ada banyak ulama yang memiliki spesialisasi dalam masalah
ilmu-ilmu keagamaan. Mereka menjalankan perintah dan ajaran Allah dan
RasulNya (SAW). Semua orang muslim taat beragama, sedangkan yang berhak
untuk berbicara tentang halal dan haram adalah orang-orang yang memiliki
spesialisasi di bidang ini. Hanya mereka, para ulama, lah yang berhak.</div>
<div style="text-align: justify;">
Karena itu tidak benar bila
madzhab-madzhab Islam dijadikan alat untuk kepentingan politik, atau
untuk mendukung penguasa atau kelompok tertentu. Sebaiknya, umat Islam
diseru untuk memperlakukan sesama layaknya saudara. Mereka hendaknya
mengenalkan Islam baik aqidah maupun syariatnya kepada
komunitas-komunitas non muslim. Semua madzhab-madzhab Islam yang ada
mengambil ajaran dari sumber suci yang sama yaitu, Nabi Muhammad SAW.</div>
<div style="text-align: justify;">
Al-Azhar menganggap upaya seperti itu
sebagai perbuatan yang keji dan buruk. Al-Azhar mencela tindakan
orang-orang yang berbuat demikian. Tidak ada seorang muslim Syiah pun
yang berhak mengajak muslim Sunni untuk meninggalkan madzhabnya
–Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali- dan mengikuti madzhab Syiah. Orang
Sunni juga tidak berhak untuk melakukan hal yang sama terhadap muslim
Syiah.</div>
<div style="text-align: justify;">
Selama mereka masih termasuk golongan
kaum muslimin, mereka harus diperlakukan seperti saudara dalam
menyebarkan ajaran Islam di tengah kaum non muslim. Perselisihan dan
perpecahan di tubuh umat Islam harus dihindari. Jangan sampai umat Islam
memperlakukan madzhab-madzhab Islam layaknya aliran dan partai politik,
sebab hal itu tidak pernah dilakukan oleh kaum muslimin di era pertama
Islam. Perbuatan itu bertentangan dengan aman ayat Al-Qur’an yang
berbunyi:</div>
<div style="text-align: justify;">
“Sesungguhnya umat ini adalah umat yang
satu dan Aku adalah Tuhan bagi kalian, maka sembahlah Aku.” (Q. S.
Al-Mu’minun : 52)[im/mt/taghrib]</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sumber: <a href="http://islammuhammadi.com/id/content/view/439/1/" target="_blank">Islam Muhammadi</a> </div>Muhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5484169373233948978.post-2138973197056676272012-05-15T17:23:00.001+07:002012-05-15T17:23:19.030+07:00Ikhwanul Muslimin dan Syi’ah<div class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<strong><span style="color: blue; font-family: Garamond; font-size: 14pt;">Ikhwanul Muslimin dan Syi’ah</span></strong></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="color: red; font-family: Garamond;">Di
bawah ini akan kami ungkapkan pandangan beberapa tokoh organisasi
Ikhwanul Muslimin terhadap upaya pendekatan dan persatuan di antara
mazhab Ahlulsunnah dan Syi’ah.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: Garamond;">Asy-Syahid Hasan Al-Banna</span></strong><span style="font-family: Garamond;">
telah menghidupkan pemikiran untuk mempersatukan Ahlulsunnah dan
Syi’ah. Ia sendiri adalah peserta aktif Jama’ah Taqrib. Sehubungan
dengan itu, Imam Hasan Al-Banna pernah berjumpa dengan pemimpin Syi’ah,
Ayatullah Abdul Qasim Kasyani pada musim haji tahun 1948, dan terjadilah
saling pengertian di antara mereka, seperti yang dinyatakan Abdul
Muta’al Al-Jabri dalam bukunya <em>Limadza Yuqtalu Hasan </em>(Mengapa
Hasan Al-Banna Dibunuh?). Al-Jabri, seorang murid Al-Banna, mengutip
kata-kata Robert Jackson: ”Apabila laki-laki ini berusia lebih panjang,
mungkin ia akan membawa banyak manfaat bagi negeri ini, terutama
sehubungan dengan persetujuan antar Al-Banna dengan Ayatullah Kasyani,
seorang ulama besar Iran, untuk mencabut akar-akar perpecahan antara
Sunni dan Syi’ah. Mereka bertemu di Hijaz (Saudi Arabia) tahun 1948.
Nampaknya mereka telah mengadakan pembicaraan-pembicaraan dan telah
mencapai suatu pengertian dasar, tetapi Al-Banna segera dibunuh.” (Edisi
I, hal.33)</span><span id="more-366"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: Garamond;">Salim AL-Bahansawi</span></strong><span style="font-family: Garamond;">, seorang pemikiran Ikhwanul Muslimin, dalam bukunya <em>Al-Sunnah al-Muftara ’alayha </em>(Sunnah yang Dipalsukan), menulis: ”Sejak terbentuknya <em>Jama’ah at-Taqrib baynal Madzahib al-Islamiyyah </em>yang
di dalamnya Imam Al-Banna dan Imam Al-Qummi ( ulama Syi’ah Iran) turut
serta, terjadilah kerjasama antara Ikhwanul Muslimin yang menghasilkan
kunjungan <strong>Nawab Safawi</strong> (Pemimpin gerakan Fida’iyyin
Islam Iran) ke Kairo dalam tahun 1954.” Ia juga mengatakan, ”Kerja sama
semacam itu tidaklah mengherankan, tidak merupakan sesuatu yang aneh,
karena kepercayaan-kepercayaan dari kedua kalangan (Sunni dan Syi’ah)
itu memang mengantarkan ke sana.” (hal. 57, lihat juga hal.151).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: Garamond;">Dr. Ishaq Musa Al-Husaini</span></strong><span style="font-family: Garamond;">
menulis buku al-Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslimin), tentang
gerakan Islam modern yang berpusat di Mesir itu. Di dalamnya ia
menunjukkan bahwa beberapa orang Syi’ah yang sedang belajar di Mesir
telah bergabung dalam organisasi itu. Juga sudah diketahui secara luas
bahwa di antara para pemuka ikhwan di Iraq terdapat banyak orang Syi’ah.
Demikian juga bahwa pemimpin Ikhwanul Muslimin di Yaman Utara sampai
tahun 1981, Abdul Majid Al-Zindani, adalah seorang Muslim Syi’ah. Di
sana pun banyak Muslimin Syi’i menjadi anggota Ikhwanul Muslimin.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Garamond;">Ketika <strong>Nawab Safawi</strong> seorang pejuang Muslim dari Iran mengunjungi Sirya, ia bertemu dengan <strong>Dr. Mustafa Al-Siba’i</strong>,
pemimpin Ikhwanul Muslimin di sana. Tatkala Al-Siba’i mengeluh kepada
Safawi tentang beberapa pemuda Syi’ah yang telah bergabung dengan
gerakan-gerakan nasional yang sekuler (bersifat duniawiah), pejuang dari
Iran itu berkata dalam ceramahnya kepada sekelompok besar orang Syi’ah
dan Sunnah: ”Barangsiapa hendak menjadi seorang (Syi’ah) Ja’fari sejati,
hendaklah dia bergabung dengan Ikhwanul Muslimin.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: Garamond;">Muhammad Ali Al-Dhanawi</span></strong><span style="font-family: Garamond;">, dalam bukunya <em>Kubra Al-Harakat al-Islamiyyah fil ’Ashr al-Hadits </em>(Gerakan-gerakan
Islam terbesar di jaman modern) mengutip kata-kata Bernad Lewis:
”Walaupun mereka (Fida’iyyin Islam) bermazhab Syi’ah, mereka percaya
pada kesatuan Islam, sama besarnya kepercayaan kaum Muslimin Mesir, dan
di antara mereka terjalin komunikasi yang sangat lancar. (hal. 150).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Garamond;">Ketika menyimpulkan beberapa prinsip Fida’iyyin Islam, <strong>Al-Dhanawi</strong>
mengatakan: ”Islam merupakan suatu sistem kehidupan yang komprehensif
(luas dan lengkap). Tidak ada sektarianisme (fanatik mazhab), antara
Sunni dan Syi’ah, di kalangan kaum Muslimin.” Kemudian ia mengutip
kata-kata <strong>Nawab Safawi</strong>: ”Marilah kita bekerja sama
untuk Islam, marilah kita lupakan segala sesuatu selain perjuangan kita
demi kehormatan Islam. Belum tibakah saatnya bagi kaum Muslimin untuk
sadar dan menghilangkan perpecahan di antara Sunni dan Syi’i?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: Garamond;">Fat-hi Yakan</span></strong><span style="font-family: Garamond;"> menulis, dalam bukunya <em>Mausuu’ah al-Harakah al-Islamiyyah </em>(Ensiklopedia Pergerakan Islam), tentang kunjungan <strong>Nawab Safawi</strong> ke Kairo serta sambutan hangat yang penuh gairah dari Ikhwanul Muslimin. Tentang hukuman mati yang dijatuhkan pada <strong>Nawab Safawi</strong>
oleh Syah Iran, ia menulis: ”Timbul reaksi keras terhadap keputusan
hukum yang tidka adil itu. Massa Muslimin merasa terpukul ketika
mendengar berita itu, karena mereka sangat menghargai perjuangan dan
tindakan-tindakan heroik mujahid dari Iran ini. Kaum Muslimin
berdemonstrasi menentang dan mengutuk keputusan hukum yang dzalim
terhadap pejuang dan pahlawan yang mukhlis itu. Kematiannya dipandang
sebagai suatu kerugian besar di jaman moderen ini.” (hal.163).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: Garamond;">Nawab Safawi</span></strong><span style="font-family: Garamond;"> yang bermazhab Syi’ah itu oleh Ikhwanul Muslimin itu dicatat sebagai seorang syahid dari Ikhwanul Muslimin. <strong>Fat-hi Yakan </strong>memandang <strong>Nawab</strong>
dan kawan-kawannya yang gugur dalam perjuangan Islam itu sebagai
orang-orang yang ”tergabung dalam barisan para syuhada’ yang abadi”, dan
bahwa ”darah mereka yang suci akan menjadi suluh yang menerangi jalan
bagi generasi kesyahidan dan kemerdekaan yang datang.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Garamond;">Dalam bukunya <em>al-Islam, Fikr wa Harakah wa Inqilab </em>(Islam,
Pikiran, Gerakan, dan Revolusi), ia menulis: ”Sekarang, setelah Syah
Iran mengakui Negara Zionis itu pada tanggal 23 Juli 1960 menjadi
kwajiban bagi orang Arab untuk menyadari adanya <strong>Nawab</strong> dan saudara-saudara <strong>Nawab </strong>di
Iran. Sayang, para penguasa Arab belum berbuat demikian, sehingga
gerakan Islam sekarang mencari sokongan untuk menopang perjuangannya
dari luar dunia Islam sendiri. Adakah <strong>Nawab</strong> lain di Iran sekarang?” (hal.56).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<strong><em><span style="font-family: Garamond;">Dikutip dari Buletin Suluh, Edisi Khusus Menyambut Bulan Ramadhan, Terbitan Majlis Ilmu dan Zikir ”Al-Huda”, Gedong Sonorejo.</span></em></strong><br />
<br />
<strong><em><span style="font-family: Garamond;"><a href="http://ressay.wordpress.com/2007/12/11/ikhwanul-muslimin-dan-syi%E2%80%99ah/" target="_blank">http://ressay.wordpress.com/2007/12/11/ikhwanul-muslimin-dan-syi%E2%80%99ah/ </a></span></em></strong>Muhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-5484169373233948978.post-39109769361972739142012-05-15T17:22:00.002+07:002012-05-15T17:22:36.090+07:00PANDANGAN TOKOH-TOKOH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH TENTANG REVOLUSI ISLAM DI IRAN<div class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<strong><span style="color: magenta; font-family: Garamond;">PANDANGAN TOKOH-TOKOH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH TENTANG REVOLUSI ISLAM DI IRAN</span></strong></div>
<div class="MsoNormal">
<strong><span style="font-family: Garamond;"> </span></strong></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="color: #3366ff; font-family: Garamond;">Sehubungan
dengan keberhasilan Revolusi Islam di Iran, pandangan para pejuang
Islam di luar Syi’ah dapat pula dijadikan indicator (petunjuk) apakah
kaum Syi’ah (Imamiyah) yang merupakan mayoritas besar Iran dipandang
sebagai sesame saudara Muslimin oleh kaum Muslimin yang bukan Syi’ah.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<strong><span style="font-family: Garamond;">Isam Al-Attar</span></strong><span style="font-family: Garamond;">,
seorang pemimpin gerakan Ikhwanul Muslimin yang berdomisili di Jerman,
menyatakan dukungannya kepada Revolusi Islam di Iran. Bahkan sekarang ia
sedang menulis buku dan menamakannya Revolusi Islam.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<strong><span style="font-family: Garamond;">Hasan Al-Turabi</span></strong><span style="font-family: Garamond;">, pemimpin Ikhwanul Muslimin di Sudan, menyokong revolusi besar di Iran dan menamakannya Revolusi Islam.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<em><span style="font-family: Garamond;">Al-Ma’rifah</span></em><span style="font-family: Garamond;">, majalah gerakan Islam di Tunisia, menyerukan kepada kaum Muslimin untuk membantu gerakan Islam di Iran itu. <strong> </strong></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Garamond;"><strong>Rasyid AL-Ghannusyi</strong>, pemuka gerakan Islam di Tunisia, bahkan menyatakan Khomeini sebagai Imam seluruh kaum Muslimin. Karena pernyataannya itu maka <em>Al-Ma’rifah</em> diberangus.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<strong><span style="font-family: Garamond;">Rasyid Al-Ghannusyi</span></strong><span style="font-family: Garamond;">, dalam bukunya <em>Al-Harakat al-islamiyyah wa al-Tahdits</em> memandang adanya suatu pendekatan Islam yang baru, yakni sebagai yang telah dijelaskan dan diberi bentuk yang kukuh oleh<strong> Imam Hasan Al-Banna, Abul A’la Al-Maududi, Sayyid Quthub </strong>dan <strong>Imam Khomeini </strong>wakil-wakil
yang paling penting dari cara pendekatan Islam pada gerakan jaman ini.
(hal.16). Ia juga meramalkan bahwa keberhasilan Revolusi Islam di Iran
itu akan merupakan permulaan suatu peradaban Islam yang baru. (hal.17).
Di bawah subjudul <em>Apakah yang kita maksudkan dengan Gerakan Islam?</em> <strong>Al-Ghannusyi</strong>
mengatakan: ”Yang kami maksudkan ialah pendekatan yang bersumber dari
pengertian Negara Islam yang komprehensif (bersifat mampu menerima
dengan baik), sesuai dengan tiga cara pendekatan (yang benar) oleh
Ikhwanul Muslimin, Jama’at Islami di Pakistan, serta gerakan Imam
Khomeini di Iran.” (hal.17). Ia pun mengatakan, ”Suatu operasi, yang
mungkin akan merupakan suatu dari peristiwa-peristiwa dalam sejarah
gerakan kemerdekaan di seluruh kawasan ini, telah dimulai di Iran, yang
akan membebaskan Islam dari kekuasaan pemerintah yang memperalat Islam
untuk mencegah gelombang revolusi ke kawasan itu.”</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<strong><span style="font-family: Garamond;">Muhammad Abdurrahman Khalifah</span></strong><span style="font-family: Garamond;">,
Pemimpin Ikhwanul Muslimin di Yordania, menyerukan dukungannya kepada
revolusi itu. Lebih lanjut ia sendiri berkunjung ke Iran untuk
menyatakan dukungannya. </span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Garamond;">Di Mesir, majalah-majalah <em>Al-Da’wah</em>, <em>Al-I’tisham, </em>dan<em> Al-Mukhtar</em> berdiri di pihak revolusi di Iran itu dan menekankan watak Islamnya.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<strong><span style="font-family: Garamond;">Jabir Riziq</span></strong><span style="font-family: Garamond;">, adalah seorang wartawan Ikhwanul Muslimin terkemuka, menulis dalam <em>al-i’tisham</em>
bahwa ”bangsa Iran ini adalah satu-satunya bangsa Muslimin yang mampu
berevolusi menentang imperialisme (penjajah) dan salibis-zionis…Para
tiran sedang goncang karena khawatir bahwa rakyat mereka sendiri akan
berontak, menentang, dan menjungkirkan mereka sebagai yang dilakukan
kaum Muslimin di Iran terhadap syah, sang agen…”</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Garamond;">Dalam
penerbitan bulan Shafar 1410 H ( Juni 1981), pada akhir suatu artikel
yang ditulis sehubungan dengan peringatan hari ulang tahun kedua
Revolusi Islam di Iran, <strong>Riziq</strong> melanjutkan: ”….Revolusi
Iran berhasil setelah gugurnya ribuan Syuhada’, itulah revolusi terbesar
dalam sejarah modern, terbesar dalam kegiatan-kegiatannya,
hasil-hasilnya yang positif dan efek-efeknya yang membalikkan
perhitungan-perhitungan dan mengubah kriteria-kriteria.” (hal.39).</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Garamond;">Sehubungan
dengan watak Islam dan kepemimpinan revolusi itu, organisasi
internasional Ikhwanul Muslimin itu menyerukan: ”Kaum Muslimin Iran
telah membebaskan diri dari penjajah Amerika Zionis melalui suatu
perjuangan heroik yang menakjubkan dan satu Revolusi Islam yang
membadai, yang unik di dalam sejarah umat manusia, di bawah pimpinan
seorang Imam Muslim yang, tak syak lagi, merupakan kehormatan bagi Islam
dan kaum Muslimin…”</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<strong><span style="font-family: Garamond;">Maulana Abul A’la Al-Maududi</span></strong><span style="font-family: Garamond;">,
pendiri dan pemimpin Jama’at Islami di Pakistan, mengeluarkan sebuah
fatwa tentang Revolusi di Iran: ”Revolusi Khomaini adalah Revolusi
Islam. Pesertanya dari kalangan umat Islam dan pemuda-pemuda yang
terdidik dalam gerakan-gerakan Islam. Seluruh kaum Muslimin pada
umumnya, dan gerakan-gerakan Islam pada khususnya, harus mendukung
revolusi itu dan bekerja sama dengannya dalam segala-galanya.” (Majalah <em>Al-Da’wah,</em> Kairo, 29 Agustus 1979)</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Garamond;">Rektor Universitas Al-Azhar dalam wawancaranya dengan koran <em>al-Syarq al-Ausath</em>
yang diterbitkan di London dan Jeddah, 3 Februari 1979, mengatakan:
”Imam Khomeini adalah saudara kita dalam Islam. Kaum Muslimin, walaupun
berbeda mazhab, adalah sesama saudara dalam Islam, dan Imam Khomeini
berdiri di bawah panji yang sama dengan saya: Islam.”</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<strong><span style="font-family: Garamond;">Fat-hi Yakan</span></strong><span style="font-family: Garamond;">, dalam bukunya <em>abjadiyat al-Tathawwur al-Haraki lil Amal al Islam </em>(ABC
Pengetahuan Praktis Amal Islam), mengungkapkan persengkongkolan
kolonialis dan super power dengan menegaskan: ”Ada suatu contoh yang
segar tentang apa yang telah kami katakan itu, yakni pengalaman Revolusi
di Iran belakangan ini. Itulah suatu contoh yang menunjukkan betapa
seluruh kekuatan kufur di muka bumi telah maju serentak memerangi secara
sungguh-sungguh untuk menggagalkan revolusi ini, karena revolusi itu
islami dan karena ia tidak Timur dan tidak Barat.” (hal.48).</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<em><span style="font-family: Garamond;">Al-Da’wah</span></em><span style="font-family: Garamond;">,
dalam penerbitan bulan Mei 1984, mengatakan: Di dunia sekarang ini,
terdapat suatu kesadaran Islam yang sedang meluas. Salah satu isyaratnya
ialah Revolusi Islam di Iran yang walaupun menghadapi berbagai
halangan, mampu menghancurkan imperium paling tua dan yang merupakan
satu di antara rezim anti-Islam yang paling keji.” (hal.20).</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Garamond;">Masih banyak
lagi pemuka Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari berbagai negeri, seperti Dr.
Kalim Shiddiqui (Direktur Muslim Institut, London dan pendiri Koran
Internasional Islam, Crescen Internasional, Kanada), <strong>Hamid Algar </strong>(Seorang pemikir dan penulis Muslim terkemuka berkebangsaan Inggris), <strong>Kaukab Siddiqui </strong>(Pimpinan Jama’at Muslimin yang berpusat di Amerika Serikat, pecahan dari partai Jama’at Islamnya Maulana Maududi, <strong>Mohammad Habibullah Mahmud </strong>(Seorang
jurnalis terkemuka dari Malaysia) dan banyak lagi, yang berpendapat
sama. Memuatnya satu persatu, tentunya, di luar jangkauan risalah kecil
ini.</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Garamond;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: Garamond;">Sebagai
penutup, hendak kami ketengahkan ”kesaksian” seorang Kristen, tokoh
Marxis berkebangsaan Arab dari Mesir yang dengan nada sumbang dan
sarkastik (mengejek) menentang Khomeini dan Revolusi di Iran itu. Ghali
Syukri, yang Kristen dan Marxis itu, menulis dalam <em>Dirasat ’Arabiyah</em> (Studi Kearaban), sebagai dikutip oleh <em>Al-Bayadir al-Siyasi</em>
(No.2, 1 Februari 1982, halaman 3): ”Para pemikir yang dikenal sebagai
berlatar belakang Marxis, hanya dalam sekejap telah berubah menjadi
Muslimin yang gigih. Yang lain-lainnya, yang menurut sertifikat
kelahirannya adalah orang-orang kristen, dalam sesaat telah menjadi
ekstrimis-ekstrimis Muslim. Para pemikir yang menurut pendidikannya
tergolong kepada Barat, tanpa cadangan sedikitpun telah berubah menjadi
orang-orang Timur yang fanatik. Di bawah panji Khomeini, orang-orang
Arab yang terpelajar kembali kepada lingkungan tradisi seperti domba
tersesat yang kembali kepada kawannya setelah lama terasing dan
terpisah.”[]</span></div>
<div class="MsoNormal">
<strong><em><span style="font-family: Garamond;"> </span></em></strong></div>
<div class="MsoNormal">
<strong><em><span style="font-family: Garamond;">Dikutip dari Buletin Suluh, Edisi Khusus Menyambut Bulan Ramadhan, Terbitan Majlis Ilmu dan Zikir ”Al-Huda”</span></em></strong></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<strong><em><span style="font-family: Garamond;"><a href="http://ressay.wordpress.com/2007/12/11/pandangan-tokoh-tokoh-ahlus-sunnah-wal-jama%E2%80%99ah-tentang-revolusi-islam-di-iran/" target="_blank">http://ressay.wordpress.com/2007/12/11/pandangan-tokoh-tokoh-ahlus-sunnah-wal-jama%E2%80%99ah-tentang-revolusi-islam-di-iran/ </a></span></em></strong></div>Muhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-5484169373233948978.post-56392239228818376902012-05-15T17:20:00.003+07:002012-05-15T17:20:30.037+07:00Ahlulsunnah Syi’ah Bersatukah?<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<strong>Oleh: Yasser Arafat</strong></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<strong> </strong></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Belum lama ini saya membaca sebuah artikel yang dibuat oleh <a href="http://adianhusaini.blogspot.com/2008/03/kritik-pesantren-sidogiri-terhadap.html">Adian Husaini</a>, berisikan <em>resume </em>tentang buku bantahan yang membantah buku “<em><a href="http://infosyiah.wordpress.com/2007/05/16/sunnah-syiah-bergandengan-tangan-mungkinkah/" target="_blank">Sunnah Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?</a>” </em>yang ditulis oleh Dr. Quraish Shihab.<span> </span>Buku bantahan yang berjudul cukup panjang, <em>“Mungkinkah Sunnah Syi’ah dalam Ukhuwah?</em> Jawaban atas buku Dr. Quraish Shihab (<em>Sunnah Syi’ah bergandengan tangan! Mungkinkah)” </em>itu disusun oleh Tim Penulis Buku Pustaka Sidogiri, Pondok Pesantren <a href="http://www.sidogiri.com/" target="_blank">Sidogiri</a> yang dipimpin oleh Ahmad Qusyairi Ismail.<span id="more-503"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Entah apa yang
membuat aku ingin mencoba menanggapi tulisan seorang ulama ternama di
Indonesia, yang terkenal kecakapannya sekelas Adian Husaini. Mohon
kiranya tanggapanku ini tidak dimaknai sebagai bentuk kelancangan sikap
seorang anak kecil yang masih bau kencur kepada seorang ustadz sepintar
Adian Husaini. Sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh Ahmad Qusyairi
Ismail, yang katanya masih muda, ketika mengkritisi buku dari seorang
ulama yang sudah sepuh dan telah menghasilkan satu buku tafsir
Al-Qur’an.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span>Pada bagian
sampul belakang buku terbitan Pesantren Sidogiri tersebut, ada sambutan
dari KH. A. Nawawi Abdul Djalil seorang pengasuh Pesantren Sidogiri.
Beliau berkata, ”Mungkin saja, Syi’ah tidak akan pernah habis sampai
hari kiamat dan menjadi tantangan utama akidah Ahlulsunnah. Oleh karena
itu, kajian sungguh-sungguh yang dilakukan anak-anak muda seperti ananda
Qusyairi dan kawan-kawannya ini, menurut saya merupakan langkah penting
untuk membendung pengaruh aliran sesat semacam Syi’ah.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span>Membaca komentar
dari ustadz A. Nawawi Abdul Djalil diatas, aku tergoda untuk mengutipkan
beberapa perkataan ulama dan tokoh pejuang Islam mengenai Syi’ah,
Revolusi Iran, dan Imam Khomeini.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<strong><span>Pandangan Beberapa Ulama Ahlulsunnah</span></strong></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span>Beberapa tahun
silam Iran, negara yang saat itu tengah diperintah oleh seorang raja
dzalim, melalui kegigihan dan ketabahan Imam Khomeini beserta para
pengikutnya, berhasil melakukan sebuah revolusi Islam yang ditandai
dengan digulingkannya raja dzalim yang berkuasa pada saat itu.
Sehubungan dengan keberhasilan Revolusi Islam di Iran, ada beberapa
pandangan negatif terhadapnya. Pandangan negatif itu muncul hanya karena
yang melakukan revolusi ini adalah orang-orang Syi’ah yang, menurut
sebagian umat Islam, dihakimi sebagai aliran sesat. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span>Dari ucapan A.
Nawawi Abdul Djalil diatas menunjukkan bahwa sebenarnya ditengah-tengah
umat Islam masih ada saja stigma negatif atas syi’ah yang berkembang.
Usaha untuk mendiskreditkan Syi’ah nampak sekali tidak pernah berhenti
sampai sekarang. Mulai dari dari memanipulasi kutipan-kutipan dari
ucapan para ulama Syi’ah ternama, sampai menuduhkan sesuatu hal padahal
hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh umat Syi’ah. Sering kali juga
perilaku salah satu umat Islam Syi’ah yang menyimpang, dijadikan busur
panah fitnah<span> </span>yang diarahkan dan siap dilepaskan kepada Syi’ah guna membunuh karakter Syi’ah. <span> </span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span>Berangkat dari
fenomena tersebut, izinkan aku untuk mengutipkan pandangan para pejuang
Islam di luar Syi’ah yang sekiranya dapat dijadikan sebagai indikator
(petunjuk) apakah kaum Syi’ah (Imamiyah), yang merupakan mayoritas besar
masyarakat Iran, dipandang sebagai sesama saudara Muslimin oleh kaum
Muslimin yang bukan Syi’ah.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span>Dalam bukunya <em>Al-Harakat al-islamiyyah wa al-Tahdits</em>, <strong>Rasyid Al-Ghannusyi</strong> memandang adanya suatu pendekatan Islam yang baru, yakni sebagai yang telah dijelaskan dan diberi bentuk yang kukuh oleh <strong>Imam Hasan Al-Banna, Abul A’la Al-Maududi, Sayyid Quthub </strong>dan <strong>Imam Khomeini </strong>wakil-wakil
yang paling penting dari cara pendekatan Islam pada gerakan jaman ini.
Beliau juga berkeyakinan bahwa keberhasilan Revolusi Islam di Iran itu
akan merupakan permulaan suatu peradaban Islam yang baru. Di bawah
subjudul <em>Apakah yang kita maksudkan dengan Gerakan Islam?, </em><strong>Al-Ghannusyi</strong>
mengatakan: ”Yang kami maksudkan ialah pendekatan yang bersumber dari
pengertian Negara Islam yang komprehensif (bersifat mampu menerima
dengan baik), sesuai dengan tiga cara pendekatan (yang benar) oleh
Ikhwanul Muslimin, Jama’at Islami di Pakistan, serta gerakan Imam
Khomeini di Iran.” Beliau menuturkan lebih lanjut, <span> </span>”Suatu
operasi, yang mungkin akan merupakan suatu dari peristiwa-peristiwa
dalam sejarah gerakan kemerdekaan di seluruh kawasan ini, telah dimulai
di Iran, yang akan membebaskan Islam dari kekuasaan pemerintah yang
memperalat Islam untuk mencegah gelombang revolusi ke kawasan itu.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<strong><span>Maulana Abul A’la Al-Maududi</span></strong><span>,
seorang ulama terkemuka yang juga pendiri dan pemimpin Jama’at Islami
di Pakistan, mengeluarkan sebuah fatwa tentang Revolusi di Iran:
”Revolusi Khomaini adalah Revolusi Islam. Pesertanya dari kalangan umat
Islam dan pemuda-pemuda yang terdidik dalam gerakan-gerakan Islam.
Seluruh kaum Muslimin pada umumnya, dan gerakan-gerakan Islam pada
khususnya, harus mendukung revolusi itu dan bekerja sama dengannya dalam
segala-galanya.” (Majalah <em>Al-Da’wah,</em> Kairo, 29 Agustus 1979)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span>Rektor Universitas Al-Azhar dalam wawancaranya dengan koran <em>al-Syarq al-Ausath</em>
yang diterbitkan di London dan Jeddah, 3 Februari 1979, mengatakan:
”Imam Khomeini adalah saudara kita dalam Islam. Kaum Muslimin, walaupun
berbeda mazhab, adalah sesama saudara dalam Islam, dan Imam Khomeini
berdiri di bawah panji yang sama dengan saya: Islam.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span>Dari beberapa
pendapat ulama-ulama tersebut, semuanya mengatakan bahwa Revolusi yang
dipimpin oleh Imam Khomeini di Iran bukanlah Revolusi Iran, tetapi
Revolusi Islam. Itu berarti Syi’ah itu muslim, dia bersaudara dengan
Ahlulsunnah.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<strong><span>Petunjuk Jalan Lurus</span></strong></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span>Di dalam shalat
yang sehari-hari kita lakukan, sebagai hamba Tuhan mengakui
ketidakberdayaan di hadapan-Nya untuk mengetahuai secara pasti jalan
manakah yang merupakan jalan lurus (kebenaran) dan jalan sesat
(kebatilan). Pengakuan diri itu kita ucapkan ketika membaca surat
Al-Fatihah ayat 6-7, <em>”<span class="gen">Tunjukilah kami jalan yang
lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada
mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka
yang sesat.”</span></em></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span>Maka menurut
hematku, kalau masih ada orang Islam yang merasa dirinya paling benar,
dirinya paling berhak atas surga Tuhan, maka sebenarnya dia belum
sepenuhnya menghayati makna shalat yang lima kali dalam sehari ia
lakukan. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span>Di dalam Surat An-Nahl ayat 125, Tuhan lebih menegaskan lagi, <em>”<span class="gen">Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. <strong>Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.” </strong></span><strong><span> </span></strong></em></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<strong><em><span> </span></em></strong></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span>Dengan segala
kerendahan hati, aku ingin mengatakan kepada seluruh umat Islam, kita
ini adalah makluk yang nisbi. Pengetahuan kita terkadang itu pengetahuan
yang nisbi pula. Sudah sepantasnya kita yang nisbi ini merendahkan hati
untuk tidak menganggap diri kita paling benar dan paling shaleh
diantara yang lain. Bukankah Iblis dilaknat Tuhan ketika Iblis merasa
dirinya paling baik dibandingkan manusia. Satu perkataan iblis yang
terkenal, ”<em>Ana khairum min hum.</em> Aku lebih baik dari dia.” Perkataan itulah yang mengantarkan iblis pada laknat Tuhan. <span> </span><span> </span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span>Terakhir untuk
menutup tulisan ini, aku ingin menyampaikan bahwa dalam Al-Qur’an Tuhan
telah memerintahkan umat Islam yang telah terpecah belah, seperti yang
disabdakan Rasulullah, untuk bersatu dan tidak berpecah belah. Persatuan
Islam, dalam hal ini Ahlulsunnah dan Syi’ah, adalah suatu keniscayaan
karena tidak mungkin Allah memerintahkan kita melakukan sesuatu
sedangkan kita tidak mampu melakukannya. Tuhan memerintahkan sesuatu
sesuai dengan kemampuan hamba-Nya. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span>Ambillah Hamas
dan Hizbullah sebagai contoh. Keduanya menampilkan suatu keharmonisan
dan kerjasama dalam melawan Zionis Israel. Ahlulsunnah yang diwakili
oleh Hamas dan Syi’ah yang diwakili oleh Hizbullah berjuang melawan
agresi militer Zionis Israel yang biadab. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span>Disaat Zionis
Israel menghembuskan propaganda devide et impera, sekelompok umat Islam
yang merasa dirinya paling benar dan paling shaleh juga ikut-ikutan
menghembuskan nafas permusuhan dikalangan umat Islam. Mengapa sebagian
dari kita malah senang melakukan sesuatu yang ujung-ujungnya
menguntungkan pihak yang memusuhi Islam?</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span><a href="http://ressay.wordpress.com/2008/04/06/ahlulsunnah-syi%E2%80%99ah-bersatukah/" target="_blank">http://ressay.wordpress.com/2008/04/06/ahlulsunnah-syi%E2%80%99ah-bersatukah/ </a></span></div>Muhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5484169373233948978.post-91221577271682442882012-05-15T17:19:00.000+07:002012-05-15T17:19:09.740+07:00SUNNAH SYI’AH BERSATU<div class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<strong><span style="color: #e36c0a; font-size: 16pt;">Oleh: Ust. Miftah F. Rakhmat</span></strong></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: center;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="color: red;">Disampaikan pada Seminar Sunni Syi’ah Bersatu, UII Yogyakarta, 17 Desember 2007</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: center;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: center;">
</div>
<div class="MsoNormal">
Baru saja saya memulai membaca The Kite Runner,
sebuah novel yang ditulis dari pengalaman getir pecahnya Afghanistan.
Negeri itu terpuruk bukan saja karena pertarungan elit politik, tetapi
juga karena rentannya konflik antar mazhab. Bangsa Afghanistan terdiri
dari beragam suku: Pashtun yang lebih mirip Pakistan, Hazara yang
merupakan keturunan Mongol, dan sebagainya. Afghanistan juga diapit oleh
dua negara besar: Iran dan Pakistan. Dari Iran dihembuskan pengaruh
Syi’ah dan dari Pakistan pengaruh Sunnah. Di sisi lain, Pakistan juga
adalah negara yang tak kalah hebatnya digoncang oleh isu antar mazhab.
Dalam dekade terakhir, konflik antar mazhab ini menyulut serangkaian
kekerasan yang memakan korban jiwa. Pakistan menuding negaranya telah
dijadikan pertempuran yang ”bukan miliki mereka”. Mereka mengatakan
Pakistan menjadi negara tempat bertarungnya kepentingan Iran yang Syi’ah
dan Saudi Arabia yang Sunnah.<span id="more-368"></span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Kita tentu tidak pernah bisa menengarai dengan
pasti sebab musabab pertikaian. Bila perbedaan mazhab dijadikan sebab,
maka persatuan mazhablah solusi untuk menghindari pertikaian itu.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Ada beberapa teori tentang keterpurukan umat. <em>Pertama, </em>hegemoni
dunia Barat. Teori ini dibantah dengan mengatakan bahwa globalisasi
yang membawa hegemoni itu tidak hanya meliputi kaum Muslimin, tetapi
juga seluruh dunia. Yang terkena imbas bukan hanya Islam, tetapi juga
berbagai budaya dan keyakinan yang berbeda. <em>Kedua,</em> Zionisme dan Kristenisasi. <em>Ketiga, </em>Perbedaan
mazhab. Diperlukan penelitian lebih jauh mengenai teori Zionisme dan
Kristenisasi, tetapi sekiranya benar, maka sebetulnya teori kedua dan
ketiga ini sudah terjadi sepanjang sejarah Islam. Pengaruh Yahudi dan
Kristen, juga perbedaan mazhab mewarnai era keemasan pemikiran Islam.
Pada zaman peralihan kekuasaan antara dinasti Umawi kepada Abbasi, dunia
Islam diwarnai oleh benturan berbagai mazhab pemikiran, bukan saja di
antara sesama kaum Muslimin, tetapi juga dengan kebudayaan Yunani,
India, Budha, Yahudi, dan Ateisme. Semua mendapat tempat yang terhormat
dalam dialektika peradaban. Sejarah mencatat munculnya imam-imam mazhab
yang kemudian ”dibekukan” oleh penguasa setelahnya. Era keemasan ini
juga berlanjut sampai Andalusia, yang berpengaruh melahirkan para
pemikir besar semisal Ibn ’Arabi. Mengutip Nashr Hamid Abu Zayd,
”Andalusia adalah cerminan ragam pemikiran yang mewarnai hidup Ibn
’Arabi. Di setiap langkah di Andalusia ada jejak Ibn ’Arabi.”</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Tetapi, anggaplah sekarang ini ada sebagian
orang yang memandang perbedaan mazhab sebagai sumber keterpurukan. Sabtu
malam yang lalu saya mendapat kehormatan diundang makan malam bersama
Imam Feisal Abdul Rauf. Beliau adalah Imam Masjid Al-Farah New York,
yang letaknya berdekatan dengan lokasi Ground Zero 9/11. Penulis ”Seruan
Azan dari Puing WTC” ini dihadapkan pada permasalahan tentang citra
Islam pasca serangan itu. Bagi beliau: It doesn’t matter what really
happened in 9/11. What matters most is what peope believe in. Tidak soal
apa yang sebenarnya terjadi pada 11 September. Masalah yang lebih
penting dihadapi adalah “apa yang dipercayai” masyarakat menyebabkan
terjadinya serangan itu. Maka, anggaplah bawa perbedaan mazhab
“menyumbang” peranan pada keterpurukan umat. Lalu apa yang harus kita
lakukan?</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<strong><em>Ilaa Kalimatin Sawaa…</em></strong></div>
<div class="MsoNormal">
<strong><em> </em></strong></div>
<div class="MsoNormal">
Bila kepada Ahli Kitab saja diserukan ajakan <em>ilaa kalimatin sawaa,</em>
maka apalagi terhadap sesama Kaum Muslimin. Ajakan pada persamaan ini
sering dirusak oleh bisikan ”setan” yang mengatakan bahwa Syi’ah tidak
termasuk di antara kaum Muslimin. Cukuplah bagi kita haji sebagai bukti.
Setiap tahun jutaan jemaah haji Iran dan muslim Syi’ah dari berbagai
negara menunaikan ritual haji. Di beberapa negara timur tengah,
persaudaraan antara dua mazhab ini terjalin dengan baik. Suriah,
Yordania, dan Lebanon adalah beberapa di antaranya.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Tuduan yang sering dialamatkan kepada Syi’ah
lebih banyak dikutip dari buku-buku yang menyerang Syi’ah. Tentu mereka
merujuk pada beberapa kitab Syi’ah. Berdasarkan pengalaman saya,
sebagian rujukan dikutip keliru; sebagian lagi dikutip tidak lengkap;
dan sebagian lainnya dikutip dari hadits-hadits yang dikritik oleh orang
Syi’ah. Kita tidak bisa menggeneralisir semua pendapat Syi’ah keliru,
sama seperti tidak juga bisa kita semua pendapat Ahlulsunnah benar. Saya
sebutkan contoh-contoh tuduhan yang bisa dialamatkan kepada Syi’ah, dan
sanggahannya:</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<ol>
<li class="MsoNormal">Syi’ah punya Al-Qur’an yang berbeda
<ol>
<li class="MsoNormal">Jawaban: orang yang mempercayai Syi’ah punya Al-Qur’an yang berbeda tidak meyakini ayat: <em>”Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan Kamilah yang akan menjaganya.”</em></li>
<li class="MsoNormal">Dalam KitabAl-Itqan, Jalaluddin As-Suyuthi juga mengutip beberapa riwayat tentang ”hilangnya” ayat-ayat Al-Qur’an<em> </em></li>
</ol>
</li>
<li class="MsoNormal">Syi’ah mencela sahabat
<ol>
<li class="MsoNormal">Syi’ah meyakini konsep keadilan Ilahi yang
mendasarkan manusia pada amal (Sunni juga) ketimbang pada ”kapan
dia dilahirkan”.</li>
<li class="MsoNormal">Syi’ah meyakini bahwa mencela dalam berbagai bentuknya adalah tindakan yang tidak dibenarkan.</li>
<li class="MsoNormal">Berbeda dengan Sunni, Syi’ah tidak memandang semua sahabat sebagai <em>’udul</em>.
Mereka lebih menyikapi tarikh dan keterlibatan para sahabat dalam
sejarah Islam dengan pandangan yang kritis. Mereka mengambil
contoh Perang Uhud, Perang Siffin, dan Perang Jamal.</li>
</ol>
</li>
<li class="MsoNormal">Syi’ah melecehkan perempuan (dengan nikah mut’ah misalnya)
<ol>
<li class="MsoNormal">Terkait dengan fiqih, masalah yang satu ini
memang sedikit rumit. Dibutuhkan seminar tersendiri untuk
membahasnya. Cukuplah saya mengutip pendapat seorang penulis Mesir:
Nikah mut’ah adalah nikah sementara yang kapan saja dapat
dilanggengkan. Sedangkan nikah Daim adalah nikah ”langgeng” yang
kapan saja dapat diputuskan.”</li>
<li class="MsoNormal">Hadits Imam Ja’far Shadiq as: <em>“Kuunu lanaa zaynan wa la takuunu ‘alayna syainan.”</em> Jadilah kalian penghias bagi kami, jangan datangkan cela bagi kami.</li>
</ol>
</li>
<li class="MsoNormal">Syi’ah melebihkan Imam Ali dari Rasulullah Saw
<ol>
<li class="MsoNormal">Sekiranya kita baca hadits-hadits Mazhab Syi’ah dengan sendirinya anggapan seperti ini tertolak.</li>
</ol>
</li>
<li class="MsoNormal">Syi’ah menyiksa diri dalam peringatan Asyura
<ol>
<li class="MsoNormal">Irang sudah mengharamkan hal ini. Proses orang Syi’ah sendiri memaknai peringatan Asyura berbeda-beda.</li>
</ol>
</li>
<li class="MsoNormal">Syi’ah ”munafik” karena mengamalkan taqiyyah.
<ol>
<li class="MsoNormal">Bagian ini tidak akan dijelaskan supaya ada pertanyaan.:)</li>
</ol>
</li>
</ol>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<strong>Hembusan Perlawanan dari Orang Syi’ah</strong></div>
<div class="MsoNormal">
Era globalisasi saat ini membawa dampak hegemoni
kekuasaan Barat atas negara-negara lain. Dalam dunia Islam, ”perlawanan”
terhadap hegemoni ini diwakili oleh Iran dan Hizbullah. Iran-lah
satu-satunya negara yang konsisten menyerukan perlawanan terhadap
hegemoni Amerika. Di Timur Tengah, Amerika diwakili oleh Israel, dan
Hizbullah sebagai organisasi Syi’ah-lah yang tercatat menjadi kekuatan
tempur yang paling ditakuti oleh Israel. Iran dan Hizbullah membawa
’izzah bagi Islam di seluruh dunia.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Orang Syi’ah harus belajar dari saudaranya
Ahlulsunnah, dan Ahlulsunnah juga harus belajar dari orang Syi’ah. Salah
satu yang bisa dipelajari dari Syi’ah adalah contoh sistem politik
Islam sekarang ini. Menurut Dr. Kalim Shiddiqui, ”Iran adalah
laboratorium politik Islam saat ini.”</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Sayangnya, seperti yang terjadi di Irak,
hembusan nafas melawan hegemoni global ini dirusak dengan politik devide
et impera. Sesama kaum Muslimin diadu, dipertentangkan, dan
diperselisihkan. Irak adalah contohnya. Afghanistan dan Pakistan juga
sudah menderita banyak korban karena perbedaan ini. Inilah yang kita
hindarkan untuk terjadi di Indonesia. Mudah-mudahan seminar kali ini
membawa kita pada Islam ukhuwah, yang penuh dengan toleransi terhadap
perbedaan pendapat, sebagaimana dicontohkan oleh para Imam besar
Mazhab.[]</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<a href="http://ressay.wordpress.com/2007/12/18/sunnah-syiah-bersatu/">http://ressay.wordpress.com/2007/12/18/sunnah-syiah-bersatu/</a></div>Muhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5484169373233948978.post-84085817125817999512012-05-15T17:17:00.002+07:002012-05-15T17:17:35.860+07:00Obat Mujarab Fikih Persatuan<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="color: black;"><span style="font-size: small;">Saya
pernah menonton sebuah film dokumenter tentang Sayyid Musa Sadr di
jaringan televisi satelit Al-Manar. Dia ulama besar, pioner pasukan
perlawanan Hizbullah Lebanon pada era 70-an, di tahun-tahun awal invasi
Zionis Israel. Tapi bukan itu yang ingin saya bicarakan.</span></span></span>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="color: black;"><span style="font-size: small;"> </span></span></span></div>
<hr id="system-readmore" style="text-align: justify;" />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="color: black;"><span style="font-size: small;">
Ada sesuatu di film dokumenter itu: sebuah gambar yang melekat di benak
hingga kini. Sebuah memori sejarah yang bisa jadi oase pelajaran bagi
kita yang hidup sekarang. Bahkan di Indonesia.
Di film berdurasi
panjang itu, ada foto yang memperlihatkan momen-momen dia tengah
berbicara di hadapan jamaah sebuah geraja berarsitektur agung. Dengan
sorban hitam keulamaanya, dengan wajahnya yang teduh lalu gereja itu,
sebuah gereja di Sidon sepertinya, berdiri di sebuah mimbar dengan latar
tembok-tembok tinggi dan ornamen kaca gereja yang memukau.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="color: black;"><span style="font-size: small;"><br />Dua keagungan seperti berkumpul di foto itu. Seperti perasan yang terbaik dari Islam dan Kristen.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="color: black;"><span style="font-size: small;"><br />Musa
Sadr memang menara suar kala itu -- sebelum akhirnya hilang misterius.
Dia, hingga kini dianggap pahlawan oleh hampir semua kalangan dan agama
di Lebanon, diyakini kemungkinan besar diculik saat berkunjung ke Libya.
Nasibnya tak jelas sejak itu. Ada yang bilang dia telah mati, meski tak
sedikit yang meyakininya masih hidup dan tertawan.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="color: black;"><span style="font-size: small;"><br />Tapi
sebelum kepergiannya, dia telah mewariskan sesuatu yang berharga: fikih
persatuan. Secara singkat, dia memfatwakan bahwa di saat persatuan umat
beragama dan bangsa dan negara jadi taruhan, urusan fikih harus
dimundurkan. Sepenting apapun.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="color: black;"><span style="font-size: small;"><br />Tak
pada tempatnya saya berpanjang-panjang soal tersebut. Tapi satu yang
jelas, fikih persatuan itu menghasilkan buah yang segar; sesuatu yang
mungkin menjelaskan aliansi super-kuat antara kalangan Kristen dengan
pasukan perlawanan Hizbullah dalam kancah politik modern Lebanon dan
front bersenjata menghadapi agresor Israel hingga detik ini.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="color: black;"><span style="font-size: small;"><br />Nah,
saya cerita semua itu dengan benak yang masih terendam berita-berita
mencemaskan dalam dua bulan terakhir. Di berbagai penjuru dunia orang
dengan mudah melihat adanya kekuatan yg seperti hendak membenturkan
Islam dan Kristen, Islam dan Islam. Kita lihat ada upaya pembakaran Al
Qur'an di Amerika Serikat, ada penghargaan untuk kartunis penghina Nabi
di Eropa, dan masih banyak rangkaian peristiwa lain.
Termasuk di
Indonesia.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="color: black;"><span style="font-size: small;"><br />Di
Bekasi beberapa waktu yang lalu misalnya, televisi seperti ingin kita
percaya kalau telah terjadi perselisihan hebat antara Islam dan Kristen
di sana. Antara warga Muslim dan warga Kristen dalam soal pendirian
rumah peribadatan. Lalu di Cirebon, Bogor, Jakarta dan Nusa Tenggara
kita dengar berita yang kurang lebihnya sama: perselisihan besar antara
pengikut Ahmadiyah dan mereka yang menolak keberadaan kelompok itu.
Darah telah tumpah. Kecemasan timbul-tenggelam.
Tulisan ini tak
bermaksud menyajikan jawaban untuk persoalan pelik itu. Meski jelas,
kita semua menanti kehadiran pemimpin agama yang visioner. Kita menanti
banyak ulama seperti Musa Sadr yang mengajarkan persatuan jauh lebih
penting ketimbang apapun. Kita perlu suara ulama yang bisa mengerem dan
menghentikan pucuk-pucuk ekstrim yang kadang menyembul dan menciptakan
keriuhan besar – untuk tidak mengatakan memprovokasi benturan antar
penganut agama.
Kita sudah punya banyak persoalan dan ekstrimisme, baik
dalam cara pikir maupun pola tindak, adalah hal terakhir yang ingin kita
saksikan.<br />Dan kabar yang terdengar dari Iran dalam sepekan terakhir
sepertinya bisa jadi contoh. Ceritanya ini berawal dari sebuah surat
Istiftai (permohonan fatwa) dari kalangan ulama Syiah di Arab Saudi ke
Ayatullah Sayyed Ali Khameini, wali faqih sekaligus pemimpin Republik
Islam Iran. Secara khusus di surat itu, mereka meminta jawaban tegas
atas sejumlah hal yang menurut mereka “sangat mencemaskan”, “sumber bagi
kekacauan internal” kalangan Muslim.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="color: black;"><span style="font-size: small;"><br />Telah
terdengar oleh mereka bahwa Yasir al-Habib, seorang yang menyebut
dirinya ulama dan berdomisili di London, sering melontarkan hujatan dan
penghinaan berupa “kalimat-kalimat tak senonoh dan melecehkan terhadap
istri Rasul, Ummul Mu’minin Aisyah”.
Langkah itu, kata mereka dalam
surat, telah menghadirkan “sensasi negatif berupa ketegangan di tengah
masyarakat Islam”. Sebagian orang, karena minimnya pengatahuan dan
pandangan, nampaknya membeli ucapan Yasir itu, kata mereka. Sebagian
lagi, meski lebih kecil, mengeksploitasinya “secara sistematis” di
sejumlah televisi satelit dan internet demi “mengacaukan dan mengotori
dunia Islam dan menyebarkan perpecahan antarmuslimin.”</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="color: black;"><span style="font-size: small;"><br />Dari
Tehran, Sayyed Ali Khamenei memberikan yang mereka minta. Sebuah fatwa,
putusan yang mengikat dan membawa implikasi hukum. Bunyinya singkat:
“Diharamkan melakukan penghinaan terhadap (tokoh-tokoh yang diagungkan)
Ahlussunnah wal Jamaah apalagi melontarkan tuduhan terhadap istri Nabi
dengan perkataan-perkataan yang menodai kehormatannya, bahkan tindakan
demikian haram dilakukan terhadap istri-istri para Nabi terutama
penghulu mereka Rasul termulia.”
Fatwa itu merupakan yang mutakhir dan
menempati posisi terpenting dalam rangkaian kecaman kalangan ulama Syiah
atas Yasir al-Habib dan para provokator sebangsanya.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="color: black;"><span style="font-size: small;"><br />Fatwa
Pemimpin Tertinggi Iran ini jelas berbeda dengan fatwa-fatwa yang biasa
keluar dari majlis-majlis ulama di dunia Sunni. Pasalnya, fatwa ini
membawa solusi kaki tangan pelaksanaan yang didukung segenap aparatur
Republik Islam Iran.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="color: black;"><span style="font-size: small;"><br />Dari Kairo, Syaikh Al-Azhar segera menyambut fatwa historis Ayatullah Ali Khamenei ini.<br />***</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="color: black;"><span style="font-size: small;">Pandhu Grahita</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="color: black;"><span style="font-size: small;"><a href="http://muslimunity.net/index.php?option=com_content&view=article&id=90:obat-mujarab-fikih-persatuan&catid=38:artikel&Itemid=67" target="_blank">http://muslimunity.net/index.php?option=com_content&view=article&id=90:obat-mujarab-fikih-persatuan&catid=38:artikel&Itemid=67 </a></span></span></span></div>Muhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5484169373233948978.post-46679746686933952892012-05-15T17:16:00.003+07:002012-05-15T17:16:49.080+07:00Iran, Mesir dan Pemikiran Taqrib<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Oleh: Mohsen Pak Ain</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Taqrib
bermakna ajakan untuk mendekatkan pandangan antar mazhab Islam.
Pemikiran ini memiliki sejarah khusus di negara-negara Islam, terutama
Mesir. Taqrib juga berarti kerjasama antara ulama untuk menyelesaikan
kesalahpahaman yang ada pada mazhab-mazhab Islam terutama mazhab Syiah
dan Ahli Sunnah.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Para
ulama Taqrib berkeyakinan bahwa untuk mewujudkan tujuan Taqrib, Ahli
Sunnah dan Syiah tidak harus meninggalkan ajarannya; akan tetapi, poros
Taqrib antar mazhab Islam adalah hidup bersama dengan jiwa bersaudara
tanpa ada rasa bermusuhan satu sama lain. Alhasil, tujuan Taqrib adalah
mengurangi kekerasan dan permusuhan antara pengikut mazhab-mazhab Islam.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<hr id="system-readmore" style="text-align: justify;" />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Sejak
lama Universitas al-Azhar Mesir sangat mendukung ajakan pada Taqrib
hingga pada masa pemerintahan Anwar Sadat. Hasan Ibrahim Hasan dalam
kitab <em>"Tarikh al-Daulah al-Fatimiah"</em> menulis:</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">"Nama
al-Azhar berdasarkan nama putri Rasulullah saw, Fatimah Zahra as.
karena "Fatimiun" -yang pada tahun 909 M di Mesir sampai pada tanjuk
kekuasaan- mengaku sebagai keturunan beliau. Fatimiun mendirikan
al-Azhar pada tahun 972 M untuk perluasan mazhab Syiah. Para pemimpin
silsilah ini meyakini masa dakwah Syiah dengan memperkenalkan ilmunya
sudah sampai dan ajaran-ajaran mazhab ini harus diperluas dengan
pendidikan. Fatimiun tidak merasa cukup dengan mendirikan al-Azhar saja,
akhirnya pada tahun 1005 M membentuk lembaga pusat kebudayaan "Dar
al-Hikmah" yang juga bertujuan untuk dakwah Syiah."</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Dapat
dikatakan, berbeda dengan gerakan moderat Fatimiun pada awal
pemerintahannya dalam memperluas mazhab Syiah, pada tahun-tahun
berikutnya hal ini menjadi ekstrim dan berlebihan. Sebagai contoh,
dinsti Fatimiah melarang masyarakat untuk membaca kitab-kitab mazhab
lain dan berusaha untuk menghilangkan Ahli Sunnah. Mungkin siasat ini
yang menjadi salah satu sebab penggerak Ayyubiun untuk menda'wahkan Ahli
Sunnah dan diterimanya silsilah ini (Ayyubiun) oleh pengikut mazhab
ini.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Ayyubiun
yang memegang kekuasaan setelah tergulingnya dinasti Fatimiun pada
tahun 1175 M merubah Mesir menjadi pusat kebudayaan yang kuat untuk
memperluas mazhab Ahli Sunnah. Pendiri pemerintahan ini, Salahuddin
Ayyubi yang bermazhab Syafi'i, melarang pengajaran fiqih Syiah di
Al-Azhar. Siasat ini menyebabkan penurunan intelektual di al-Azhar dan
kondisi ini berlangsung salama kurang lebih 80 tahun. Akan tetapi, pada
masa pemerintahan "Mamlukian" dan "Utsmanian" di Mesir, meskipun
pemerintahan berasaskan Ahli Sunnah, tetapi kondisi orang-orang Syiah
lebih baik dari masa pemerintahan Ayyubian. Shalat Jumat di al-Azhar
kembali dijalankan dan disamping pelajaran fiqih Syafi'i, beberapa ulama
juga ditetapkan untuk mengajar fiqih mazhab lain termasuk mazhab Syiah.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Pada
tahun 1789 penyerangan Perancis terhadap Mesir menyebabkan ulama
al-Azhar mengangkat bendera perlawanan terhadap Perancis dengan dukungan
dari masyarakat dan mewujudkan persatuan muslimin dengan melupakan
perbedaan-perbedaan mazhab. Kerjasama ulama al-Azhar dan orang-orang
Syiah serta anggota Taqrib yang lain menyebabkan kekalahan Perancis.
Pada masa ini hukuman mati ulama Islam oleh kekuatan Perancis menguatkan
lingkaran persatuan antarMuslim dalam menghadapi musuh luar.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Muhammad
Ali terpilih sebagai wali Mesir pada tahun 1805. Dia, seorang yang
mencintai kekuasaan, menganggap wujud ulama-ulama al-Azhar terutama
persatuan di antara mereka dan masyarakat Islam sebagai penghalang untuk
mengokohkan kekuasaannya. Untuk menghilangkan penghalang-penghalang
ini, dengan menggunakan senjata perselisihan ia menimbulkan perpecahan,
memerintah dengan sewenang-wenang dan memisahkan antara agama dan
politik untuk melemahkan al-Azhar dan ulama Islam.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Politik
ini –yang berakhir dengan tidak mampunya al-Azhar untuk mengelola
keuangannya- menyebabkan gradasi bertahap universitas tersebut dan
memaksanya untuk menggantungkan masalah keuangan pada pihak lain,
terutama pemerintah Inggris. Pada tahun 1915 penasehat keuangan
pemerintah Mesir –seorang Inggris- menyarankan kepada pemimpin al-Azhar
untuk menerima bantuan dari pemerintah Inggris untuk memperbaiki
keuangan ulama-ulama al-Azhar (1). Pada masa ini, siasat pemerintah
Mesir dan pendatang dari Inggris adalah pemisahan antara agama dan
politik serta menghalangi persatuan mazhab yang berbeda-beda dalam satu
lingkup Islam. Dengan ini, ulama mazhab-mazhab di al-Azhar tidak dapat
menjalankan misi Islami mereka dikarenakan tidak adanya persatuan,
fanatisme dan memperhatikan keuntungan pribadi.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Pada
tahun 70-an peningkatan hubungan antar ulama dan pusat-pusat lembaga
agama yang berbeda-beda, terutama Syiah dan Ahli Sunnah, mendorong
terbentuknya "Dar al-Taqrib" di Mesir. Beberapa marja' faqih Syiah
dunia, seperti Ayatullah Uzdma Burujerdi ra. memiliki peran yang sangat
penting dalam pembentukan pusat lembaga ini. Beliau memiliki keyakinan
kuat akan perlunya pemecahan masalah di antara mazhab-mazhab Islam dan
perwujudan hal ini akan meninggikan martabat Islam.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Ayatullah
Uzdma Boroujerdi mengetahui dengan kebijaksanaan bahwa jika kesepakatan
di antara orang-orang muslim akan dibentuk, harus bersumber dari
lembaga keilmuan. Dari sisi lain, beliau juga mengetahui tingkatan
keilmuan al-Azhar. Jadi, beliau menggunakan fasilitas dan kesempatan ini
secara efisien untuk mengadakan hubungan dengan ulama-ulama Mesir.
Untuk memulai hubungan ini beliau mengirim Allamah Syeikh Muhammad Tagi
Qumi ke Mesir sebagai perwakilannya. Tugas beliau adalah berusaha untuk
mengembangkan kegiatan-kegiatan Taqrib di Mesir dan mendorong ulama
Islam untuk mementingkan terwujudnya persatuan umat Islam.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Allamah
Syeikh Muhammad Taqi Qumi menyampaikan pesan lisan Ayatullah kepada
Syeikh Majid Salim yang menjabat sebagai presiden al-Azhar pada waktu
itu. Pesan jawaban Syeikh Salim kepada Ayatullah Burujerdi membuka pintu
kerjasama dan surat menyurat dalam hal Taqrib antara hauzah Qom dan
al-Azhar. Tidak lama kemudian Syeikh Hasan Baquri, dosen dan seorang
alim universitas al-Azhar, dan menteri wakaf Mesir, pergi ke Iran untuk
bertemu dengan Ayatullah Boroujerdi. Sebagai balasan, kitab <em>"Mukhtasar al-Manafi'</em> Allamah Hilli dan kitab tafsir <em>"Majma' al-Bayan"</em> َAllamah Tabarsi dicetak dan dipelajari di Mesir.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Berdasarkan
itu universitas al-Azhar untuk pertama kalinya dalam sejarah
pendiriannya, mengadakan majlis Asyura' (acara peringatan syahadah imam
Husein as.) yang sangat besar. Syeikh Syaltut mengemban kepemimpinan
universitas al-Azhar setelah meninggalnya Syeikh Majid Salim. Beliau,
seorang yang menginginkan persatuan umat Islam dan memiliki pengetahuan
yang dalam tentang masalah Taqrib, menjalin hubungan erat dengan
Ayatullah Boroujerdi ra dan dalam salah satu suratnya, beliau
memanggilnya dengan sebutan "saudara yang agung".</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Pendirian <em>Darul Taqrib Baina Mazahib Al Islami</em>
di Mesir berperan penting dalam penyelarasan antara mazhab-mazhab Islam
dan pada akhirnya menjadi satu langkah yang penting dan menentukan.
Langkah penting ini adalah pengajaran fiqih mazhab-mazhab Islam, Ahli
Sunnah maupun Syiah, di universitas al-Azhar. Hal ini ditulis di bab ke
tiga undang-undang Dar al-Taqrib seperti berikut:</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">"Pengajaran
fiqih mazhab-mazhab Islam di universitas-universitas Islam dan di
pusat-pusat pendidikan lainnya, akan dilaksanakan sebaik mungkin."</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Saran
program pengajaran mazhab Ja'fari di al-Azhar meskipun tidak terlaksana
akan tetapi berhubungan dengan satu kejadian penting yang lain yaitu
fatwa syeikh Syaltut yang berisikan pembolehan menganut fiqih Syiah.
Dengan ini, marja' terbesar Ahli Sunnah Mesir mengatakan bahwa para
pengikut mazhab Syiah Itsna Asyariah memiliki hak yang sama sebagai
seorang muslim seperti pengikut mazhab-mazhab lain; meskipun selalu ada
propaganda-propaganda buruk yang merugikan. Kepada seluruh umat Muslim
Ahli Sunnah Wa Jamma'ah juga diperbolehkan untuk mengikuti fatwa-fatwa
ulama Syiah.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Ulama-ulama
Mesir setelah masa Syeikh Syaltut juga memiliki hubungan erat dengan
hauzah-hauzah ilmiah Syiah; ia pun terus melanjutkan kegiatan-kegiatan
Taqrib. Hal ini menciptakan hubungan erat antara masyarakat Iran dan
Mesir. Dapat dikatakan meskipun fiqih yang dikenalkan di Mesir bukanlah
fiqih Syiah, tetapi hati nurani masyarakat Mesir memiliki kecondongan
terhadap Syiah. Karena itu, pengikut mazhab Wahabi dengan niat
menjauhkan masyarakat Mesir dari garis-garis fiqih dan pemikiran logis
mazhab Syiah, melawan tasyayu' dan berusaha untuk menyimpangkan
kecenderungan persatuan ulama dan masyarakat Mesir.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Saat
ini ada banyak dalil yang menunjukkan kecenderungan masyarakat Mesir
untuk saling memahami dengan saudara-saudara Syiah dan hal ini
disebabkan kecintaan mereka pada Ahlul Bait as. Sebagai contoh,
masyarakat Mesir suka berziarah ke makam-makam mulia ma'sumin dan
membolehkan menciumnya. Nama yang paling banyak dipakai di Mesir setelah
nama nabi Muhammad Saw adalah nama Ali (untuk laki-laki) dan Fatimah
(untuk perempuan). Dalam banyak syair kanak-kanak Mesir yang paling
terkenal, Sayyidah Fatimah as disebut sebagai ibu dan Ali as sebagai
ayah. Khususnya pada penyelenggaraan hari-hari Ied dan adat-adat bulan
suci Ramadhan, masyarakat Mesir mengikuti adat-adat khusus Fatimiah yang
berasal dari budaya Syiah.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Penerbitan kitab <em>"Al-Muraja'at"</em>
yang merupakan surat menyurat dari diskusi antara ulama besar Islam,
Abdul Husain Syarafuddin Al-Musawi, salah satu dari pembawa bendera
Taqrib di Jabal Amil, Lebanon, dan Syeikh Salim, Syeikh al-Azhar,
mempunyai peran penting dalam menyelesaikan kesalahpahaman Ahli Sunnah
terhadap Syiah. Syeikh Salim dalam pertemuan terakhirnya mengakui bahwa
tidak ada perbedaan (yang mendasar-<em>pent.</em>) di antara Ahli Sunnah
dan Syiah dan pertentangan yang ada diantara Syiah dan Ahli Sunnah
lebih sedikit dari pertentangan antara imam-imam empat mazhab.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Sebenarnya
kehidupan kebudayaan Mesir memimiliki kecondongan kuat untuk mewujudkan
misi Taqrib. Alasannya adalah sebagai berikut:</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">1.
Adanya makam orang-orang yang dinisbatkan ke Ahllul Bait, seperti Malik
Asytar di Mesir, yang menyebabkan masyarakat negara ini menunjukkan
kecintaannya pada Ahlul Bait lebih dari masyarakat Negara-negara lain.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">2.
Masyarakat Mesir secara terbuka memiliki kecenderungan untuk bersatu
dan saling memahami antarsaudara Muslim yang lain, termasuk Syiah; dan
kecenderungan ini bertambah setelah kemenangan revolusi Islam.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">3.
Peran al-Azhar yang merupakan basis besar dalam sisi moral dan
spiritual, yang pada awalnya didirikan untuk memperluas mazhab Syiah dan
pendekatan antarmazhab, tidak dapat dipandang sebelah mata.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">4.
Dari sisi sejarah, pendirian pemerintahan Fatimiun oleh orang-orang
Syiah di Mesir dan permusuhan bersejarah antara masyarakat Mesir dengan
Wahabi selalu menjadi penghalang usaha musuh-musuh Islam untuk menebar
perpecahan. Tidak mengherankan jika dengan alasan di atas sebagian
penetapan undang-undang Mesir dilakukan berasaskan paham mazhab Syiah.
Sebagai contoh, dua pasal dari hukum perdata Mesir diambil dari mazhab
Syiah. Pada masa Abdul Nasir, al-Azhar menerbitkan sebuah ensiklopdi
fiqih yang bernama <em>"Fiqh-e Islam Dar Mazaheb-e Hasytgone"</em> (fiqih Islam dalam 8 mazhab) yaitu 4 mazhab Ahli Sunnah, mazhab Syiah 12 Imam, Zaidi, Ibadhi dan Dhohiri.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Suatu
perkumpulan bernama Ahlul Bait dibentuk di Mesir dalam dekade ini dan
terdaftar dalam daftar kementrian perkara sosial dengan nomor 1852.
Kelompok ini memiliki beberapa karya yang sudah diterbitkan. Namun Ahlul
Bait dihentikan oleh Anwar sadat setelah kemenangan revolusi Islam
Iran. Kelompok ini juga memiliki peran penting dalam misi Taqrib. Di
Mesir para <em>sadah</em> (keturunan nabi) dikenal sebagai "Asyraf" dan
kelompok ini bertugas untuk menjaga nasab keturunan Ahlul Bait yang
sudah meninggal.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Ada
kelompok yang bernama "Ja'afirah" yang nasab mereka sampi pada imam
Ja'far as. di daerah Said, terutama di provinsi Qina dan Iswan. Mereka
juga menganut faham Taqrib dan hidup bersama secara akur dengan Ahli
Sunnah. Jumlah pengikut Ja'afirah di Mesir mencapai 2 juta orang.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">"Buhrah"
adalah kelompok Syiah Ismailiah Afrika yang hijrah ke Mesir pada masa
pemerintahan Anwar Sadat. Mereka menggunakan kemampuannya untuk
meyakinkan menteri Wakaf Mesir agar memperbaiki masjid-masjid Syiah
Fatimi –dengan kemampuan mereka– seperti masjid al-Anwar yang pada
akhirnya menjadi tempat tinggal mereka. Buhrah juga memperbaiki dan
membangun ulang masjid al-Husain as dan masjid Zainab as.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Mazhab
Sufi di Mesir yang merupakan pengikut imam Ali as juga selalu memiliki
kerjasama ilmiah yang baik dengan ulama-ulama Ahli Sunnah. Mereka juga
selalu berusaha keras menghadang Wahabi untuk menyebarkan perpecahan
antar umat.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Wujud
Buhrah, Sufi, Ja'afirah dan kelompok-kelompok pengikut Ahlu Bait lain
dari satu sisi, dan dari sisi lain pemikiran cerah sebagian ulama Ahli
Sunnah Mesir seperti Syeikh Syaltut dan Kawakibi menyebabkan
berkembangnya pemikiran Taqrib di Mesir secara pesat, meskipun
usaha-usaha Wahabi yang dimulai pada masa Abdul Nasir sampai sekarang
guna menjatuhkan misi ini selalu ada.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Setelah
kemenangan revolusi Islam di Iran dan berkibarnya bendera persatuan
dari imam Khomeini ra, masyarakat Mesir menyambut persatuan ini dengan
semangat dan kegembiraan yang mendalam. Akan tetapi, alat-alat
propaganda Barat dan media internasional Wahabi berusaha menghapus wajah
tasyayyu' di kalangan Ahli Sunnah dengan menerbitkan buku-buku
"miring". Dengan ini, kitab-kitab yang menghina dan memojokkan Syiah dan
kitab-kitab yang menyerang pemikran Ahli Sunnah dikeluarkan dari
gudangnya dan disebarkan kembali. Penerbitan al-Shohwah digunakan
kembali untuk menghadang pemikiran Syiah di Mesir. Penerbit ini
menerbitkan lebih dari 100 buku terkait dari tahun 1983 sampai 1986.
Seluruh biaya penerbitan buku-buku ini dipasok oleh Wahabi.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Meskipun
penyerangan ini mengecam mazhab Syiah, tap dari sisi lain menguntungkan
dakwah Taqrib, karena masyarakat Mesir menjadi ingin mencari tahu
perbedaan Syiah dan Ahlu Sunnah. Munculnya intelek-intelek masa itu
membuat isu Taqrib semakin diangkat. Sebagai contoh, marhum Allamah
Syeikh Muhammad Ghazali, seorang ulama yang diterima diseluruh kalangan
masyarakat Mesir, selalu membantah perselisihan diantara umat Islam dan
mendukung pemikiran Taqrib. Beliau berkata:</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">"Kekhawatiran akan perbedaan dalam fiqih tidak perlu dikhawatirkan. Karena perbedaan Fiqih tidak dapat dipungkiri. Pelarangan <em>taqlid</em> pada mazhab tertentu tidak lebih dari sekedar fanatisme yang tidak berharga". (Koran al-Zahram, 17/12/1370)</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Para
pemimpin Ikhwanul Muslimin juga sangat mementingkan masalah pendekatan
dan menganggap urgen persatuan umat Islam dalam menghadapi musuh yang
bersatu pada zaman ini.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Program
Taqrib di Mesir terus berlangsung. Para ulama dan intelek Mesir yang
dalam gerakan baru mereka berusaha menghidupkan Islam murni, mengetahui
pentingnya persatuan dalam menghadapi musuh bersama. Sejarah dan
kebudayaan masyarakat juga membuktikan hal ini. Jadi, dapat dikatakan
jika Taqrib di Mesir dibimbing pada jalan yang benar, pada masa yang
akan datang dapat menjadi sandaran kuat untuk persatuan politik dan
persaudaraan dunia Islam. Jelas, perubahan positif apapun dalam hubungan
antara Iran dan Mesir akan memperkuat posisi para pendukung Taqrib di
kedua negara. (IRIB Indonesia/Taqrib/SL)</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><strong>Sumber</strong></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">1.Khaterat-e Zendegani-e Hadzrat-e Ayatullah Al-Udzma Aghay-e Boroujerdi, Muhammad husein Tabataba'i.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">2.Majalah Taqrib j 1,2 dan 3, bagian konferensi persatuan Islam.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><strong>Catatan kaki: </strong></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">1)Akan tetapi tidak ada catatan mengenai penerimaan hal ini oleh Al-Azhar.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><a href="http://muslimunity.net/index.php?option=com_content&view=article&id=126:iran-mesir-dan-pemikiran-taqrib&catid=38:artikel&Itemid=67" target="_blank">http://muslimunity.net/index.php?option=com_content&view=article&id=126:iran-mesir-dan-pemikiran-taqrib&catid=38:artikel&Itemid=67 </a></span></span></span></div>Muhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5484169373233948978.post-15203324604670846752012-05-15T17:15:00.003+07:002012-05-15T17:15:49.841+07:00Risalah Cinta buat Mereka yang Berbeda Mazhab<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">“Aku
mencintaimu, wahai Malik,” kata Imam Ja’far Ash Shadiq setelah tamunya
itu duduk di atas permadani seraya bersandar dengan nyaman di bantal
yang menempel ke dinding. Sebenarnya, sang tamu, Imam Malik, adalah
murid dari Imam Shadiq. Tapi, penghormatan yang sangat besar Imam Shadiq
kepada muridnya itu membuatnya memperlakukan sang murid layaknya
seorang tamu agung.</span></span></span>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Peristiwa
sambutan itu sangat berkesan bagi Imam Malik. Apalagi selama kunjungan
ilmiahnya ke Madinah dan Mekah itu, Imam Malik juga menyaksikan hal-hal
yang luar biasa dari sang guru. Inilah penuturan Imam Malik</span></span></span></div>
<blockquote style="text-align: justify;">
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">“Demi
Allah, aku tidak pernah sekalipun menemuinya kecuali beliau sedang
shalat, puasa, atau sedang membaca Al Quran. Suatu hari, aku berhaji
bersamanya. Ketika tiba saatnya berihram dan mengucapkan talbiah,
bergetarlah seluruh tubuhnya. Lidahnya kelu dan tak mampu mengucapkan
kalimat apapun. Aku katakan kepadanya, ‘Ya Aba Abdillah, setelah
berihram Anda harus mengatakan ‘Labbayka Allahumma labbayk –kupenuhi
panggilan-Mu Ya Allah’. Mendengar kata-kataku, ia menjawab, ‘Wahai
Malik, aku sungguh takut, ketika kukatakan ‘Labbayka Allahumma labbayk’,
Allah lalu menjawab seruanku dengan jawaban, ‘La labbayka wa la
sa’dayka- tak ada sambutan dan tak ada kebahagiaan bagimu-”</span></span></span></div>
</blockquote>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">
<br />Itulah sepenggal cerita dari Imam Malik sebagaimana yang tercantum
dalam kitab Al Khishal: 167 Kaum Muslimin dunia kemudian mengenal Imam
Malik sebagai imam salah satu madzhab besar dunia, yaitu Madzhab Maliki.
Sedangkan sang guru, Imam Shadiq, punya pengikut yang dikenal sebagai
kelompok Syiah. Keduanya memiliki identitas masing-masing yang berbeda
satu sama lain. Berabad-abad kemudian, ada di antara para pengikut kedua
madzhab itu yang sedemikian fanatiknya terhadap perbedaan itu, untuk
kemudian menjadikannya sebagai sumber perpecahan. Penghormatan Imam
Shadiq terhadap Imam Malik, dan juga kekaguman Imam Malik kepada Imam
Shadiq tidak pernah lagi diingat apalagi diceritakan.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br />Perpecahan
dan pertengkaran (bahkan sering disertai dengan peng-kafiran) yang
berasal dari perbedaan pandangan madzhab itu juga terjadi di antara
madzhab-madzhab lainnya. Padahal, sebagaimana yang terjadi pada pengikut
Syi’i dan Maliki, para pembesar mereka dulunya adalah orang-orang yang
saling memuji, saling menghormati, bahkan saling menimba ilmu satu sama
lain. Ekstremitas dan fanatisme yang tidak perlu memang seringkali
ditunjukkan oleh kalangan awam, padahal para pemimpin mereka
mencontohkan hal yang berbeda.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br />Salah
satu hambatan terbesar dalam hal persatuan ummat Islam atau pendekatan
antarmadzhab Sunni dan Syiah adalah sikap, keyakinan, dan penghormatan
yang berbeda yang ditunjukkan masing-masing kelompok terkait dengan
imam, ulama rujukan, dan orang-orang tertentu. Ada satu kesan umum yang
berlaku di kalangan Sunni bahwa orang-orang Syiah tidak pernah
menyembunyikan kebenciannya terhadap para Sahabat, padahal para Sahabat
adalah orang-orang yang sangat dimuliakan oleh orang-orang Sunni.
Bagaimana mungkin menyatukan dua kelompok, jika yang satu sangat
memuliakan Sahabat, sementara yang lain mencercanya? Pada artikel
sebelumnya, saya mengemukakan penuturan Dr Al Qarni yang secara tegas
meminta agar orang-orang Syiah juga menunjukkan penghormatan kepada para
sahabat, sebagaimana orang-orang Sunni sangat memuliakan keluarga Nabi.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br />Seruan
Al Qarni memang seharusnya diperhatikan oleh orang-orang Syiah.
Bagaimanapun juga, fakta menunjukkan bahwa dalam sistem kepercayaan Ahlu
Sunnah, Sahabat adalah simbol kesalehan dan generasi terbaik yang
menjadi panutan. Tentu fakta ini difahami dengan baik oleh orang-orang
Syiah. Karena itu, akal sehat kita pastilah tidak bisa menerima jika
orang-orang Syiah masih sangat suka mempermasalahkan kredibilitas
Sahabat dalam forum apapun.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br />Kebiasaan
mempermasalahkan kredibilitas para sahabat itu juga bisa jadi malah
kontradiktif dengan prinsip dan keyakinan yang ditunjukkan para imam dan
ulama Syiah sepanjang sejarah. Imam Ali bin Abi Thalib, misalnya,
sering mengenang masa-masa indah manakala beliau hidup bersama
Rasulullah dan para sahabatnya yang setia.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br />“Dulu
kami hidup di zaman Rasulullah, berjuang bersama-sama sampai-sampai
harus membunuh orang-orang terdekat kami demi Islam. Namun hal itu
tidaklah menambahkan kepada kami, kecuali kesabaran yang dapat
mengurangi penderitaan,” demikian kata Imam Ali. Beliau kemukakan
kenangan seperti itu sambil membandingkan generasi para Sahabat dengan
generasi yang hidup sezaman dengan beliau. “Kalau kami saat itu
berperilaku seperti kondisi kalian saat ini, Islam tidak akan mungkin
berdiri tegak dan membuahkan hasil.”</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br />Imam
Ali Zainal Abidin juga berdoa secara khusus untuk para Sahabat dengan
mengatakan, “Ya Allah untuk para Sahabat yang telah menjalin
persahabatan baik dengan Nabi-Mu, .... -Imam lalu memanjatkan senarai
doa.” <br />Di awal tulisan ini sudah dikemukakan penghormatan timbal
balik antara Imam Shadiq dan Imam Malik. Penghormatan timbal balik yang
sama juga ditunjukkan secara tulus antara para imam dan ulama Ahlul Bait
dan para imam dan ulama dari kalangan madzhab Sunni lainnya.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br />Imam
Abu Hanifah pernah mengungkapkan pernyataan yang terkenal, “Law la
sanatani la halaka Nu’man (kalaulah tiada masa dua tahun itu, binasalah
Nu’man).” Dua tahun yang dimaksud dalam perkataan itu merujuk kepada
masa-masa ketika beliau menimba ilmu kepada Imam Shadiq. Sementara itu
Nu’man adalah nama kecil Imam Abu Hanifah.<br />Imam Syafi’i malah dikenal
sebagai orang yang sangat dekat dengan Ahlul Bait Nabi. Ketika pada
saat itu ada upaya politis untuk mendiskreditkan para pecinta Ahlul Bait
Nabi, dengan lantang Imam Syafi’i mengatakan bahwa dirinya siap dicap
sebagai Rafidhi (sesat), jika kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi dianggap
sebagai kesesatan. </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br />Imam Syafi’i juga pernah menuliskan syair yang isinya kurang lebih seperti ini:</span></span></span></div>
<blockquote style="text-align: justify;">
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br />“Wahai
keluarga Rasulullah, kecintaan kepada kalian adalah sebuah kewajiban
yang disebutkan oleh Allah di dalam Al Quran. Cukuplah itu bagi kalian
sebagai kemuliaan, karena shalat yang dilakukan tanpa bershalawat kepada
kalian dihukumi sebagai shalat yang tidak sah.”</span></span></span></div>
</blockquote>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br />Imam
Ahmad bin Hanbal juga demikian. Diriwayatkan bahwa suatu hari ada
perdebatan sengit dalam sebuah majelis. Yang diperdebatkan sebenarnya
masalah klasik: Imam Ali dan khilafah. Orang-orang berdebat tentang
kelayakan Imam Ali menjadi khalifah. Imam Ahmad saat itu menutup
perdebatan sambil dengan tegas menyatakan bahwa kalau yang diperhatikan
adalah kapabilitas Imam Ali dari segala segi (kemuliaan, ilmu, jasa,
kedekatan dengan Rasulullah, ketakwaan, keberanian, kepahlawanan, dll)
segalanya menjadi sangat jelas. “Mengapa kalian memperdebatkan Ali dan
khilafah? Sungguh Ali tidak menjadi lebih mulia dengan kursi
khilafahnya. Kursi khilafahlah yang mendapatkan kemuliaan dengan
duduknya Ali di atasnya.”<br />Hubungan baik dan kecintaan antarmazhab ini
terus berlanjut sampai kepada para ulama dan para pengikut di
generasi-generasi sesudahnya. Syeikh Al Mufid adalah seorang ulama Syiah
terkenal. Salah satu keistimewaan beliau adalah kebiasaannya untuk
selalu melakukan kontak dengan para ulama dari berbagai madzhab. Inilah
yang menyebabkan kitab-kitab karya Syeikh Al Mufid penuh dengan berbagai
pandangan para ulama dari madzhab-madzhab yang berbeda.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br />Begitu
pula Syeikh Ath Thusi, ulama besar Syiah lainnya. Setelah menelaah
dengan seksama pandangan para ulama dari berbagai madzhab, Ath Thusi
menulis buku yang diberi judul Al Khilaf. Sedemikian mendalamnya
pemaparan Ath Thusi tentang pemikiran yang ada pada madzhab lain,
sampai-sampai As Subki, seorang ulama besar Syafi’i, menyebut Syeikh Ath
Thusi sebagai pengikut Syafi’i. Tentu saja As Subki tahu persis bahwa
Syeikh Ath Thusi itu adalah ulama Syiah. Namun menurutnya, Ath Thusi
sangat menguasai pandangan Imam Syafi’i seakan-akan beliau adalah
seorang ulama dari madzhab ini.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br />Contoh
lain yang bisa dikemukakan adalah Muhammad Al Makki (lebih dikenal
dengan gelar Asy Syahid Al Awwal), seorang ulama besar Syiah lainnya.
Sejarah menunjukkan bahwa beliau memang menimba ilmu kepada para ustadz
Ahlussunah. Salah seorang murid beliau yang Zainuddin Al ‘Amili (dikenal
dengan nama Asy Syahid Ats Tsani), juga berguru kepada 40 orang dari
para ulama alumni Al Azhar, Mesir.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br />Ini
adalah fakta sejarah. Jadi, jika ada orang Syiah yang sangat membenci
saudara-saudaranya dari kalangan Ahlus Sunnah, otentisitas kesyiahannya
layak untuk dipertanyakan. Cukuplah di sini ditegaskan sekali lagi bahwa
para takoh dan ulama Syiah sejak dulu sampai sekarang selalu punya
risalah cinta yang ditujukan kepada saudara-saudara mereka Ahlus Sunnah.<br />Sampai
sekarang? Mungkin ada yang meragukan pernyataan ini. Mungkin ada yang
mengira bahwa risalah cinta tersebut hanya bagian dari sejarah dan kini
sudah menjadi cerita-cerita lama. Mungkin ada yang mengira bahwa para
ulama dan tokoh Syiah masa kini sudah tidak lagi punya minat dan
pandangan terhadap upaya persatuan ummat, terutama yang menyangkut
penghormatan terhadap para sahabat.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br />Pesimisme
semacam ini agaknya keliru. Sebagian besar riwayat yang dikutipkan di
atas merupakan transkrip dari pidato sambutan Sekjen The World Forum for
Proximity of Islamic Schools, Ayatullah Ali Taskhiri, pada Konferensi
Internasional Persatuan Antarmazhab, di Jakarta Desember 2009 lalu.
Taskhiri dikenal sebagai salah seorang ulama Syiah kontemporer, dan
nyatanya, ia sangat antusias menngutip riwayat-riwayat tentang
penghormatan kepada para sahabat dan tokoh Sunni.<br />Tentu saja
riwayat-riwayat tersebut dikutip dalam konteks yang sangat jelas. Beliau
ingin menyatakan bahwa romantisme persaudaraan dan persatuan itu masih
sangat dirindui oleh kalangan internal Syiah sampai sekarang. Taskhiri
menyatakan bahwa ada kesenjangan antara kondisi zaman sekarang dan
kondisi masa di masa lalu. Simaklah penuturan Taskhiri berikut ini.<br />“Inilah
kondisi pada zaman dahulu yang berjalan secara alami dan Islam. Sangat
disayang bahwa kondisi kita saat ini jauh berbeda. Sekelompok orang
karena kepentingan musuh, kepentingan pribadi, kebijakan pemerintah
tertentu, karena fanatisme, atau kadangkala karena kepicikan dan
sedikitnya ilmu, lalu mengubah kondisi yang seharusnya cair dan alami
ini menjadi sektarianisme buta, fanatisme, dan ekstrimisme. Sikap buruk
ini lalu berkembang menjadi lebih buruk, yaitu ketika sebagian dari kaum
Muslimin memandang yang lainnya sebagai kafir, lalu menganggap bahwa
agama yang benar hanyalah monopoli dirinya dan kelompoknya.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br />“Sikap
sektarianisme adalah sebuah kemunduran. Penyebabnya adalah fanatisme
dan kebodohan. Ketika dibiarkan, lahirlah berbagai tindakan terorisme.
Kita harusnya membersihkan diri dari segala tindakan terorisme. Islam
sangat menentang tindakan kekerasan dan penganiayaan terhadap orang
lain. Karena itu, dalam kesempatan ini, marilah kita serukan ajakan
kepada seluruh kaum Muslimin agar mereka kembali kepada kondisi dahulu
yang kini telah hilang dan lenyap dari genggaman kita. <br />“Marilah kita
dekatkan seluruh hati kita. Mari kita tebar kasih sayang di antara
kita. Persatuan dan kasih sayang antar sesama Muslim merupakan rahasia
kemenangan di zaman awal Islam. Hal tersebut sampai sekarang tidak
berubah. Persatuan dan kasih sayang di antara ummat Islam menjadi faktor
penentu kemenangan dan keberhasilan Islam saat ini.”</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><a href="http://muslimunity.net/index.php?option=com_content&view=article&id=88:risalah-cinta-buat-mereka-yang-berbeda-mazhab&catid=38:artikel&Itemid=67" target="_blank">http://muslimunity.net/index.php?option=com_content&view=article&id=88:risalah-cinta-buat-mereka-yang-berbeda-mazhab&catid=38:artikel&Itemid=67 </a></span></span></span></div>Muhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5484169373233948978.post-7267925792800831572012-05-15T17:14:00.001+07:002012-05-15T17:14:29.435+07:00Perjuangan Hasan al-Banna Dalam Mewujudkan Persatuan<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Ustadz
Syahid Hasan al-Banna (semoga Allah Swt merahmatinya) adalah salah satu
tokoh yang memiliki peran besar dalam mendirikan "Lembaga Pendekatan
Antar Mazhab Islam" (Dâr at-Taqrîb Baina al-Madzâhib al-Islâmiyah). Ia
bersama dengan para tokoh dan ulama termuka lainnya, yang diantaranya
ialah:</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">• Ustadz Muhammad Ali Basha.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">• Syekh Abdul Majid Salim (Syekh Al-Azhar).</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">• Haj Amin Husaini (Mufti Palestina).</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">• Syekh Muhammad Abdul Fattah ‘Anany (anggota" dewan Kibar al-Ulama dan tokoh pengikut mazhab Maliki).</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">• Syekh Isa Manun (anggota" dewan Kibar al-Ulama dan tokoh mazhab Syafi’i).</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">• Syekh Mahmoud Syaltut (Syekh Al-Azhar dan salah satu ulama terkemuka mazhab Hanafi).</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">• Syekh Muhammad Taqi Qommi (salah satu ulama terkemuka mazhab Syi’ah Imamiyah).</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">• Syekh Abdul Wahhab Khalaf (Salah satu ulama besar konservatif kontemporer)</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">• Syekh Ali Khafif (Syekh Al-Azhar).</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">• Syekh Ali bin Ismail Muayad (ulama mazhab Syi’ah Zaidiyah).</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">• Syekh Muhammad Abdul Lathif Subki ( guru besar Al-Azhar dari mazhab Hanbali).</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">• Syekh Mohammad Mohammad Madany (seorang ruhaniawan terkemuka).</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">• Syekh Mohammad Husein Kasyif la-Ghita’ (marja’ taklid kota Najaf Asyraf).</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">• Sayyid Hibatuddin Syahrustani (ulama dari kota Kadzimain).</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">• Allamah Abdul Husain Syarafuddin (ulama Syiah terkemuka).</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Kehadiran
figur Syahid Hasan al-Banna di sisi para ulama dan tokoh terkemuka
dunia Islam ini, menggambarkan akan keberanian dan idenya yang cemerlang
terutama seputar pendekatan antar mazhab, ide yang sejalan dengan misi
dan tujuan ikatan yang dibentuk oleh para tokoh tersebut, dimana dalam
pasal kedua anggaran dasar ikatan para ulama ini –sekaitan dengan misi
dan tujuan- tercantum beberapa draf berikut:</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">1.
Upaya dalam membangun asas kesatuan dan solidaritas antara pelbagai
mazhab Islam, hal ini dapat direalisasikan karena dalam pandangan
masing-masing mazhab tidak terdapat perbedaan menyangkut prinsip umum
agama Islam yang menjadi batas pemisah antar kaum Muslimin dan pengikut
masing-masing mazhab.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">2.
Publikasi dan penyebaran akidah, hukum dan undang-undang universal
Islam dalam berbagai bahasa serta menjelaskan perkara-perkara yang
menjadi kebutuhan masyarakat dalam tatanan praktis.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">3.
Upaya dalam menyelesaikan perselisihan dan konflik nasional atau
sektarian antara kaum Muslimin dan mengupayakan pendekatan serta
solidaritas di antara mereka.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Kendati
Imam Hasan al-Banna tidak termaksud ulama al-Azhar, akan tetapi, ia
memiliki jiwa revolusioner yang tinggi dan pengaruh yang besar terhadap
para ulama lainnya. Besar pengaruh ulama karismatik ini dapat kita
saksikan dalam ucapan seorang ulama dan tokoh persatuan seperti Syekh
Muhammad Taqi Qommi.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Saat
Syekh Taqi Qommi berbicara mengenai Hasan al-Banna, dirinya tampak
bersemangat seakan semangat al-Banna telah marasuki jiwanya. Dengan
kalimat panjang ia menuliskan:</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">“Hasan
al-Banna bukanlah ulama al-Azhar, ia pun tidak memiliki ikatan khusus
dengan para Syekh al-Azhar, akan tetapi, semangat, tekad, pengabdian,
cita-cita mulia dan keikhlasan dirinya, telah menjadikannya bagaikan
gunung yang kokoh. Dengan kriteria yang agung ini, ia mampu terjun di
kalangan muda akademisi dan menebarkan pengaruhnya dalam jiwa mereka. Ia
berhasil mencetak generasi yang bertakwa, pejuang, berjiwa bersih,
mengenal budaya Islam dan memiliki kesadaran tinggi. Dengan tetap fokus
kepada tujuan utama perjuangannya dalam mengembalikan umat Islam kepada
kejayaan masa lalu –yang menjadi tujuan hidupnya-, ia senantiasa
memikirkan permasalahan persatuan dan pendekatan antar mazhab.
Semangatnya ini telah mempengaruhi jiwa kelompok Ikhwanul Muslimin
sebuah organisasi besar Islam yang ia dirikan, dan hingga saat ini pun
pengaruh ini masih dapat kita saksikan. Terlebih kelompok terdahulu dari
mereka yang selalu menjauhi fanatisme mazhab dan menjalin ikatan dengan
kelompok Islam lainnya dengan berdasarkan prinsip Islam dan bukan
mazhab, serta tidak mempermasalahkan perbedaan-perbedaan antara kelompok
dan mazhab kaum Muslimin. Kelompok inil, adalah kelompok Ikhwanul
Muslimin<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=816:perjuangan-hasan-al-banna-dalam-mewujudkan-persatuan&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_ftn1">[1]</a>.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">DR.
Muhammad Ali Adzarshab mengatakan bahwa Syekh Hasan al-Banna pendiri
gerakan Ikhwanul Muslimin sangat mementingkan gerakan taqrib (pendekatan
antar mazhab). Adzarshab menuliskan: “Pada hari-hari menjelang
didirikannya Lembaga Pendekatan Antar Mazhab, para tokoh lembaga ini di
antaranya Ayatullah Muhammad Taqi Qommi –sebagai pendiri lembaga
tersebut- sedang memikirkan nama apakah yang layak untuk lembaga
tersebut. Apakah dengan mengunakan istilah persatuan, solidaritas atau
pun persaudaraan. Pada saat itu, Syekh Hasan al-Banna menyarankan untuk
memberi nama<em> taqrib </em>(pendekatan), dengan alasan bahwa nama ini
lebih sesuai dengan tujuan-tujuan lembaga tersebut dibanding dengan nama
atau istilah lainnya. Akhirnya lembaga ini pun dinamakan dengan nama<em> taqrib</em> sesuai dengan pendapat pejuangan besar ini.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><strong>Surat Kabar “Hasan Al-Banna” Media Pendekatan Antar Mazhab</strong></span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Dalam
isi surat kabar yang dirilisnya, tampak Syekh Hasan al-Banna sangat
mementingkan permasalahan persatuan antara Sunnah dan Syi’ah. Ia tidak
segan-segan -dengan bekerjasama dengan lembaga Darul al-Taqrib- berupaya
untuk menyampaikan pesan persatuan kepada para ulama bahkan kepada
penguasa kerajaan Saudi saat itu, dimana pada saat itu, berbicara
mengenai persatuan Sunnah dan Syiah merupakan perkara yang dilarang di
negeri itu. Berkaitan dengan masalah ini, Ayatulah Muhammad Taqi Qommi
menuliskan:</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Setelah
peristiwa eksekusi Sayid Abu Thalib Yazdi di negeri Hijaz (yang saat
ini berubah nama menjadi Saudi Arabia), untuk beberapa tahun,
pemberangkatan jamaah haji Iran sempat terhenti, meskipun setelah itu
mereka kembali diizinkan untuk menunaikan ibadah Haji. Dalam upaya
meminimalisir kesalahpahaman umat Islam terhadap mazhab Syi’ah, terutama
setelah propaganda negatif terhadap Syi’ah paska persitiwa eksekusi
Sayyid Yazdi dan pelarangan haji bagi masyarakat muslim Iran, lembaga
“Dar at-Taqrib” menerbitkan panduan manasik haji berdasarkan pandangan
lima mazhab, yaitu empat mazhab Ahlu Sunnah beserta mazhab Syi’ah
Imamiyah.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Buku
manasik haji yang diterbitkan ini, secara jelas mengungkapkan banyaknya
kesamaan dalam amalan dan manasik haji yang diyakini mazhab Ahlu Sunnah
dan Syiah. Dikarenakan muatannya ini, pemerintah Saudi pun secara tegas
melarang masuknya buku ini ke wilayah Saudi. Pada saat inilah, Syekh
Hasan al-Banna menemukan solusi agar materi yang dimuat dalam kitab
tersebut dapat dibaca oleh kaum Muslimin yang menunaikan Ibadah Haji.
Dengan kecerdasannya, ia memuat seluruh materi manasik haji dalam buku
itu dalam korannya dan mencetaknya dangan skala besar dan kemudian pada
musim haji, ia mengirimnya ke Saudi Arabia dan membagikannya kepada para
jamaah haji.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Upaya
yang dilakukan Hasan al-Banna ini memiliki pengaruh positif yang luar
biasa di kalangan kaum Muslimin [sehingga menjadi salah satu faktor yang
mendorong para pejabat Saudi untuk menarik kembali pelarangan haji atas
masyarakat muslim Iran]. Pada tahun itu pula, Syekh al-Banna pergi
menunaikan ibadah haji dan di tanah suci umat Islam ini, ia mengadakan
pertemuan dengan seorang ulama Syi’ah Ayatullah Abu Qasim Kashani,
pemimpin Gerakan Nasionalisasi Minyak Iran<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=816:perjuangan-hasan-al-banna-dalam-mewujudkan-persatuan&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_ftn2">[2]</a>.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Allamah
Sayid Hadi Khosrow Shahi mengkonfirmasikan kepada saya (penulis) bahwa
sebagian ulama besar Iran memandang statement Syekh Hasan al-Banna
dengan penuh pujian. Ia (Allamah Hadi Khosrow) dalam pada tahun 1375
H.Q. menghadiri majlis Ayatullah Sayid Ridha Sadr (salah satu ulama
besar Syiah) dan mendengar ceramah beliau seputar peran ibadah haji
dalam kehidupan sosial dan persatuan umat Islam. Dalam ceramah ini,
beliau mengungkapkan peran besar Hasan al-Banna dalam banyak
permasalahan, terutama dalam perjalanan dan statemennya pada musim haji,
dalam memperkenalkan masyarakat Muslim Mesir akan ideologi mazhab
Syi’ah yang sebenarnya, meredam penyebaran isu-isu anti-syiah dan
mengeluarkan pernyataan akan keislaman para pengikut Syi’ah. Pada saat
itu, Ayatullah Sadr menekankan kepada para hadirin dan mengatakan:
“Kaliah harus mengenal kepribadian Syekh Hasan al-Banna, beliau adalah
pahlawan yang pemberani dan pemimpin abadi dunia Islam dari kelompok
Ikhwanul Muslimin<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=816:perjuangan-hasan-al-banna-dalam-mewujudkan-persatuan&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_ftn3">[3]</a>.”</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Di
saat di dunia Islam sedang tersebar kebencian terhadap mazhab Syi’ah
bahkan sedang gencar-gencarnyanya tuduhan kafir dan fasik terhadap para
pengikut mazhab Ahlul Bait as ini, Syekh hasan al-Banna berjuang keras
melakukan berbagai pendekatan dengan menunjukkan berbagai kesamaan
antara akidah Syiah dengan akidah Ahlu Sunnah. Sungguh, sebuah
perjuangan dan upaya yang mengekspresikan jiwa pemberani beliau.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Semangat
“pendekatan antar mazhab” ini terus bergulir dalam prinsip gerakan
Ikhwanul Muslimin, dan hari demi hari terus melebarkan pengaruhnya di
dunia Islam. Salah satu prinsip dalam gerakan Islam ini, ialah menjauhi
segala bentuk konflik sektarian dan perselisihan mazhab<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=816:perjuangan-hasan-al-banna-dalam-mewujudkan-persatuan&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_ftn4">[4]</a>.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Ikhwanul
Muslimin senantiasa konsisten dalam esensi keislamannya, gerakan ini
adalah gerakan lintas mazhab yang tidak membatasi diri pada mazhab
tertentu, yang selalu menghindari perselisihan parsial antar mazhab dan
mengingatkan kaum Muslimin akan permasalahan penting ini. Di mata para
tokoh gerakan ini, perselisihan pendapat antara para ulama Islam
merupakan faktor yang dapat mengembangkan wacana pemikiran dunia Islam
dan memajukan kaum Muslimin, terutama dalam aspek fleksibilitas dan
dinamisme agama Islam serta praktek ijtihad<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=816:perjuangan-hasan-al-banna-dalam-mewujudkan-persatuan&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_ftn5">[5]</a>.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Misi
persatuan ini pun terus dilanjutkan oleh para peminmpin Ikhwanul
Muslimin setelah Syekh al-Banna, salah satunya adalah almarhum Syekh
Musthafa Masyhur. Ia pernah mengirimkan pesan ukhuwahnya kepada
Ayatullah Khosrow Shahi. Dalam suratnya ini ia menuliskan:</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Sejak
semula didirikan oleh pemimpin besar, Imam Hasan al-Banna, Ikhwanul
Muslimin, dengan mengesampingkan segala perselisihan antar mazhab dan
kecenderungan atas pandangan aliran tertentu, senantiasa mengajak
seluruh kaum Muslimin kepada persatuan umat, karena perpecahan dan
perselisihan antar umat Islam akan menjadikan mereka hina dan lemah di
hadapan musuh.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Allah Swt pun berfirman: <em>“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”, </em>dalam ayat lain, <em>“Dan
janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan
berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka
itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”</em></span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Fondasi
ide persatuan umat dan seruan yang dilakukan Ikhwanul Muslimin ini,
bertumpu pada sikap saling mengerti dan prinsip syariat. Kitab suci
al-Quran dan sunah Nabawi merupakan dua sumber utama undang-undang agama
Islam. Kami tidak akan mengkafirkan setiap Muslim yang mengucapkan dua
kalimat syahadat dan mengamalkan kandungannya, selama ia tidak melakukan
perbuatan kufur. Selain itu, kami akan selalu mempraktekkan syiar yang
populer dan dikenal sebagai prinsip emas yang berbunyi: “Saling
kerjasama dalam masalah-masalah yang disepakati dan menolelir perbedaan
pandangan”. Makna prinsip ini sangatlah jelas, tentunya kesamaan
pandangan umumnya terletak dalam prinsip-prisip agama, adapun perbedaan
terletak dalam furu’ atau cabang agama.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Imam
Syahid Hasan al-Banna (semoga Allah Swt merahmatinya), baik dalam
ucapan dan prilaku beliau, secara sempurna menyadari dan menekankan akan
masalah ini. Saya pribadi menyaksikan foto beliau yang diambil pada
tahun 1325 H.Q. Dalam foto tersebut tampak beliau sedang mengadakan
pertemuan di “Lembaga Pendekatan Antar Mazhab Islam” bersama para ulama
besar lainnya, diantaranya ialah: Syekh Abdul Majid Salim (Syekh
al-Azhar masa itu), Mufti Palestina Syekh Amin Husaini, Ayatullah
Muhammad Taqi Qommi dan beberapa ulama lainnya. Hubungan baik antara
Ikhwanul Muslimin dan para pengikut Syi’ah di Iran dan negara lainnya,
semenjak dekade lima puluhan abad ini (abad 20 Masihi) dan paska
kemenagan revolusi Islam Iran, sebuah realita yang menjadi saksi akan
hal ini.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Kaum
Muslimin pada masa ini, lebih membutuhkan kepada persatuan dan
solidaritas di banding dengan masa-masa sebelumnya. Cukup sudah, masa
dimana perpecahan kaum Muslimin telah menambah kekuatan kepada musuh
hingga mampu menundukan mereka (umat Islam).</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Perbedaan
antara Ahlu Sunnah dan Syiah Zaidiyah maupun Imamiyah hanya sebatas
dalam sebagian cabang agama. Mereka (pengikut Syiah) mengucapakan dua
kalimat syahadat “Tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah
utusan Allah” dan menyakini bahwa al-Quran sebagai sumber pertama
syariat Islam dan sunah Nabawi sebagai sumber kedua dan [saat shalat]
menghadap kepada kiblat yang sama. Agama bukanlah alat permainan
masyarakat umum (awam), saat ini telah tiba masanya untuk meredam fitnah
dan memadamkan kobaran apinya.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Tertanda: Musthafa Masyhur, 27 Rajab 1423 H.Q. – Kairo</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Semangat
pendekatan antar mazhab tetap terjaga sehingga kita dapat merasakannya
di seluruh tulisan para ulama terkemuka seperti Syekh Ghazali, Syekh
Hasan Hudhayyi, Syekh Umar Talmasani, Sayyid Quthub, Syekh Turabi, Syekh
Muhammad Hamid Abu Nashr, Syekh Ma’mun Hudhaibi, Syekh Allamah
Qaradhawi, Ustadz Muhammad Mahdi ‘Akif dan para ulama lainnya.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa semangat persatuan ini merupakan salah
satu faktor terpenting keberhasilan revolusi Islam di Iran yang dipimpin
oleh Imam Khomaini, yang tentunya berbicara mengenai hal ini akan
memakan waktu yang panjang.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Dari
semua ini dapat disimpulkan bahwa sikap obyektif dan jauh dari
fanatisme mazhab merupakan kriteria yang paling menonjol yang dimiliki
oleh [para tokoh dan anggota] gerakan Ikhwanul Muslimin. Ustazd Muhammad
Abdul Halim dalam penelitiannya mengenai gerakan ini menuliskan: “Di
antara prestasi terbesar yang diraih oleh kelompok Ikhwanul Muslimin
adalah penjagaan dan arahan yang mereka lakukan atas pemikiran Islam
tanpa terjerumus kepada penyimpangan, terbawa isu yang menyebar di
masyarakat umum dan terjebak pada kondisi yang sulit<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=816:perjuangan-hasan-al-banna-dalam-mewujudkan-persatuan&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_ftn6">[6]</a>.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Ungkapan
ini dapat kita rasakan dalam banyak tulisan para tokoh Ikhwanul
Muslimin. Dibandingkan dengan para ulama lainnya, mereka pun lebih
banyak merujuk kepada kitab-kitab yang diakui dalam pandangan Syi’ah,
seperti kitab Nahjul Balaghah –yang memuat khutbah-khutbah dan mutiara
hikmah Imam Ali as yang dikumpulkan oleh Syarif Radhi-. Sebagai contoh,
Ustadz Abdul Hamid saat mengomentari perintah Imam Ali as yang ditujukan
kepada Malik Asytar dan pengangkatannya sebagai gubernur Mesir, ia
menuliskan: “Surat ini merupakan salah satu dokumen bersejarah, ia
bagaikan harta karun yang langka yang hingga saat ini belum pernah
terlintas di benak para ulama maupun para ahli, kebijakan yang
menyerupai atau mirip dengan dokumen tersebut<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=816:perjuangan-hasan-al-banna-dalam-mewujudkan-persatuan&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_ftn7">[7]</a>.”</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Tidak diragukan lagi, ungkapan adalah sebuah kebenaran.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Sikap
dan pandangan para tokoh Ikhwanul Muslimin ini terilhami dari
kebijakan-kebijakan Imam Hasan al-Banna terutama seruan-seruannya untuk
merangkul seluruh kelompok dan golongan umat Islam. Dalam misinya ini,
ia menghadapi berbagai tantangan berat terutama dari kelompok Salafi
fanatik dan Sufi ekstrim. Semua ini ia alami karena ia telah menempuh
jalan tengah dan realistis.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Di
pertengahan dekade tiga puluhan, Syekh al-Banna menulis sebuah makalah
yang dimuat dalam majalah Ikhwanul Muslimin, dalam makalah tersebut ia
menggambar sebuah persegi empat dan di keempat segi tersebut ke arah
dalam, ia menuliskan:</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">لااله الا الله ، محمدا رسول الله</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Dan di bagian tengahnya pun ia menggambar sebuah segi empat kecil yang di dalamnya tertuliskan:</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">لااله الا الله محمد رسول الله</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">لا لا</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">اله اله</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">الا الا</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">الله الله</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">محمد محمد</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">رسول رسول</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">الله الله</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">لااله الا الله محمدا رسول الله</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Setelah itu, Syekh al-Banna menuliskan:</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">“Saudara-saudara
yang mengkritik sikap kami, seruan mereka hanya terbatas pada makna
yang terkandung dalam segi empat kecil yang berada di tengah, yakni
mereka hanya akan menerima kelompok yang memiliki ideologi yang sesuai
dan benar –secara sempurna- menurut penilaian akidah mereka. Akan
tetapi, jumlah mereka hanya sedikit. Adapun seruan [persatuan] kami
tertuju kepada seluruh yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah
dan Muhammad Saw adalah utusan Allah Swt, meskipun menurut keyakinan
kami, terdapat problem dalam sebagian ideologi mereka. Kami menyerukan
agar di antara setiap golongan dan mazhab Islam terjalin ikatan
persaudaraan dalam rangka mewujudkan kembali kejayaan dan kemuliaan
Islam. Reruan yang tidak terdapat syarat di dalamnya kecuali ucapan dua
kalimat syahadat, dimana dua kalimat syahadat ini mencakup seluruh kaum
muslimin dengan berbagai derajat keimanan dan amalan mereka terhadap
ajaran-ajaran Islam.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Tidak
diragukan lagi, Syekh al-Banna memandang bahwa sikap yang dilakukan ini
merupakan jalan untuk memberi hidayah dan diterapkannnya ajaran Islam
–secara sempurna- di tengah-tengah masyarakat. Dalam pandangannya, pintu
untuk berdialog secara damai dan ilmiah dalam pelbagai permasalahan
fiqih, ushul, akidah dan sejarah tidak pernah tertutup. Seluruh
permasalahan ini dapat diterima dan ditolelir dalam lingkaran dua
kalimat syahadat dan keimanan kepada rukun-rukun iman dan Islam<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=816:perjuangan-hasan-al-banna-dalam-mewujudkan-persatuan&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_ftn8">[8]</a>.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Semoga
Allah Swt membalas segala amal baik yang ia lakukan ini dengan pahala
yang agung! Sekali lagi kami ucapkan salam kepada ruh beliau, kami akan
meneruskan misi beliau dan mengajak kepada seluruh umat Islam agar
bersama-sama berupaya dalam mewujudkan persatuan Islam, karena tanpa
upaya kita semua, persatuan antar umat Islam tidak akan pernah
terealisasi dan akibatnya kita pun tidak akan memiliki
keutamaan-keutamaan yang disebutkan al-Quran bagi umat pembawa kitab
suci ini.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Oleh: Ayatullah Muhammad Ali Taskhiri</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span><br />
<hr size="1" width="33%" />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=816:perjuangan-hasan-al-banna-dalam-mewujudkan-persatuan&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_ftnref1">[1]</a> DR. Muhammad Ali Adzar Shab: Parwandeh Taqrîb bainal madzâhib, Hal. 137.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=816:perjuangan-hasan-al-banna-dalam-mewujudkan-persatuan&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_ftnref2">[2]</a> Ibid, hlm. 138.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=816:perjuangan-hasan-al-banna-dalam-mewujudkan-persatuan&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_ftnref3">[3]</a> Referensi ada pada penulis.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=816:perjuangan-hasan-al-banna-dalam-mewujudkan-persatuan&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_ftnref4">[4]</a> Sukhanrânihâye Syekh Hasan al-Banna, hlm. 18-20.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=816:perjuangan-hasan-al-banna-dalam-mewujudkan-persatuan&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_ftnref5">[5]</a> Da’watunâ, hlm: 292.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=816:perjuangan-hasan-al-banna-dalam-mewujudkan-persatuan&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_ftnref6">[6]</a> Al-Ikhwân al-Muslimîn Ru’yatu min ad-Dakhil, Jld. 3, hlm. 581.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=816:perjuangan-hasan-al-banna-dalam-mewujudkan-persatuan&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_ftnref7">[7]</a> Ibid, hlm. 292.</span></span></span><br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=816:perjuangan-hasan-al-banna-dalam-mewujudkan-persatuan&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_ftnref8">[8]</a> Ibid, jld. 2, hlm. 355.</span></span></span><br />
<br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><a href="http://muslimunity.net/index.php?option=com_content&view=article&id=131:perjuangan-hasan-al-banna-dalam-mewujudkan-persatuan&catid=38:artikel&Itemid=67" target="_blank">http://muslimunity.net/index.php?option=com_content&view=article&id=131:perjuangan-hasan-al-banna-dalam-mewujudkan-persatuan&catid=38:artikel&Itemid=67 </a></span></span></span>Muhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5484169373233948978.post-77186908241304036962012-05-15T17:13:00.002+07:002012-05-15T17:13:24.831+07:00Sunni-Syiah Itu Bersaudara, Al-Qur'annya Satu: Wawancara dengan Hafiz Cilik Iran<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">"Tidak
perlu lagi ada dikotomi Sunni dan Syiah, kesemuanya bersaudara,
sama-sama umat Islam, Al-Qur'an kita satu. Anda sendiri melihatnya,
di negeri ini, saya hanyalah salah seorang diantara ribuan hafiz yang
ada. Apa yang kami hafal, baca dan kaji sama dengan Al-Qur'an yang
dicetak di Negara anda. Anda juga tengah berada di dalam masjid yang
sebentar lagi dipenuhi orang-orang untuk shalat Jum'at berjamaah, yang
pada hari yang sama juga dilakukan oleh umat Islam di negeri anda."</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">"Silahkan buka tas saudara, kami periksa." </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Sejak
awal, memang saya agak ragu kalau bertemunya masjid, apalagi di hari
Jum'at. Tidak sebagaimana di Indonesia, penjagaan dan pengawalan bagi
para jama'ah shalat Jum'at di beberapa kota besar di Iran super ketat.
Sebelum memasuki masjid, para jama'ah harus bersedia di periksa dan
digeledah barang bawaannya. Bukan tanpa alasan mereka melakukannya. Iran
dipenuhi dengan cerita dan kisah-kisah tragis mengenai ulama-ulama dan
cendekiawan mereka yang harus meregang nyawa oleh serangan kelompok
anti revolusi yang bahkan tidak segan-segan melakukannya di masjid
sekalipun. Cerita terakhir dipenghujung tahun 2010 mengenai Dr Majid
Shahriari, salah seorang pakar nuklir Iran yang menjadi korban peledakan
bom. Mobil yang dikendarainya meledak setelah sebelumnya diberi bahan
peledak oleh kelompok anti revolusi Islam. Karenanya, sampai hari ini
pengawalan dan penjagaan ketat bagi orang-orang penting Iran masih terus
dilakukan. Termasuk menjamin diantara jama'ah shalat tidak ada yang
membawa sesuatu yang membahayakan, terutama bagi Khatib Jum'at yang
memang termasuk deretan ulama-ulama besar. <br /><br />Tidak menemukan
sesuatu yang asing dari tas punggungku yang cuman berisi mushaf saku,
charge HP, dua buku pelajaran dan kertas-kertas kosong, mereka beralih
memeriksa tubuhku. Mujtaba yang telah diperiksa lebih dulu sebab hanya
membawa mushaf saku dan satu buku pelajarannya, hanya tersenyum
melihatku digeledah.<br /><br />"HP bisa dibawa masuk, tapi mohon untuk dimatikan."<br /><br />Saya bernafas lega. Saya sempat khawatir kalau HPku disita dan terlarang masuk areal masjid. <br /><br />"Maaf, memang di Iran seperti ini, untuk shalat Jum'at harus digeledah dulu." Mujtaba menjelaskan.<br /><br />"Iya
saya tahu." Jawabku sambil membenahi isi tas yang telah diobrak abrik.
Saya sudah berkali-kali mengalaminya. Bahkan untuk memasuki kampus
sendiri harus digeledah, ketika kampus kedatangan tamu penting, pejabat
penting kenegaraan atau ulama besar. Bagi warga Iran, shalat Jum'at
bukan sekedar ibadah ritual tiap pekan, namun juga semacam pertemuan
politik karena para khatib selalu mengobarkan semangat perjuangan Islam
dalam khutbah-khutbah Jum'atnya. Mungkin karena itulah shalat Jum'at
sangat sensitif dan rawan sabotase. Penjagaan diperketat jangan sampai
ada diantara jama'ah yang membawa bahan peledak. <br /><br />Masjid besar
yang berada satu areal dengan kompleks pemakaman Sayyidah Fatimah
Maksumah ini meskipun baru jam 10 pagi namun telah cukup berisi banyak
jama'ah. Memang untuk bisa mendapat tempat di shaf-shaf terdepan, harus
datang lebih awal. Sebab di Iran, pelaksanaan shalat Jum'at di pusatkan
di satu masjid untuk satu kota besar. Jadi wajar, jika setiap shalat
Jum'at, jama'ah meluber sampai ke jalan-jalan sebab kapasitas masjid
tidak mampu menampung jama'ah yang jumlahnya sampai puluhan ribu orang.
Sambil menunggu, jama'ah yang sudah ada biasanya mengaji, membaca buku,
mengulang pelajaran sekolah atau sekedar mengobrol.<br /><br />Untuk
kepentingan wawancara ini, sayapun mencari tempat di sudut masjid yang
masih kosong. Saya janjian dengan Mujtaba dua hari sebelumnya. Karena
tidak ada pilihan hari lain, sebab esoknya, di kampusku telah memasuki
musim ujian. Juga sangat tidak memungkinkan melakukan wawancara ke
rumahnya, masyarakat Iran mentradisikan keluar rumah di malam Jum'at dan
hari Jum'at. Jadi meskipun merupakan hari libur, namun hari Jum'at
bagi masyarakat Iran adalah hari yang penuh aktivitas dari malam hingga
keesokan harinya. Malam Jum'at mereka isi dengan pembacaan do'a dan
zikir bersama di masjid-masjid, keesokan harinya, sekitar pukul 07.30
pagi mereka kembali berbondong-bondong ke masjid buat membaca do'a
Nudbah berjama'ah. Sekitar pukul 10 pagi, secara serentak mereka menuju
ke Haram Sayyidah Maksumah untuk persiapan shalat Jum'at berjama'ah.
Menariknya, kaum perempuan Iran juga turut melaksanakan shalat Jum'at.<br /><br />"Boleh
dimulai wawancaranya?", kataku memecah keheningan setelah Mujtaba
menuliskan biodatanya di kertas kosong yang saya berikan. <br />"Silahkan"<br /><br />"Oh iya, tidak apa saya aktifkan HP? wawancara ini harus saya rekam."<br />"Iya
tak apa, asal jangan sampai ketahuan petugas masjid." Matanya
memandang sekitar. Tampak beberapa petugas berkeliaran, mewaspadai
siapa saja yang dilihatnya. <br /><br />HP saya letakkan di sisi tas, agar tidak mudah kelihatan.<br />"Mujtaba, kamu hafal berapa juz Al-Qur'an?"<br />"Saya hafal 30 juz."<br />"Menurutmu, Al-Qur'an itu bagusnya di hafal atau dipelajari?"<br />"Menurutku dua-duanya. Al-Qur'an harus dipelajari dan dihafal."<br />"Tetapi bukankah dalam Al-Qur'an tidak ada perintah buat menghafalnya?"<br />"Setahu
saya memang tidak ada. Namun perintah untuk senantiasa membaca dan
mentadabburinya ada. Dan menurut saya, cara untuk bisa senantiasa
membaca dan mentadabburinya adalah dengan menghafalnya. Orang yang
menghafal Al-Qur'an bisa membacanya kapan dan dimana saja dan
pentadabburan atasnya bisa lebih mudah dilakukan dibanding yang tidak
menghafal."<br /><br />"Kamu sejak kapan menghafal seluruh Al-Qur'an?"<br />"Saya menghafal keseluruhan Al-Qur'an pada bulan Ramadhan tahun ini."<br /><br />"Kapan kamu memulainya?"<br /><br />"Saya
memulainya sejak awal memasuki SD, sewaktu berumur 6 tahun. Namun
karena tidak memiliki jadwal yang teratur dan metode yang tersistematis,
sampai kelas 2 SMP saya menghafal tidak sampai 15 juz. Baru setelah
menjelang naik kelas 3 saya tertarik dengan program kelas khusus
Jamiatul Qur'an, yaitu program hafal 30 juz Al-Qur'an dalam setahun.
Sayapun mendaftar dan dinyatakan lulus untuk mengikutinya. Karenanya
dalam setahun itu, saya terpaksa harus meninggalkan sekolah dan total
berkosentrasi dengan program Jamiatul Qur'an tersebut. Alhamdulillah,
setahun itu, meskipun belum menghafal total seluruh Al-Qur'an, namun
setidaknya saya bisa melanjutkan sendiri sisanya yang tinggal sedikit.
Berkat taufik dari Allah Azza wa Jalla, pelajaran yang saya tinggalkan
selama setahun bisa saya susul dalam 2 pekan. Sehingga tetap bisa
mengikuti ujian akhir. Setelah itu, memanfaatkan liburan musim panas,
saya melanjutkan hafalan, dan berhasil menghafal keseluruhan Al-Qur'an,
pada bulan Ramadhan tahun ini."<br /><br />"Jadi sekarang kamu kelas berapa?"<br />"Saya telah menyelesaikan SMP dan tahun ini kelas pertama saya di Madrasah Rusyd."<br /><br />"Apa itu SMA?"<br />"Iya, bisa dibilang setingkat SMA, tapi bukan SMA, melainkan Hauzah Ilmiyah dibawah bimbingan Ayatullah Mizbah Yazdi."<br /><br />Saya mengangguk. Kubiarkan dia menghela nafas sejenak. Seorang petugas masjid berlalu di belakang kami. <br />"Soal lainnya, apa kedua orangtuamu juga penghafal Al-Qur'an?"<br />"Bukan. Keduanya memang tidak menghafal Al-Qur'an, namun banyak berperan dalam proses penghafalan saya." <br /><br />"Apakah menghafal Al-Qur'an keinginan kamu sendiri, atau saran orang tua?"<br /><br />"Benar-benar
murni keinginan saya sendiri, yang Alhamdulillah kedua orangtua saya
mendukungnya. Sebelum kami sekeluarga ke Qom, di kota kami sering
diselenggarakan musabaqah hafiz Al-Qur'an. Bukan hanya hafiz dari Iran,
namun juga dari beberapa negara lainnya, seperti Tajakistan. Namun saya
ragu dan lupa, apa waktu itu ada hafiz yang berasal dari Indonesia
atau tidak. Yang pasti, saya begitu tertarik melihat para hafiz
tersebut melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an lewat hafalannya tanpa
harus membaca mushaf. Setiap ada penyelenggaraan musabaqah hafiz
Al-Qur'an bisa dipastikan saya selalu menontonnya, dan saya pun
bertekad ingin seperti mereka."<br />"Sampai akhirnya, dalam sebuah
majelis Al-Qur'an pada malam Milad Imam Hasan Mujtaba, saya bertemu
Ayatullah Hadi Syirazi, salah seorang ulama besar yang menjadi imam
Jum'at Syiraz dan wakil Rahbar di Syiraz. Saya menyampaikan keinginan
kuat saya kepada beliau untuk juga bisa menghafal Al-Qur'an. Beliaupun
menyarankan agar saya belajar di Hauzah Ilmiyah Qom dan menghafal
Al-Qur'an di kota tersebut. Tahun itu juga, saya bersama ibu saya untuk
pertama kalinya ke kota Qom, dan bertemu dengan Sayyid Husain
Thabathabai. Beliaupun mengajak saya untuk belajar di Jamiatul Qur'an.
Saat-saat itu benar-benar sangat membahagiakan saya. Tanpa membuang
waktu, tahun itu juga saya ikut program menghafal 30 juz Al-Qur'an
dalam setahun." Lanjutnya.<br /><br />"Terus ayah kamu bagaimana?"<br />"Ayah
saya seorang guru. Karena saya ikut di Jamiatul Qur'an di Qom,
beliapun akhirnya mengurus kepindahan ke Qom, dan akhirnya kami
sekeluarga sekarang menetap di kota ini."<br /><br />"Pekerjaan ibu kamu apa?"<br />"Ibu
saya sebelumnya juga guru, bahkan kepala sekolah di sebuah sekolah
khusus perempuan. Namun beliau memutuskan sepenuhnya menemani saya
selama mengikuti program penghafalan Al-Qur'an. Di rumah beliau selalu
membantu saya dalam pengecekan hafalan."<br /><br />"Jadi sekarang ibu kamu tidak bekerja lagi?"<br />"Iya, beliau sepenuhnya ibu rumah tangga."<br /><br />"Setiap hari libur, apa saja yang kamu kerjakan?"<br />"Saya
tidak bisa memberikan jawaban pasti, sebab aktivitas saya setiap libur
selalu bermacam-macam. Terkadang sekedar mengecek hafalan, atau
mencoba menghafal do'a-do'a ziarah Jamiatul Kabir ataupun saya ikut
kursus kaligrafi dan sebagainya. Yang pastinya, saya selalu berusaha
hari liburpun saya melakukan yang bermanfaat dan positif."<br /><br />"Terus, cara dan metode kamu menghafal Al-Qur'an seperti apa?"<br />"Seperti
tadi, sayapun tidak punya jawaban khusus. Setiap orang punya caranya
masing-masing, ada yang sekali baca bisa langsung hafal, sementara saya
butuh 5-6 kali membacanya baru bisa menghafalnya. Metode yang saya
gunakan dalam program setahun menghafal Al-Qur'an adalah metode klasik,
sebagaimana yang umumnya orang tahu. Membaca berulang-ulang beberapa
baris ayat Al-Qur'an, kemudian menghafalnya, dan baru pindah ke ayat
selanjutnya setelah ayat sebelumnya telah benar-benar dihafal.
Sebenarnya tidak ada yang lebih istimewa atau sesuatu yang baru yang
diajarkan di Jamiatul Qur'an, namun setelah bergabung disana kita lebih
berkosentrasi dan termotivasi untuk menghafal Al-Qur'an karena pengajar
dan teman-teman di sana kesemuanya hafiz Al-Qur'an."<br /><br />"Kalau cara kamu agar hafalanmu tidak hilang?"<br />"Saya
juga tidak punya tekhnik khusus, sekedar rajin-rajin mengulang dan
mengecek hafalan. Kalau di sekolah dan asrama saya mengeceknya lewat
bantuan teman saya, Jahandi. Kalau di rumah, dibantu oleh ayah atau
ibu."<br /><br />Percakapan kami terhenti, beberapa pemuda, tampaknya siswa
sekolah, duduk bergerombol tidak jauh dari kami. Mereka masing-masing
membawa buku di tangan. Sesaat kemudian, mereka sudah asyik
mendiskusikan pelajaran mereka. <br /><br />"Mujtaba…." saya kembali bertanya, "Menurut kamu berbuat baik kepada kedua orangtua itu kewajiban atau bukan?"<br />"Iya kewajiban, banyak ayat dalam Al-Qur'an yang memuat perintah Allah untuk berbuat baik kepada kedua orangtua."<br /><br />"Bisa kamu tunjukkan dalam surah apa saja?"<br />"Misalnya
dalam surah al Isra ayat 23, Allah SWT berfirman, "Dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya." Dengan satu
ayat ini saja telah menunjukkan betapa pentingnya berbuat baik kepada
kedua orangtua. Allah sampai menempatkan perintah berbuat baik di urutan
kedua setelah perintah hanya melakukan penyembahan kepada-Nya."<br /><br />"Bisa kamu tunjukkan surah yang lain, kata kamu tadi banyak?"<br />"Letaknya
saja ya. Kalau tidak salah, perintah untuk berbuat baik kepada kedua
orangtua dalam Al-Qur’an kurang lebih berulang sebanyak 13 kali. Seperti
dalam surah Al-Baqarah ayat 83, 180 dan 215."<br /><br />Setelah berpikir
sejenak, ia melanjutkan, "Juga dalam An-Nisa ayat 36, An Naml ayat 10,
An-Na’am ayat 151, Al Ahkaf ayat 15, awal-awal surah Al Ankabut kalau
tidak salah ayat 8, dalam surah Luqman ayat 14, Ibrahim ayat 41,dalam
surah Nuh ayat 28 dan surah Isra’ ayat 23 dan 24."<br /><br />"Atau saya perlu membacakan bunyinya juga?" tanyanya seketika.<br />"Tidak perlu, itu sudah cukup."<br /><br />"Apa kamu mengetahui tafsirnya juga?", kembali saya yang bertanya.<br />"Belum, setahun kemarin, hanya murni menghafal. Untuk mempelajari tafsirnya butuh belajar 3-5 tahun."<br /><br />"Nanti kamu mau ambil bidang keilmuan apa?"<br />"Sampai
sekarang saya belum memutuskan, sekarang masih belajar
pelajaran-pelajaran dasar ilmu-ilmu hauzah. Nanti insya Allah bakal
ketahuan sendiri bidang keilmuan mana yang saya minati."<br /><br />"Apa kamu tidak berminat menjadi ulama besar kelak, pakar tafsir Al-Qur'an misalnya?"<br />"Bagi
saya tidak penting mau jadi apa kelak, ulamapun bukan sesuatu yang
istimewa, yang terpenting adalah kita berkhidmat kepada masyarakat."<br /><br />Saya takjub mendengar jawabannya. <br /><br />"Selanjutnya
saya bertanya, selain Nabi Muhammad saww, diantara Anbiyah as lainnya,
Nabi mana yang paling kamu kagumi riwayat dan kisah hidupnya."<br />"Menurut saya semua kisah Nabi itu menakjubkan."<br />"Iya, pilih salah satu, setidaknya yang paling berkesan menurutmu."<br />"Nabi Ibrahim as."<br />"Alasannya?"<br />"Ketulusan
dan ketabahan Nabi Ibrahim as benar-benar sangat menakjubkan. Sampai
Allah swt sendiri mengakui dan memberi maqam keimamahan kepada Nabi
Ibrahim as. Bayangkan, putra yang dinanti-nantikannya baru di
dapatkannya di usia yang sedemikian lanjut, namun setelah dididik dan
dibesarkan, Allah malah memerintahkan untuk menyembelihnya. Kalau kita
dalam posisi beliau, apa kita mau melakukannya?"<br /><br />Saya hanya tersenyum. "Dalam surah mana kisah tersebut disebutkan?"<br /><br />"Pada surah As-Saffat, sekitar halaman 449-450, saya lupa ayat keberapa. Salamun 'alaa Ibrahim, salam sejahtera bagi Ibrahim."<br />"Sekarang
saya beralih kepada persoalan politik. Apa kamu tahu, mengapa Iran
begitu membenci Amerika Serikat dan Israel?. Dalam setiap demonstrasi,
masyarakat Iran tidak pernah lupa untuk menyebut, marg bar Amrika, marg
bar Israel (kebinasaan buat Amerika, kebinasan buat Israel), apa
alasannya?"<br /><br />"Oh itu…" ia sedikit tertawa, "Bebinid, misalnya
seperti ini, kamu punya rumah, kemudian ada tamu orang asing yang datang
ke rumahmu. Tetapi ia datang dengan penuh kecongkakan, ia mengatur dan
melarangmu untuk berbicara di rumahmu sendiri. Ia menguasai
barang-barangmu, memintamu untuk menyerahkan ilmu dan apapun yang engkau
ketahui, ia membuang apa-apa yang kamu sukai dari rumahmu dan
memasukkan barang-barang yang tidak kamu sukai, kira-kira apa yang kamu
lakukan?. Bagi orang yang berakal sehat, ia pasti berkata, siapa kamu?
Laknat atasmu? Dan mengusir tamu yang tidak tahu diuntung itu. Seperti
itu pula yang dilakukan warga Iran kepada Amerika Serikat yang sebelum
revolusi telah menginjak-injak martabat dan harga diri masyarakat Iran
dengan penjajahan politik, ekonomi dan budaya. Karenanya, kami begitu
membenci Amerika. Kami membenci pemerintahnya dan sistem kezaliman yang
berlaku di sana yang juga diterapkannya kepada Negara-negara miskin.
Kami tidak membenci masyarakatnya, karena kami tahu diantara mereka juga
ada orang baik, bahkan misalnya di Chicago, di New York banyak
warganya yang muslim."<br /><br />"Kamu banyak tahu juga tentang Amerika?"<br />Ia tersipu, "Iya, sebelum menyukai ataupun membenci sesuatu, kita harus mengenalnya lebih dulu." Katanya berfilsafat.<br /><br />"Kalau Israel?"<br />"Tidak
ada kata-kata yang baik buat Israel. Mereka zalim dan membunuhi rakyat
Palestina yang tidak berdosa. Bahkan Imam Khomeini ra sendiri bilang,
rezim zionis Israel harus terhapus dari peta dunia."<br /><br />"Terus mengenai kebencian kepada orang-orang kafir dan zalim, dalam surah mana Al-Qur'an berbicara tentangnya?"<br />"Diantaranya
surah An-Nisa', halaman 101 ayat 144, bismillah, yaayyuhal lazina
amanu la tattakhidzuul kaafiriina auliyaa a minduunil mu'minin… dan
beberapa ayat lain..ehm…" sambil berfikir.<br /><br />"Tidak usah, sudah cukup." Saya memotong.<br /><br /><br />Keluarga yang Berhijrah demi Ilmu<br /><br /><br />Tanggal
6 Murdad 1375 HS menurut kalender Persia atau 28 Juli 1996, 14 tahun
yang lalu di kota kecil Darab di Provinsi Fars, sekitar 444 mil bagian
selatan Qom ia dilahirkan. Terlahir di tengah keluarga yang mencintai
ilmu dan pendidikan, Mujtaba Karsenash tumbuh menjadi anak yang cerdas
dan gemar membaca. Kedua orangtuanya berprofesi sebagai guru di sekolah
umum, ayahnya bernama Ali Asghar dan ibunya bernama Zahra Bigum. Sejak
kecil, Iapun gemar turut serta dalam majelis-majelis ilmu ataupun
penyelenggaraan perlombaan-perlombaan pendidikan. Perlombaan yang
diminatinya adalah musabaqah Hafiz Al-Qur'an. Ia sampai merasa perlu
bersama keluargany ke kota Shiraz, ibu kota Provinsi Fars, sekitar 189
mil dari kota kelahirannya sekedar untuk menjadi penonton musabaqah
tersebut. Awal masuk sekolah dasar, iapun bertekad untuk bisa menghafal
Al-Qur'an. Iapun mencoba menghafal sedikit demi sedikit dengan caranya
sendiri. Menurut pengakuannya, menghafal tidak hanya butuh semangat
namun juga konsentrasi dan jadwal yang teratur. Sampai ia duduk di kelas
2 SMP, sampai separuh Al-Qur'anpun tidak di hafalnya. Hingga akhirnya,
waktu itu kotanya mendapat kunjungan istimewa dari Wakil Rahbar untuk
Shiraz, Ayatullah Hadi Shirazy. Sebagaimana kebiasaannya mengikuti
majelis-majelis ilmu, iapun bertemu dengan Ayatullah Hadi, dan
menyampaikan keinginannya untuk menjadi hafiz Al-Qur'an. Ayatullah
Hadipun menyarankan buat ia belajar ke kota Qom, sebab Qom lebih
kondusif untuk menjadi pelajar agama, terutama buat menghafal Al-Qur'an.
Beruntung, kedua orangtuanya mendukung ia untuk belajar ke Qom. Bahkan
ayahnyapun berkat bantuan Ayatullah Hadi dapat dengan mudah mengurus
kepindahan tugasnya mengajar ke Qom. Hanya saja, ibu Mujtaba harus rela
meninggalkan pekerjaannya dan tugasnya sebagai kepala sekolah di
sekolah khusus perempuan, sebab memutuskan untuk sepenuhnya menemani
anaknya untuk meraih apa yang diimpikannya sejak kecil. Berkat tekadnya
yang kuat, dukungan dan bantuan sepenuhnya kedua orangtuanya, Mujtaba
dalam setahun sesuai dengan target program yang dia ikuti, berhasil
menghafal keseluruhan ayat Al-Qur'an. Bukan sekedar menghafal, iapun
fasih menyebutkan letak ayat-ayat tersebut dalam Al-Qur'an, nama surah,
nomor ayat dan nomor halamannya. Bahkan menerjemahkan Al-Qur'an yang
berbahasa Arab ke bahasa ibunya, bahasa Persia. <br /><br />"Terus, adik
kamu apa hafiz Qur'an juga?", dalam kertas biografi yang saya minta ia
isi, ia menuliskan, hanya punya seorang saudara, seorang adik
laki-laki.<br />"Sekarang juga ia sedang sibuk menghafal, setahu saya sudah hafal 10 juz."<br /><br />"Usianya berapa tahun? Namanya?"<br />"Namanya Murtadha, umurnya 8 tahun. Sejak tahun lalu, ia juga masuk Jamiatul Qur'an."<br /><br />"Bagaimana hubungan kamu dengannya, apa kamu sering bertengkar?"<br />"Hubungan
kami baik, hanya saja karena di Hauzah Ilmiyah saya harus tinggal di
asrama jadi jarang bermain bersama lagi. Bertengkar pernah, tapi tidak
selalu."<br /><br />"Apa yang kau lakukan jika adikmu melakukan kesalahan, atau curang dalam bermain, apa kamu memukulnya?"<br />"Saya sudah lupa apa pernah memukulnya atau tidak. Tapi meskipun marah, saya berusaha untuk menasehati saja, bukan memukulinya."<br /><br />"Apakah aktivitasmu mengulang-ulang hafalanmu setiap hari, tidak mengganggu pelajaranmu di Hauzah?"<br />"Mengapa
harus saling menganggu? Menurut saya, pelajaran Hauzah adalah
penjabaran dan penguraian dari ayat-ayat Al-Qur'an, sehingga antara saya
mengecek hafalan dengan pelajaran hauzah saling bersinergi. Kita
belajar Sharaf, belajar Nahwu justru memperkuat hafalan, belajar aqidah,
fiqh, mantiq dan sebagainya membuat kita semakin mudah memahami
Al-Qur'an."<br /><br />Saya hanya mengangguk membenarkan.<br /><br />"Sekarang,
jika saya membaca satu ayat, apa kamu bisa memberitahu letaknya
dimana?", tanyaku berikutnya, sambil membuka mushaf sakuku.<br />"Insya Allah…"<br /><br />Setelah membaca ta'awudz, saya baca ayat-ayat suci yang tertulis di mushaf yang berada di genggamanku.<br />"Itu surah al Ahzab ayat 31 halaman 422." Jawabnya mantap. Saya mengangguk membenarkan. "Bisa kamu artikan?"<br />Dengan
bahasa Persia, ia berkata (yang artinya) "Dan barang siapa di antara
kamu (istri-istri Nabi) tetap taat kepada Allah dan RasulNya dan
mengerjakan kebajikan, niscaya Kami berikan pahala kepadanya dua kali
lipat dan Kami sediakan rezeki yang mulia baginya."<br /><br />"Kalau awal halaman 135?"<br />"Surah Al-An'am ayat 60, durust guftam (benar yang saya katakan)?"<br />"Iya, coba kamu baca?"<br /><br />Ia pun melantunkan ayat yang saya maksud dengan bacaan yang fasih dan lancar.<br /><br />"Oh iya Mujtaba, apa yang kamu kenal dengan Indonesia?" tanyaku sambil menutup mushaf.<br />"Sayang
sekali saya tidak begitu banyak tahu, kecuali Indonesia itu ibukotanya
Jakarta, dan Negara dengan penduduk muslim terbesar."<br />Saya cuman tersenyum. "Kalau Malaysia?"<br />"Saya
prihatin dengan yang terjadi baru-baru di Malaysia. Mengapa Syiah
harus dimusuhi dan dibenci?." Ternyata Mujtaba juga tahu, umat Syiah
Malaysia yang mengadakan majelis duka Asyura pada 10 Muharram lalu
digerebek dan dibubarkan secara sepihak. Media-media Malaysia secara
besar-besaran menurunkan berita mengenai peristiwa tersebut sambil
menyudutkan Syiah sebagai ajaran sesat dan dinyatakan sebagai aliran di
luar Islam. "Perlu saudara-saudara Ahlus Sunnah mengetahui, bahwa kita
bersaudara dalam iman, Al-Qur'an yang saya hafal dan baca adalah
Al-Qur'an yang sama."<br /><br />Bacaan ta'awudz dengan pembesar suara
terdengar seketika ke seantero masjid, dilanjutkan dengan lantunan
ayat-ayat suci Al-Qur'an. Saya lirik jam besar di dinding tengah
masjid, jarum jam telah mendekati angka 11. Memang tidak lama lagi,
waktu shalat Jum'at akan dimulai. Saya merasa sudah cukup, saatnya
mengakhiri wawancara.<br /><br />"Pertanyaan terakhir, Mujtaba apa pesanmu buat teman-teman di Indonesia?"<br /><br />"Yang
saya tahu Indonesia negara multi etnis, agama yang dipeluk penduduknya
beragam, karenanya pesan saya jagalah persatuan yang ada, khususnya
sesama umat Islam. Harus kita terima, sulit menyatukan mazhab-mazhab
yang ada dalam Islam. Karena itu kebutuhan kita saat ini bukan
penyatuan, melainkan persatuan. Kelemahan bukan karena kita berbeda,
tetapi merasa benar sendiri dan tidak menerima yang lainlah yang
melemahkan. Tidak perlu lagi ada dikotomi Sunni dan Syiah, kesemuanya
bersaudara, sama-sama umat Islam, Al-Qur'an kita satu. Anda sendiri
melihatnya, di negeri ini, saya hanyalah salah seorang diantara ribuan
hafiz yang ada. Apa yang kami hafal, baca dan kaji sama dengan Al-Qur'an
yang dicetak di Negara anda. Anda juga tengah berada di dalam masjid
yang sebentar lagi dipenuhi orang-orang untuk shalat Jum'at berjamaah,
yang pada hari yang sama juga dilakukan oleh umat Islam di negeri anda."<br />Saya
hanya mengangguk membenarkan. Saya tiba-tiba merasa kecil di
hadapannya. Kalau bukan berhadapan langsung, sulit dipercaya, kata-kata
yang bijak dan sangat dewasa ini keluar dari mulut seorang pemuda 14
tahun. Tampak ia masih mau melanjutkan pesannya, tapi alat perekam telah
saya matikan. "Tak apa ya, jika saya potret?" HPku beralih fungsi
menjadi kamera.<br />"Iya, tapi jangan sampai ketahuan."<br /><br />Dengan
hati-hati saya memotretnya. Hanya tiga kali pengambilan gambar. Saya
khawatir jika petugas sampai harus menyita HP karena tidak mematuhi
aturan mereka. <br /><br />"Mujtaba, saya benar-benar berterimakasih atas waktu yang kamu luangkan untuk wawancara ini."<br />"Iya, sama-sama." Kujabat erat tangannya. <br />Kubenahi tasku. "Apa anda tidak ingin bersama duduk di shaff depan?" tanyanya.<br />"Oh,
maaf, saya harus keluar dulu, masih ada waktu sejam. Saya ingin
membeli sesuatu. Saya khawatir tokonya tutup sehabis Jum'atan." Ia
mengangguk maklum.<br /><br />Kujabat erat tangannya untuk kedua kalinya. Sekali lagi kuucapkan terimakasih. <br /><br />Kutinggalkan
masjid yang telah hampir dipenuhi jama'ah. Pesannya tadi masih juga
terngiang, pasti ia mengucapkan pesan itu karena pengaruh pertanyaanku
sebelumnya mengenai Malaysia. Iya, di era informasi yang seakan dunia
bisa dilipat-lipat ini, sangat mengherankan, masih juga ada yang
berkeyakinan bahwa Iran dengan warganya yang mayoritas Syiah mempunyai
Al-Qur'an yang berbeda, bahwa mereka tidak menunaikan shalat Jum'at dan
propaganda-propaganda negatif lainnya. Dari menara masjid yang
menjulang tinggi, masih terdengar lantunan ayat suci yang menggetarkan,
"Afalam yasiiruu fil ardi fatakuna lahum quluubun ya'qiluna bihaa…Maka
tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati mereka dapat
memahami…." (Qs. Al-Hajj: 46)<br /><br />********** <br /><br />Wawancara ini
setelah mengalami pengeditan seperlunya dimuat dalam buku
"Bintang-bintang Penerus Doktor Cilik" terbitan Pustaka Iiman termasuk
wawancara dengan Muhammad Husein Tabatabai (Doktor Cilik) setelah
berusia 20 tahun dan dua hafiz cilik Iran lainnya. <br /></span></span></span><span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Oleh: Ismail Amin*</span></span></span><br /><span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /> *Mahasiswa Program Studi Ulumul Qur'an, Mostafa Internationa University Republik Islam Iran</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">www.abna.ir</span></span></span><br />
<a href="http://muslimunity.net/index.php?option=com_content&view=article&id=133:sunni-syiah-itu-bersaudara-al-qurannya-satu-wawancara-dengan-hafiz-cilik-iran&catid=38:artikel&Itemid=67"><span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">http://muslimunity.net/index.php?option=com_content&view=article&id=133:sunni-syiah-itu-bersaudara-al-qurannya-satu-wawancara-dengan-hafiz-cilik-iran&catid=38:artikel&Itemid=67</span></span></span></a><br />Muhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5484169373233948978.post-35716519785129391372012-05-15T17:12:00.000+07:002012-05-15T17:12:03.260+07:00Syeikh al-Ghazali, Penyeru Persatuan Umat<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">"Al-Ghazali
berkeyakinan bahwa persatuan umat Islam secara pemikiran, akidah, dan
eksistensi adalah dinding yang kokoh, dengan demikian tidaklah
seharusnya perselisihan dalam masalah furu dan parsial menjadi sebab
rusaknya apa yang dibangun hal-hal yang substansial." </span></span></span>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Saya
rasa tidaklah keliru jika saya katakan: Sesungguhnya struktur
pemikiran Syeikh Muhammad al-Ghazali terbentuk dalam satu dimensi saja,
tidak ada yang lain! Dan dimensi ini adalah karakter seorang dai
muslim yang penuh dedikasi.
Dalam level pembinaan diri, kepribadiannya merupakan integrasi dari
kerangka dakwah islamiyah dengan metode perubahan yang mencerahkan. </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Dalam
level struktur sosial, gerakannya terdistribusi melalui titik
pengetahuan mutlakakan kehidupan sosial kemasyarakatan dan mendekati
problematikanya dengan pemahaman realitas secara mendalam dan menjauhi
pendekatan asing, sehingga tampak jalan yang menyimpang untuk kemudian
terkoreksi, berubah dan terbangun.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Dan
dengan segala keterusterangan, saya katakan, sesungguhnya Syeikh
Muhammad al-Ghazali menghancurkan dan membangun dengan memanfaatkan
unsur yang banyak ditinggalkan sebagian besar orang dalam pergerakannya,
yaitu unsur zaman. Zaman yang akan banyak memberikan hal positif bagi
gerakan ummat jika bisa berinteraksi positif dengannya, akan tetapi,
bisa juga berubah menjadi puncak keburukan jika ummat memperlakukannya
dengan buruk, tidak memhaminya dan tidak tahu bagaimana mengambil
manfaat darinya. Ia menjadikan zaman sebagai unsur permanen dalam dua
piring timbangan proses perubahan, dan karena al-Ghazali adalah seorang
agamawan, budayawan, politikus, dan tokoh pergerakan, terlihat jelas
bahwa misinya yang pertama adalah meruntuhkan kenyataan buruk, dimana
umat Islam tenggelam di dalamnya, dengan jelas ia berkata, “Sesungguhnya
umat sekarang tengah menghancurkan dirinya sendiri.”<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn1">[1]</a>
Pengamatan yang dalam akan dinamika budaya umat ini menjadikannya dalam
kelompok “perusak” yaitu orang-orang yang merusak umat dan memutus
mereka dari tidur indahnya.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Karena
itu, ketika ia menjadi pejabat di kementrian Wakaf Mesir, kita melihat
al-Ghazali tidak ragu untuk membuka masjid-masjid dan panti-panti
untuk para pejuang kemerdekaan Aljazair yang terusir dan lari dari
penangkapan pemerintah Perancis<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn2">[2]</a>, hingga gemuruh takbir kembali membahana dari masjid-masjid yang tadinya tertutup.<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn3">[3]</a></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Ketika
al-Ghazali mencoba melabelkan titik lemah dan kekalahan yang menjalar
dalam tubuh umat, ia menegaskan kepada generasinya, bahwa semua orang
memang tengah bergerak, akan tetapi, mereka seolah jalan di tempat.
Atau, mereka bergerak berjalan, namun menuju jalan buntu. Atau, mereka
bergerak, akan tetapi secara membabi buta tanpa arah sama sekali, seolah
antara mereka dengan <em>shirat al-mustaqim</em> terdapat permusuhan
dan pertentangan! Al-Ghazali tidak hanya mengutuk realitas sebagai
sebuah percobaan yang gagal dari sekian banyak percobaan umat, akan
tetapi ia memperluas kritikannya pada sistem budaya dan konsep-konsep
pemikiran yang ia lihat membutuhkan purifikasi secara menyeluruh di
tangan da’i-da’i yang anti taklid.<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn4">[4]</a></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Untuk
lebih memahami dan mendalami dunia al-Ghazali yang demikian luas dan
bercabang, maka kita harus mulai masuk kedalamnya melalui tiga pintu:</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><strong>Pintu pertama: al-Ghazali dan Umat</strong></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Syeikh
Muhammad al-Ghazali berkeyakinan bahwa umat haruslah mencerminkan
nilai-nilai ajaran Islam, tujuan universalnya dan proyek peradabannya,
dengan menjadi contoh hidup al-Qur`an dan ajaran Sunnah. Salah satu misi
al-Qur`an adalah menciptakan dan merubah akal kanak-kanak menjadi akal
dewasa yang matang<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn5">[5]</a>,
meskipun misi ini sangat sulit, akan tetapi bisa dicapai bergantung
pada kecakapan da'i dalam mengeksplorasi karakteristik umat dan
menanamkan pengaruhnya, menjauhkan diri dari fatwa-fatwa mentah, bid’ah
yang diada-adakan, dan khurafat yang disakralkan. Al-Ghazali juga
menuntut secara jelas untuk meminimalisir perselisihan ahli fikih dan
pendapat-pendapat yang mengambang<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn6">[6]</a> yang tidak akan membuahkan sesuatu kecuali merusak persatuan dan memecahkan tali kerukunan umat.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Al-Ghazali
tidak hendak menjadikan manusia dalam bentuk malaikat, ia justeru
menghendaki terwujudnya kemanusiaan manusia melalui keseimbangan antara
dunia dan akhirat, antara ketekunan berbuat untuk kehidupan hariannya,
yang menjadi sebab bertahan hidup, dengan kecakapan untuk mewujudkan
hikmah diciptakannya manusia dan ketenangan dalam menghadapi masa
depannya di kehidupan akhirat.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Al-Ghazali
juga berpendapat bahwa sistem aturan umat tidak boleh terbentuk
kecuali melalui proses musyawarah, tidak ada peran otokrasi dan
individualisme di dalamnya, ia berpendapat bahwa Islam dan otokrasi
adalah dua hal yang tidak bisa disatukan.<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn7">[7]</a></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Ia melihat bahwa nilai umat beragama tidak tercermin dalam hubungan “<em>imajinatif</em>”
hamba dengan Allah, akan tetapi tercermin dalam penolakan terhadap
kezaliman, apapun bentuknya, menganggap rendah segala kehinaan serta
menekan naluri ingin berkuasa dan menindas kaum lemah. Nilai-nilai
langit bukanlah sekedar “syiar” yang membingkai motivasi ummat, akan
tetapi pola hubungan nyata dengan segala yang bersifat baik dan
membangun. Sesungguhnya nilai-nilai Islam adalah penggerak dari luar
yang meleburkan kebekuan intuisi, sehingga umat bisa melihat apa yang
tidak dilihat orang lain dan bergerak dalam kafilah kaum lemah menuju
jalan Allah Swt. Karena itulah al-Ghazali berupaya keras untuk
menerbitkan catatannya dengan ungkapan “<em>fi sabilillah wa al-mustadh’afin</em>”</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Untuk
mengembalikan identitas dan eksistensi umat, Syeikh Muhammad
al-Ghazali menegaskan bahwa umat membutuhkan adanya sebuah metode yang
bisa menghubungkan masa kini dengan masa lalu.<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn8">[8]</a>
Al-Ghazali kemudian meringkas pendapatnya mengenai metode ini dengan
mendirikan kommunitas berbasis dua konsep; pertama profesionalisme dan
kedua komunikasi yang menjamin perbedaan mazhab bagi umat tanpa
mensakralkan ikhtilaf dan perpecahan.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Al-Ghazali
mengisyaratkan bahwa titik terlemah dari entitas umat Islam yang rapuh
adalah pemerintahan, ini adalah celah yang selalu dijadikan jalan
masuk oleh musuh-musuh Islam. Ia juga mengutuk ulama-ulama yang
fatwanya berubah tumpul ketika menghadapi para penguasa, orang-orang
yang mendukung kekuasaan tanpa memiliki kredibilitas syariah atau
obyektifitas, mereka tidak lagi mengindahkan nilai-nilai dan prinsip.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Demikianlah
al-Ghazali terus berjuang melalui enam ketetapan dan lebih dari 60
buku yang berbicara mengenai problematika pemikiran Islam dengan
seluruh aspeknya. Ia terus bertanya, “siapakah yang harusnya
bertanggung jawab atas apa yang tengah menimpa umat? Anak-anaknya
(mereka sendiri)? Ataukah musuh-musuhnya?</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><strong>Pintu Kedua: Al-Ghazali dan Manhaj</strong></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Dalam
setiap fase pemikirannya, al-Ghazali tidak pernah menjauhi persamaan
(wahyu-realitas), ini adalah cara pandang yang integral dalam membaca
wahyu dan realita, atau katakanlah: membaca al-Qur`an dan membaca wujud
dengan semua dimensinya. Ia menafsirkan berbagai fenomena wujud dengan
instrumen wahyu (<em>ketahuilah, bahwa bagi-Nya penciptaan dan perintah</em>)
dan al-Ghazali tidak melihat adanya suatu pemisah antara Kitab Khaliq
dan Kitab makhluq. Hasilnya, ia menetapkan bahwa hubungan alam semesta
dengan Islam adalah hubungan yang sama antara ilmu dengan agama, yaitu
hubungan antara teori dan praktek.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Al-Ghazali mengungkapkan wujud sebagai “<em>al-ayat ash-shamithah</em> (ayat yang diam)” sementara al-Qur`an adalah “<em>al-ayat an-nathiqah</em> (ayat yang berbicara)”.<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn9">[9]</a>
Dzat yang menciptakan kehidupan, yang diselimuti berbagai rahasia ini,
tidak ingin membuatnya terkesan misterius dan sulit dipahami manusia,
karena itu, ia menciptakan agama sebagai kunci untuk membuka rahasia,
lalu Dia menjadikan al-Qur`an sebagai sumber agama. Sesungguhnya,
kesesuaian antara hakikat al-Qur`an dengan pengetahuan alam semesta
adalah sesuatu yang niscaya pada awalnya, karena Dzat yang menurunkan
al-Qur`an adalah Dzat yang menggerakkan alam semesta.<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn10">[10]</a></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Al-Ghazali
berkeyakinan bahwa ketertutupan dan kemunduran dalam membaca teks
al-Qur`an sebagai sebuah sumber legalitas hukum –dengan membacanya
secara parisal- adalah bahaya yang sangat besar, al-Qur`an harus dibaca
secara konfrehensif mencakup semua dimensinya, mengaitkan semua
hubungan yang menyimpan kesatuan pandangan dalam cara memahami alam
semesta dan kehidupan. Dari sinilah ia menyerukan untuk menjajaki <em>tafsir mau’dhu’i</em> (tematis), melampaui tafsir <em>maudhi’i</em> (analitis) yang secara historis telah berkembang.<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn11">[11]</a></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Al-Ghazali
melihat bahwa menterjemahkan al-Qur`an kedalam realita objektif tidak
akan berhasil kecuali dengan memahami hukum-hukum alam dalam
masyarakat, seperti hukum bergantinya peradaban (<em>dan itulah hari-hari dimana Kami memutarkannya</em>), sunah pembelaan (<em>seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini</em>) sunah <em>taskhir</em> atau penundukkan (<em>dan Dia telah menundukkan bagi kalian...</em>) sunah pertolongan (<em>jika kalian menolong Allah, maka Dia akan menolong kalian</em>) dan sunah perubahan (<em>Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sehingga mereka merubah dirinya sendiri</em>).</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Sesungguhnya
kesadaran akan sunah alam dan mengakomodasi data-datanya akan
memberikan dorongan kepada manusia untuk mempelajari sejarah kekalahan
dan kemenangan, kemajuan dan kemunduran, mendorong akal semakin kreatif,
jauh dari tawakul (ketergantungan), kebekuan dan pentakwilan yang
tidak efektif. Sesungguhnya pemahaman akan sunnatullah akan merubah
pemahaman menjadi pemikiran, dari pemikiran kemudian menjadi kekuatan
gerakan dan dari gerakan menuju kemenangan.<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn12">[12]</a></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Al-Ghazali
menegaskan pentingnya ikatan antara budaya dan politik agar kesadaran
budaya tidak hanya terbang di alam imajinasi. Karena kesadaran politik
lebih dekat dengan realita yang bisa mewujudkan kemaslahatan ummat. Ia
juga berpendapat, bahwa krisis pemikiran yang kini terjadi, diawali
degan berakhirnya khilafah rasyidah, ketika ilmu dipisahkan dari
pemerintahan dan jabatan pemerintahan dipegang oleh penguasa. Ketika
itu, kosa kata kebudayaan Islam hanya tergenggam erat di tangan para
ulama sehingga mengakibatkan kebekuan fikih siyasah dan perundangan.
Khazanah klasik ini kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya dalam
keadaan tidak berdaya untuk menjawab tantangan zaman, akibatnya,
westernisasi dan perampokan pemikiran menjadi salah satu respon untuk
menggantikannya.<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn13">[13]</a></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Al-Ghazali
menggunakan begitu banyak metode, mulai dari yang sederhana hingga
yang paling kompleks untuk mengakarkan pergerakan umat dan
kebangkitannya, menyingkap kemurnian dasar-dasar akidah Islam. Ia juga
menganalisa dengan cermat pergerakan sejarah untuk meneliti titik lemah
yang diwarisi generasi sekarang dari generasi sebelumnya, ia berkata,
“Sesungguhnya kekacauan dalam tataran budaya dan politik umat kita
bukanlah tanggung jawab satu generasi saja. Kita, kaum muslimin yang
hidup sekarang, tidak hanya menderita karena keadaan Islam sekarang,
akan tetapi karena perbuatan manusia terdahulu dan kita memetik apa yang
mereka tanam.<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn14">[14]</a>
Berdasarkan hal itu, ia memahami kronologi sejarah bukan sekedar
mencatat berbagai kemenangan atau kekalahan dalam peperangan, akan
tetapi autentikasi dalam level akidah dan etika serta kemampuan
menterjemahkan nilai ke dalam realita kehidupan.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><strong>Pintu Ketiga: al-Ghazali dan Verifikasi</strong></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Berdasarkan
realitas yang terjadi, al-Ghazali menegaskan bahwa celah yang lebar
antara umat dengan Islam menimbulkan kekacauan yang merebak menguasai
segala sesuatu. Islam yang haq hampir saja tidak lagi terlihat jelas di
antara membanjirnya ajaran warisan yang remeh dan gulungan formalitas.
Sungguh sebuah pengakuan yang sangat mengerikan dan menjadikan
tanggungjawab yang dipikul para reformis demikian besar, menegaskan
peran mereka dalam proses memberikan sumbangsih, baik sekarang maupun
yang akan datang. Dan pada saat kaum fakir letih mencari kebenaran,
mereka tidak menemukan kecuali budaya palsu, atau, ummat yang kebanyakan
tidak mengetahui agamanya dan mungkin merasa cukup dengan apa yang
mereka warisi sesuai takdir –ini adalah kata-kata al-Ghazali sendiri!</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Langkah
pertama untuk meluruskan hal itu, seperti yang diyakini al-Ghazali,
adalah menjadikan fikih sebagai instrumen syariah dan aturannya menjadi
sedemikian real –tidak bertentangan dengan al-Qur`an dan Sunnah yang
sahih. Seraya menegaskan bahwa sunnah yang sahih tidak hanya hadis-hadis
yang shahih secara sanad saja, akan tetapi sahih matannya dan menyatu
dengan hakikat ajaran Islam lainnya yang telah ditetapkan secara
permanen dalam agama. Karena, sesungguhnya salaf, kata al-Ghazali,
sangat memperhatikan sanad, mereka mengunci dirinya untuk mempelajari
perawinya akan tetapi tidak memperhatikan matan. Dan ini adalah keliru,
karena perhatian terhadap sanad bukanlah tujuan aslinya, akan tetapi
tujuan aslinya adalah untuk menilai matan.<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn15">[15]</a>
Dengan demikian, al-Ghazali mendekati mazhab ahlul bait yang
berpendapat pentingnya mengkonfrontasi hadits dengan al-Qur`an dan
Sunnah agar diketahui sahih dan cacatnya.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Sekali
lagi, al-Ghazali menegaskan kegigihnnya akan sunnah yang sahih dan
kuat hujjahnya, ia juga menegaskan hubungan keterkaitan antara
al-Qur`an dengan Sunnah, ia menyerukan utuk memahami Sunnah dalam
cahaya pemahaman al-Qur`an. Al-Ghazali menolak pengambilan hadits ahad
sebagai landasan untuk menetapkan masalah akidah bagi kaum muslimin,
meskipun hadits itu sahih, karena hadits ahad tidak menimbulkan
pengetahuan yang yakin. Selain itu, al-Ghazali juga menyerukan agar
kaum muslimin tidak memahmi Sunnah secara parsial, akan tetapi, ia
menyerukan agar memahami berbagai riwayat yang datang dalam satu tema,
seraya mampu membedakan media dan tujuan dalam Sunnah.<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn16">[16]</a></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Metode
verifikasi dalam interaksi dengan sunnah ini mendorongnya untuk
menolak banyak hadits yang dihukumi sahih oleh ahli sanad dan tetap
hukumnya, seperti hadits Ummul Mukminin Aisyah ra, “<em>jika wanita
tengah haid maka tidak halal baginya untuk memperlihatkan (kepada
mahramnya), kecuali wajahnya dan apa yang ada di bawah pergelangan
tangan</em>.” Al-Ghazali berkata: hadits ini menyelisihi teks yang
jelas dalam al-Qur`an yang membolehkan wanita memperlihatkan
perhiasannya di hadapan anak saudara laki-laki atau saudara
perempuannya. Ia juga berkata: hadits ini batil, dihukumi dengan batil
karena menyelisihi, dengan demikian tidak diperlukan lagi pembahasan
kesahihan dari segi sanadnya.<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn17">[17]</a>, <a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn18">[18]</a></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Al-Ghazali melihat bahwa fikih Islam sangat memerlukan fikih dakwah<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn19">[19]</a>,
maksudnya, hukum tidaklah diambil kecuali dalam rangka menyebarkan
Islam dan menerapkan konsep pemikiran dan kebijakannya dalam negara,
janganlah sebagian fatwa yang dikeluarkan secara parsial membuat Islam
sulit diterima sebagai agama dan aturan kehidupan. Sungguh al-Ghazali
merasa takjub dengan perselisihan sengit antara ahli fikih kaum muslimin
yang memperdebatkan masalah minum dengan berdiri atau duduk,
memendekkan pakaian, memelihara janggut dan hal-hal sejenisnya.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Al-Ghazali
berkeyakinan bahwa persatuan umat Islam secara pemikiran, akidah, dan
eksistensi adalah dinding yang kokoh, dengan demikian tidaklah
seharusnya perselisihan dalam masalah furu dan parsial menjadi sebab
rusaknya apa yang dibangun hal-hal yang substansial.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Dengan demikian. Al-Ghazali bisa dikatakan sebagai <em>da’i taqribi</em>
yang tidak mengakui adanya dikotomi, seperti yang disebutkan beberapa
fatwa. Ia juga tidak tunduk pada kompleksitas yang sengaja diciptakan
sebagian orang untuk menghalangi persatuan kaum muslimin, dari mazhab
apapun dan dari golongan manapun ia.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Al-Ghazali
tidak memusingkan frame akidah Thahawiyah, selama pemahamannya
terhadap koridor ini berada dalam lapangan dakwah kepada Islam. Ia juga
tidak memperdulikan takwil Abu Hasan al-Asy’ari selama takwil ini
berpegang pada pemahaman al-Qur`an secara umum. Ia tidak ingin
“menghidupkan permusuhan Islam klasik” sehingga dari reruntuhannya
tercipta masalah dan problematika baru.<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn20">[20]</a></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Al-Ghazali,
dengan sistem berpikirnya, menolak semua bentuk fanatisme terhadap
madzhab tertentu, ia juga menolak pemaksaan manusia agar mengikuti satu
ijtihad saja, seolah-olah ijtihad itu adalah Islam itu sendiri. Ia
melihat, berpecahnya manusia menjadi kelompok-kelompok di bawah panji
mazhab membuat mereka seolah mengikuti syariat yang bermacam-macam,
bukan lagi putera dari agama yang satu, sebagai akibat dari fanatisme<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn21">[21]</a>.
Sesungguhnya pemahaman al-Ghazali dan teori dakwahnya berdiri di atas
penghormatan atas semua mazhab fikih, baik yang diikuti maupun yang
tidak, akan tetapi tanpa harus fanatik terhadap salah satu mazhab saja.
Ia juga sangat menghormati dua madrasah fikih, madrasah atsar dan
madrasah ra`yi.<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn22">[22]</a>
Ia tidak condong kepada salah satunya kecuali sekedarnya saja, dalam
hal yang berkaitan dengan realitas kaum muslimin, sehingga bisa mengusir
kesewenang-wenangan, mencegah kezaliman atau menjelaskan
perkara-perkara syubhat.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Al-Ghazali
menyesalkan mayoritas kaum muslimin atas keterjebakan mereka dalam
fanatisme mazhab dan keterbatasan mereka terhadap ijtihad imam-imam
mazhab yang empat dan tidak mengambil imam-imam yang lain yang juga
memiliki kedudukan yang tinggi, seperti Imam Shadiq, Imam Zaid bin Ali,
Abu Ja’far ath-Thabari, al-Auza’i dan selainnya.<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn23">[23]</a></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Ia
juga menegaskan bahwa tidak ada perbedaan antara syiah dengan ahli
sunnah dalam masalah ushul, perbedaan di antara keduanya hanya dalam
masalah furu’ fikih seperti pebedaan di antara empat madzhab.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Salah
satu makalahnya yang terkenal berbunyi: Sesungguhnya mushaf yang sama
dicetak di Kairo, lalu mushaf itu disakralkan kaum Syiah di Najaf atau
di Teheran, mereka kemudian menggulirkan mushaf itu di tangan-tangan
mereka dan di rumah-rumah mereka tanpa ada suatu tujuan khusus apapun di
hati mereka, kecuali menghormati Kitab, Dzat yang menurunkannya dan
rasul yang menyampaikannya.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Kemudian
ia berkata kepada orang yang menuduh Syiah memiliki al-Qur`an lain,
selain al-Qur`an ini, “Mengapa tidak ada satupun, baik manusia atau jin,
yang memeriksa al-Qur`an ini sepanjang zaman ini? Mengapa harus ada
kebohongan ini?!</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Dan
bagi orang yang mengada-ada kedustaan dan menyebarkannya di antara
sesama saudara agar mereka berburuk sangka terhadap saudara yang lain,
dan terkadang mereka berburuk sangka kepada kitab mereka??!”<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn24">[24]</a></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Ia
berkata, "Sebenarnya, disana ada manusia-manusia yang sibuk melakukan
dakwah Islamiyah, sementara dalam hatinya masih menyimpan rasa dengki
kepada hamba-hamba Allah, masih memiliki kehendak untuk mengkafirkannya
atau mengorbarkan keburukan. Sebuah rasa dengki yang tidak tumbuh
kecuali dalam hati manusia sombong dan haus darah, meskipun mereka
mengira bahwa dirinya adalah kaum agamawan.<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn25">"[25]</a></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Inilah
ketiga jalan masuk, kami bukakan untuk kita renungkan sumbangsih yang
luar biasa dari dai ini, seorang dai yang meyakini bahwa dakwah
islamiyah adalah kompas yang menunjukkan benar dan salah dalam sejumlah
pemikiran, konsep, metode, akidah bahkan hukum!</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Dai
yang berpendapat bahwa masalah dunia Islam sangat sulit dipecahkan,
dan hendaklah setiap muslim memahami bahwa ini adalah suatu hal yang
serius bukan main-main! Membiarkan kekacauan ini terjadi adalah jalan
menuju kekufuran...jika bukan kekufuran itu sendiri!<a href="http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1005:syeikh-muhammad-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat&catid=46:pishvayan-e-taghrib&Itemid=147#_edn26">[26]</a></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Segala puji bagi Allah, di awal dan akhir.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><strong>Biografi singkat al-Ghazali</strong><br /><br />· Muhammad al-Ghazali dilahirkan pada tahun 1917 M<br /><br />· Masuk sekolah Dasar dan menghafal al-Qur`an sejak dini sebagai persiapan masuk Al-Azhar<br /><br />· Lulus dari Ma’had Iskandariah tahun 1938 M<br /><br />· Masuk fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar dan lulus tahun 1941 M.<br /><br />·Melanjutkan pendidikan magister hingga mendapatkan ijasah dalam Dakwah wal Irsyad<br /><br />· Mendapatkan ijasah mengajar internasional 1943 M.<br /><br />· Terpilih menjadi imam dan khatib di masjid Atabah al-Khadira Kairo, tahun 1943 M.<br /><br />· Menjabat sebagai wakil mentri agama<br /><br />· Menulis lwbih dari 60 buku dalam bidang pemikiran Islam dan dakwah<br /><br />· Menjadi pembimbing berbagai penulisan tesis dan disertasi<br /><br />· Merancang metode pengembangan pendidikan al-Azhar<br /><br />· Mendapatkan Bintang Republik dari Mesir<br /><br />· Mendapatkan bintang jasa Raja Faishal dalam bidang pelayanan Islam<br /><br />· Menjadi tamu negara kehormatan di Kerajaan Saudi, Qatar dan Sudan<br /><br />· Menjabat sebagai profesor di Universitas Aljazair tahun 1989-1984 M.<br /><br />· Mendapatkan medali kehormatan tertinggi di Mauritania<br /><br />· Mendapatkan medali kehormatan tertinggi di Aljazair<br /><br />· Pada tahun 1990, mendapatkan penghargaan nasional dari pakistan sebagai penghargaan atas jasanya dalam dakwah.<br /><br />· Pada tahun 1996, dianugerahi bintang pertama Malaysia<br /><br />· Bukunya diterjemahkan kedalam berbagai bahasa<br /><br />·
Guru-gurunya: Syeikh Abdul ‘Azhiem az-Zarqani, Syeikh Ibrahim
al-Gharbawi, Syeikh Abdul Aziz Bilal, Syeikh Muhammad Syaltut, Imam
Hassan al-Banna dan al-‘Anani.<br /><br />· Al-Ghazali sangat berperan dalam
pembebasan para tawanan Mesir di Iran, ia juga pergi ke Bosnia dan
Herzegovina untuk bergabung dengan kaum muslimin disana.<br /><br />·
Al-Ghazali adalah seorang yang disiplin, ramah, merakyat, rendah hati
dan berpikir jernih. Ia adalah seorang sastrawan, mujtahid, da'i dan
berfitrah lurus. Ia memberikan sumbangsih yang angat berharga bagi
khazanah perpustakaan islam dengan buku-buknya, di antaranya:<br /></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Al-Islâm wa al-Mânâhij al-Isytirâkiyyah<br /><br /> Al-Islâm wa al-Istibdâd as-Siyâsi</span> <span style="color: black;"><br /><br /> Al-Islâm al-Muftarâ ‘Alaih Min asy-Syuyu’iyyin wa Ra`sumaliyyîn</span> <span style="color: black;"><br /><br /> Min Hunâ Na’lam</span> <span style="color: black;"><br /><br /> Taammulât fi ad-Dîn wa al-Hayât</span> <span style="color: black;"><br /><br /> ‘Aqîdah al-Muslim</span> <span style="color: black;"><br /><br /> Khulq al-Muslim</span> <span style="color: black;"><br /><br /> Fiqh as-Sirah</span> <span style="color: black;"><br /><br /> Fi Maukab ad-Da’wah</span> <span style="color: black;"><br /><br /> Laisa Min al-Islâm</span> <span style="color: black;"><br /><br /> Min Ma’âlim al-Haq</span> <span style="color: black;"><br /><br /> Al-Isti’mâr wa Athmâ`</span> <span style="color: black;"><br /><br /> Nazharât fi al-Qur`an al-Karîm</span> <span style="color: black;"><br /><br /> Ma’a Allâh; Dirâsât fi ad-Da’wah wa ad-Du’ât</span> <span style="color: black;"><br /><br /> Ma’rakah al-Mushaf</span> <span style="color: black;"><br /><br /> Al-Islâm wa Ath-Thâqât al-Mu’âththalah</span> <span style="color: black;"><br /><br /> Haqîqah al-Qaumiyyah al’Arabiyyah, Wa Usthûrah al-Ba’ts al-‘Arabi</span> <span style="color: black;"><br /><br /> Al-Jânib al-‘Athifi fi al-Islâm</span> <span style="color: black;"><br /><br /> Al-Haqq al-Murr (5 jilid)</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br />Syeikh
Muhammad al-Ghazali wafat pada tanggal 19 Syawwal 1416 H bertepatan
dengan 9 Maret 1996 M, semoga keselamatan mengirinya pada hari ia
dilahirkan, hari ia meninggal dan hari ketika ia dibangkitkan kembali.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Oleh: Jawad Jamal</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Peneliti dari Irak</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></span></div>
<hr size="1" style="text-align: justify;" width="33%" />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> [1] Humûm ad-Da’iyah, 1403, al-Ghazali, Muqaddimah </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">[2] As-Sunnah Nabawiyyah Baina Ahli al-Fiqh wa Ahl al-Hadits, Dar Shuruq, 1989, hlm. 7</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">[3] Al-Ghazali fi Aljazair, Maulud Umair, al-Ma’had al-Uruby - Paris</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">[4] Humûm ad-Da’iyah, hlm.10</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">[5] Nazharât fi al-Qur`an, hlm. 23</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">[6] Al-Athâ` al-Fikri li al-Ghazali, Dr. Ishaq Farhan, hlm. 23</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">[7] Ibrahim Syabuh, hlm. 14, al-Islâm wa al-Istibdâd as-Siyasi, al-Ghazali, Muqaddimah.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">[8] Humûm ad-Da’iyah, hlm. 22</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">[9] Nazharât fi al-Qur`an, hlm. 12</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">[10] Nazharât fi al-Qur`an, hlm. 13</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">[11] Al-Ghazali wa Ru`yatuh al-Manhajiyyah, Ali Jum’ah, Profesor Ushul Fikih Universitas al-Azhar.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">[12] Sirru Taakhkhur al-‘Arab wa al-Muslimin, al-Ghazali, 1987, Sunan Allah al-Kauniyyah</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">[13] Al-Athâ` al-Fikri li al-Ghazali, Makalah Dr. Ahmad al-Ashbahi, hlm. 44</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">[14] Sirru Taakhkhur al-‘Arab wa al-Muslimin, al-Ghazali, 1987.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">[15] Laisa Min al-Islâm, hlm. 40</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">[16] As-Sunnah An-Nabawiyyah, al-Ghazali, hlm. 30, 24, 52, 103, 119 dan 132</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">[17] Hâdzâ Dînunâ, hlm. 167.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">[18] Al-Islâm wa Ath-Thâqât al-Mu’âththalah, hlm. 27</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">[19] Asy-Syeikh al-Ghazali Kamâ ‘Araftuh, Qardhawi, hlm. 177</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">[20] Humûm ad-Da’iyah, al-Ghazali, hlm. 17</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">[21] Al-Islâm wa Ath-Thâqât al-Mu’âththalah, hlm. 75</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">[22] Asy-Syeikh al-Ghazali kamâ ‘Araftuh, Qardhawi, hlm. 174</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">[23] Dustûr Wihdah ats-Tsaqafiyah, hlm. 78-79</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">[24] Difâ’ ‘An al-‘Aqîdah wa asy-Syarî’ah, 1975, hlm. 264</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">[25] Humûm ad-Da’iyah, al-Ghazali, hlm. 164</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">[26] <em>Ibid.</em></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><em><a href="http://muslimunity.net/index.php?option=com_content&view=article&id=140:syeikh-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat-&catid=38:artikel&Itemid=67" target="_blank">http://muslimunity.net/index.php?option=com_content&view=article&id=140:syeikh-al-ghazali-penyeru-persatuan-umat-&catid=38:artikel&Itemid=67 </a></em></span></span></span></div>Muhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5484169373233948978.post-49654525237598954522012-05-15T17:10:00.001+07:002012-05-15T17:10:55.618+07:00Persatuan Umat Islam: Sebuah Renungan<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><strong>Oleh: Ayatullah Sayid Husein Fadhlullah</strong></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Gerakan
Pendekatan Mazhab Islam sangat efektif dalam mendekatkan
pemikiran-pemikiran setiap mazhab dan menciptakan unsur kebersamaan di
dalamnya. Tak diragukan lagi bahwa gerakan tersebut juga dapat
menyingkirkan sikap saling mengkafirkan pada diri setiap Muslim terhadap
sesama saudaranya.
</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Gerakan
Pendekatan Mazhab-Mazhab Islam di Mesir merupakan sebuah gerakan
budaya yang menunjukkan sejauhmana tingkat keberagaman, intelektual,
akidah, sejarah dan fikih umat Islam. Tentu saja usaha tersebut menemui
berbagai rintangan sosial-politik dan tipu daya musuh-musuh Islam.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Gerakan
Pendekatan Mazhab Islam sangat efektif dalam mendekatkan
pemikiran-pemikiran setiap mazhab dan menciptakan unsur kebersamaan di
dalamnya. Tak diragukan lagi bahwa gerakan tersebut juga dapat
menyingkirkan sikap saling mengkafirkan pada diri setiap Muslim terhadap
sesama saudaranya. Tentu saja usaha tersebut menemui berbagai
rintangan sosial-politik dan tipu daya musuh-musuh Islam.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Adalah
sangat disayangkan bahwa siasat musuh dalam menciptakan perpecahan dan
perselisihan antara Muslimin yang tujuannya adalah terwujudnya
instabilitas politik dan kerusuhan tampak berjalan dengan lancar. Tipu
muslihat ini terfokus pada usaha untuk mengungkit kembali
permasalahan-permasalah sejarah yang sensitif, sehingga umat Islam yang
seharusnya bekerja sama menghadapi masalah-masalah besar yang sedang
menimpa mereka di masa ini, justru saling berkelahi seputar sejarah dan
masa lalu.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Permasalahan
ini begitu dahsyatnya sampai-sampai satu sama lain dengan mudah
membubuhkan stempel "kafir", padahal perbedaan mereka hanya berkisar
pada furu'uddin (cabang-cabang agama). Mereka beranggapan bahwa
perbedaan dalam furu' berkaitan dengan ikhtilaf dalam ushul
(prinsip-prinsip agama). Akhirnya, mereka mengeluarkan fatwa kafirnya
pengikut mazhab lain dan orang-orang yang tidak sepaham atau berbeda
ijtihad dengan mereka. Sebagian dari mufti-mufti (para pemberi fatwa)
ini berkeyakinan bahwa orang-orang kafir non-Muslim jauh lebih baik
daripada orang-orang Islam yang berbeda pemikiran dengan mereka. Mereka
bersikap seperti orang-orang Yahudi Madinah yang menilai kaum Muslimin
dengan berkata kepada kaum musyrik: "Kalian lebih mendapatkan hidayah
daripada umat Muhammad."</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Semenjak
gagalnya gerakan pendekatan ini kondisi Muslimin semakin memburuk.
Mereka tidak saling dekat, bahkan hubungan antara satu mazhab dan
mazhab yang lain bagaikan hubungan satu agama dan agama lainnya dimana
di antara keduanya terletak jurang pemisah yang dalam. Hingga saat ini
musuh-musuh Islam sedang melancarkan aksinya untuk menciptakan
jurang-jurang pemisah antara umat Islam, bahkan antara penganut satu
mazhab sekalipun.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Umat
Islam dewasa ini masih juga menyandang predikat obyek penderita/lemah,
baik yang di barat maupun di timur, di selatan maupun di utara. Dengan
mata telanjang kita dapat menyaksikan pemandangan pahit ini. Umat
Islam yang dulunya adalah umat yang paling besar dan berwibawa daripada
umat-umat lainnya, kini sedang mengalami kondisi yang tidak sepatutnya
dialami.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Mengapa
keterpurukan ini begitu mengakar pada diri kita sehingga kita menjadi
umat yang lemah, khususnya di hadapan negara-negara adidaya? Mengapa
kita tidak saling memahami kondisi internal kita yang runtuh dan
berpecah belah? Dan yang lebih utama dari itu semua adalah, mengapa
kita tidak bangkit untuk mencari titik keterpurukan—yang membuat kita
lemah dan dilemahkan—ini sehingga kita dapat mengatasinya? Memang benar
yang melemahkan kita adalah negara-negara adidaya; namun siapa yang
membuat diri kita lemah di hadapan mereka?</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Masalah
berikutnya, apakah diri kita siap untuk mengakui kebenaran segala yang
benar, sehingga dengan demikian kita dapat menujukkan keseriusan dalam
berusaha keluar dari jeratan malapetaka ini?</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Pertanyaan
yang lain adalah, rencana dan program apa saja yang harus kita
jalankan untuk menyelesaikan masalah ini? Apa yang harus kita lakukan
untuk melanjutkan gerakan pendekatan antar-mazhab ini?</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Kita
harus bersikap transparan dan terus terang. Pertama-tama kita harus
membangun kembali jembatan kepercayaan antara satu dan yang lain.
Sepanjang sejarah jembatan itu telah dirobohkan berkali-kali oleh para
tiran yang memegang tampuk kekuasaan. Para penguasa hanya memiliki
hubungan yang baik dengan mazhab- yang mereka akui dan yang
menguntungkan mereka. Seharusnya mereka membiarkan penganut mazhab lain
berkeyakinan sesuai dengan pemikiran mereka. Tidak seharusnya mereka
mengkafirkan, menyebut zindiq (munafik) dan memusuhi penganut mazhab
lain. Budaya pengkafiran yang diciptakan penguasa ini mempengaruhi
kebanyakan orang dan membuat mereka terbiasa dengannya, meskipun tanpa
tahu-menahu asal usul dan sebabnya. Konsekuensi dari tradisi buruk ini
adalah para penganut mazhab yang tak dianggap resmi memilih untuk lari
dan hidup menyendiri serta jauh dari interaksi sosial yang sehat. Mereka
melakukan praktek <em>taqiyah</em> (menutupi keyakinan yang sebenarnya) dan berada dalam ketakutan.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Para
penjajah datang ke tanah air kita pada abad ke-20, sedangkan kita
masih dalam keadaan lalai dan belum menyadari seperti apakah hubungan
ideal antar sesama Muslim, apapun mazhab mereka. Para penjajah kala itu
dengan penuh kesadaran menjalankan siasatnya agar kita sama sekali
melupakan isu persatuan ini, sehingga kita tidak dapat bangkit dengan
kekuatan persatuan.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Melihat
realita di atas, dapat kita katakan bahwa saat ini kita sedang
menghadapi dua masalah besar dan berbahaya yang sedang mengancam
gerakan pendekatan antar mazhab. Masalah petama, masalah perpecahanan
kita. Perpecahanan ini memang didasari oleh faktor politik, namun kita
sendiri yang tertipu dan justru mengikuti siasat tersebut. Kemudian
perpecahan ini telah disusun secara rapi sebelumnya dan diarahkan
sedemikian rupa hingga benar-benar merasuk dalam tubuh kaum Muslimin.
Masalah kedua, problema yang ditimbulkan oleh para penjajah dan
negara-negara adidaya kepada kita. Problema ini hanya dapat diatasi
dengan dijalankannya strategi pendekatan antar mazhab Islam, sehingga
terciptalah keamanan internal dan solodnya barisan kaum Muslimin saat
berhadapan dengan mereka.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Untuk
mewujudkan rencana ini, kita perlu memetakan pelbagai perkara dalam
timbangan skala prioritas. Sebagian dari perkara tersebut berkaitan
dengan akidah umat Islam, dan sebagian lainnya berkaitan dengan kondisi
politik mereka. Mengenai perkara-perkara yang berkenaan dengan akidah,
kita perlu memperhatikan beberapa masalah di bawah ini:</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><strong>Pertama</strong>,
kita perlu meniru al-Quran yang mengajarkan kita cara berdiskusi dan
membahas sesuatu. Metode diskusi dan perbincangan yang diajarkan
al-Quran akan mengantarkan kita keluar dari lingkaran egoisme dan
kesempitan berpikir menuju sikap inklusif dan keterbukaan. Metode inilah
yang disebut metode terbaik dalam berkomunikasi, dimana kedua belah
pihak benar-benar mendapatkan penghormatan oleh lawan bicaranya.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><strong>Kedua</strong>,
kita harus menjadikan Islam sebagai parameter tertinggi dalam
berinteraksi. Seharusnya dua syahadat (bersaksi bahwa Allah Swt sebagai
Pencipta alam semesta dan Nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya)
dijadikan sebagai syarat terjaganya setiap Muslim dari kekufuran dan
kebebasannya dalam berpendapat sesuai dengan mazhab yang diyakininya,
sekaligus menjadi syarat perlindungan terhadap harta dan kekayaan yang
dimilikinya.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><strong>Ketiga</strong>,
seharusnya kata "kafir" dihapus dari kamus percakapan dan komunikasi
antar Muslim. Seseorang tidak akan pernah keluar dari bingkai keimanan
dan masuk dalam jurang kekufuran selama ia tidak bertentangan dengan
prinsip dua syahadat tersebut.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><strong>Keempat</strong>,
perbedaan mazhab seharusnya dianggap sebagai variasi dalam kesatuan.
Ijtihad setiap mazhab tidak boleh dengan mudah dinilai melenceng dari
garis Islam. Mazhab lain tidak boleh dianggap bodoh, bahkan musuh,
hanya karena perbedaan cara berpikir dan sumbernya saja. Oleh
karenanya, sudah merupakan tugas para pemikir Islam untuk menjadikan
budaya komunikasi dan diskusi yang sehat sebagai budaya resmi mereka
dimana tak seorang pun yang meragukan dampak positif hal ini.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><strong>Kelima</strong>,
jiwa persahabatan, perdamaian, cinta dan kebebasan harus ditanamkan
dalam diri setiap Muslim. Ini adalah tugas utama yang harus diemban oleh
setiap cendekiawan dan ulama.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><strong>Keenam</strong>,
pada situasi tertentu, perlu adanya sikap tegas terhadap pihak-pihak
garis keras dan yang fanatik agar mereka sadar dan mengikuti aturan yang
seharusnya. Sering kali terjadi, misalnya saat diadakan sebuah seminar
pendekatan antar-mazhab, kita tidak leluasa mengutarakan pelbagai
pendapat kita karena masih tetap ada saja rasa fanatik dalam diri kita,
atau mungkin kita tidak menjelaskan kenyataan yang sebenarnya tentang
suatu mazhab atau pihak lain karena kita tidak sejalan dengan mereka
sehingga lawan bicara kita tidak mengetahui yang sebenarnya.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><strong>Ketujuh</strong>,
menjalankan ajaran al-Quran, yakni saling menghormati dalam berdiskusi
dan bertukar pendapat. Meskipun lawan bicara kita non-Muslim
sekalipun, tentu ada titik-titik kesamaan yang dapat ditelusuri dalam
pemikirannya dan ditanggapi dengan positif.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Adapun hal-hal yang harus diperhatikan berkenaan dengan kondisi politik adalah:</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><strong>Pertama</strong>,
harus ada pemisah antara permasalahan primer dan permasalahan sekunder
dalam masyarakat-Muslim. Sebagian dari permasalahan yang berkaitan
dengan keseluruhan umat Islam tidak dapat dilakukan oleh seseorang atau
tokoh tertentu yang mewakili beberapa kalangan atau juga sebuah partai
yang semuanya mengatasnamakan umat Islam, karena kesalahan bertindak
dalam hal ini akan membawa bahaya dan kerugian yang dampaknya akan
menimpa umat Islam secara keseluruhan. Dengan kata lain, permasalahan
yang mengyangkut kepentingan seluruh umat Islam hanya diselesaikan
secara bersama dengan melalui pertimbangan yang matang. Adapun sebagian
permasalah yang lainnya, yang bersifat terbatas pada dataran geografis,
seperti permasalahan satu negara, adalah masalah yang tidak pokok.
Permasalahan tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan kondisi
masyarakat Muslim setempat dan dengan memperhatikan mazhab-mazhab yang
ada.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><strong>Kedua</strong>,
negara-negara adidaya secara umum, dan Amerika secara khusus, adalah
pihak-pihak yang menjadikan Islam dan penganutnya sebagai sasaran utama
mereka. Umat Islam harus mengerti tindakan dan usaha kolektif apa yang
harus dilakukan guna menghadapi mereka.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><strong>Ketiga</strong>,
kita harus waspada dengan maraknya istilah-istilah seperti teroris,
kekerasan, kejahatan dan lain sebagainya, yang mana semua kata-kata itu
ditujukan kepada kita, umat Islam.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><strong>Keempat</strong>,
kita harus memiliki sikap bersama dalam hal bagaimana seharusnya kita
menghadapi upaya-upaya musuh yang berlawanan dengan persatuan umat
Islam, juga dalam menyikapi istilah-istilah baru yang tersebar di
tengah-tengah komunitas dunia, agar kesatuan umat Islam tetap terjaga.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Persatuan
antar umat Islam bukan sekedar formalitas dan slogan belaka, bahkan
berkaitan langsung dengan keberadaan Islam dan kaum Muslimin di
panggung dunia yang keadaan mereka saat ini sedang terpuruk. Poin
terakhir yang perlu kami ingatkan adalah, jika kita memang benar-benar
tidak mampu mencapai persatuan, maka paling tidak kita harus bisa
mengatur dan memahami perbedaan-perbedaan antara sesama kita, agar
keutuhan kita sesama sebagai <em>ummatan wahidah</em> (umat yang satu) selalu terjaga.</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Jalan
terjal dan berliku yang kita sedang kita lewati begitu banyak. Kita
sedang berada di situasi yang genting. sepanjang sejarah kita belum
pernah menemukan keadaan umat Islam seperti saat ini. Karena itu, kita
harus waspada dan bersikap bijaksana. Jika kita masih sibuk mengungkit
perbedaan dan isu ikhtilaf mazhab, maka kita harus bersiap-siap untuk
terus terpuruk dan kemudian mengalami kebinasaan. (IRIB
Indonesia/Taqrib/SL)</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><a href="http://muslimunity.net/index.php?option=com_content&view=article&id=152:persatuan-umat-islam-sebuah-renungan&catid=38:artikel&Itemid=67" target="_blank">http://muslimunity.net/index.php?option=com_content&view=article&id=152:persatuan-umat-islam-sebuah-renungan&catid=38:artikel&Itemid=67 </a></span></span></span></div>Muhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5484169373233948978.post-58854843933008041422012-05-15T17:09:00.001+07:002012-05-15T17:09:24.864+07:00Menggagas Dialog Islam-Islam<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><strong>Oleh: Prof. Shadiq Jibran</strong><br /><br />
Tidak diragukan lagi bahwa dialog Islam - Islam harus memprioritaskan
penelitian dan peninjauan ulang berbagai masalah dalam pelataran Islam.
Hal ini sangat penting, mengingat tahap sensitif yang dialami oleh
semua kecenderungan dalam Islam di berbagai level.
</span> <span style="color: black;"><br /> Tampaknya pada kali pertama
dialog dipandang sebagai elemen etis komplementer yang tidak diperlukan,
tapi seiring dengan perkembangan hubungan individu pandangan itu
berubah. Seseorang keluar dari ruang lingkup hubungan individu ke ruang
lingkup hubungan sosial sehingga dia melihat dirinya berada dalam
lingkaran yang secara alamiah tidak memungkinkan para anggotanya dalam
kondisi normal untuk mempertahankan pendapatnya sendiri tanpa
memperdulikan pendapat orang lain. Suka tidak suka, dia harus menerima
kondisi tersebut.</span> <span style="color: black;"><br /><br /> Inilah
yang terlihat dalam perilaku anak kecil. Sebelum sampai pada fase
bermain bareng dengan anak-anak lain, anak kecil akan bermain semaunya,
dan itu normal. Namun, akan berbeda manakala dia mulai bergabung
dengan anak-anak yang lain. Dia harus melepaskan monopoli permainan
atau aturan permainan semaunya itu. Jika tidak, maka pengasuhnya bakal
mengarahkan agar menerima yang lain dan melepaskan sesuatu yang dia
yakini sebagai hak alaminya. Jadi, seseorang yang memasuki kehidupan
dan kegiatan yang lebih rumit akan sangat membutuhkan salah satu
kosakata dialog, yaitu memperhitungkan pendapat orang lain dan
mengikuti pendapat umum.</span> <span style="color: black;"><br /><br />
Adalah normal jika perilaku manusia berbeda. Karena itu manusia perlu
menata sejumlah kaidah yang mengatur perilakunya dalam berhubungan
dengan orang banyak. Dalam domain hukum, para pakar hukum telah
menetapkan dua jenis hukum: pertama, hukum yang menjelaskan tentang
hak-hak seseorang dan mengatur bagaimana hak itu timbul dan berakhir.
Inilah hukum yang menetapkan hak, semisal hukum sipil, hukum
perniagaan, dan hukum kelautan. Kedua, hukum yang menjelaskan tentang
media yang mendatangkan atau justru menghalangi hak-hak tersebut.
Dengan kata lain, menjelaskan hukuman atas pelanggaran terhadap hukum
tersebut, semisal hukum prinsip-prinsip peradilan. Inilah hukum pidana.</span> <span style="color: black;"><br /><br />
Hukum jenis pertama berkaitan dengan studi tentang asal-usul hak,
sementara hukum jenis kedua berkaitan dengan hukum formal, dalam arti
bahwa seorang individu harus mengambil tindakan atau situasi tertentu
jika menginginkan hak-haknya terlindungi. Kecuali itu, dia juga harus
mematuhi peraturan tertentu ketika ingin memutuskan sengketa.</span> <span style="color: black;"><br /><br />
Harus ada prosedur formal guna meyakinkan para individu bahwa hak-hak
mereka terlindungi bila mereka memilih situasi sesuai dengan yang
ditentukan oleh hukum. Formalitas ini juga diperlukan untuk memastikan
peradilan berfungsi sehingga keputusan tidak semata-mata merujuk kepada
perkiraan para hakim. Sebab, mereka -seperti manusia pada umumnya-
mempunyai metode yang berbeda-beda dalam menilai, menghukumi, dan
memahami. Oleh karena ini dan itu, tepat sekali pendapat yang
mengatakan bahwa formalitas adalah pasangan kebebasan. Bangsa Romawi
memahami diferensiasi yang maju, sehingga mereka membedakan sejumlah
prosedur. Secara khusus prosedur tersebut dituangkan dalam bab ketiga
dari hukum sipil supaya mencakup berbagai kasus, yakni prosedur
litigasi.[1]</span> <span style="color: black;"><br /><br /> Jadi, dalam
lingkup sengketa hukum yang terdekat dengan tema ini, kita menemukan
bahwa konflik dalam hukum didasarkan kepada asumsi hak, dimana setiap
pihak mengklaim dirinya paling berhak dibanding yang lain, untuk
membela hak tertentu, membela diri dari suatu tuduhan, dan
masalah-masalah sengketa hukum lainnya. Supaya hak tidak tersia-siakan,
maka legislator hukum langit (Allah) maupun legislator hukum positif
membuat seperangkat aturan dan undang-undang untuk memutuskan dan
dijadikan dasar dalam mengakhiri perselisihan. Lantaran klaim sebuah hak
memengaruhi semua pihak, maka legislator membuat seperangkat aturan
dan prinsip-prinsip yang menjadi rujukan bagi kedua belah pihak dalam
menyusun cara menuntut hak-hak mereka. Artinya, sistem ini menunjukkan
bagaimana mereka harus bersikap guna mendapatkan hak-hak mereka. Para
pakar hukum sepakat menamai aturan ini dengan hukum prinsip-prinsip
peradilan, seperti yang berlaku di Libanon, atau hukum acara,
sebagaimana yang dipakai di Mesir, atau dengan prosedur, sebagaimana
yang berlaku di Prancis, baik dalam peradilan sipil, peradilan pidana,
maupun peradilan-peradilan lainnya.</span> <span style="color: black;"><br /><br />
Hukum di sini berisi aturan-aturan netral demi sebuah kemaslahatan
yang bisa dipakai oleh semua pihak ketika terjadi sengketa. Di negara
hukum, seseorang tidak diperkenankan menghakimi sendiri m-eskipun cara
yang dilakukannya benar- dalam melaksanakan atau menerapkan program
keadilan. Itu karena ada hukum dan badan peradilan yang kompeten untuk
melakukannya.</span> <span style="color: black;"><br /><br /> Dalam bidang
fikih juga ada prinsip dan aturan yang dijadikan rujukan oleh para
pakar fikih dalam menggali hukum syariat. Secara global,
prinsip-prinsip itu merupakan kesepakatan di antara mereka, kecuali
beberapa masalah kecil yang menjadi objek perdebatan fundamental. Namun,
keberadaan kodifikasi kaidah-kaidah fundamental menjadikan hasil kerja
ulama fikih mendekati batas yang tidak menampakkan adanya perbedaan,
kecuali bagi para spesialis.</span> <span style="color: black;"><br /><br />
Atas dasar itulah, Sayyid Muhammad Taqi al-Hakim, dalam bukunya
al-Ushûl al-‘Âmah li al-Fiqh al-Muqârin, menyatakan bahwa fikih
perbandingan sangat berguna dalam menjembatani perbedaan antara kaum
Muslimin, mengurangi dampak faktor-faktor yang memecah belah, terutama
ketidaktahuan sebagian ulama suatu mazhab tentang doktrin dasar dan
pilar mazhab lain. Sebab, ketidaktahuan akan meninggalkan celah terbuka
bagi masuknya misi-misi yang dimaksudkan untuk mendistorsi pemahaman
pihak lain dan mengatakan tentang mereka dengan sesuatu yang tidak
mereka percayai dan yakini.</span> <span style="color: black;"><br /><br />
Lebih lanjut Sayyid al-Hakim menyatakan bahwa Ushul Fiqih Perbandingan
adalah seperangkat kaidah yang mendasari pengukuran para fukaha dalam
menggali hukum-hukum syariat yang bersifat cabang dan global, atau
menggali fungsi-fungsi yang dibuat oleh legislator (syâri‘) atau akal,
ketika putus asa mendapatkannya dalam hal pertimbangan dan
penilaiannya.</span> <span style="color: black;"><br /><br /> Bagi Sayyid
al-Hakim, yang dimaksud seperangkat aturan (al-qawâ‘id) adalah
premis-premis mayor yang seandainya digabungkan dengan premis-premis
minor akan menciptakan sebuah hukum atau fungsi. Sebab, premis mayorlah
yang pas untuk dijadikan kaidah dalam mengukur sebuah istinbâth
(penggalian hukum) dan mendasari hasilnya.</span> <span style="color: black;"><br /><br />
Oleh karena itu, Sayyid Muhammad Taqi al-Hakim menyerukan penyatuan
Ushul Fikih agar bisa sampai ke tujuan, di mana dalam bahasan
pengantarnya bagian kedua, ia memulai dengan sejumlah prinsip yang
jelas, yang ia sebut dengan prinsip atau prioritas berdalil.
Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:</span> <span style="color: black;"><br /><br />
1. Prinsip kausalitas, termasuk di dalamnya ketidakmungkinan
mendahulukan akibat atas sebab, atau mengakhirkan sebab dari akibat,
atau menyamakan tingkatannya lalu mencegah akibat tertinggal dari
sebab. Jadi, di mana ada sebab yang sempurna, niscaya di situ ada
akibat;</span> <span style="color: black;"><br /> 2. Prinsip ketidakmungkinan kontradiksi secara massal ketika tersedia syarat-syarat persatuan dan pertentangan;<br /> 3. Prinsip pantang bertemu dua hal yang bertentangan;<br /> 4. Prinsip kemustahilan daur;<br /> 5. Prinsip kemustahilan akibat mendahului sebab;<br /> 6. Prinsip kemustahilan tasalsul dalam sebab dan akibat.<br />
Sayyid al-Hakim tidak memandang perlu merinci masalah-masalah di atas,
karena dia yakin semua orang sudah mempercayai semua prinsip tersebut,
dan mungkin dalam hal ini dia menyamakan mereka dengan pendapat para
filosof alam secara mutlak. Karena itu dia menjadikan prinsip-prinsip di
atas sebagai kaidah acuan dalam proyek ilmiahnya.<br /><br /><strong>Bagaimana Kita Memahami Perbedaan?</strong></span> <span style="color: black;"><br />
Ada banyak pendapat dari para pemikir Islam tentang penyebab perbedaan
di antara mazhab-mazhab Islam, di antara faksi-faksi dalam gerakan
Islam, atau dalam proyek-proyek amal Islam, di mana pun keberadaannya.<br /><br />
Dalam konteks ini, sebagian orang berpendapat bahwa perbedaan adalah
sesuatu yang alami dan sah. Tapi, sebagian yang lain memandangnya
sebagai sesuatu yang jauh dari agama, perbuatan syaitan yang keji dan
harus dihindari. Namun, mayoritas pemikir kebangkitan Islam memandang
sebagian besar perbedaan yang ada merupakan tanda-tanda rahmat di antara
umat Islam, dan sebagian lainnya sebagai perpecahan yang tercela.
Terkait bagian yang terakhir ini, mereka mengembalikannya kepada
sejumlah alasan yang bersifat etis, psikologis, dan intelektual.</span> <span style="color: black;"><br /><br />
Dr. Yusuf al-Qaradhawi menyatakan ada perbedaan yang disebabkan oleh
alasan etis. Perbedaan yang timbul dari sifat-sifat buruk dan
mencelakakan adalah perbedaan yang tidak terpuji, bahkan masuk dalam
kategori perpecahan yang tercela. Penyebab tersebut antara lain:</span> <span style="color: black;"><br /><br /> 1. Keangkuhan diri dan membanggakan pendapat sendiri;</span> <span style="color: black;"><br /> 2. Buruk sangka dan cepat menuduh orang lain tanpa bukti;<br /> 3. Cinta diri dan memperturutkan hawa nafsu;<br /> 4. Fanatik terhadap pendapat seseorang, mazhab, atau golongan;<br /> 5. Fanatik terhadap negara, wilayah, partai, kelompok, atau pimpinan, dan lain sebagainya.<br /><br />
Menurutnya, perbedaan yang disebabkan oleh alasan intelektual berujung
pada perbedaan cara pandang dalam menilai satu persoalan, baik
persoalan yang bersifat ilmiah, semisal perbedaan dalam cabang syariah
dan beberapa masalah akidah yang tidak tersentuh prinsip-prinsip dasar
yang pasti, maupun persoalan yang bersifat praktis, seperti perbedaan
dalam sikap politik, dalam mengambil keputusan, sebagai akibat dari
perbedaan sudut pandang, penilaian hasil, dan imbas dari ketersediaan
informasi di satu pihak dan ketiadaan informasi di pihak lain. Juga
bergantung kepada suasana hati dan sikap mental pihak-pihak yang
berseberangan, pengaruh lingkungan dan waktu yang positif maupun
negatif.[2]</span> <span style="color: black;"><br /><br /> Tentang realitas perbedaan dalam kehidupan manusia, Syaikh Hasan Shafar mengembalikannya kepada beberapa penyebab berikut:</span> <span style="color: black;"><br /><br />
1. Perbedaan tingkat keimanan menyebabkan perbedaan pemikiran, sikap,
dan praktek. "(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah,
dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan."[3]</span> <span style="color: black;"><br /> 2. Perbedaan tingkat pengetahuan dan kesadaran di kalangan manusia;<br /> 3. Perbedaan kepentingan di antara manusia.[4]<br /><br />
Sebagian pakar menyatakan bahwa penyebab perbedaan adalah meninggalkan
teks pertama, yaitu al-Quran mulia dan Sunah Nabi Saw yang sahih dan
muttafak alaih. Menurutnya, perbedaan terjadi karena teks kedua, ketiga,
atau catatan pinggir yang disematkan kepada teks pertama, semisal
tafsir dan ijtihad. Tapi pendapat ini tidak sepenuhnya benar, karena
seperti kita ketahui, kaum Muslimin periode awal juga sudah berbeda
pendapat sesaat setelah pemilik teks pertama (Rasulullah) menghadap
kepada Sang Pencipta Yang Mahatinggi, di mana kaum Anshar menyeru kepada
kaum Muhajirin bahwa hendaknya mereka punya pemimpin sendiri-sendiri
dari kelompok masing-masing....</span> <span style="color: black;"><br /><br /><strong>Bagaimana Kita Memulai Dialog?</strong></span> <span style="color: black;"><br />
Saya sama sekali tidak mengaku-aku punya resep jitu untuk mengatasi
masalah dialog Islam - Islam. Ini jelas merupakan upaya kumulatif yang
harus dilakukan oleh semua pemikir yang tertarik memajukan umat. Namun,
saya menyerukan perlu adanya sistem yang berbasis dialog. Itulah yang
disebut dengan ushûl al-hiwâr (prinsip-prinsip berdialog), ushûl
al-munâzharah (prinsip-prinsip berdiskusi), atau ushûl al-jadal
(prinsip-prinsip berdebat). Tapi, kalau diminta harus memilih, saya
lebih mantap dengan istilah yang pertama, karena bayang-bayang istilah
ini tidak membuat dua sisi persamaan yang menandakan bahwa salah satu
pihak menang sementara pihak yang lain menanggung getir kekalahan.
Sebab, tujuan dialog bukanlah kemenangan, melainkan menemukan
titik-titik kesamaan, atau minimal mendengarkan pendapat pihak lain
tanpa sensitivitas.<br /><br /> Keberadaan prinsip-prinsip dialog merupakan
sebuah keniscayaan, sesuai dengan tuntunan ajaran Islam yang hanif dan
tuntutan fase dimana kita hidup sekarang ini. Konflik yang ada saat ini
dan fase mendatang adalah konflik pemikiran tingkat tinggi. Otomatis
mekanisme yang dipakai untuk mengatasinya berbeda dengan mekanisme yang
dipakai pada tahap-tahap sebelumnya. Hal ini mengharuskan kita beralih
kepada dialog antara kita untuk memasuki -minimal- sebuah visi yang
jelas dan siap untuk menghadapi fase berikutnya. Dialog adalah pintu
masuk yang alami untuk itu, yang membuat kita lebih kuat secara fisik,
begitu juga secara hujah. Orang yang meninggalkan dialog dan menggunakan
mekanisme lain untuk memaksakan pendapatnya kepada orang lain pada
hakikatnya adalah pihak yang paling lemah pada tahap berikutnya yang
diperkirakan akan berjudul dialog antar arus intelektual dengan berbagai
jenisnya.</span> <span style="color: black;"><br /><br /> Kita dapat mengidentifikasi prinsip dan kaidah dialog Islam-Islam dalam poin-poin berikut:</span> <span style="color: black;"><br /><br />
1. Kaidah-kaidah moral, yaitu kaidah yang menjaga keselamatan proses
dan metodologi dialog, dan memastikan efektivitasnya. Poin-poin penting
pada bagian ini adalah sebagai berikut:</span> <span style="color: black;"><br /><br /> a. Ikhlas karena Allah Swt dan melepaskan hawa nafsu;</span> <span style="color: black;"><br /> b. Melepaskan fanatisme terhadap seseorang, mazhab, atau kelompok;<br /> c. Adil dan yakin dalam menilai orang;<br /> d. Moderat dalam mencinta dan membenci;<br /> e. Menyebutkan kelebihan dan kekurangan dengan seimbang. "dan kamu jangan merugikan orang sedikit pun."[5]<br /> f. Mengabstraksikan kebenaran dari yang mengatakannya dan kebaikan dari yang melakukannya.<br /><br />
2. Kaidah-kaidah Intelektual, yaitu kaidah yang membantu menampilkan
pandangan dengan benar dan berkontribusi pada fertilisasi gagasan untuk
mencapai hasil yang lebih baik. Poin-poinnya sebagai berikut:</span> <span style="color: black;"><br /><br /> a. Hati-hatilah dalam mengeluarkan postulat dan hukum-hukum yang bersifat absolut.</span> <span style="color: black;"><br />
b. Berhati-hatilah mengutip kata-kata dari lawan. Upayakan sebisa
mungkin mengutip pendapat orang lain dari sumber aslinya. Kutiplah
pendapat yang disepakati dan hindarilah mengutip pendapat yang
menyimpang. Selain itu, perlu juga mengutip sesuatu yang valid menurut
yang lain dan meninggalkan sesuatu yang dianggap lemah.<br /> c. Perlu
mengawal dialog dengan kaidah-kaidah hukum, seperti saling menghormati
dan menjamin kebebasan berpendapat, dan lain sebagainya, untuk
mendapatkan lebih banyak prospek dan kosa kata kebebasan sosial dan
politik. (IRIB Indonesia/Taqrib/SL)<br /><br /> * Peneliti dari Arab Saudi</span> <span style="color: black;"><br /> ________________________________________<br /> [1] Dr. Ahmad Abu al-Wafa, Ushûl al-Muhâkamât al-Madaniyyah (Beirut), hlm. 30.<br /> [2] Lihat al-Shahwah al-Islâmiyyah baina al-Ikhtilâf al-Masyrû‘ wa al-Tafarruq al-Madzmûm (Libanon: Dar al-Risalah, 1993).<br /> [3] QS. Alu ‘Imran [3]: 163.<br />
[4] Lihat Hasan Shafar, al-Ta‘adudiyyah wa al-Huryah fî al-Islâm: Bahts
hawla Huryah al-Mu‘taqid wa Ta‘adud al-Madzâhib (Libanon: Dar al-Bayan
al-‘Arabi, 1990).<br /> [5] QS. al-A‘raf [7]: 85.</span></span></span><br />
<br />
<br />
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><a href="http://muslimunity.net/index.php?option=com_content&view=article&id=154:menggagas-dialog-islam-islam-&catid=38:artikel&Itemid=67" target="_blank">http://muslimunity.net/index.php?option=com_content&view=article&id=154:menggagas-dialog-islam-islam-&catid=38:artikel&Itemid=67 </a></span></span></span>Muhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5484169373233948978.post-39579961256139530022012-05-15T17:08:00.000+07:002012-05-15T17:08:01.694+07:00Tantangan Pendekatan Mazhab dan Persatuan Islam<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><strong>Oleh: Hujjatul Islam Mir Aghaei</strong><br /><br />
Perbedaan utama antara arogansi dunia dan penguasa serta politisi pada
masa lalu adalah mereka memasuki dunia Islam dengan penuh perhitungan
dan melibatkan ratusan pemikir dan ilmuan dengan nama orientalis. Dan
dengan trik baru, mereka berhasil mengadu-domba antar sesama Muslim.</span> <span style="color: black;"><br /><br />
Sejarah masa lalu umat Islam sarat pasang surut terkait kedekatan antar
sesama mereka. Sepanjang perjalanan sejarah, umat Islam pernah
mencapai puncak kemajuan dan kegemilangan berkat persatuan dan
solidaritas yang terjalin di antara mereka. Sementara pada sisi lain
sepak terjangnya, umat Islam juga mengalami puncak kelemahan dan
ketertinggalan akibat perselisihan, perseteruan, dan keterasingan satu
sama lain. Tentu saja, tingkat kesuraman ini bervariasi dan tergantung
pada letak geografis dan intensitas antar mazhab serta dilatarbelakangi
oleh peristiwa-peristiwa yang saling terpisah.
</span> <span style="color: black;"><br /><br /> Tudingan palsu,
pengkafiran, prasangka buruk, dan fanatisme buta antara kebanyakan
pengikut mazhab dalam Islam, merupakan sebuah fenomena umum di masa
lalu dan sekarang. Karena itu, sangat urgen untuk memahami
faktor-faktor yang melahirkan hubungan tidak sehat, konflik dan
perseteruan di antara mereka. Kita perlu mengidentifikasi faktor-faktor
yang telah menghalangi kerjasama dan pendekatan antar sesama Muslim.
Di sini kami akan menyinggung beberapa kendala yang menciptakan jurang
pemisah dan jarak di tengah umat yang agung ini.</span> <span style="color: black;"><br /><br /><strong>1. Kebodohan dan ketidaktahuan satu sama lain</strong></span> <span style="color: black;"><br />
Salah satu problema Muslim dan pengikut mazhab-mazhab Islam pada masa
lalu dan sekarang adalah sangat minimnya pengetahuan dan pengenalan
mereka terhadap pengikut seluruh mazhab lain. Secara umum, mereka tidak
mengetahui akidah, fikih, dan akhlak kelompok lain. Dan tragisnya,
kadang mereka justru memiliki pengetahuan sebaliknya tentang saudaranya
sesama Muslim. Pada masa lalu, ketidaktahuan ini didominasi oleh jarak
dan minimnya sarana komunikasi antara mereka. Namun, kini dunia telah
berubah menjadi sebuah institut dan jarak bukan lagi halangan seiring
kemajuan teknologi komunikasi, surat kabar, majalah, radio, televisi dan
internet. Jadi, sekarang ketidaktahuan tersebut tidak dapat dibenarkan
lagi.<br /><br /> Tokoh masyarakat, pemilik sarana komunikasi, para khatib
dan orator perlu memberi wawasan dan pengetahuan kepada umat tentang
adab, tradisi dan kepercayaan umat Islam di seluruh penjuru dunia,
sehingga semua mengetahui bahwa Muslim menyerap pengetahun Islam dari
sumber yang satu, yaitu; al-Quran dan hadis. Terlepas dari adat istiadat
masing-masing daerah, prinsip-prinsip keyakinan dan pengetahuan Islam,
mereka adalah satu dan umat yang satu. Langkah mewujudkan sikap saling
pengertian dan pengenalan antara Muslim, tentu saja memberi kontribusi
besar dalam melahirkan simpati dan persaudaraaan di tengah mereka.</span> <span style="color: black;"><br /><br /><strong>2. Tudingan tak berdasar dan kesalahpahaman</strong></span> <span style="color: black;"><br />
Memperhatikan buku-buku yang ditulis oleh pengikut mazhab-mazhab Islam
terhadap satu sama lain, dengan penilain objektif dan ilmiah, akan
terlihat jelas bahwa kebanyakan isi buku-buku tersebut tidak lebih dari
tudingan palsu dan fitnah. Sayangnya, tudingan-tudingan tak berdasar
itu menyebar begitu cepat di tengah umat Islam. Tudingan tersebut bisa
jadi karena kebodohan penulis terhadap akidah kelompok lain, atau
dampak fanantisme buta akibat dendam sejarah yang diciptakan oleh
musuh-musuh Islam, lalu mereka menebarkannya di tengah masyarakat Islam
lewat goresan-goresannya.<br /><br /> Kebanyakan dendam dan prasangka
buruk yang ada di tengah pengikut mazhab-mazhab Islam, juga lahir
akibat kesalahpahaman mereka terhadap prinsip-prinsip, nilai-nilai dan
akidah kelompok lain. Sebagian Muslim tidak saling mengenal satu sama
lain, tidak punya pengenalan sempurna terhadap kebiasaan dan tradisi
kelompok lain, dan setiap ritual sosial dan nasional kelompok lain akan
dianggap sebagai akidah mazhab mereka. Kemudian dengan melihat sedikit
perbedaan, mereka langsung membuat kesimpulan keliru dan berburuk
sangka kepada saudaranya serta menuding mereka sebagai ahli bid'ah.
Padahal, perbedaan-perbedaan parsial seperti itu banyak ditemukan di
tengah pengikut mazhab-mazhab Islam, antara lain; sujud di atas tanah
(turbah), ziarah kubur, gelar ratapan duka di tengah pengikut Syiah.
Puasa di hari Asyura dan ziarah kubur di tengah pengikut Ahlu Sunnah,
akan dianggap bid'ah oleh orang-orang yang tidak berpengetahuan dan
fanatik buta. Mereka dengan mudah mengkafirkan kelompok tertentu dan
menebarkan tuduhan-tuduhan palsu. Padahal, jika mereka mengetahui
dengan baik keyakinan mazhab lain, tentu jurang pemisah di tengah umat
Islam dapat dipangkas secara drastis.</span> <span style="color: black;"><br /><br /><strong>3. Fanatisme kesukuan, sektarian, dan individual</strong></span> <span style="color: black;"><br />
Rasa kagum manusia terhadap diri dan apa yang dimilikinya, senantiasa
menjadi sisi negatif yang menghalangi manusia mencapai kesempurnaan
material dan spiritual. Sifat itu juga telah mencegah manusia
memanfaatkan karunia-karunia orang lain. Kekaguman ini muncul dalam
bentuk individu, etnis, suku, mazhab dan sekte. Terpengaruhi oleh
faktor-faktor tersebut, manusia akan bersikap egois dan memandang
dirinya di atas yang lain serta bersikap fanatik. Padahal, kitab suci
al-Quran memperkenalkan konsep kesetaraan manusia dalam sebuah pesan
globalnya; "Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian
dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling
mulia di antara kalian adalah yang paling bertaqwa."<br /><br /> Namun,
manusia yang terlena oleh hawa nafsu dan gemerlap dunia, senantiasa
menganggap warisan nenek moyangnya dan interpretasinya atas kitab dan
sunnah, sebagai kebenaran, sementara pemikiran dan gagasan kelompok lain
selalu salah dan keliru di mata mereka. Padahal, alangkah bijaksananya
jika ia menilai perbedaan ras, bahasa, dan letak geografis sebagai
sebuah kewajaran. Mereka menolak kelompok lain atas dasar fanatisme buta
dan bukan argumentasi rasional. Sementara metode yang benar adalah
mengajak pengikut berbagai mazhab untuk membahas bersama-sama dalam
kerangka dialog logis dan rasionalitas agama, serta menjadikan al-Quran
dan sunnah sebagai landasan ijtihad.</span> <span style="color: black;"><br />
Dalam konteks seperti itu, perbedaan mazhab akan menjadi rahmat bagi
kaum Muslim dan jembatan untuk mendalami pemahaman keagamaan. Perbedaan
suku, ras, bahasa, dan mazhab bukan alasan untuk membenarkan atau
menyalahkan penafsiran dan ijtihad dari kitab dan sunnah. Akal sehat
dan logika yang kuat adalah satu-satunya parameter untuk menilai
kebenaran dan kesesatan akidah dan kepercayaan.<br /><br /><strong>4. Ekstrimisme, fanatisme etnis, pengkafiran, dan pelecehan sakralitas kelompok lain</strong></span> <span style="color: black;"><br />
Di antara problema dunia Islam pada masa lalu dan sekarang, adalah
semangat radikalisme dan ekstrimisme di tengah sekelompok kecil Muslim.
Islam adalah agama yang seimbang dan fitrah suci manusia. Keterikatan
Muslim terhadap mazhab tertentu, kadang-kadang bisa mengeluarkan mereka
dari jalan tengah dan stabil, lalu menyeret mereka ke lembah
ekstrimisme dan radikalisme. </span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br />
Di bawah semangat yang tidak sehat ini, mereka kemudian saling
mengkafirkan dan menuding pihak lain sebagai ahli bid'ah. Mereka juga
bersikap ekstrim dan kaku dalam menafsirkan dan menerapkan
prinsip-prinsip dan aturan syariat kepada kelompok lain. Dengan alasan
yang dibuat-buat, mereka menganggap pihak lain sebagai orang yang
fasik, munafik, dan keluar dari Islam. Sejalan dengan sikap negatif
tersebut, kelompok lain bangkit menghina seluruh umat Islam dan
sakralitas mereka. Langkah ini telah melukai perasaan umat Islam
se-dunia.<br /><br /> Pada masa lalu, contoh nyata model pemikiran dan
semangat yang tidak berimbang ini adalah kelompok Khawarij. Sempalan ini
menyakini bahwa setiap orang yang melakukan dosa besar akan
dilogongkan kafir. Dengan alasan itu, mereka bahkan memerangi Imam Ali
ibn Abi Thalib as. Akhirnya, melalui sebuah konspirasi busuk, mereka
mengantarkan Imam Ali as ke gerbang syahadah.</span> <span style="color: black;"><br /><br />
Sekarang, kelompok-kelompok kecil di tengah mazhab Syiah dan Ahlu
Sunnah juga terjebak ke jurang ekstrimis. Mereka mengkafirkan kelompok
lain dan kadang-kadang menganggap tindakan membunuh saudaranya sesama
Muslim sebagai ibadah. Atau menyulut api perpecahan dan perseteruan
dengan menghina kesucian satu sama lain dan umat Islam. Salah satu
tugas para pelopor pendekatan antar-mazhab adalah memperluas
rasionalisme dan keseimbangan di tengah umat Islam.</span> <span style="color: black;"><br /><br /><strong>5. Kepentingan politik dan ekonomi penguasa</strong></span> <span style="color: black;"><br />
Sejak dulu sering dikatakan bahwa manusia bersama agama para
penguasanya. Artinya, kebijakan penguasa di setiap masyarakat sangat
berperan dalam membentuk pikiran dan ide-ide masyarakat tersebut.
Keyakinan beragama para anggota masyarakat juga tak luput dari pengaruh
penguasa. Kebijakan penguasa yang menguasai jiwa, harta dan keamanan
masyarakat, telah mendominasi politik, ekonomi, budaya dan pendidikan
dan pengajaran masyarakat tersebut. Kini, seiring meluasnya sarana
komunikasi publik, pengaruh itu menjadi berlipat ganda.<br /><br /> Penguasa
dan politisi yang bijak akan memanfaatkan sarana dan fasilitas
tersebut demi kebaikan, perubahan dan persatuan umat. Namun, ada banyak
penguasa yang mengeksploitasi kemajuan teknologi untuk kepentingan
politik dan ekonominya. Selain tahta dan harta, mereka menyalahgunakan
kekuasaan untuk memperlebar pengaruhnya dan menciptakan perpecahan di
tengah umat Nabi Muhammad Saw. Tindakan seperti ini merupakan contoh
nyata tiranisme, yang menjadi akar perselisihan dan perseteruan umat.</span> <span style="color: black;"><br /><br /><strong>6. Kebijakan imperialisme dan arogansi</strong></span> <span style="color: black;"><br />
Pada masa lalu, hanya penguasa lokal yang mengadu-domba umat atas nama
agama atau karena kebodohannya atau karena fanatisme dan kepentingan.
Namun, dalam dua-tiga abad lalu dan sejak Eropa menginjakkan kakinya di
dunia Islam untuk menjarah sumber daya dan kekayaan negeri-negeri
Muslim, faktor lain juga memasuki arena pemecahan umat Islam. Faktor
baru ini mempertontonkan kejahatan yang paling keji dalam menguasai dan
menjarah kekayaan Muslim.<br /><br /> Perbedaan fundamental antara
pendatang baru ini dan penguasa lokal pada masa lalu adalah mereka
mamasuki dunia Islam penuh perhitungan dan melibatkan sejumlah ilmuan
dengan bendera orientaslis. Mereka mengacak-acak umat Islam dengan
berbagai trik dan konspirasi. Mengingat mereka sama sekali tidak punya
hubungan emosional, keagamaan, dan nasionalisme dengan umat Islam, maka
tak segan-segan pendatang baru ini melakukan berbagai kejahatan dan
menciptakan malapetaka di dunia Islam demi menguasai kekayaan umat yang
agung ini.</span> <span style="color: black;"><br /><br /> Beberapa
metode baru yang digunakan imperialis dan terutama Inggris untuk
menciptakan konflik di tengah umat Islam adalah sebagai berikut:</span> <span style="color: black;"><br /><br /><strong>a. Membentuk sekte dan sempalan baru</strong></span> <span style="color: black;"><br />
Sejak dulu, kebijakan imperialis Inggris didasari pada pembentukan
sekte baru dan kelompok politik sesat. Contoh pembentukan mazhab politik
baru adalah mewujudkan paramisioner dan juga partai-parti afiliatif.
Dalam bidang agama, mereka membentuk sekte-sekte sesat seperti Baha'i,
Qadiyan, Shaikhan dan lain-lain. Tujuannya adalah menyimpangkan ajaran
Islam dan memantik perpecahan umat. Metode lain Inggris adalah
memanfaatkan agen-agenya di dunia Islam untuk kepentingan mata-mata dan
aksi spionase.<br /><br /> Puncak penyimpangan intelektual yang diciptakan
oleh imperialis adalah menghapus hukum esensial dalam Islam seperti,
jihad, amar makruf dan nahi munkar, urgensi mendirikan negara Islam dan
menggantikannya dengan sekularisme, dan juga konsep nabi terakhir,
serta mempromosikan penafsiran-penafsiran keliru tentang qadha dan
qadar, kepasrahan, irfan, dan tasawuf.</span> <span style="color: black;"><br /><br />
Kebijakan imperialistik ini masih memanfaatkan unsur-unsur yang
menyimpang dan memperkuat penyimpagan pemikiran beberapa mazhab. Mereka
juga mengerahkan antek-anteknya ke berbagai negara Islam untuk
melancarkan praktek pengkafiran, tudingan bid'ah, dan fasik kepada
seluruh umat Islam. Anasir-anasir ini telah menaburkan benih-benih
perpecahan dan perselisihan di tengah umat Islam.</span> <span style="color: black;"><br /><br />
Kini, mungkin saja era membentuk sekte-sekte sempalan telah berakhir,
meski para imperialis masih memanfaatkan senjata ini dalam beberapa
peristiwa. Namun, pembentukan gerakan pemikiran dan ideologi modern,
partai-partai afiliatif, tokoh-tokoh revolusioner palsu dan penyeru
kebebasan, merupakan metode baru arogansi dunia untuk menguasai dunia
Islam. Mereka menyebarkan pemikiran-pemikirannya dengan memanfaatkan
sarana komunikasi dan kemajuan teknologi. Imperialis global juga
berupaya memisahkan masyarakat Islam dari Islam murni dan revolusioner
dengan tujuan melemahkan mereka dari dalam. Kewaspadaan terhadap trik
baru ini, yang diprioritaskan terhadap pusat-pusat pendidikan, media,
dan universitas, adalah tugas generasi baru dan harapan masa depan umat
Islam.</span> <span style="color: black;"><br /><br /><strong>b. Meruntuhkan dunia Islam dan disintegrasi negara Muslim</strong></span> <span style="color: black;"><br />
Pada zaman dulu, kekuatan-kekuatan besar menancapkan kekuasaannya atas
dunia Islam dengan segala kelemahan dan penyimpangan yang mungkin,
tetapi perwakilan kekuatan politik umat Islam bangkit melawan
musuh-musuh Islam dan mempertahankan integritas teritorial wilayah
Muslim dari rongrongan musuh. Dinasti Ottoman telah mendirikan sebuah
pemerintahan yang kuat dan mencakup Timur Tengah, Afrika Utara dan
sebagian besar dunia Ahlu Sunnah. Sementara pusat pemerintahan mereka
bertempat di Turki. Di sisi lain, Syiah juga membentuk pemerintahan yang
tangguh di bawah dinasti Safawi dan kemudian berdiri pemerintahan
Qajar.<br /><br /> Salah satu pengkhianatan besar penjajah dunia Islam dan
umat Islam adalah memperlemah pemerintahan Syiah di Iran dan pendudukan
terhadap sejumlah kota dan provinsi di negara itu. Kaum imperialis
memecah-mecah negara-negara Islam dan menciptakan negara-negara kecil di
kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Konspirasi ini mempermudah
imperialis untuk melakukan invasi militer ke negara-negara Islam.</span> <span style="color: black;"><br /><br />
Konspirasi tersebut merupakan pukulan terberat terhadap kemuliaan dan
kedigdayaan Muslim. Barat semakin leluasa menebarkan benih-benih
permusuhan dan perpecahan serta menciptakan sekte-sekte baru di tengah
umat Islam. Pada masa sekarang, Barat juga berupaya membentuk Timur
Tengah baru, membagi Irak dan secara keseluruhan dunia Islam. Amerika
Serikat, Eropa dan rezim Zionis Israel mempersiapkan peta baru untuk
memecah negara Islam. Konspirasi dan Peta Jalan ini kiranya dapat
digagalkan dengan kewaspadaan dan persatuan umat Islam.</span> <span style="color: black;"><br /><br /><strong>c. Invasi militer dan pendudukan</strong></span> <span style="color: black;"><br />
Fenomena ini juga dilakoni oleh kolonialis di beberapa belahan dunia
Islam seperti, anak benua India sepanjang tiga abad lalu dan dunia Arab
di Timur Tengah dan Afrika Utara, pasca runtuhnya Dinasti Ottoman.
Masalah ini telah menjadi sumber sengketa garis perbatasan, politik,
sektarian dan suku serta menghalangi persatuan dan kerjasama antar umat
Islam.<br /><br /><strong>d. Pembentukan pemerintah boneka</strong></span> <span style="color: black;"><br />
Para kolonialis Barat menempatkan beberapa antek-anteknya di
negara-negara Muslim yang tidak berhasil mereka taklukkan. Mereka
ditempatkan melalui konspirasi dan kudeta untuk melaksanakan
kebijakan-kebijakan imperialis dan penjaga kepentingan Barat di dunia
Islam serta pemicu perpecahan dan konflik di tengah umat Islam.
Konspirasi busuk ini dilancarkan di Iran dan Turki pada permulaan abad
ke-20 dan mereka menempatkan antek-anteknya seperti Reza Khan dan Kemal
Ataturk untuk menjalankan misi imperialis.<br /><br /><strong>7. Menciptakan sekat di tengah umat Islam</strong></span> <span style="color: black;"><br />
Komunikasi, kontak dan interaksi antara umat Islam serta dialog untuk
mengenal akidah satu sama lain, akan mengikis sejumlah besar
kesalahpahaman dan membantu pemahaman antar sesama.<br /><br /> Pada masa
lalu di mana sarana komunikasi masih terbatas, berbagai rumor dan
kesalahpahaman mendominasi kaum Muslim yang dipisah oleh jarak, tapi
sekarang, umat Islam bisa memahami dengan baik pemikiran-pemikiran
saudaranya dan terlibat dalam berbagai seminar dan konferensi. Kini,
mereka memahami bahwa kebanyakan perbedaan itu adalah bagian dari
sengketa verbal dan bersifat parsial. Sementara ada banyak unsur
kolektif yang akan menghubungkan mereka satu sama lain dan perbedaan
sangat minim jika dibandingkan dengan persamaan yang mereka miliki.</span> <span style="color: black;"><br /><br />
Pelaksanaan ibadah haji, yang termasuk ibadah agung Islam dan poros
tauhid serta solidaritas Muslim, memiliki peran yang sangat besar dalam
menciptakan keakraban di tengah umat Islam. Jika ritual ini dikelola
dengan baik, maka akan sangat membantu misi pendekatan mazhab dan
persatuan Islam. (IRIB Indonesia/Taqrib/SL)</span> <span style="color: black;"><br /><br /> * Penasehat Sekjen Forum Internasional Pendekatan Mazhab-mazhab Islam</span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: arial,helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><a href="http://muslimunity.net/index.php?option=com_content&view=article&id=153:tantangan-pendekatan-mazhab-dan-persatuan-islam&catid=38:artikel&Itemid=67" target="_blank">http://muslimunity.net/index.php?option=com_content&view=article&id=153:tantangan-pendekatan-mazhab-dan-persatuan-islam&catid=38:artikel&Itemid=67 </a></span></span></span></div>Muhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5484169373233948978.post-7240875572898849652012-05-15T17:05:00.002+07:002012-05-15T17:05:36.259+07:00Sunni dan Syiah Bersatu, Mungkinkah?REPUBLIKA.CO.ID, Selama berabad-abad lamanya, hubungan antara Sunni dan Syiah terus diwarnai perselisihan. Berbagai dialog untuk mempertemukan kedua aliran dalam Islam itu kerap dilakukan. Namun, ketegangan di antara kedua kubu itu tak juga kunjung mereda.<br /><br />Akankah kedua aliran besar dalam Islam itu bersatu? Prof Dr Musthafa ar-Rifa’i lewat kitab bertajuk Islamuna fi at-Taufiq Baina as-Sunni wa asy-Syi’ah, berupaya mencari benang merah yang bisa menautkan antara Sunni dan Syiah. Tokoh kelahiran Troblus, Lebanon pada 1924 itu mencoba menghadirkan perspektif yang berbeda dan mengkaji kedua aliran itu secara fair, tanpa menghilangkan bobot dan nilai akademik.<br /><br />Kitab ini mengkaji tentang kemungkinan mempersatukan antara dua kubu Sunni dan Syiah. Ar-Rifa’i menyertakan beberapa kajian penting dalam kitabnya. Ia mengupas bahasan tentang sebab kemunculan faham keagamaan Syiah, alasan penting bersatu, varian sekte yang ada dalam Syiah, serta prinsip-prinsip dan faham keagamaan mereka.<br /><br />Bebarapa hal penting menjadi perhatian ar-Rifa’i, di antaranya perbedaan hukum nikah mut’ah, konsep imamah, dan kemunculan Imam al-Mahdi. Ulasan tentang persoalan itu diuraikan dengan mengomparasikan pandangan kedua belah pihak. Kesimpulannya, diarahkan untuk mencari persamaan yang mempertemukan Sunni dan Syiah.<br /><br />Ar-Rifa’i menegaskan, mempertemukan kedua kubu itu bukanlah hal yang mustahil. Perbedaan yang selama ini mencuat, kata dia, pada hakikatnya bukan persoalan prinsip, melainkan masalah khilafiah yang dapat ditoleransi. Pada tataran ijtihad dan tradisi ilmiah lain, misalnya, terbuka peluang Sunni-Syiah bertemu.<br /><br />Setidaknya, menurut dia, pemandangan tentang sikap saling menghormati dan toleransi diteladankan oleh para ulama Salaf. Imam Abu Hanifah mewakili Sunni dan Imam Ja’far bin ash-Shadiq mewakili Syiah. Meski berbeda mazhab dan cara pandang, kedua tokoh tak saling bermusuhan dan tidak saling menafikan.<br /><br />Menurut ar-Rifa’i, keduanya justru saling meningkatkan sikap hormat dan menghormati. Dalam sebuah kisah dijelaskan bagaimana kedua pemimpin yang berbeda aliran itu hidup berdampingan dalam ukhuwah Islamiah.<br /><br />Dikisahkan, Zaid bin Ali seorang pemimpin kelompok Syiah Zaidiyyah—menerima pelajaran fikih dan dasar akidah dari Abu Hanifah yang notabene tersohor sebagai imam di kalangan Sunni. Demikian sebaliknya, Abu Hanifah mempelajari hadis dan disiplin ilmu lainnya dari Imam Ja’far ash-Shadiq.<br /><br />Bahkan, Abu Hanifah berguru langsung ke tokoh Syiah tersebut selama dua tahun penuh. Pujian pun kerap dilontarkan Abu Hanifah ke gurunya itu. Tak pernah bertemu guru lebih fakih dibanding Ja’far bin Muhammad.”<br />
<br />
REPUBLIKA.CO.ID,Waspadalah, Zionis Hendak Memecah Belah Umat<br /><br />Menurut Prof Dr Musthafa ar-Rifa’i lewat kitab bertajuk Islamuna fi at-Taufiq Baina as-Sunni wa asy-Syi'ah, perbedaan antara Sunni-Syiah yang selama ini kerap muncul di permukaan, hakikatnya bukan perbedaan yang prinsipil.<br /><br />Perbedaan hanya terletak pada persoalan non-prinsipil furuiyyah yang dapat ditoleransi. Hal itu didasari kuat oleh pemahaman terhadap ijtihad sebagai upaya memahami teks-teks agama. Ijtihad tersebut menggunakan berbagai dasar dan sumber hukum, antara lain, Alquran, hadis, ijma (konsensus), dan qiyas (analogi).<br /><br />Tak jauh berbeda dengan metode yang akrab di kalangan Syiah. Tradisi ijtihad tersebut populer di kalangan umat hingga akhirnya luntur seiring lemahnya pemerintahan Dinasti Abbasiyah di pertengahan abad ke-4 Hijriah, ketika dinasti tersebut dikuasai oleh dinasti-dinasti yang terpecah dan tersebar di sejumlah wilayah.<br /><br />Bersamaan dengan itu pula, ruh ijtihad mulai melemah. Sebagian umat kala itu, kembali memilih taklid dibandingkan mengembangkan budaya ijtihad. Kondisi ini menjadi satu dari sekian faktor yang mengakibatkan perbedaan antardua kubu tersebut kian memanas.<br /><br />Dalam konteks masa kini, ar-Rafa’i meyakini, faktor lain yang amat kuat memengaruhi dan memanaskan konflik antara Sunni dan Syiah adalah kekuatan eksternal yang datang dari imperalis Barat.<br /><br />Terutama politik dan konspirasi devide et impera (politik memecah belah) yang diterapkan oleh protokol kaum Zionis yang hendak memecah belah umat. Perpecahan faksi dan sekte yang tumbuh berkembang di internal Muslim, digunakan sebagai momen membenturkan dan mengadu domba berbagai kelompok itu.<br /><br />Redaktur: Heri Ruslan<br />Reporter: Nashih NashrullahMuhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5484169373233948978.post-57096056692468000092012-05-11T08:21:00.000+07:002012-05-11T08:21:11.174+07:00Asyura di NusantaraAsyura di Nusantara<br />
Oleh: Abu Zahra’<br />
<br />
Adalah tak terbantahkan bahwa Syi’ah punya pengaruh besar di Indonesia. Selain bahwa sejarah masuknya Islam ke Indonesia diwamai ajaran Syi’ah yang dicerminkan dalam pendirian kerajaan Islam pertama di Indonesia, Pasai, hingga kini pun kultur Syi’ah masih kuat dalam masyarakat Islam Indonesia, terutama di kalangan Muslim tradisional. Ritual tahlil, maulid, haul, tawasul, ziarah kubur dan sebagainya yang mengakar luas dalam masyarakat Islam Indonesia, betapapun tak persis sama seperti yang dilakukan masyarakat Syi’ah, tetapi tidak dapat ditolak bahwa ia terpengaruh oleh tradisi keagamaan masyarakat Syi’ah, sehingga populer ucapan Gus Dur bahwa NU meskipun menganut ajaran Ahlu Sunnah wa Jama’ah tapi secara kultural adalah Syi’ah.<br />
<br />
Di antara tradisi keagamaan yang meskipun tidak dapat dibilang sebagai tradisi Syi’ah mumi karena hampir semua ummat Islam menjunjungnya atau paling tidak pemah menaruh perhatian kepadanya yang hingga kini terus dilakukan masyarakat Islam Indonesia dengan sesuatu dan lain cara ialah peringatan wafat atau syahidnya cucu Nabi tercinta, Imam Husain Ibn Ali Ibn Abi Thalib di Karbala pada tahun 61 H, yang lazim disebut Asyura atau Karbala.<br />
<br />
Di Jawa ada Bubur Suro. Di Aceh (Sumatra) ada Kanji atau Bubur Asyura. Di Bengkulu dan Padang Pariaman, Sumatra Barat, ada upacara Hoyak Tabuik (Tabut) atau Hoyak Husain. Bahkan masyarakat Jawa dan juga masyarakat lainnya menyebut bulan Muharram dengan sebutan bulan Suro. (dari kata Asyura yang berarti hari kesepuluh bulan Muharram, hari terjadinya pembantaian terhadap Imam Husain)<br />
<br />
Upacara Hoyak Tabuik atau mengarak usungan (tabut) yang dilambangkan sebagai keranda jenazah Imam Husain yang gugur di Padang Karbala yang dilaksanakan masyarakat.Padang Pariaman di Sumatra Barat dan masyarakat Bengkulu yang dimulai dari hari pertama Muharram hingga hari kesepuluh memiliki kemiripan dengan yang dilakukan masyarakat Syi’ah, di berbagai negara. Bahkan istilah-istilah yang digunakan pun sama, seperti matam, panja, dan sebagainya.<br />
<br />
Bubur Suro di Jawa atau Kanji Asyura di Sumatra yang dibuat dalam dua wama, merah dan putih, mempunyai makna darah dan kesucian. Merah melambangkan darah Imam Husain dan keluarganya yang tumpah di Karbala. Merah juga melambangkan keberanian pasukan Karbala melawan penguasa zalim. Sementara putih melambangkan kesucian diri dan perjuangan Imam Husain melawan kezaliman. Biasanya Bubur Suro atau Kanji Asyura ini diberikan kepada sanak keluarga, kerabat, fakir miskin, terutama anak-anak, atau bahkan dibawa ke masjid dan balai desa untuk disantap bersama sebagai lambang kasih sayang kepada keluarga Imam Husain yang menderita karena ditinggal pengayom-pengayom mereka.
Bubur suro dibuat dari bahan-bahan antara lain kacang polong, beras, jagung dan santan. Ada pula yang menaruh kelapa parut. sedangkan Kanji Asyura dibuat dari beras, santan, gula, kelapa, buah-buahan, pepaya, delima, pisang, dan ubi jalar.<br />
<br />
Sementara itu Upacara Tabut di masyarakat Bengkulu dan Padang Pariaman digelar cukup semarak. Bahkan ada keyakinan pada sebagian masyarakat Padang Pariaman dan Bengkulu, jika tidak melakukan ritual ini mereka akan mendapat kualat.
Tidak ada catatan pasti kapan ritual ini mulai masuk ke kedua kota di sumatara itu. Sebagian mengkaitkannya dengan Syeikh Burhanuddin, pembawa Islam ke Minangkabau pada abad ke-16 M., yang kuburannya hingga kini banyak diziarahi orang. Tapi menurut sebagian ahli, ritual Tabut baru dimulai pada pertengahan abad ke-19, yaitu ketika sejumlah di tentara Inggris keturunan India yang bermazhab syi’ah menyelenggarakan upacara Tabut saat Inggris berkuasa di Bengkulu, kemudian dari situ merambat ke Pariaman bahkan ke Pidie, Aceh. Para keturunan orang-orang India ini disebut kaum Sipai atau Sipahi (bahasa Persia/Urdu yang berarti laskar). Hoyak Tabuik dimulai dari tanggal 1 Muharram, yaitu dengan mengambil lumpur dari sungai di tengah malam. Para pengambil lumpur harus berpakaian putih. Lumpur dikumpulkan ke dalam periuk yang ditutup kain putih, kemudian dibawa ke sebuah tempat yang disebut Daraga yang besamya 3×3 meter yang juga ditutup kain putih. Pengambilan lumpur melambangkan pengumpulan bagian-bagian tubuh Imam Husain yang terpotong. Daraga melambangkan makam suci Imam Husain, sedangkan kain putih adalah perlambang kesucian Imam Husain. Pada tangga15 Muharram mereka menebang batang pisang dengan pedang yang sangat tajam. Batang pisang itu harus tumbang sekali tebas.Penebangan batang pisang ini melambangkan kehebatan putra Imam Husain, Qasim, yang bertempur bersenjatakan pedang di tanah Karbala. Pada tanggal 7 Muharram, persis di tengah hari, panja atau potongan jari-jari Imam Husain yang sudah dibuat sebelumnya dibawa ke jalan-jalan dalam sebuah belanga bersama dengan Daraga. Biasanya orang menangis penuh kesedihan karena teringat tragedi Karbala yang mengenaskan. Pada hari kesembilan Muharram serban atau penutup kepala wama putih yang melambangkan serban Imam Husain diarak jalan-jalan untuk menunjukkan betapa hebatnya Imam Husain dalam membela Islam. Dan pada tanggal 10 Muharram ritual Tabuik mencapai puncaknya. Di pagi hari Tabut yang sudah dipersiapkan sebelumnya, Daraga, Panja dan serban diarak keliling kota dalam suatu pawai besar yang disaksikan oleh ribuan bahkan puluhan ribu penonton yang datang dari berbagai penjuru. Orang-orang pun berkabung dan berteriak Hoyak Tabuik, Hoyak Husain. Sore hari menjelang matahari terbenam saat arak-arakan selesai, semua benda-benda di atas diarak ke laut kemudian dibuang di tengah laut, lalu mereka pulang sambil melantunkan Ali Bidaya… Ali Bidaya, Ya Ali, Ya Ali, dan Ya Husain.<br />
<br />
Sumber: <a href="http://fatimah.org/artikel/asyuranusa.htm">Yayasan Fatimah</a>Muhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5484169373233948978.post-15863809886197055532012-05-09T08:06:00.001+07:002012-05-09T08:06:50.551+07:00Sikap FPI terhadap Syiah dan WahabiSehubungan dengan munculnya beragam macam pertanyaan bahkan fitnah
dan tuduhan dalam berbagai blog mau pun Facebook di dunia maya tentang
akidah FPI, ditambah lagi banyaknya desakan dari berbagai pihak agar FPI
menyampaikan sikapnya secara terbuka tentang Syiah dan Wahabi. Maka
kami redaksi <a href="http://www.fpi.or.id/default.asp" target="_blank">fpi.or.id</a>
berinisiatif untuk menukilkan pernyataan Ketua Umum FPI Habib Muhammad
Rizieq Syihab, M.A., saat DIKLAT Sehari FPI di akhir tahun 2009 yang
lalu berkaitan dengan ASASI PEJUANGAN FPI yang terkait asas, akidah, dan
mazhab organisasi.
<br />
FPI adalah organisasi AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR yang berasaskan ISLAM
dan berakidahkan AHLUSUNAH WALJEMAAH serta bermazhab fikih SYAFII. Jadi,
FPI bukan SYIAH atau pun WAHABI.<br />
<span id="more-2631"></span><br />
<h3>
SYIAH</h3>
Pandangan FPI terhadap SYIAH sebagai berikut: FPI membagi Syiah dengan semua sektenya menjadi TIGA GOLONGAN: Pertama, Syiah <em>ghulat </em>yaitu Syiah yang menuhankan/menabikan <a class="zem_slink" href="http://en.wikipedia.org/wiki/Ali" rel="wikipedia" title="Ali">Ali</a> bin Abi Thalib ra. atau meyakini Alquran sudah di-<em>tahrif</em>
(dirubah/ditambah/dikurangi), dan sebagainya dari berbagai keyakinan
yang sudah menyimpang dari usuluddin yang disepakati semua mazhab Islam.
Syiah golongan ini adalah kafir dan wajib diperangi.<br />
Kedua, Syiah <em>rafidah </em>yaitu Syiah yang tidak berkeyakinan seperti <em>ghulat</em>,
tapi melakukan penghinaan/penistaan/pelecehan secara terbuka baik lisan
atau pun tulisan terhadap para sahabat Nabi saw. seperti Abu Bakar ra.
dan <a class="zem_slink" href="http://en.wikipedia.org/wiki/Umar" rel="wikipedia" title="Umar">Umar</a>
ra. atau terhadap para istri Nabi saw. seperti Aisyah ra. dan Hafsah
ra. Syiah golongan ini sesat, wajib dilawan dan diluruskan.<br />
Ketiga, Syiah <em>mu’tadilah</em> yaitu Syiah yang tidak berkeyakinan
ghulat dan tidak bersikap rafidah, mereka hanya mengutamakan Ali ra. di
atas sahabat yang lain, dan lebih mengedapankan riwayat ahlulbait
daripada riwayat yang lain, secara zahir mereka tetap menghormati para
sahabat Nabi saw., sedang batinnya hanya Allah Swt. Yang Mahatahu, hanya
saja mereka tidak segan-segan mengajukan kritik terhadap sejumlah
sahabat secara ilmiah dan elegan. Syiah golongan inilah yang disebut
oleh Prof. DR. Muhammad Said Al-Buthi, Prof. DR. Yusuf Qardhawi, Prof.
DR. Wahbah Az-Zuhaili, Mufti Mesir Syekh Ali Jum’ah dan lainnya, sebagai
salah satu mazhab Islam yang diakui dan mesti dihormati. Syiah golongan
ketiga ini mesti dihadapi dengan dakwah dan dialog bukan dimusuhi.<br />
<h3>
WAHABI</h3>
Ada pun pandangan FPI terhadap wahabi sebagai berikut. FPI membagi
Wahabi dengan semua sektenya juga menjadi tiga golongan; pertama, Wahabi
<em>takfiri </em>yaitu Wahabi yang mengkafirkan semua muslim yang tidak
sepaham dengan mereka, juga menghalalkan darah sesama muslim, lalu
bersikap <em>mujassim</em> yaitu mensifatkan Allah Swt. dengan
sifat-sifat makhluk, dan sebagainya dari berbagai keyakinan yang sudah
menyimpang dari usuluddin yang disepakati semua mazhab Islam. Wahabi
golongan ini kafir dan wajib diperangi.<br />
Kedua, Wahabi <em>khawarij </em>yaitu yang tidak berkeyakinan seperti <em>takfiri</em>,
tapi melakukan penghinaan/penistaan/pelecehan secara terbuka baik lisan
mau pun tulisan terhadap para ahlulbait Nabi saw. seperti Ali ra., <a class="zem_slink" href="http://en.wikipedia.org/wiki/Fatimah" rel="wikipedia" title="Fatimah">Fatimah</a> ra., Al-Hasan ra. dan Al-Husain ra. mau pun <em>itrah</em>/zuriyahnya. Wahabi golongan ini sesat sehingga mesti dilawan dan diluruskan.<br />
Ketiga, Wahabi <em>mu’tadil</em> yaitu mereka yang tidak berkeyakinan
takfiri dan tidak bersikap khawarij, maka mereka termasuk mazhab Islam
yang wajib dihormati dan dihargai serta disikapi dengan dakwah dan
dialog dalam suasana persaudaraan Islam.<br />
Dengan demikian, FPI sangat MENGHARGAI PERBEDAAN, tapi FPI sangat
MENENTANG PENYIMPANGAN. Oleh karena itu semua, FPI menyerukan kepada
segenap umat Islam agar menghentikan/membubarkan semua majelis/mimbar
mana saja yang secara terbuka melecehkan/menghina/menistakan ahlulbait
dan sahabat Nabi saw. atau menyebarluaskan berbagai KESESATAN atau
melakukan PENODAAN terhadap agama, lalu menyeret para pelakunya ke dalam
proses hukum dengan tuntutan PENISTAAN AGAMA. (redaksi fi.or.id/adie)<br />
<br />
<strong>Sumber:</strong> <a href="http://www.fpi.or.id/artikel.asp?oy=sik-31" target="_blank">fpi.or.id</a>Muhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5484169373233948978.post-66029535966140016132012-05-09T08:05:00.002+07:002012-05-09T08:05:34.172+07:00Habib Muhammad Rizieq Shihab: “Fatwa MUI hanya untuk Syiah Ghulat”“Namanya juga media massa, ada orang di pinggir jurang belum jadi
berita. Tapi kalau sudah nyebur ke jurang baru jadi berita.
Kadang-kadang dia tunggu dulu sampai orang itu masuk jurang. Bahkan bila
perlu didorong agar masuk jurang supaya jadi berita.” Itulah kritik Habib Muhammad Rizieq Shihab, Ketua Front Pembela Islam
(FPI), terhadap media-media massa, yang baginya, sering tidak adil
dalam memberitakan aktivitas ormas yang dipimpinnya.<br />
<br />
Padahal, bagi Habib Rizieq, demikian ulama vokal ini biasa disapa,
FPI memiliki empat metode dalam menjalankan setiap aktivitasnya, yang
jarang diungkap media-media massa. Pertama, FPI harus mengedepankan
kelembutan sementara tindakan tegas hanyalah solusi akhir. Kedua, FPI
hanya concern terhadap jenis “kemaksiatan” yang sudah disepakati, bukan
yang masih diperselisihkan. Ketiga, FPI hanya memerangi maksiat yang
dilakukan secara terang-terangan dan terbuka. Keempat, FPI membagi dua
wilayah: amar makruf dan nahi mungkar. Amar makruf adalah wilayah
kemasiatan yang “didukung” oleh masyarakat, misalnya, karena persoalan
mata pencaharian. Di sini, tidak dilakukan tindakan tegas demi
menghindari konflik horizontal dan mudarat yang lebih besar.<br />
Wilayah seperti ini adalah harus didekati dengan memperbanyak dakwah,
mengirim ustad, dan melakukan pencerahan tentang buruknya maksiat.
Sedangkan wilayah nahi mungkar adalah ranah kemasiatan yang sudah tidak
disukai oleh masyarakat. Hanya saja karena kemaksiatan itu didukung oleh
pihak-pihak yang punya kekuatan, maka masyarakat menjadi takut dan
diam.<br />
“Inilah penegakan amar makruf dan nahi mungkar model FPI yang tak
pernah diungkap media,” keluh Rizieq, yang pernah mendekam di Rutan
Salemba selama tujuh bulan karena dianggap menyebarkan perasaan
permusuhan dan kebencian terhadap pemerintah (154 KUHP) pada Agustus
2003.<br />
Di rumahnya yang sederhana, di Gang Bethel kawasan Petamburan, ulama
berusia 43 tahun, lulusan Ummul Quro, Saudi Arabia, itu menerima Majalah
SYIAR untuk berbincang seputar Islam di Indonesia.<br />
<br />
Bisa diceritakan mengapa Anda membentuk FPI?<br />
FPI lahir karena tuntutan situasi dan kondisi ketika kemaksiatan dan
kezaliman merajalela di mana-mana, sehingga harus ada barisan umat yang
berani mengambil sikap tegas, jelas, dan nyata dalam berkonfrontasi
melawan kemasiatan, kemungkaran, dan kezaliman. Visi dan misi FPI adalah
amar makruf dan nahi mungkar menuju penerapan Islam secara kaffah.<br />
Ulama menjelaskan bahwa hisbah (perkara-perkara yang tidak ada dalam
narasi agama tetapi tidak boleh diabaikan—red) tidak berlaku hanya pada
negara tetapi juga pada perorangan. Imam al-Mawardi dalam al-Ahkâm
as-Sulthâniyyah, manakala negara telah melaksanakan tugas hisbah -nya,
maka individu tidak wajib lagi. Cuma yang jadi pertanyaan, bagaimana
bila perangkat di negara ini tidak menegakkan hisbah? Maka, kewajiban
itu tidak gugur dari pundak kita.<br />
Di Indonesia, kewajiban hisbah ada pada pundak pemerintah, penegak
hukum, polisi, jaksa, hakim, dan seterusnya. Manakala perangkat ini
bekerja dan berfungsi secara optimal, maka organisasi semacam FPI tidak
diperlukan lagi. Sebaliknya, bila semua perangkat itu tidak berfungsi,
maka keberadaan FPI menjadi keharusan dan kebutuhan. Sebagai bagian dari
masyarakat, FPI adalah perwujudan penolakan atas kemaksiatan dan
kezaliman.<br />
<br />
Apakah Anda punya model negara ideal yang menjalankan syariat Islam?<br />
Sekarang ini telah bermunculan negara-negara Muslim yang menjalankan
hukum Islam. Di samping punya kelebihan, mereka juga punya kekurangan.
Contohnya adalah Iran. Setelah Shah Iran tumbang, Ayatulah Khomeini dan
pengikutnya membentuk Republik Islam Iran. Terlepas dari perbedaan
mazhab yang ada, kita juga jangan lupa bahwa model kepeimipinan Islam
ini kan juga terlihat di Sudan meskipun sudah diacak-acak kekuatan
asing. Kalau lemah, niscaya Iran pun akan diacak-acak. Sebagaimana kita
tahu, sejak memproklamasikan diri sebagai Republik Islam, Iran langsung
diserang Irak, dan terjadilah Perang Teluk. Iran dikerubuti berbagai
macam negara dan tekanan Barat juga tidak berkurang. Artinya, tidak ada
satu pun negara Islam di dunia ini yang akan luput dari tekanan. Di
Aljazair, partai Islam sudah menang pemilu tapi dikhianati.<br />
Di kalangan Syiah, Iran sudah menjadi contoh, meskipun ada perbedaan
pendapat antara Khomeini dan Muhammad Jawad Mughniyah tentang konsep
“wilayatul faqih” yang belum tuntas hingga saat ini. Polemik ini adalah
salah satu wujud kekurangan Iran. Sedangkan dari segi sistem politik,
Iran boleh dikatakan sudah menjadi percontohan. Kita berharap ke depan
akan muncul negara-negara Islam lainnya yang bisa menjadi percontohan.<br />
Ada beberapa kesan yang saya dapat dari kunjungan saya ke Iran.
Sebagai Sunni Syafi’i, tentu kita punya pandangan sendiri tentang Syiah.
Namun demikian, antara memandang Syiah dari jauh dengan memandang Syiah
dari dekat itu beda. Dari jauh, Syiah itu begini dan begitu. Sedangkan
bila dilihat dari dekat, ternyata tidak seperti itu. Setidaknya,
kunjungan saya (ke Iran—red) itu akan melunturkan kebekuan. Tadinya
mungkin kaku dan anti-dialog. Tapi setelah kunjungan itu, agak sedikit
lebih cair dan terbuka. Yang kemarin tidak mau mendengar sekarang jadi
mau mendengar. Yang kemarin mau menyerang kini mengajak dialog.<br />
Ke depan, sikap ini perlu dikembangkan. Sebetulnya banyak perbedaan
Sunni-Syiah, baik dalam ushul maupun furu’. Tapi kita ingin menjawab
dalam realita kehidupan sehari-hari, apakah betul tidak ada jalan untuk
mendudukkan mereka bersama. Apakah betul tidak ada ruang dialog di
antara mereka?<br />
Saya lihat banyak sisi yang bisa didialogkan. Selama secara
terang-terangan dan terbuka mencaci-maki Abu Bakar, Umar, dan Usman,
berarti orang-orang Syiah telah menutup pintu dialog. Mustahil ada Sunni
yang mau diajak dialog kalau mendengar dari mulut Syiah sesuatu yang
jelek tentang mereka. Orang Syiah mesti memahami kejiwaan dan perasaan
sensitif Sunni sehingga tidak mencaci-maki atau menghina, apalagi
mengkafirkan mereka.<br />
Begitu juga sebaliknya. Sunni tidak boleh menggeneralisasi bahwa
semua Syiah itu kafir dan sesat. Kalau diambil, pasti sikap seperti ini
akan menyakiti hati orang-orang Syiah. Ini juga akan menutup pintu
dialog.<br />
Jadi, persatuan yang saya pahami bukan soal sependapat atau tidak
sependapat. Persatuan adalah masalah hati. Bila hatinya baik, berjiwa
besar, mau menerima perbedaan, mau berdialog, tidak mencaci-maki, dan
tidak menghina, setiap orang pasti bisa bersatu. Tapi kalau hatinya
sudah busuk dan rusak, orang tidak akan pernah bisa (bersatu—red).
Perbedaan kecil sedikit pun bisa menimbulkan permusuhan.<br />
Perbedaan sekecil apa pun, bila disikapi dengan jiwa kerdil, dada
sempit, sikap egois, dan mau menang sendiri, pasti akan mendatangkan
perpecahan dan malapetaka. Apalagi kalau perbedaannya besar, wah sudah
pasti hancur lebur. Sebaliknya, perbedaan sebesar apa pun, kalau
disikapi dengan jiwa besar, dada lapang, sikap tafâhum, dan saling
hormat, insya Allah tidak akan menimbulkan perpecahan.<br />
Sekali lagi, persatuan ini adalah masalah hati. Kita tidak bisa
memaksakan orang untuk sependapat. Mustahil. Sebab perbedaan pendapat
adalah sunnatullah yang akan selalu ada di setiap tempat dan zaman.<br />
Bila Syiah mengkritik kepemimpinan Abu Bakar dengan cara ilmiah dan
santun dan disertai dalil-dalil dan argumentasi yang baik, Sunni wajib
menjawabnya. Kita pun mesti menjawab pertanyaan-pertanyaan orang kafir
yang bertanya tentang akidah kita. Seperti Ahmad Deedat terhadap
pertanyaan-pertanyaan orang kafir. Begitu juga sebaliknya. Nah, kedua
belah pihak (Sunni-Syiah—red) harus menjawab dengan santun.<br />
Kalau Syiah, tanpa angin dan hujan, tiba-tiba mencaci Abu Bakar, itu
sama saja ngajak perang. Kritik terhadap sahabat, yang bagi Ahlusunah
adalah tabu tetapi biasa bagi Syiah, hendaknya disampaikan dengan adab,
ilmiah, akhlaqul karimah, dan tidak emosional.<br />
Membangun hal seperti ini tidaklah mudah tetapi ini bisa menyatukan hati dan langkah dalam kalimatullah. Itu yang lebih penting.<br />
<br />
Pandangan Anda tentang Syiah di Indonesia?<br />
Kalau yang saya lihat selama ini, hubungan saya baik dengan
kawan-kawan Syiah di Indonesia. Apa yang saya sampaikan ke Anda sekarang
ini juga sudah saya sampaikan kepada mereka. Contohnya kepada Ustad
Hassan Daliel, saya katakan, “Bib (habib—red), kenapa kita bisa jalan
bareng? Karena saya belum pernah mendengar Anda mencaci-maki sahabat.
Nah, ini perlu dijaga. Yang saya dengar kritik antum juga sopan. Tapi
kalau suatu saat saya mengkafirkan Anda dan Anda maki-maki sahabat, kita
bisa musuhan.” Ini sebagai gambaran umum dari apa yang saya terima dari
Ustadz Hassan Daliel, Ustadz Othman Shihab, Ustadz Agus Abubakar,
Ustadz Husein Shahab, Ustadz Zein Alhadi, dan banyak lagi ustadz-ustadz
Syiah yang tidak perlu saya sebutkan satu persatu. Saya belum pernah
mendengar ungkapan jelek dari mulut-mulut mereka. Yang saya tahu mereka
adil, berilmu, berakal, dan beradab. Mudah-mudahan hubungan ini bisa
dipertahankan. Bahkan bukan hanya itu, saya berharap orang-orang seperti
mereka mampu tampil ke depan mendorong orang-orang Syiah yang di bawah
atau junior-junior mereka agar tidak mencaci-maki sahabat nabi. Sebab,
ada satu saja Syiah yang mencaci-maki sahabat, nanti orang-orang Sunni
yang tidak paham akan menggeneralisasi bahwa Syiah memang seperti itu.
Orang awam kan mudah menggeneralisasi.<br />
Iran dikenal sebagai negara yang paling banyak membantu perjuangan
Hamas dan rakyat Palestina yang notabene Sunni. Apakah kenyataan ini
tidak bisa dijadikan momentum persatuan Sunni-Syiah?<br />
Iya, betul itu. Itu hal yang saya sangat catat. Waktu saya ke Iran
kemarin, Khaled Mishal (Ketua Depatemen Politik Hamas—red) baru saja
pulang dari Iran, tempat yang sama dengan yang kita datangi.<br />
Jadi, hubungan Hamas dan Hizbullah yang saling topang dan bantu
seharusnya menjadi potret bagi persatuan umat. Mereka tetap pada
pendapatnya masing-masing. Tapi pada saat mempunyai musuh bersama yang
bernama Israel dan Amerika, kekafiran dan kezaliman, Hamas-Hizbullah
bisa duduk dan jalan bersama. Kita juga bisa melihat hubungan erat
antara Hasan Nasrullah (Sekjen Hizbullah—red) yang Syiah dengan Fathi
Yakan (tokoh Ikhwanul Muslimin di Lebanon) yang Sunni. Bahkan Nasrullah
ngomong secara terbuka bahwa Fathi Yakan-lah yang pantas menggantikan
Siniora. Inilah potret positif yang luar biasa di zaman modern ini.<br />
Di sisi lain, kita juga sedih bagaimana Syiah dan Sunni di Irak
begitu gampang diadu domba. Ini jelas permainan pihak ketiga. Dia (pihak
ketiga—red) meledakkan mesjid Syiah dan menuding Sunni, dan kemudian
meledakkan mesjid Sunni dan menuding Syiah.<br />
Saya berharap kita bisa mengembangkan potret Sunni-Syiah yang
pertama. Potret yang kedua harus dihentikan segera. Sekarang di
mana-mana semakin transparan adu dombanya, seperti di Irak dan Pakistan.
Karena Syiah di Indonesia tidak besar, maka (adu domba itu—red) belum
terasa. Tapi di beberapa tempat adu-domba ini jelas berhasil.<br />
Syiah bukan barang baru di Indonesia. Menurut Sejarahwan, Syiah
datang dari Gujarat dan Persia. Setidaknya budaya Persia cukup dikenal
dalam tradisi keberagamaan di Indonesia. Apakah ini bisa jadi salah satu
faktor pemersatu Sunni-Syiah?<br />
Iya, itu bisa jadi faktor. Tapi, tetap faktor utamanya adalah masalah
jiwa besar dan akhlak yang baik. Orang Syiah yang berilmu dan berakhlak
tidak akan mungkin dari mulutnya keluar caci-maki kepada umat lain.
Tidak ada. Saya kenal ulama-ulama Syiah yang berakhlak dan berilmu.
Tidak ada keluar kata-kata kotor dari mulut mereka. Jadi, bila ada
aktivis-aktivis Syiah yang mengeluarkan kata-kata kotor tentang sahabat,
saya jadi heran, mereka itu ngikutin siapa?<br />
Jadi, semua kembali ke hati, yang gambarannya bisa dilihat dari
mulut. Bila mulutnya sudah penuh umpatan dan caci-maki, pasti hatinya
sudah jelek. Kalau hatinya baik, dia bisa menghargai orang. Dia bisa
mengetahui dan menahan ucapannya yang bisa menyinggung saudaranya. Bila
ingin menyampaikan kebenaran, ia menyampaikannya dengan santun. Bahkan
bila kita berhadapan dengan orang kafir, meski mungkin hatinya
mencaci-maki Islam, yang menyampaikan kritiknya dengan sopan, kita mesti
menjawabnya. Nabi dulu juga berdialog dengan orang musyrik, kafir,
Nasrani, dan Yahudi. Itu contoh bagi kita.<br />
<br />
Bagaimana dengan fatwa MUI yang menyesatkan Syiah?<br />
Begini, kita tidak bisa menggeneralisasi semua Syiah sesat atau semua
Syiah tidak sesat. Sebab orang Syiah pun merngakui bahwa di internal
Syiah pun terdapat macam-macam golongan, dan di dalamnya ada pula yang
sesat, yakni yang menuhankan Ali, meyakini Jibril salah menyampaikan
risalah, dan al-Quran yang seharusnya lebih tebal daripada sekarang. Itu
ada dan diakui oleh Syiah mainstream. Dalam hal ini, yang dimaksudkan
dengan fatwa MUI tadi adalah Syiah yang semacam itu.<br />
Yang perlu disadari betul oleh Syiah adalah bahwa Ahlusunah punya
sikap tegas soal sahabat. Bagi Sunni, siapa pun yang mencaci-maki dan
apalagi mengkafirkan sahabat akan dikatakan sesat. Ini kunci.<br />
Oleh karena itu, untuk mengambil jalan tengah, Syiah harus menahan diri
dari mencaci-maki dan mengkafirkan sahabat. Ajaklah Sunni berdialog,
seperti yang dilakukan kelompok Zaidiyah yang masih bagian dari Syiah.
Kenapa Sunni dan Zaidiyah bisa akrab? Bahkan, kitab-kitab Zaidiyah,
seperti Subulus Salâm dan Naylul Awthâr, dipakai di pondok-pondok
(pesantren—red) Sunni.<br />
Jadi, yang dikafirkan MUI tanpa ragu-ragu adalah Syiah yang
mengkafirkan sahabat, yang meyakini al-Quran berubah, atau yang
menganggap Ali lebih afdhal daripada Muhammad. Sekarang tinggal Syiah
Indonesia introspeksi diri, apakah mereka masuk ke dalam ciri-ciri yang
disesatkan MUI? Kalau tidak masuk dalam kelompok tersebut, tidak perlu
gerah dengan fatwa itu. Saya sendiri lebih suka MUI membuka dialog.
Hendaknya MUI mengundang tokoh-tokoh Syiah Indonesia untuk klarifikasi
seperti apakah Syiah mereka itu.<br />
Sekali lagi, saya berpendapat, kita tidak bisa mengeneralisasi Syiah.
Sebab, Syiah itu macam-macam: ada yang moderat, konservatif, ekstrem,
dan bahkan ada yang kafir. Bahkan, Muhammad Jawad Mughniyah (ulama Syiah
Lebanon—red) dalam al-Fiqhu ‘ala al-Mazhâhib al-Khamsah mengatakan
bahwa Syiah ghulat adalah kafir. Katanya, gara-gara ghulat, kami, Syiah
Ja’fariyah, yang moderat jadi tertuduh. Waktu di Qum, saya melihat
aparat menggerebek majelis Syiah Alawiyah, yang menuhankan Ali. Artinya,
yang mengkafirkan Syiah ghulat bukan hanya MUI, bahkan ulama Syiah pun
mengkafirkannya. Jadi kita perlu memahami konteks fatwa MUI tersebut.<br />
<br />
Salah satu cara mendidik umat adalah menghidupkan tradisi keagamaan. Bagaimana sikap FPI?<br />
Dari segi praktiknya, FPI tidak beda dengan NU dalam hal menjalankan
tradisi Islam. FPI bukan kelompok nawasib (Sunni ekstrem—red). FPI
adalah Sunni Syafi’i, meskipun tidak disyaratkan secara mutlak.
Menghormati Nabi saw dan keluarganya sangat dijaga dalam FPI. Setiap
anggota FPI wajib mencintai Ahlulbait, sahabat, tabi’in, dan
tabi’ut-tabi’in, dan bahkan ulama sekarang. Di dalam FPI, tradisi cium
tangan ulama masih berlaku. Bagi FPI, itu hanya sekadar penghormatan
bukan pengkultusan, termasuk juga memperingati hari besar Islam, seperti
tahun baru Hijrah, Maulid, dan Asyura yang sejarahnya diakui Sunni.<br />
Di Indonesia, tradisi Maulid bisa (berlangsung—red) sampai 4 bulan.
Di Iran, Maulid hanya diselenggarakan pada 12 hingga 16 Rabiul Awal.
Tanggal 12 adalah versi Sunni sedangkan 16 versi Syiah. Berarti 1 minggu
berturut-berturut (di Iran—red) diperingati Maulid sebagai bentuk
penghormatan kepada Sunni-Syiah. Di Indonesia, (Maulid—red) bisa
sepanjang tahun. Kadang-kadang bulan puasa pun baca Maulid. Di FPI,
ratiban dibaca tiap kamis sore.<br />
FPI juga punya munajat al-jabhah, artinya “munajat front”. Isi
munajat itu adalah ratib haddad, ratib athos, wirid Syekh Abu Bakar bin
Salim, dan wirid akidah Syekh Ali bin Abu Bakar as-Syakrar. Jadi, itu
gabungan dari beberapa wirid yang pernah diamalkan para habaib
terdahulu, seperti Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad, Habib Umar bin
Abdurrahman Alathos, Syekh Abu Bakar bin Salim, dan lain-lain. Mereka
ini mempunyai wirid dan munajat yang kita baca. Ada juga wirid dari
Ahlulbait Nabi saw, seperti munajat Sayyidina Ali, Sayyidah Fathimah,
dan Imam Ali Zainal Abidin, yang juga dibaca FPI, bukan hanya di Jakarta
tetapi juga FPI di seluruh Indonesia.<br />
<br />
Bagaimana relasi dengan kelompok Islam lain yang anti-tradisi?<br />
Saya bergaul dengan berbagai macam kelompok. Dengan Ustad Abubakar
Baasyir, saya sudah seperti keluarga. Saya anggap dia itu orang tua dan
kawan. Meskipun orang tahu bahwa kita berdua punya pandangan yang
berbeda tentang tradisi. Beliau orang yang arif. Beliau tetap punya
pendapat dan dalil tetapi tidak menyerang kita. Saya bisa duduk dan
diskusi bersama. Ada urusan umat yang lebih besar daripada sekedar
kebolehan dan keharaman tahlil. Ada prioritas.<br />
Kadang-kadang kita juga bicara tentang persoalan furu’, tetapi
sifatnya ringan saja. Misalnya, waktu sama-sama di Lapas Salemba, kita
sempat bicara tentang qunut subuh. Saya qunut karena ikut mazhab
Syafi’i. Beliau tidak pakai qunut. Suatu kali beliau bilang dapat dalil
bahwa Ibnu Abbas juga pakai qunut. Artinya, beliau juga mengkaji tetapi
pembicaraannya ringan dan tetap saling menghormati.<br />
Kenapa bisa demikian? Karena kita bisa berjiwa besar dan berlapang
dada. Kalau mereka tidak menyerang kita, kita juga tidak boleh menyerang
mereka. Kalau sekedar kritik dengan ilmu dan adab, ya…boleh saja dan
itu juga perlu dijawab dengan cara yang serupa.<br />
Tidak bisa kita identikkan tegas dengan ekstrem sehingga membenci
segala macam tradisi. Kalau Salafi mengkritik dengan baik-baik, kita
juga akan menjawabnya dengan baik-baik. Tapi, kalau ada orang-orang yang
mudah memusyrikkan dan mengkafirkan orang-orang yang tawasul dan
tabaruk, maka sesungguhnya mereka tidak bisa membedakan antara
kemungkaran yang disepakati, yang memang harus dilawan dengan tegas, dan
bagian-bagian yang tidak disepakati perihal mungkar tidaknya. Ini
adalah persoalan khilafiyah. Sikap terhadapnya berbeda.<br />
<br />
Bagaimana Anda membina keluarga? Kondisi Anda sekarang ini tentu berefek juga secara psikologis kepada anak-istri?<br />
Yang saya pahami, rumah tangga adalah miniatur dari penegakan dakwah,
amar makruf, dan nahi mungkar sebelum (ketiga konsep itu—red)
diterapkan di luar rumah tangga.<br />
Yang saya lihat, banyak orang yang salah mengartikan konsep dakwah,
amar makruf, dan nahi mungkar sehingga terjadi kesemrawutan definisi,
pengertian, dan penerapan konsep ini. Padahal ketiga hal itu mempunyai
metodenya sendiri-sendiri. Meskipun secara umum, setiap dakwah pasti
mempunyai kandungan amar makruf dan nahi mungkar. Setiap amar makruf dan
nahi mungkar pun pasti mengandung unsur dakwah. Ketiganya saling
mengisi dan terkait.<br />
<br />
Tetapi mengapa dalam ayat tersebut, Allah membedakan ketiganya? Berarti ada fokus penekanan yang berbeda satu sama lain.<br />
Bentuk realistisnya ada dalam rumah tangga. Dalam hadis dikatakan,
anak di bawah 7 tahun tidak boleh dipaksa salat, disuruh pun tidak usah.
Cukup diajak dan diberi contoh saja. Nah, mengajak itu namanya dakwah.
Kenapa cuma dakwah saja? Sebab, anak kecil belum tahu apa-apa. Dia tidak
tahu mana baik dan buruk. Sifat khas mengajak adalah kelembutan, tidak
boleh secara keras dan malah harus merayu.<br />
Pada usia 7-10 tahun, anak sudah disuruh, bukan lagi diajak. Nabi saw
mengatakan “suruh”. Ayo kita salat dan ambil wudu. Menyuruh lebih tegas
daripada sekadar mengajak. Tidak ada rayuan lagi. Ini sudah masuk
konsep amar makruf, seperti atasan yang menyuruh bawahan. Saat usia 10
tahun, Nabi saw menyuruh “dan pukul mereka saat berusia 10 tahun”.
Begitu kita pukul untuk salat, itu sudah masuk tahap nahi mungkar.<br />
<br />
Jadi, dakwah mesti lembut sementara amar makruf mesti keras?<br />
Masyarakat awam yang masih belum ngerti Islam sama seperti anak yang
belum berusia 7 tahun. Ini juga berlaku bagi mereka yang belum masuk
Islam atau kafir. Bagi yang baru kenal Islam, anggap saja mereka baru
berumur 7 tahun. Konsep amar makruf bisa diterapkan setelah mereka lama
mengenal Islam tetapi bandel tidak mau melaksanakan syariat. Saat itu,
kita bisa anggap mereka sebagai anak usia 10 tahun ke atas, mesti keras,
dipukul, seandainya mereka coba-coba bikin maksiat.<br />
Sikap saya dalam rumah tangga dan di luar rumah tidak jauh beda.
Anak-anak saya sudah tidak kaget melihat saya perang dengan mafia.
Anak-anak saya juga sudah tidak kaget bila menerima telepon bernada
teror, mengancam, dan mencaci-maki. Sebab, mereka sudah kita doktrin.
Mereka akan mengatakan, “wah itu musuh abah.” Yang penting kan bukan
abahnya yang dibilang penjahat (tertawa). Karena itulah, anak-anak saya
tidak pernah malu bila melihat saya di penjara. Mereka tetap percaya
diri, tidak minder, dan malah bangga karena ayahnya di penjara demi
membela agama.<br />
<br />
Siapa guru yang paling berperan dalam membentuk karakter Anda seperti sekarang?<br />
Dulu saya, Ustadz Hassan Daliel dan Ustadz Othman Shihab, sama-sama
belajar di al-husaini bimbingan Almarhum Habib Muhsin bin Ahmad Alatas.
Guru saya ini ahli fikih yang tegas. Dia akan katakan yang hitam ya
hitam dan putih ya putih, yang halal ya halal, yang haram ya haram.
Beliaulah yang paling banyak memberikan dorongan dan mewarnai pemikiran
saya karena beliau pulalah yang mengenalkan saya sejak awal tentang apa
itu Islam. Ini yang paling berkesan. Dia mengatakan yang hak itu hak,
yang batil itu batil, walaupun seisi dunia akan mencerca kita. Itulah
yang saya pegang sampai sekarang. Dan itulah pula yang saya terapkan
dalam keluarga<br />
<br />
<a href="http://satuislam.wordpress.com/2009/05/07/ustadz-habib-muhammad-rizieq-shihab-%E2%80%9Cfatwa-mui-hanya-untuk-syiah-ghulat%E2%80%9D/" target="_blank">http://satuislam.wordpress.com/2009/05/07/ustadz-habib-muhammad-rizieq-shihab-%E2%80%9Cfatwa-mui-hanya-untuk-syiah-ghulat%E2%80%9D/ </a>Muhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5484169373233948978.post-11348011788272508302012-05-09T07:56:00.003+07:002012-05-09T07:56:50.960+07:00Habib Umar bin Hafiz Bicara tentang Syiah<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div id="attachment_1288" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;">
<img alt="editsmall" class="aligncenter" height="298" src="http://ejajufri.files.wordpress.com/2009/09/editsmall.jpg?w=397&h=298" title="Habib Umar dan Ust. Muhammad BSA" width="397" /> </div>
<br />
<br />
<div id="attachment_1288" style="text-align: center;">
Habib Umar bin Hafiz – Ust. Muhammad bin Alwi BSA – Ust. Hasan Daliel Alaydrus – Ust. Othman Shihab</div>
<div id="attachment_1288" style="text-align: center;">
</div>
Berbeda dengan apa yang disebutkan oleh albayyinat.net yang
menyatakan bahwa Habib Umar bin Hafiz menyebut Syiah sebagai “sesat dan
menyesatkan”, dalam pertemuan dengan habaib dan ustaz Syiah di Jakarta,
Habib Umar mempunyai jawaban yang berbeda. Berikut transkrip pertemuan
tersebut pada Februari 2008.<span id="more-163"></span><br />
<h3>
Habib Zen Umar bin Smith (Ketua Umum Rabithah Alawiyah Indonesia):</h3>
<em>Assalamualaikum Wr. Wb</em>. Terima kasih atas kedatangan
saudara-saudara ikhwan semua. Maksud pertemuan kita ini, saya sengaja
atas nama Rabithah dan atas nama saya secara pribadi menginginkan
pertemuan ini dan sengaja meminta Habib Umar berada pada lingkungan kita
untuk <em>jalsah</em> bersama-sama dan bisa sedikit banyak menyarankan
segala sesuatu permasalahan yang sekarang menyelimuti kita saat ini. Di
mana saat ini kita berada pada posisi yang, terutama Rabithah,
menghadapi berbagai masalah yang ada di kalangan Bani Alawi atau <em>Alawiyyin </em>dan masing-masing mempunyai pendapat.<br />
<br />
Bagi kami sebenarnya perbedaan itu pasti akan ada di mana-mana karena
biar bagaimana saudara sekandung pun bisa berbeda tetapi mudah-mudahan
tidak menyebutkan perpecahan karena ini yang kita inginkan bahwa semua
kita ini satu. Kita harus menghormati. Kita beda baik beda tetapi saling
menghormati perbedaan masing-masing. Ini yang kita inginkan. Dalam
kaitan ini sengaja saya harapkan kepada ikhwan yang ada di sini <em>tafadhal </em>karena ada Habib Umar, ada habaib yang lain kita bisa berdiskusi secara bebas, rileks.<br />
<br />
<em>Fadhal </em>kalau ada pertanyaan yang kami mintakan bahwa segala sesuatunya harus didasari dengan <em>husnuzhan</em>,
ikhlas, dan tentunya dengan akhlak ini yang menjadi persyaratan bagi
kita karena kalau kita bertanya, kita mengajukan suatu pendapat ada
permasalahan di mana kita tidak bisa menghormati perbedaan akan sulit
kita kembali kepada <em>Thariqah</em> Bani Alawi, <em>Thariqah</em> Alawiah yang didasari dengan tentunya <em>‘ilm</em>, amal, ikhlas, lalu <em>wara’</em>, lalu <em>khauf</em>. Hal ini menjadi dasar bagi kita semua.<br />
Nah untuk itu saya persilahkan bagi saudara-saudara kita yang ada di
sini tanpa canggung bertanya. Apabila kita sependapat, alhamdulillah.
Apabila kita tidak sependapat mari kita hormati perbedaan masing-masing.
Ini yang kita harapkan jangan sekali-kali kita merasa yang paling benar
sendiri karena kalau itu sudah menjadi permasalahan akan timbul
permasalahan yang baru lagi. Kadang-kadang kita lupa bahwa kita
menyelesaikan masalah tapi menimbulkan masalah baru. Nah ini yang
terjadi. <em>Tafadhal </em>dan saya yakin karena kita semua berada pada zuriah <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Apostle_of_God" rel="wikipedia" title="Apostle of God">Rasulullah</a> saw., kita menjadi cucu <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Fatimah" rel="wikipedia" title="Fatimah">Fatimah</a>
Az-Zahra pasti kita akan menonjolkan pada akhlak yang mulia dan saya
tidak yakin di antara kita itu ada yang didasari dengan kedengkian,
insya Allah.<br />
<br />
Di sini kita mulai <em>tafadhal </em>kalau ada pertanyaan. Di sini
ada sudah beberapa yang apa namanya pertanyaan masuk tapi saya harapkan
nanti ada pertanyaan yang akan diajukan dan kita minta bahwa
permasalahan keluar dari tempat kita ini, insya Allah. Kita tidak ada
lagi ganjelan-ganjelan yang ada di hati, insya Allah dan saya harapkan
bahwa ini permintaaan saya sebagai ketua Rabithah Alawiyah dan juga
sebagai sahibulbait… <em>Fadhal</em>…<br />
<h3>
Ustaz Hasan ‘Daliel’ Alaydrus:</h3>
<em>Bismillâhirrahmânirrahîm</em>. Pecintamu Hasan bin Ahmad bin
Husain Alaydrus. Hari ini kami sangat bergembira sekali, ceramahan antum
(Habib Umar bin Hafiz), arahan-arahan antum, membuat gembira dan sejuk
kami. <em>Sayyidah Nisa’il Alamin</em>, Fatimah binti Rasulillah <em>‘alaihâ salâmullâh</em>
dan keturunan Sayidah Fatimah di Indonesia banyak sekali sebagaimana
antum ketahui. Adalah sebuah realitas wahai Habib, bahwa keturunan
Sayidah Fatimah saat ini… dan mereka adalah saudara-saudara antum kami
ingin tentu perkataan antum di dengar karena itu kami bertanya di depan
saudara-saudara kita, agar apa? Agar tidak ada lagi sesuatu yang samar
atau tidak jelas. Agar jelas, hari ini, sebelum kita keluar dari rumah
kediaman Sayid Zen bin Smith, sebelum kita berpisah dan kembali ke rumah
kita masing-masing, masalah ini harus jelas terlebih dahulu.<br />
<br />
Tentu kami mengharapkan dari antum bimbingan-bimbingan antum,
perkataan dan fatwa antum, agar menjadi jelas. Kami ingin mencintai
karena Allah Swt. Wahai Habib, kami menangisi perpecahan ini, kami
sedih, kami malu kepada Allah, kepada Rasul… kami ingin… antum baru saja
katakan bahwa ridha Allah, ridha Rasul saw. akan turun dengan adanya
jalinan hubungan antarsesama dan kami menginginkan hal itu. Akan tetapi
ada suatu hal penting, di setiap majelis, di atas mimbar-mimbar yang
diberkati, antum perlu selalu menyerukan persatuan ya Habib. Menyerukan
persatuan barisan, khususnya diantara kita sesama Alawiyin.<br />
<br />
Karena itu ya Habib, berilah kami pengetahuan, semoga Allah
menganugrahi Antum pengetahuan, kita menemukan sebuah realitas di
masyarakat Alawiyin saat ini, bahwa sebagian dari mereka bermazhab Syiah
ya Habib. Saya adalah seorang bermazhab Syiah. Saya adalah salah
seorang murid Almarhum Al-Habib Abdullah Syami’, khususnya saya berguru
kepada Habib Hadi bin Ahmad Assegaf dan Syekh Hadi bin Sa’id Jawwas.
Mereka semua tahu bahwa saya seorang Syiah. Saya duduk bersama mereka.
Mereka mencintai saya. Banyak dari saudara-saudara kita menyaksikan.
Saya, Ustaz Othman Shihab, Ustaz Muhammad bin Alwi Bin Syekh Abu Bakar.<br />
<br />
Kami bermazhab Syiah, namun sangat disayangkan, kadang-kadang sebagian orang berkata: “Mereka orang Syiah meninggalkan <em>turats </em>datuk-datuk mereka dari kalangan habaib dan para wali di <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Hadhramaut" rel="wikipedia" title="Hadhramaut">Hadramaut</a>.” Tidak! Kami membaca ratib, doa-doa, munajat-munajat. Bahkan terkadang kami mengutip ucapan antum dalam <em>Adh-Dhiya’al Lami’</em>. Kami ingin membangkitkan semangat para <em>Alawiyyin</em>, maka kami mengutip ucapan Antum dalam <em>Adh-Dhiya’al Lami’</em>:
“Demi Allah, tidak disebut sang kekasih oleh pecinta, melainkan ia
dibuatnya mabuk kepayang. Manakah gerangan para pecinta yang bagi mereka
mengerahkan segenap jiwa dan hal-hal berharga adalah sesuatu yang tidak
berarti.”<br />
Kami tidak meninggalkan Hadramaut. Akan tetapi, terus terang, pada
kenyataannya kami katakan bahwa kami bermazhab Syiah. Kami menganut
mazhab Imam Jakfar As-Sadiq alaihi salam. Kami menukil ilmu fikih, <em>ushûluddîn</em>,
dan lain-lain, sebagaimana Antum singgung tadi. Karena itu, saya ingin
bertanya kepada Antum, dengan segala takzim dan hormat saya: Apakah
Syiah kafir atau tidak? Inilah pertanyaan saya ya Habib, agar apabila
jawabannya keluar dari lisan Antum yang diberkahi, insya Allah
saudara-saudara akan mendengar, dan tidak akan lagi ada ketidakjelasan,
dan insya Allah, besok saya akan mengunjungi Habib Naqib bin Syekh Abu
Bakar, dan besok saya… ringan bagi saya insya Allah. Saya pergi
mengucapkan salam dan duduk bersama Habib siapa saja… seluruhnya. Maka,
karena itu, ya Habib, berilah kami pengetahuan, semoga Allah
menganugrahi Antum pengetahuan, terima kasih untuk Antum.<br />
<h3>
Habib Umar bin Hafiz:</h3>
Semoga Allah memberkati dan memberi taufik-Nya kepada anda dan kita
semua. Apa yang anda sebutkan, pada ucapan anda, mengenai adanya tali
hubungan (<em>ittishal</em>) dengan dengan Sayid Abdullah Syami’ atau
yang lainnya, semua itu insya Allah akan tetap berlangsung. Seperti Anda
ketahui, bahwa di antara kewajiban seorang yang <em>muttashil </em>(menyambungkan
diri) dengan seorang guru, atau siapa pun, begitu pula berkaitan dengan
mazhab Imam Ja’far Ash-Shadiq, perlu anda ketahui bahwa tidak ada
seorang pun dari syekh-syekh Anda, syekh-syekh dan datuk-datuk kita
semua, yang keluar dari manhaj Sayidina Ja’far Ash-Shadiq atau
bertentangan dengannya.<br />
<br />
Berkaitan dengan penukilan masalah-masalah yang bersifat <em>fiqhiyyah</em>,
maka dalam hal ini terdapat banyak jalur (periwayatan) dan menjadi
bahan diskusi di antara apara ulama. Terdapat banyak jalur dalam hal
metode penukilannya. Maka jika kita telah mengetahui demikian, kita
katakan bahwa Sayidina Ali Al-Uraidhi ra. adalah penggalan jiwa
ayahandanya, seperti saudara (Imam) Musa Al-Kazhim ra. apa yang berada
pada keduanya tidak ada yang keluar dari manhaj ayah mereka, Sayidina
Ash-Shadiq ra.<br />
<br />
Seperti Anda singgung dalam pembicaraan Anda, bahwa Anda berpegangan
pada mazhab yang di pegang oleh mereka, kemudian, cabang-cabang ilmu
fikih dalam syariat Islam sangat luas sekali, dan bukan masalah dalam
mengambil satu dari sekian banyak cabang ilmu fikih, bahkan tak jarang
ditemukan sebuah pendapat yang menjadi pegangan mazhab tertentu dan
terdapat padanannya pada mazhab-mazhab lain yang populer di kalangan
ahlusunah.<br />
<br />
Karena itu di tempat kami terdapat kelompok zaidiah di Yaman. Zaidiah adalah salah sebuah <em>firqah </em>Syiah, mereka adalah <em>firqah </em>Syiah
yang paling dekat dengan ahlusunah. Kelompok ini hidup selama ratusan
tahun, di antara mereka dengan kalangan ulama dan masyarakat kita
terjalin hubungan baik, kehidupan bertetangga yang baik, dan akhlak yang
baik, diantara mereka juga terjalin hubungan surat-menyurat dan saling
kunjung mengunjungi, dan lain sebagainya. Mereka hidup berdampingan, di
masjid-masjid mereka, mereka shalat dengan selain mereka tanpa ada
perselisihan, masalah atau pertentangan.<br />
<br />
Mereka memiliki banyak cabang dalam masalah fikih, bahkan sebagian
mereka dinilai sebagai para penganut mazhab Hanafi karena banyaknya
kesamaan dalam masalah-masalah fikih mereka dengan mazhab Imam Abu
Hanifah. Padahal mereka bukan para penganut mazhab Hanafi. Terdapat
banyak kesamaan pendapat di antara dua mazhab tersebut dan hal ini tidak
masalah. Kalau hal ini Anda ketahui, maka jawaban atas pertanyaan Anda
adalah bahwa kami tidak mengkafirkan suatu kelompok pun dari sekian
banyak kelompok Islam kecuali yang secara terang-terangan menunjukkan
pertentangan terhadap sebuah persoalan agama yang diketahui secara
pasti, lalu mereka mengingkarinya.<br />
<br />
<span class="embed-youtube" style="display: block; text-align: center;"></span>
Karena itu, kita tidak bisa menghukumi secara umum. Banyak dari
pengikut ahlusunah yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan
kekufuran, apabila salah seorang dari mereka mengerjakan sesuatu yang
dapat menyebabkan kekufuran yang disepakati secara ijmak, disepakati
dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam maka status “pengkafiran” ini
untuk pelaku perbuatan penyebab kekufuran tersebut, bersifat umum.
Adapun dalam menindak si pelaku secara khusus, itu adalah tugas <em>walî amr</em>.
Sedangkan penyebutan status “kafir” tidak dilakukan dengan menyebutkan
nama individu terkait. Namun dengan cara menyebutkan perbuatan penyebab
kekufuran, dan keyakinan penyebab kekufuran, karena itu orang-orang
seperti Anda yang berpendapat apa pun, misalnya Anda berkata, “Saya
Syiah, saya pengikut Imam Ja’far Ash-Shadiq,” tidak boleh dikafirkan,
dengan ucapan ini, pandangan ini, tidak bisa dikafirkan.<br />
<br />
Tidak yang diyakini orang-orang seperti Anda kecuali bahwa Anda
mengagungkan Allah Swt., mengagungkan rasul-Nya, mengagungkan Alquran,
mengagungkan umumnya kaum mukminin dan kalangan khusus dari mereka,
serta keinginan untuk mensucikan diri Anda dari berbagai bentuk cacian,
laknat dan makian kepada yang kecil dan besar. Inilah yang diyakini dan
diduga berada pada orang seperti Anda, dan dikenal pada Anda. Ini tentu
tidak membuat Anda keluar dari maslak keislaman. Yakni seperti ucapan
Anda, “Saya adalah seorang Syiah,” dari sini Anda tahu, bahwa kami,
serta para ulama dan manusia-manusia terbaik umat ini, khususnya salaf
shaleh kita dari Âl Abi Alawi, mereka adalah orang-orang yang paling
jauh dari kebiasaan mengkafirkan, khususnya terhadap umat Islam, sampai
seperti bunyi redaksi hadis Nabi saw., “Sampai kalian lihat mereka
menunjukkan kekufuran secara benar-benar jelas.” Yakni tidak lagi perlu
di takwil.<br />
<br />
Namun demikian, mereka mengatasi perkara ini (kekufuran seseorang
yang benar-benar jelas) tidak dengan atau dengan mencaci dan memaki,
tetapi dengan memintanya bertaubat, dan menjelaskan masalah kepadanya,
jika ia tidak juga bertaubat maka di serahkan kepada <em>walî amr</em>. Penyelesaian masalah oleh mereka hanya sampai di sini saja. Inilah cara yang di tempuh oleh para salaf saleh kita.<br />
Maka, kami sedikit pun tidak membenarkan <em>takfir </em>(pengkafiran)
yang merupakan budaya kaum khawarij yang telah mengkafirkan para
sahabat, mengkafirkan Sayidina Ali dan para pengikutnya dan siapa saja
yang bersamanya, meski demikian, Imam Ali tak mau mengkafirkan mereka.
Maka kami bersama mazhab Imam Ali tersebut. Para sahabat bertanya,
“Apakah mereka (kaum khawarij) adalah orang-orang kafir?” Imam Ali
menjawab, “Tidak , mereka lari dari kekufuran.” “Apakah mereka orang
munafik?” tanya mereka lagi. “Tidak, orang-orang munafik tidak berzikir
menyebut nama Allah, sedangkan mereka banyak berzikir menyebut-Nya.”
“Lalu kami namakan apakah mereka?” tanya mereka. “Mereka adalah
saudara-saudara kita yang telah memerangi kita.”<br />
<br />
Dalam riwayat lain Sayidina Ali berkata, “Mereka telah ditimpa
fitnah, maka mereka buta dan tuli…” Beliau tidak mau menyebut mereka
kafir atau munafik. Maka <em>manhaj </em>Sayidina Ali inilah yang juga merupakan <em>manhaj</em> Al-Faqih Al-Muqaddam, Sayidina Assegaf, Sayidina Al-Muhdhar, dan juga berarti <em>manhaj </em>kita
semua. Inilah yang kita anut dan pegang teguh. Padahal, orang-orang
khawarij membawa pedang dan memerangi Imam Ali. Mereka telah memerangi
manusia-manusia terbaik dari umat ini yang begitu jelas disaksikan
keutamaan mereka oleh Alquran dengan sebutan <em>as-sâbiqûn al-awwalûn</em>; <em>as-sâbiqûn al-awwalûn</em>
berada pada barisan pasuka Imam Ali. Kaum Khawarij memerangi mereka,
mereka mengangkat senjata mereka memerangi manusia-manusia terbaik umat
ini. Namun Imam Ali tak mau mengkafirkan mereka, karena sifat <em>wara’</em> dan ketakwaannya, serta karena keluasan ilmunya, dan beliaulah pintu masuk kota ilmu. Maka <em>manhaj </em>inilah yang kita gunakan, dan inilah <em>manhaj </em>para salaf kita, semoga Allah Swt. meridhai mereka semua.<br />
<br />
Paling penting yang harus kita perhatikan banyak sekali dari kalangan
putra-putri kita yang menjadi sasaran kristenisasi dan target incaran
orang-orang Nasrani. Seperti apa upaya Anda dalam menghadang gerakan
ini? Wajib bagi Anda sekalian untuk memikirkan secara serius dalam
menghadapi fitnah dan bencana besar ini, dimana putra-putri kita menjadi
target kristenisasi, di kepulauan manapun di kawasan Indonesia secara
khusus. Kedua, sejumlah putra-putri kita biasa meninggalkan salat-salat
fardu, tidak mengerjakannya, ada juga yang menunda-nunda pelaksanaannya,
tiga waktu, empat waktu, dan tidak mempedulikannya. Mereka salat
setelah lewat waktu-waktu shalat fardu yang ditetapkan, di antara mereka
ada juga yang tidak mengetahui kewajiban-kewajiban yang bersifat <em>fardhu ‘ain</em>, dan ada juga dari mereka yang saling memutuskan silaturahmi, pelanggaran-pelanggaran mereka itu berdampak pada siapa?<br />
<br />
Barangkali, beberapa bencana yang turun di tengah-tengah kita, yang
dialami beberapa saudara kita adalah peringatan dan sanksi atas
kelalaian Anda sekalian terhadap kewajiban yang seharusnya Anda
tunaikan. Karena Anda lalai, maka dampaknya kembali kepada Anda sekalian
dengan lebih dahsyat. Maka, persoalan ini adalah di antara sekian
banyak persoalan yang menuntut kerja sama dan kekompakan kita semua,
demi melindungi putra-putri kita dari bahaya kekufuran dan melindungi
mereka dari berbagai bentuk kemungkaran yang disepakati khususnya dalam
lingkup kalangan zuriah suci, kemudian untuk saudara-saudara kita yang
lain. Ini adalah satu di antara sejumlah kewajiban utama yang patut
menjadi bahan perhatian sejauh kemampuan kita sejauh.<br />
<br />
Adapun dalam menyikapi apa yang terjadi berupa munculnya sejumlah
perbedaan pendapat, adalah menyikapi dengan bijaksana, dan memberikan
bimbingan dengan rahmat dan kasih sayang, serta dengan berusaha untuk
menjelaskan hakikat permasalahan semaksimal mungkin, merekatkan kembali
perpecahan, dan meredam fitnah semampu kita. Inilah seharusnya sikap
yang harus kita miliki. Marilah semaksimal mungkin kita berusaha agar
jangan ada di antara kita pencaci, pemaki, pelaknat, dan yang sering
mengkafir-kafirkan.<br />
<br />
Sedangkan mengenai kapan hasilnya dapat kita wujudkan, apakah dalam
satu-dua hari, satu bulan, atau satu tahun, hal itu sesuai kadar
ketulusan kerja keras kita, Insya Allah hasilnya dapat kita wujudkan.
Alhamdulillah, setiap individu dari kita sungguh jauh sekali dari
keraguan kitabullah atau sunah Rasul saw. atau petunjuk para salaf saleh
masing-masing dari Anda sekalian jauh sekali dari keraguan akan Kitab
Tuhannya dan sunah Nabinya, serta ajaran salaf salehnya. Lalu bagaimana
mungkin (salah seorang dari Anda) dapat diberi cap kafir, yang berarti
keluarnya seseorang dari Islam, seperti ketika saya jawab pertanyaan
Anda, karena <em>takfir </em>(pengkafiran) adalah sesuatu adalah sesuatu
yang paling keji di alam wujud ini. Tidak ada yang paling keji melebihi
takfir dan lebih buruk lagi adalah kemusyrikan, yakni mempersekutukan
sesuatu bersama Allah. Inilah hal terburuk.<br />
<br />
<strong>Pentranskrip: </strong><a href="http://wp.me/pyhQ9-kL" target="_blank">Ali Reza Aljufri</a> © 2009<br />
<strong>Catatan: </strong>Terima kasih untuk fl0weriest & bsa_fatimah<br />
<br />
<a href="http://ejajufri.wordpress.com/2009/09/29/habib-umar-bin-hafidz-bicara-tentang-syiah/">http://ejajufri.wordpress.com/2009/09/29/habib-umar-bin-hafidz-bicara-tentang-syiah/</a>Muhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5484169373233948978.post-51250035301652451602012-05-09T07:54:00.000+07:002012-05-09T07:54:01.918+07:00Jurus Sakti “Pecah Belah” Sesama Kelompok Islam ala Rand CorporationEntah bocor, atau sengaja dibocorkan guna membentuk opini, atau cuma
sekedar deception, atau lainnya entahlah! Yang jelas, dekade 2003-an
muncul dokumen RAND Corporation berjudul: “CIVIL DEMOCRATIC ISLAM:
Partners, Resources and Strategies”.<br />
<br />
RAND Corp adalah Pusat Penelitian dan Kajian Strategis tentang Islam
di Timur Tengah atas biaya Smith Richardson Foundation, berpusat di
Santa Monica-California dan Arington-Virginia, Amerika Serikat (AS).
Sebelumnya ia perusahaan bidang kedirgantaraan dan persenjataan Douglas
Aircraft Company di Santa Monica-California, namun entah kenapa beralih
menjadi think tank (dapur pemikiran) dimana dana operasional berasal
dari proyek-proyek penelitian pesanan militer.<span id="more-180"></span><br />
Garis besar dokumen Rand berisi kebijakan AS dan sekutu di Dunia
Islam. Inti hajatannya adalah mempeta-kekuatan (MAPPING), sekaligus
memecah-belah dan merencanakan konflik internal di kalangan umat Islam
melalui berbagai (kemasan) pola, program bantuan, termasuk berkedok
capacity building dan lainnya.<br />
<br />
Sedang dokumen lain senada, terbit Desember tahun 2004 dibuat oleh
Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (National Inteligent Council)
atau NIC bertajuk Mapping The Global Future. Tugas NIC ialah meramal
masa depan dunia.<br />
<br />
Tajuk NIC di atas pernah dimuat USA Today, 13 Februari 2005 — juga dikutip oleh Kompas edisi 16 Februari 2005.<br />
<br />
Inti laporan NIC tentang perkiraan situasi tahun 2020-an. Rinciannya
ialah sebagai berikut: (1) Dovod World: Kebangkitan ekonomi Asia, dengan
China dan India bakal menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia;
(2) Pax Americana: Dunia tetap dipimpin dan dikontrol oleh AS; (3) A
New Chaliphate: Bangkitnya kembali Khilafah Islamiyah, yakni
Pemerintahan Global Islam yang bakal mampu melawan dan menjadi tantangan
nilai-nilai Barat; dan (4) Cycle of Fear: Muncul lingkaran ketakutan
(phobia). Yaitu ancaman terorisme dihadapi dengan cara kekerasan dan
akan terjadi kekacauan di dunia — kekerasan akan dibalas kekerasan.<br />
<br />
Jujur harus diakui, ke-empat perkiraan NIC kini riil mendekati
kebenaran terutama jika publik mengikuti “opini global” bentukan media
mainstream yang dikuasai oleh Barat.<br />
<br />
Isi dokumen NIC di atas menyertakan pandangan 15 Badan Intelijen dari
kelompok Negara Barat. Tahun 2008 dokumen ini direvisi kembali tentang
perkiraan atas peran AS pada tata politik global. Judulnya tetap Mapping
The Global Future, cuma diubah sedikit terutama hegemoni AS era 2015-an
diramalkan bakal turun meski kendali politik masih dalam cengkeraman.<br />
<br />
Tahun 2007, Rand menerbitkan lagi dokumen Building Moderate Muslim Networks, yang juga didanai oleh Smith Foundation.<br />
<br />
Dokumen terakhir ini memuat langkah-langkah membangun Jaringan Muslim
Moderat pro-Barat di seluruh dunia. Baik Rand maupun Smith Foundation,
keduanya adalah lembaga berafiliasi Zionisme Internasional dimana para
personelnya merupakan bagian dari Freemasonry-Illuminati, sekte Yahudi
berkitab Talmud.<br />
<br />
Gerakan tersebut memakai sebutan “Komunitas Internasional” mengganti
istilah Zionisme Internasional. Maksudnya selain menyamar, atau untuk
mengaburkan, juga dalam rangka memanipulasi kelompok negara non Barat
dan non Muslim lain. Pada gilirannya, kedua dokumen tadi diadopsi oleh
Pentagon dan Departemen Luar Negeri sebagai basis kebijakan Pemerintah
AS di berbagai belahan dunia.<br />
<br />
Berikut ialah inti resume dari Agenda dan Strategi Pecah Belah yang termuat pada kedua dokumen tersebut, antara lain:<br />
<br />
Pertama, Komunitas Internasional menilai bahwa Dunia Islam berada
dalam frustasi dan kemarahan, akibat periode keterbelakangan yang lama
dan ketidak-berdayaan komparatif serta kegagalan mencari solusi dalam
menghadapi kebudayaan global kontemporer;<br />
<br />
Kedua, Komunitas Internasional menilai bahwa upaya umat Islam untuk
kembali kepada kemurnian ajaran adalah suatu ancaman bagi peradaban
dunia modern dan bisa mengantarkan kepada Clash of Civilization
(Benturan Peradaban);<br />
<br />
Ketiga, Komunitas Internasional menginginkan Dunia Islam yang ramah
terhadap demokrasi dan modernitas serta mematuhi aturan-aturan
internasional untuk menciptakan perdamaian global;<br />
<br />
Keempat, Komunitas Internasional perlu melakukan pemetaan kekuatan
dan pemilahan kelompok Islam untuk mengetahui siapa kawan dan lawan,
serta pengaturan strategi dengan pengolahan sumber daya yang ada di
Dunia Islam;<br />
<br />
Kelima, Komunitas Internasional mesti mempertimbangkan dengan sangat
hati-hati terhadap elemen, kecenderungan, dan kekuatan-kekuatan mana di
tubuh Islam yang ingin diperkuat; apa sasaran dan nilai-nilai
persekutuan potensial yang berbeda; siapa akan dijadikan anak didik;
konsekuensi logis seperti apa yang akan terlihat ketika memperluas
agenda masing-masing; dan termasuk resiko mengancam, atau mencemari
kelompok, atau orang-orang yang sedang dibantu oleh AS dan sekutunya;<br />
<br />
Keenam, Komunitas Internasional membagi Umat Islam ke dalam Empat Kelompok, yaitu:<br />
(1) Fundamentalis: kelompok masyarakat Islam yang menolak nilai-nilai
demokrasi dan kebudayaan Barat Kontemporer, serta menginginkan
formalisasi penerapan Syariat Islam;<br />
(2) Tradisionalis: kelompok masyarakat Islam Konservatif yang
mencurigai modernitas, inovasi dan perubahan. Mereka berpegang kepada
substansi ajaran Islam tanpa peduli kepada formalisasinya;<br />
(3) Modernis: kelompok masyarakat Islam Modern yang ingin reformasi
Islam agar sesuai dengan tuntutan zaman, sehingga bisa menjadi bagian
dari modernitas;<br />
(4) Sekularis: kelompok masyarakat Islam Sekuler yang ingin
menjadikan Islam sebagai urusan privasi dan dipisah sama sekali dari
urusan negara.<br />
<br />
Ketujuh, Komunitas Internasional menetapkan strategi terhadap tiap-tiap kelompok, sebagai berikut:<br />
1) Mengkonfrontir dan menentang kaum fundamentalis dengan tata cara
sebagai berikut: (a) menentang tafsir mereka atas Islam dan menunjukkan
ketidak-akuratannya; (b) mengungkap keterkaitan mereka dengan
kelompok-kelompok dan aktivitas-aktivitas illegal; (c) mengumumkan
konsekuensi dari tindak kekerasan yang mereka lakukan; (d) menunjukkan
ketidak-mampuan mereka untuk memerintah; (e) memperlihatkan
ketidak-berdayaan mereka mendapatkan perkembangan positif atas negara
mereka dan komunitas mereka; (f) mengamanatkan pesan-pesan tersebut
kepada kaum muda, masyarakat tradisionalis yang alim, kepada minoritas
kaum muslimin di Barat, dan kepada wanita; (g) mencegah menunjukkan rasa
hormat dan pujian akan perbuatan kekerasan kaum fundamentalis,
ekstrimis dan teroris; (h) kucilkan mereka sebagai pengganggu dan
pengecut, bukan sebagai pahlawan; (i) mendorong para wartawan untuk
memeriksa isue-isue korupsi, kemunafikan, dan tak bermoralnya lingkaran
kaum fundamentalis dan kaum teroris; (j) mendorong perpecahan antara
kaum fundamentalis.<br />
2) Beberapa aksi Barat memojokkan kaum fundamentalis adalah dengan
menyimpangankan tafsir Al-Qur’an, contoh: mengharaman poligami pada satu
sisi, namun menghalalkan perkawinan sejenis di sisi lain;
mengulang-ulang tayangan aksi-aksi umat Islam yang mengandung kekerasan
di televisi, sedang kegiatan konstruktif tidak ditayangkan; kemudian
“mengeroyok” dan menyerang argumen narasumber dari kaum fundamentalis
dengan format dialog 3 lawan 1 dan lainnya; lalu mempidana para aktivis
Islam dengan tuduhan teroris atau pelaku kekerasan dan lain-lain.<br />
3) Mendorong kaum tradisionalis untuk melawan fundamentalis, dengan
cara: (a) dalam Islam tradisional ortodoks banyak elemen demokrasi yang
bisa digunakan counter menghadapi Islam fundamentalis yang represif lagi
otoriter; (b) menerbitkan kritik-kritik kaum tradisionalis atas
kekerasan dan ekstrimisme yang dilakukan kaum fundamentalis; (c)
memperlebar perbedaan antara kaum tradisionalis dan fundamentalis; (d)
mencegah aliansi kaum tradisionalis dan fundamentalis; (e) mendorong
kerja sama agar kaum tradisionalis lebih dekat dengan kaum modernis; (f)
jika memungkinkan, kaum tradisionalis dididik untuk mempersiapkan diri
agar mampu berdebat dengan kaum fundamentalis, karena kaum fundamentalis
secara retorika sering lebih superior, sementara kaum tradisionalis
melakukan praktek politik “Islam pinggiran” yang kabur; (g) di wilayah
seperti di Asia Tengah, perlu dididik dan dilatih tentang Islam ortodoks
agar mampu mempertahankan pandangan mereka; (h) melakukan diskriminasi
antara sektor-sektor tradisionalisme berbeda; (i) memperuncing
khilafiyah yaitu perbedaan antar madzhab dalam Islam, seperti Sunni –
Syiah, Hanafi – Hambali, Wahabi – Sufi, dll; (j) mendorong kaum
tradisionalis agar tertarik pada modernisme, inovasi dan perubahan; (k)
mendorong mereka untuk membuat isu opini-opini agama dan mempopulerkan
hal itu untuk memperlemah otoritas penguasa yang terinspirasi oleh paham
fundamentalis; (l) Mendorong popularitas dan penerimaan atas sufisme;<br />
4) Mendukung sepenuhnya kaum modernis, dengan jalan: (a) menerbitkan
dan mengedarkan karya-karya mereka dengan biaya yang disubsidi; (b)
mendorong mereka untuk menulis bagi audiens massa dan bagi kaum muda;
(c) memperkenalkan pandangan-pandangan mereka dalam kurikulum pendidikan
Islam; (d) memberikan mereka suatu platform publik; (e) menyediakan
bagi mereka opini dan penilaian pada pertanyaan-pertanyaan yang
fundamental dari interpretasi agama bagi audiensi massa dalam persaingan
mereka dengan kaum fundamentalis dan tradisionalis, yang memiliki Web
Sites, dengan menerbitkan dan menyebarkan pandangan-pandangan mereka
dari rumah-rumah, sekolahan, lembaga-lembaga dan sarana lainnya; (f)
memposisikan sekularisme dan modernisme sebagai sebuah pilihan
“counterculture” kaum muda Islam yang tidak puas; (g) memfasilitasi dan
mendorong kesadaran akan sejarah pra-Islam dan non-Islam dan budayanya,
di media dan di kurikulum dari negara-negara yang relevan; (h) membantu
dalam membangun organisasi-organisasi sipil independen, untuk
mempromosikan kebudayaan sipil (civic culture) dan memberikan ruang bagi
rakyat biasa untuk mendidik diri sendiri mengenai proses politik dan
mengutarakan pandangan-pandangan mereka.<br />
Beberapa bukti tindakan program ini misalnya mengubah kurikulum
pendidikan di pesantren-pesantren dengan biaya dari Barat, kemudian
menghembuskan dogma “Time is Money – dengan pengeluaran sekecil-kecilnya
menghasilkan pendapatan sebesar-besarnya”.<br />
5) Tempo doeloe, pernah dalam mata pelajaran PMP dtampilkan gambar
rumah ibadah masing-masing agama dengan tulisan dibawahnya: “semua agama
sama”.<br />
Mendirikan berbagai LSM yang bergerak di bidang kajian filsafat
Islam, menyebar artikel dan tulisan produk LSM yang dibiayai Amerika.
Intinya menyimpulkan bahwa semua agama adalah hasil karya manusia dan
merupakan peradaban manusia. Tujuannya tak lain guna menggoyah keyakinan
beragama, termasuk mendanai beberapa web site di dunia maya dan
lainnya.<br />
6) Mendukung secara selektif kaum sekularis, dengan cara: (a)
mendorong pengakuan fundamentalisme sebagai musuh bersama; (b)
mematahkan aliansi dengan kekuatan-kekuatan anti Amerika berdasarkan
hal-hal seperti nasionalisme dan ideologi kiri; (c) mendorong ide bahwa
dalam Islam, agama dan negara dapat dipisahkan dan hal ini tidak
membahayakan keimanan tetapi malah akan memperkuat.<br />
7) Untuk menjalankan Building Moderate Muslim Networks, AS dan sekutu
menyediakan dana bagi individu dan lembaga-lembaga seperti LSM, pusat
kajian di beberapa universitas Islam maupun universitas umum lain, serta
membangun jaringan antar komponen untuk memenuhi tujuan-tujuan AS.
Contoh keberhasilan membangun jaringan ini ketika mensponsori Kongres
Kebebasan Budaya (Conggress of Cultural Freedom), dimana pertemuan ini
berhasil membangun komitmen antar elemen membentuk jaringan anti
komunis.<br />
<br />
Hal serupa juga dilakukan dalam rangka membangun jaringan anti Islam.
Kemudian membangun kredibilitas semu aktivis-aktivis liberal pro-Barat,
demi tercapai tujuan utama memusuhi Islam secara total. Bahkan apabila
perlu, sikap tidak setuju atas kebijakan AS sesekali diperlihatkan para
aktivisnya seolah-olah independen, padahal hanya tampil pura-pura saja.<br />
<br />
AS dan sekutu sadar, bahwa ia tengah terlibat dalam suatu peperangan
total baik fisik (dengan senjata) maupun ide. Ia ingin memenangkan
perang dengan cara: “ketika ideologi kaum ekstrimis tercemar di mata
penduduk tempat asal ideologi itu dan di mata pendukung pasifnya”.<br />
<br />
Ini jelas tujuan dalam rangka menjauhkan Islam dari umatnya. Muaranya
adalah membuat orang Islam supaya tak berperilaku lazimnya seorang
muslim.<br />
<br />
Pembangunan jaringan muslim moderat ini dilakukan melalui tiga level,
yaitu: (a) menyokong jaringan-jaringan yang telah ada; (b) identifikasi
jaringan dan gencar mempromosi kemunculan serta pertumbuhannya; (c)
memberikan kontribusi untuk membangun situasi dan kondisi bagi
berkembangnya sikap toleran dan faham pluralisme.<br />
<br />
Sebagai pelaksana proyek, Departemen Luar Negeri AS dan USAID telah
memiliki mandat dan menunjuk kontraktor pelaksana penyalurkan dana dan
berhubungan dengan berbagai LSM, dan para individu di negeri-negeri
muslim yaitu National Endowment for Democracy (NED), The International
Republican Institute (IRI) The National Democratic Institute (NDI), The
Asia Foundation (TAF), dan The Center for Study of Islam and Democracy
(CSID).<br />
<br />
Pada fase pertama, membentuk jaringan muslim moderat difokuskan pada
organisasi bawah tanah, dan kemudian setelah melalui penilaian AS selaku
donatur, ia bisa ditingkatkan menjadi jaringan terbuka.<br />
Adapun kelompok-kelompok yang dijadikan sasaran perekrutan dan anak
didik adalah : (a) akademisi dan intelektual muslim liberal dan sekuler;
(b) cendikiawan muda muslim yang moderat; (c) kalangan aktivis
komunitas; (d) koalisi dan kelompok perempuan yang mengkampanye
kesetaraan gender; (e) penulis dan jurnalis moderat.<br />
<br />
Para pejabat Kedutaan Amerika di negeri-negeri muslim harus
memastikan bahwa kelompok ini terlibat, dan sesering mungkin melakukan
kunjungan ke Paman Sam. Adapun prioritas pembangunan jaringan untuk
muslim moderat ini diletakkan pada sektor: (a) Pendidikan Demokrasi.
Yaitu dengan mencari pembenaran nash dan sumber-sumber Islam terhadap
demokrasi dan segala sistemnya; (b) dukungan oleh media massa melakukan
liberalisasi pemikiran, kesetaraan gender dan lainnya — yang merupakan
“medan tempur” dalam perang pemikiran melawan Islam; (c) Advokasi
Kebijakan. Hal ini untuk mencegah agenda politik kelompok Islam.<br />
<br />
AS dan sekutu sadar bahwa ide-ide radikal berasal dari Timur Tengah
dan perlu dilakukan “arus balik” yaitu menyebarkan ide dan pemikiran
dari para intelektual moderat dan modernis yang telah berhasil dicuci
otak dan setuju westernisasi yang bukan berasal dari Timur Tengah,
seperti Indonesia dan lainnya. Tulisan dan pemikiran moderat dari
kalangan di luar Timur Tengah harus segera diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab, kemudian disebarkan di kawasan Timur Tengah.<br />
<br />
Agaknya inilah jawaban, kenapa Indonesia seringkali dijadikan
pertemuan para cendikiawan dan intelektual muslim dari berbagai negara
yang disponsori AS dan negara Barat lain. Banyak produk baik tulisan
maupun film diproduksi “Intelektual Islam Indonesia”, kemudian
disebarkan dan diterjemahkan dalam bahasa Arab. Semua bantuan dana dan
dukungan politik ini tujuannya guna memecah-belah umat Islam.<br />
<br />
Seperti berkembang banyak LSM memproduk materi-materi dakwah atau
fatwa namun isinya justru “menjerumuskan” Islam, termasuk munculnya
banyak tokoh liberal sebagai opinion maker di tengah masyarakat,
merupakan isyarat bahwa konspirasi menghancur Islam itu ada, nyata dan
berada (existance). Yang paling memprihatinkan, justru jurus pecah belah
dilakukan menggunakan tangan-tangan (internal) kaum muslim itu sendiri
di negara tempat mereka lahir, tumbuh dan dibesarkan, sedang mereka “tak
menyadari” telah menjadi penghianat bagi bangsa, negara dan agamanya!
(IRIB Indonesia/theglobalreview/PH)<br />
<br />
Penulis : Hendrajit (Direktur Eksekutif Global Future Institute) dan
Ferdiansyah Ali (Manajer Program dan Peneliti Global Future Institute).<br />
<br />
DaftarBacaan :<br />
http://en.wikipedia.org/wiki/Smith_Richardson_Foundation<br />
http://www.rand.org/<br />
http://www.dni.gov/nic/NIC_globaltrend2020.html<br />
http://arashirin.wordpress.com/2007/12/22/jangan-terjebak-politik-belah-bambuislam-moderat-islam-radikal/<br />
http://www.rand.org/pubs/monographs/MG574.html<br />
http://en.wikipedia.org/wiki/Douglas_Aircraft_Company<br />
http://www.foreignaffairs.com/articles/60656/gideon-rose/mapping-the-global-future-report-of-the-national-intelligence-co<br />
http://forum.detik.com/showpost.php?p=2819467&postcount=376<br />
http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1109:-jurus-sakti-pecah-belah-sesama-kelompok-islam-ala-rand-corporation&catid=36:jahane-eslam&Itemid=143<br />
<br />
<br />
<a href="http://susyiunited.wordpress.com/2012/01/27/jurus-sakti-pecah-belah-sesama-kelompok-islam-ala-rand-corporation/" target="_blank">http://susyiunited.wordpress.com/2012/01/27/jurus-sakti-pecah-belah-sesama-kelompok-islam-ala-rand-corporation/ </a>Muhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5484169373233948978.post-58257712725165105442012-05-09T07:50:00.002+07:002012-05-09T07:50:36.137+07:00Wahai Orang-Orang Berakal dari Syiah dan Suni!<strong>Oleh:</strong>Syekh Aidh bin Abdullah Al-Qarni<br />
<br />
Sejauh ini kita telah gagal menghapus perbedaan pendapat di antara
kelompok sunah dan Syiah, walaupun telah berlalu puluhan abad. Maka
wajiblah kita mengakui bahwa perbedaan tersebut adalah sesuatu yang
memang ada, namun jangan sekali-kali mengembangkannya sehingga menjadi
pertentangan berdarah. Cukuplah luka-luka yang kita derita. Cukuplah
perpecahan yang mengoyak-ngoyak kita. Sudah amat banyak bencana yang
menghancurkan kita, umat Islam. Sementara itu, Zionisme internasional
selalu bersiap-siap untuk menghancurkan kita dan mencerabut eksistensi
kita dari akar-akarnya. Apa gunanya mengulang-ulang pidato-pidato yang
mencaci maki, menyakiti hati, memprovokasi, memusuhi dan menyebut-nyebut
kejelekan dan aib masing-masing kelompok? Manfaat apa yang diharapkan
dari permusuhan yang menumpahkan darah si suni maupun si <em>syii</em>?<span id="more-94"></span><br />
Masing-masing kelompok di antara sunah dan Syiah menganut kepercayaan
tentang kebenaran mazhabnya sendiri dan kesalahan mazhab selainnya.
Anda takkan mampu mengubah prinsip-prinsip utama yang telah dipercayai
manusia sepanjang mereka tetap berkeras hati untuk mempertahankannya.
Kami, ahlusunah, berkeyakinan bahwa kebenaran ada pada kami, baik
melalui Alquran maupun sunah. Dan apabila kaum Syiah (mungkin) merasa
bahwa kami kurang memberikan penghargaan kepada hak ahlulbait, maka kami
ingin menegaskan dengan kuat, terus terang, tanpa tedeng aling-aling,
bahwasanya kami berlepas tangan di hadapan Allah dari siapa saja yang
merendahkan urusan ahlulbait, atau mencaci mereka atau melecehkan
mereka. Bersamaan dengan itu, kami meminta agar kaum Syiah juga berhenti
merendahkan martabat para sahabat Nabi saw. atau melecehkan mereka atau
mencaci mereka. Membela dan menjaga kehormatan ahlulbait dan para
sahabat merupakan kewajiban atas setiap muslim dan muslimah.<br />
<br />
Menjadi kewajiban orang-orang berakal, dari kalangan sunah dan Syiah,
untuk berupaya sungguh-sungguh mengubur segala macam fitnah (penyebab
pertikaian) di antara mereka, menghindari segala bentuk provokasi atau
kebiasaan melempar ancaman ataupun tuduhan pengkhianatan ke alamat
kelompok yang lain.<br />
<br />
<em>Wahai orang-orang berakal di kalangan sunah dan Syiah!</em><br />
Cabutlah semua sumbu pertikaian. Padamkanlah semua api pertikaian.
Janganlah menambah lagi bencana umat ini di atas segala bencana yang
sudah mereka alami.<br />
<br />
<em>Wahai orang-orang berakal di kalangan sunah dan Syiah!</em><br />
Biarlah masing-masing memilih jalannya sendiri, biarlah masing-masing
menentukan arah pandangannya sendiri, sampai kelak saat Allah memutuskan
apa yang kita perselisihkan di antara kita.<br />
<br />
<em>Wahai orang-orang berakal di kalangan sunah dan Syiah!</em><br />
Jangan sekali-kali memberi kesempatan para musuh Islam menghancurkan
bangunan umat ini, melibas eksistensi mereka, menghapus jejak risalahnya
dan mencemarkan segala kepercayaan sucinya.<br />
<br />
<em>Wahai orang-orang berakal di kalangan sunah dan Syiah!</em><br />
Haramkanlah segala <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Fatw%C4%81" rel="wikipedia" title="Fatwā">fatwa</a> yang membolehkan membunuh, menumpahkan darah dan mengobarkan api permusuhan, kebencian dan kedengkian.<br />
<br />
Kita semua, sunah dan Syiah, menyerukan hidup berdampingan secara
damai serta bersedia berdialog dengan kelompok-kelompok non-muslim.
Apakah kita harus gagal menjalani kehidupan damai antara kaum sunah dan
Syiah? Siapa saja yang gagal memperbaiki urusan rumahnya sendiri, tidak
akan berhasil memperbaiki urusan rumah orang lain.<br />
<br />
Demi keuntungan siapakah terdengarnya suara sumbang busuk tak bertanggung jawab yang berseru: “Hai <em>Syii</em>, bunuhlah seorang suni, niscaya kau masuk surga!” Lalu dari arah yang lain terdengar suara: “Hai suni, bunuhlah seorang <em>syii </em>sebagai
penebus agar kau terhindar dari neraka!” Logika apa ini?! Akal apa
ini?! Dalil apa ini?! Hujah apa ini?! Bukti apa ini?! Wajiblah kita
berkata: “Hai suni, darah si <em>Syii </em>adalah suci; haram menumpahkannya!” “Hai <em>Syii</em>, darah si suni adalah suci; haram menumpahkannya!”<br />
Belum tibakah saat kita sadar dan mendengarkan suara hati nurani dan
akal sehat serta panggilan agama? Jangan sekali-kali ada lagi
pelanggaran atas keselamatan orang lain. Jangan ada lagi kezaliman.
Jangan pula ada lagi provokasi di antara sesama kita. Jangan ada lagi
upaya menyenangkan hati para musuh, dengan mengoyak-koyak
barisan-barisan kita sendiri. Jangan ada lagi upaya menghancurkan
rumah-rumah kita dengan tangan-tangan kita sendiri. Jangan lagi ada
upaya membunuh diri kita dengan pedang-pedang kita sendiri.<br />
<br />
Barangkali yang terbaik untuk menghentikan pertikaian di antara sunah
dan Syiah ialah dengan meniru apa yang dilakukan kaum Badui (yang
dimaksud tentunya di negeri Saudi Arabia—penerj.): setiap kali terjadi
tabrakan di antara mobil-mobil mereka, mereka berkata: “Masing-masing
memperbaiki mobilnya sendiri!” Segera pula masalahnya selesai, tanpa
polisi lalu-lintas, tanpa denda tilang dan tanpa hukuman penjara!<br />
<br />
Oleh sebab itu, wahai kelompok sunah dan Syiah, masing-masing kita
“hendaknya memperbaiki kendaraannnya sendiri-sendiri!” Allah Swt. telah
memerintahkan kita agar memperlakukan kaum non-Muslim dengan perlakuan
yang baik, sepanjang mereka tidak memerangi kita atau mengusir kita dari
perkampungan- perkampungan kita.<br />
<br />
Sebagaimana dalam firman-Nya: “Allah tidak melarang kamu
memperlakukan mereka yang tidak memerangi kamu dalam agama dan tidak
mengusir kamu dari perkampungan-perkampungan kamu (Allah tidak melarang
kamu) memperlakukan mereka dengan baik dan bersikap adil terhadap
mereka. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.”<br />
<br />
Begitulah perlakuan terhadap kaum non-muslim. Perlakuan baik di sini
artinya adalah mencegah diri jangan sampai mengganggu mereka,
berkomunikasi dengan mereka dengan cara yang terpuji dan hidup
berdampingan dengan aman dan damai. Maka betapa pula dengan
kelompok-kelompok sesama muslim meskipun berbeda pandangan dan
pendirian? Apa yang dikatakan orang-orang lain ketika menyaksikan
masing-masing kita menumpahkan caci-maki dan sumpah serapah ke alamat
saudara kita sesama Muslim, penuh pelecehan dan penghinaan?
Saudara-saudara sekandung pun, jika mereka tidak mampu memperbaiki
hubungan di antara mereka dan berdiri rapat dalam satu barisan, pastilah
mereka itu dalam pandangan masyarakat menjadi rentan terhadap
permusuhan, perpecahan, kegagalan dan kekalahan.<br />
<br />
Mari kita tinggalkan pidato-pidato berapi-api yang penuh kebencian
dan kata-kata kosong tak berharga sedikit pun, lalu kita semua kembali
sebagaimana diperintahkan Allah SWT: <em>“Berpeganglah kamu sekalian erat-erat dengan tali (agama) Allah dan janganlah bercerai-berai!”</em><br />
<br />
<strong>Sumber:</strong> <em><a href="http://asharqalawsat.com/english/news.asp?section=2&id=12340+" target="_blank">Asharq Alawsat</a></em><br />
<strong>Penerjemah:</strong> M. Bagir<br />
<br />
<a href="http://ejajufri.wordpress.com/2009/02/25/wahai-orang-orang-berakal/" target="_blank">http://ejajufri.wordpress.com/2009/02/25/wahai-orang-orang-berakal/</a>Muhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5484169373233948978.post-53137494722524437542012-05-09T07:48:00.001+07:002012-05-09T07:48:18.522+07:00Al-Qur’an Sunni dan Syiah Tidak Ada Bedanya“Al-Qur’an yang digunakan oleh Ahlus Sunnah dan Syiah tidak memiliki
perbedaan sedikitpun, meskipun hanya satu huruf. Karenanya pernyataan
bahwa Al-Qur’an di sisi umat Syiah berbeda dengan yang digunakan
dikalangan Ahlus Sunnah adalah pernyataan dusta dan bohong belaka.”<br />
<br />
Menurut Kantor Berita ABNA, Syaikh Ahmad Tayyib, dalam acara
pembukaan Musabaqah Tilawatil Qur’an Internasional ke 19 di Kairo Mesir
menyinggung adanya isu negatif yang dihembuskan kelompok pemecah belah
Islam menyatakan, “Al-Qur’an yang digunakan oleh Ahlus Sunnah dan Syiah
tidak memiliki perbedaan sedikitpun, meskipun hanya satu huruf.
Karenanya pernyataan bahwa Al-Qur’an di sisi umat Syiah berbeda dengan
yang digunakan dikalangan Ahlus Sunnah adalah pernyataan dusta dan
bohong belaka.”<br />
<br />
<span id="more-138"></span><br />
Rektor Universitas Al Azhar ini kemudian meminta kepada ulama-ulama
kedua mazhab besar ini untuk menepis kabar dusta tersebut. Ia berkata,
“Sangat disayangkan, saat ini banyak stasiun TV yang menyiarkan
acara-acara yang menyulut perselisihan, satu sama lain saling
mengkafirkan. Tugas ulama-ulama Rabbani dari kedua mazhab besar Sunni
dan Syiah adalah menunjukkan kebenaran dengan penuh hikmah dan
memberikan bantahan terhadap kelompok-kelompok ekstrim tersebut.”<br />
<br />
Ulama Mesir ini kemudian menyatakan bahwa Al-Qur’an sesungguhnya
adalah pemersatu antara Sunni dan Syiah, “Al-Qur’an diantara kedua
mazhab besar ini sama, tidak ada perbedaan sama sekali, karenanya sudah
semestinya menjadi pegangan kita bersama untuk menjalin persatuan umat
Islam.”<br />
“Al-Qur’an adalah jantung Islam, akal peradaban Islam dan
satu-satunya sumber Islam yang diterima oleh semua kelompok Islam tanpa
perbedaan sepanjang sejarah.” Lanjutnya lagi.<br />
<br />
DR. Ahmad At Tayyib dalam lanjutan ceramahnya mengatakan, “Allah Azza
wa Jalla menjaga Al-Qur’an dari perubahan dan penyelewengan, bukan
hanya umat Islam yang mengakui keterjagaan Al-Qur’an namun juga
orientalis sendiri. Seorang orientalis Perancis pernah berkata,
Al-Qur’an satu-satunya kitab langit yang tidak mengalami penyimpangan
sedikitpun dan itu berlangsung sampai saat ini.”<br />
<br />
<a href="http://susyiunited.wordpress.com/2011/08/23/al-quran-sunni-dan-syiah-tidak-ada-bedanya/" target="_blank">http://susyiunited.wordpress.com/2011/08/23/al-quran-sunni-dan-syiah-tidak-ada-bedanya/ </a>Muhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-5484169373233948978.post-29200165601608707152012-05-08T10:41:00.000+07:002012-05-08T10:41:00.566+07:00MEMAHAMI SYIAH DENGAN KEARIFANoleh Prof. Dr. Nur Syam, M.Si<br />
<br />
Dengan semakin kuatnya gerakan anti Syiah yang dilakukan oleh sejumlah
ulama yang mengusung Islam Sunni, maka saya tergerak lagi untuk
menuliskan pandangan saya tentang Syiah Indonesia. Melalui kata Syiah
Indonesia, maka saya ingin menegaskan bahwa Syiah di Indonesia sudah
menjadi bagian dari masyarakat dan bangsa Indonesia dan keyakinan
keberagamaannya juga sudah menjadi bagian dari keyakinan keberagamaan
masyarakat Indonesia.<br />
<br />
Sebagaimana diketahui bahwa pasca kerusuhan di Sampang, maka ada usaha
yang dilakukan oleh sekelompok ulama yang mengatasnamakan Islam sunni
untuk menghakimi bahwa Syiah adalah ajaran yang menyimpang dan sesat
sehingga haruslah dilakukan tindakan mengusir dan melarang ajaran Syiah
tersebut dari wilayah yang dikuasai oleh orang yang menyatakan sebagai
kaum Sunni.<br />
<br />
Saya menjadi sedih melihat bahwa Indonesia yang besar ini selalu dikoyak
oleh orang yang mengatasnamakan agama yang paling benar untuk melakukan
kekerasan agama. Saya menjadi teringat dengan komentar Dr. Makhlani,
Representative IDB Indonesia, mengomentari komentar saya di koran The
Jakarta Post, bahwa Islam Indonesia yang besar ini selalu dikerdilkan
orang yang merusak kesatuan dan persatuan bangsa. Bayangkan bahwa
kerusuhan di Sampang itu menjadi berita besar di dunia dan hal itu
sangat merugikan positioning Indonesia dalam percaturan internasional.<br />
<br />
Ketika saya ke Australia, maka ada cerita tentang bagaimana orang
menjadi takut untuk datang ke Indonesia. Ada sebuah lembaga pendidikan
yang menginginkan agar siswanya datang ke Indonesia dalam rangka
mempelajari budaya Indonesia. Akan tetapi sejumlah orang tua keberatan,
sebab selalu diberitakan bahwa Indonesia bukanlah negara dan tempat yang
aman. Jadi, peristiwa pembakaran terhadap rumah dan tempat ibadah itu
tentu menyumbang tentang ketakutan orang luar negeri tentang Indonesia.
Mereka yang melakukan gerakan kekerasan tersebut tentu membawakan
kenyataan semakin jeleknya citra Indonesia di dunia internasional.<br />
<br />
Makanya, ketika saya membuka internet dan mata saya terperangkap dengan
berita tentang MUI tidak menyesatkan Syiah. Saya merasa sangat gembira
dengan berita ini. Yang bersuara seperti ini adalah Umar Syihab salah
seorang ketua MUI. Beliau menyatakan bahwa selama ini belum ada fatwa
MUI yang menyatakan bahwa Syiah adalah aliran sesat. Memang ada hasil
rekomendasi yang menyatakan bahwa Syiah harus diwaspadai sebab kala itu,
tahun 1984, Syiah memang mengusung ideologi politik pasca hancurnya
kekuasaan tiranik di Iran.<br />
<br />
Para tokoh Islam, seperti Dien Syamsudin, pimpinan Muhammadiyah, Said
Aqil Siraj, pimpinan NU, Prof. Quraisy Syihab dan sejumlah ulama lain
juga memandang bahwa janganlah melakukan tindakan main tuduh dengan
menyatakan bahwa sekelompok penganut faham agama lain sebagai sesat,
kafir dan sebagainya. Ada ketegasan pandangan mereka ini bahwa Syiah
bukanlah aliran sesat. Syiah di Indonesia memang berasal dari Syiah Dua
Belas Imam atau Syiah Istna Asy’ariyah, sehingga bukanlah Syiah yang
menyimpang. Bahkan berdasarkan kenyataan empiris, banyak kesamaan
ibadahnya dengan kelompok NU. Tentu juga ada yang berbeda. Jangankan
antara Sunni dengan Syii, sedangkan antara NU dan Muhammadiyah yang
sesama ahlu sunnah wal jamaah juga ada tatacara ibadah yang berbeda.
Jadi, perbedaan adalah suatu keniscayaan.<br />
<br />
Ada sebuah hipotesis yang barangkali bisa dijadikan sebagai tema
pengkajian adalah semakin tingginya gerakan fundamentalisme agama, maka
semakin banyak kekerasan agama yang bermotif atau bernuansa keagamaan.
Pertanyaannya adalah apakah ada korelasi antara fundamentalisme agama
dengan gerakan untuk melakukan justifikasi bahwa selain keyakinannya,
maka semuanya adalah ajaran yang salah dan semuanya harus dikembalikan
kepada keyakinan fundamentalismenya dan untuk kepentingan tersebut bisa
saja menggunakan kekerasan.<br />
<br />
Saya sungguh merasakan bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
orang “NU” di Sampang ini memang bisa saja didesain oleh orang di luar
NU yang secara sengaja memanfaatkan sentimen keagamaan sebagai basis
untuk mencapai tujuannya, yaitu mengobrak-abrik Islam moderat yang
selama ini dilabelkan kepada NU.<br />
<br />
Oleh karena itu, para Kyai, Ulama –sebagaimana himbauan saya melalui
JTV–agar arif di dalam menyikapi dan membuat keputusan agar NU tidak
dimanfaatkan orang yang sesungguhnya memang ingin memanfaatkan NU untuk
kepentingan yang lebih besar.<br />
<br />
Wallahu a’lam bi al shawab. <br />
<br />
<a href="http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=3488">http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=3488</a>Muhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5484169373233948978.post-23404463874108114822012-05-05T20:55:00.000+07:002012-05-05T20:55:17.725+07:00Pengaruh Persia ke Indonesia<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Proses masuknya pengaruh persia ke Indonesia</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Sebelum
pengaruh Islam masuk ke Indonesia, di kawasan ini sudah terdapat
kontak-kontak dagang, Melalui perdagangan itulah Islam masuk ke kawasan
Indonesia. Dari beberapa bangsa yang membawa Islam ke Indonesia pada
umumnya menggunakan pendekatan cultural, sehingga terjadi dialog budaya
dan pergaulan social yang penuh toleransi.</span></div>
<span id="more-43"></span><br />
Ada proses awal penyebaran Islam di Indonesia:<br />
<br />
1. Perdagangan dan Perkawinan<br />
Dengan menunggu angina muson (6 bulan), pedagang mengadakan
perkawinan dengan penduduk asli. Dari perkawinan itulah terjadi
interaksi social yang menghantarkan Islam berkembang (masyarakat
Islam).<br />
2. Pembentukan masyarakat Islam dari tingkat ‘bawah’ dari rakyat
lapisan bawah, kemudian berpengaruh ke kaum birokrat (J.C. Van Leur).<br />
3. Gerakan Dakwah, melalui dua jalur yaitu:<br />
a. Ulama keliling menyebarkan agama Islam (dengan pendekatan Akulturasi dan Sinkretisasi/lambing-lambang budaya).<br />
b. Pendidikan pesantren (ngasu ilmu/perigi/sumur), melalui
lembaga/sisitem pendidikan Pondok Pesantren, Kyai sebagai pemimpin, dan
santri sebagai murid.<br />
<br />
Dari ketiga model perkembangan Islam itu, secara relitas Islam
sangat diminati dan cepat berkembang di Indonesia. Meskipun demikian,
intensitas pemahaman dan aktualisasi keberagman islam bervariasi menurut
kemampuan masyarakat dalam mencernanya.<br />
Ditemukan dalam sejarah, bahwa komunitas pesantrean lebih intens
keberagamannya, dan memiliki hubungan komunikasi “ukhuwah”
(persaudaraan/ikatan darah dan agama) yang kuat. Proses terjadinya
hubungan “ukhuwah” itu menunjukkan bahwa dunia pesantren memiliki
komunikasi dan kemudian menjadi tulang punggung dalam melawan colonial.<a href="http://syamsulrahmi.wordpress.com/2011/02/04/pengaruh-persia-ke-indonesia/#_ftn1">[1]</a><br />
Kebudayaan Iran dan Indonesia memiliki jalinan sejarah. Salah satu
bukti yang mendukung hubungan sejarah itu adalah adanya persamaan
sastra dan bahasa yang saling memengaruhinya. Keberadaan lebih dari 400
kata dari bahasa Persia pada bahasa Melayu yang masih digunakan dalam
kehidupan sehari-hari membuktikan eratnya hubungan ini. Almarhum
Zafar Iqbal, mantan dosen Uviversitas Indonesia dan Universitas Syarif
Hidayatullah, Jakarta, pernah mengaji pengaruh sastra dan puisi Persia
terhadap sastra dan puisi Indonesia serta dunia Melayu dalam
disertasinya. Berangkat dari itu, penulis mencoba mengaji hubungan
kebudayaan Iran dan Indonesia dari sisi sastra dan syair.<br />
Perkenalan orang Iran dengan orang Melayu memiliki sejarah panjang.
Hal ini dapat dikenali berdasarkan dokumen historis, mitos, dan tulisan
di batu nisan. Orang Iran, sebelum menerima Islam, karena perdagangan
yang luas dengan China dan sebagai jembatan penghubung antara Barat
(Kaisar Romawi) dan Timur (China) dalam dua jalan, yaitu rute darat
“Jalan Sutera” dan rute laut “Jalan Rempah-rempah”, memunyai hubungan
dagang dan budaya dalam perjalanan mereka dengan Nusantara, sungguhpun
mereka aktif mendakwakan kepercayaan Zoroaster di kawasan ini. Sejarah
hubungan semacam ini dimulai sejak Dinasti Ashkhaniyah, khususnya
Dinasti Sasaniyah melalui rute rempah-rempah 200 tahun Sebelum Masehi.<br />
Tapi setelah orang Iran menerima Islam dan migrasi kelompok-kelompok
Iran dari China Selatan karena penderitaan yang ditimpakan Pemerintah
China, para pedagang dan mubalig Iran dalam rangka berdagang dan
mendakwahkan Islam di kawasan ini. Sejarah Barat, yang mendasarkan pada
catatan Marcopolo, percaya bahwa Islam masuk ke Nusantara di abad
ke-13, tapi sejarah Timur yang mendasarkan pada referensi orang China,
Arab, dan Melayu menekankan pada tahun pertama hijriyah atau paling
tidak tahun ketiga hijriyah (abad ke-9 Masehi). Dalam hal ini, latar
belakang kehadiran orang Iran yang aktif dan terus-menerus di kawasan
nusantara – terkait masalah ekonomi, budaya, dan politik – jelas sekali
menunjukkan peran kaum ini mendakwahkan Islam dan hidup damai dengan
orang Melayu.<br />
Untuk mengetahui kehadiran orang Iran dalam sejarah Nusantara dapat
dilihat dari pengaruh bahasa dan literatur Persia dalam literatur
Melayu. Secara keseluruhan, pengaruh sastra Persia terhadap sastra
Indonesia dapat digolongkan dalam tujuh kategori, yaitu pengaruh sastra
Persia terhadap buku-buku bersejarah, buku-buku undang-undang Malaka,
agama, kerajaan Indonesia, cerita para nabi dan ahlulbait, sastra
keseharian Indonesia, dan alhasil pengaruh sastra Persia terhadap
puisi-puisi Indonesia. Seperti ditemukan pada buku Hikayat Raja-raja
Pasai, Sejarah Malaka, dan Hikayat Aceh. Dalam buku tersebut ditemukan
130 kosa kata bahasa Persia.<br />
Seperti diketahui, pada zaman dahulu, para raja Pasai menugaskan
para ahli sejarah untuk menulis hal-hal yang terjadi terkait kerajaan
mereka. Raja-raja Pasai mengumpulkan para penyair dan pemikir besar
serta mendatangkan pemikir besar mancanegara seperti Sayed Amir Sharif
Shirazi dan Tajuddin Esfahani sebagai penasihat kerajaan. Pendalaman
terhadap naskah-naskah kerajaan menunjukkan pengaruh signifikan sastra
Persia terhadap buku pada masanya. Seperti buku Serat Tajusalatin yang
ditulis pada kerajaan Islami Aceh (1603 M) dan buku Bustanul Arefin.
Pada buku tersebut, terdapat lebih 36 kosakata dan pepatah bahasa
Persia. Penggunaan nama-nama para raja Iran, peribahasa, dan kata-kata
Persia menunjukkan pengaruh sastra Persia terhadap buku yang beredar di
Kerajaan Pasai. Sebagian besar buku itu bersumber pada buku karya
pemkir Iran seperti Attar dan Vaez Kashani dan terinpirasi dari karya
Khosro va Shirin, Yusef va Zoleykha, dan sebagainya.<br />
Buku-buku agama pula tidak luput dari pengaruh aroma Persia.
Katakanlah buku Sheikh Nuruddin Arraniri dan Abdul Rauf Al-Senkili yang
ditulis pada abad 17 M dan 50 judul lainnya memiliki interaksi dengan
buku Sa’di, Abu Hamed Mohammad Gazali, Suhravardi, Khoja Abdullah
Ansari, yang menjadi sufi-sufi besar di Iran.<br />
Karya sastra Nusantara lain adalah cerita para nabi dan ahlulbait.
Sejarah menunjukkan bahwa penulisan cerita para nabi dan ahlulbait
dimulai dari Yaman dan Iran, lalu meluas ke negara lainnya dan
diterjemahkan dalam berbagai bahasa, antara lain Turki dan Melayu.
Penulis menyebutkan cerita Nabi Yusuf, Hikayat Nabi Miraj, Hikayat Nabi
Lahir, Hikayat Bulan Berbelah, Hikayat Raja Khandagh, dan banyak
cerita lainnya sebagai cerita para nabi dan ahlulbait yang terlihat
dengan jelas pengaruh bahasa dan sastra Persia di dalamnya.<br />
Selain 400 kata dari bahasa Persia pada bahasa Melayu seperti
bandar, nakhoda, istana, masih banyak kata lainnya yang menjadi bagian
dari bahasa keseharian masyarakat Indonesia yang berasal dari bahasa
Persia. Lebih sembilan buah hikayat seperti hikayat Amir Hamzah,
Muhammad Hanafiyah dan Bendara Hitam dari Churasan terdapat pengaruh
menonjol bahasa Persia dalam hikayat-hikayat ini. Hikayat Bendara Hitam
dari Churasan merupakan cerita seorang pahlawan dari Kota Khorasan –
salah satu provinsi terbesar di Iran – yang diterjemahkan dari bahasa
Arab ke bahasa Indonesia pada 1953.<br />
Bukti lain, yang membuktikan interaksi historis sastra Persia dan
Nusantara adalah syair-syair yang dikenal masyarakat Indonesia. Yakni
Bustan dan Musyawarah Burung yang berinteraksi mendapatkan pengaruh
dari karya-karya penyair ternama di Iran, seperti Attar, Molawi (Rumi).
Pengaruh signifikan penyair-penyair dan sufi masyhur Iran seperti
Ghazali, Saadi, Attar terhadap buku-buku Hamzah Fansuri terlihat dari
banyaknya kosa kata yang digunakan dalam naskah tersebut.<br />
Alhasil, persamaan antara kedua bangsa Iran dan Indonesia begitu
banyak yang pada kesempatan ini hanya dibahas dari sisi persamaan
sastra. Tentu saja persamaan-persamaan ini dapat menunjukkan hubungan
baik yang sedang terjalin antara kedua negara di berbagai bidang pada
saat ini bukan merupakan fenomena baru, melainkan sebagai kelanjutan
dari suatu hubungan yang umurnya berabad-abad.<a href="http://syamsulrahmi.wordpress.com/2011/02/04/pengaruh-persia-ke-indonesia/#_ftn2">[2]</a><br />
<br />
Bentuk-bentuk pengaruh Persia di Indonesia<br />
<br />
Tradisi Syiah<br />
Kajian tentang Syi’ah di Indonesia, telah dilakukan oleh sejumlah
ahli dan pengamat sejarah, sebagian besar diantaranya berkesimpulan
bahwa orang-orang Persia yang pernah tinggal di Gujarat yang berpaham
Syiahlah yang pertama kali menyebarkan Islam di Indonesia.<br />
Bahkan dikatakan Syi’ah pernah menjadi kekuatan politik yang tangguh di nusantara.<br />
M Yunus Jamil dalam bukunya Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh (1968)
menulis kerajaan Islam yang pertama berdiri di Nusantara adalah Kerajaan
Peureulak (Perlak) yang didirikan pada 225H/845M. Pendiri kerajaan
ini adalah para pelaut-pedagang Muslim asal Persia, Arab dan Gujarat
dan mengangkat seorang Sayyid Maulana ‘Abd al-Aziz Syah, keturunan
Arab-Quraisy, yang menganut paham politik Syi’ah, sebagai sultan Perlak.<br />
Agus Sunyoto, staf Lembaga Penerangan dan Laboratorium Islam (LPII)
Surabaya yang dipimpin Dr Saleh Jufri, seperti dilaporkan Majalah
Prospek (10 Nopember 1991), melalui penelitiannya menyimpulkan, bahwa
Syaikh ‘Abd al-Ra’uf Al-Sinkli, salah seorang ulama besar nusantara
asal Aceh pada abad ke-17, adalah pengikut dan penggubah sastra Syi’ah.
Ia pun setelah melakukan penelitian terhadap kuburan-kuburan di Jawa
Timur, berkesimpulan bahwa dari segi fisik dan arsitekturnya itu adalah
kuburan-kuburan orang Syi’ah.<br />
Bahkan Agus Sunyoto lewat bukti-bukti sejarah, berspekulasi, sebagian
besar dari Walisongo adalah ulama Syi’ah. Dengan tegas ia menulis,
Syekh Maulana Malik Ibrahim, guru dari semua sunan wali songo adalah
Syiah.<br />
<br />
Mazhab Syafi’i<br />
Dalam masyarakat NU, pengaruh Syi’ah pun cukup kuat di dalammya, Dr
Said Agil Siraj, Wakil Katib Syuriah PBNU secara terang mengatakan,
“Harus diakui, pengaruh Syi’ah di NU sangat besar dan mendalam.
Kebiasaan membaca Barzanji atau Diba’i yang menjadi ciri khas
masyarakat NU misalnya, jelas berasal dari tradisi Syi’ah”.<br />
KH Abdurrahman Wahid bahkan pernah mengatakan bahwa Nahdatul Ulama
secara kultural adalah Syi’ah. Ada beberapa shalawat khas Syi’ah yang
sampai sekarang masih dijalankan di pesantren-pesantren.<br />
Ada wirid-wirid tertentu yang jelas menyebutkan lima keturunan Ahlul
Bait. Kemudian juga tradisi ziarah kubur, lalu membuat kubah pada
kuburan. Itu semua tradisi Syi’ah.<br />
Tradisi itu lahir di Indonesia dalam bentuk mazhab Syafi’i padahal
sangat berbeda dengan mazhab Syafi’i yang dijalankan di negara-negara
lain. Berkembangnya ajaran pantheisme (kesatuan wujud, union mistik,
Manunggal ing Kawula Gusti), di Jawa dan Sumatera merupakan pandangan
teologi dan mistisisme (tasawuf falsafi) yang sinkron dengan aqidah
Syiah dan sangat bertentangan dengan paham Islam wahabi yang literal.<br />
Ritus-ritus Tabut di Bengkulu dan Sumatera dan Gerebek Sura di
Jogjakarta dan Ponorogo adalah ritus teologi Syiah yang datang dari
Gujarat-Persia. Doktor Muhammad Zafar Iqbal dalam bukunya, Kafilah
Budaya meruntut berbagai fakta tentang adanya pengaruh-pengaruh tradisi
Syiah dan Iran di tanah air terutama bagi masyarakat Minangkabau yang
masih terjaga sampai kini.<br />
Perguruan Tinggi pertama di Aceh bernama Universitas Syiah Kuala,
menunjukkan fakta lainnya. Universitas yang disingkat Unsyiah yang
diresmikan berdirinya oleh Presiden Soekarno tahun 1959 menunjukkan
bahwa idiom Syiah telah sangat dikenal masyarakat.<br />
Syiah bukanlah idiom yang asing dan berbahaya, melainkan menunjukkan
tradisi keilmuan yang tinggi sebagaimana yang dikembangkan di Iran.
Kesemua fakta ini menunjukkan kenyataan terjadinya proses sinkretisasi
antara Syiah dengan kebudayaan setempat di Indonesia yang sudah
berlangsung sejak masuknya Islam ke Nusantara.<br />
Karenanya, lewat tulisan ini saya menggugat, jika dikatakan tradisi
Iran dan Syiah baru datang ke Indonesia belakangan ini dan dikatakan
tidak sesuai dengan tradisi masyarakat Muslim Indonesia yang bermazhab
Sunni. Justru yang bertentangan dengan tradisi masyarakat Muslim
Indonesia adalah yang menganggap bid’ah dan sesat hal-hal yang selama
ini ditradisikan masyarakat kita, terutama Muslim Bugis-Makassar,
seperti shalawatan, barazanji, maulid dan menyimpan gambar-gambar wajah
wali yang dianggap mendatangkan keberkahan.<br />
Tentunya, kajian tentang Syi’ah memang dibutuhkan. Tidak saja untuk
kepentingan akademisi dan mengenal lebih dekat pemikiran Syiah, namun
ia juga mempunyai kepentingan ganda: Untuk menentukan sikap! Sebab,
sebagaimana pesan Imam Ali as, “Seseorang cenderung memusuhi yang tidak
diketahuinya.”<a href="http://syamsulrahmi.wordpress.com/2011/02/04/pengaruh-persia-ke-indonesia/#_ftn3">[3]</a><br />
<br />
<br />
KESIMPULAN<br />
<br />
Setelah memahami bahwa perkembangan Islam di Indonesia memiliki
warna atau ciri yang khas dan memiliki karakter tersendiri dalam
penyebarannya, kita dapat mengambil hikmah, di antaranya sebagai
berikut:<br />
1. Islam membawa ajaran yang berisi kedamaian.<br />
2. Penyebar ajaran Islam di Indonesia adalah pribadi yang memiliki ketangguhan dan pekerja keras.<br />
3. Terjadi akulturasi budaya antara Islam dan kebudayaan lokal meskupin
Islam tetap memiliki batasan dan secara tegas tidak boleh bertentangan
dengan ajaran dasar dalam Islam.<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
<a href="http://ayubimusa.blogspot.com/2009/12/perkembangan-islam-di-indonesia.html">http://ayubimusa.blogspot.com/2009/12/perkembangan-islam-di-indonesia.html</a><br />
<a href="http://www.tribun-timur.com/read/artikel/54138">http://www.tribun-timur.com/read/artikel/54138</a><br />
http://media-sastra-nusantara.blogspot.com/<br />
<br />
<br />
<hr size="1" />
<div>
<a href="http://syamsulrahmi.wordpress.com/2011/02/04/pengaruh-persia-ke-indonesia/#_ftnref1">[1]</a> <a href="http://ayubimusa.blogspot.com/2009/12/perkembangan-islam-di-indonesia.html">http://ayubimusa.blogspot.com/2009/12/perkembangan-islam-di-indonesia.html</a><br />
</div>
<div>
<a href="http://syamsulrahmi.wordpress.com/2011/02/04/pengaruh-persia-ke-indonesia/#_ftnref2">[2]</a> http://media-sastra-nusantara.blogspot.com/<br />
</div>
<a href="http://syamsulrahmi.wordpress.com/2011/02/04/pengaruh-persia-ke-indonesia/#_ftnref3">[3]</a> http://www.tribun-timur.com/read/artikel/54138<br />
<br />
<br />
http://syamsulrahmi.wordpress.com/2011/02/04/pengaruh-persia-ke-indonesia/ </div>Muhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5484169373233948978.post-4308678577817629912012-05-05T20:50:00.004+07:002012-05-05T20:50:55.858+07:00Syiah di Indonesia Bukan Mazhab Baru<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<strong>UQ: Ada yang bilang bahwa Syi’ah di Indonesia itu sebenarnya
bukan mazhab baru, tetapi sudah lama. Hanya saja mungkin ia tidak
tersebar luas sebagaimana mazhab Sunni. Bagaimana Kang Jalal melihat
perkembangan Syi’ah di negeri ini?</strong><br />
<br />
JALALUDDIN RAKHMAT: Ada beberapa teori tentang kedatangan Syi’ah di
Indonesia. Teori pertama merujuk pada masa penyebaran Islam di
Indonesia. Jadi, menurut teori ini, dahulu orang-orang Syi’ah yang
dikejar-kejar oleh penguasa Abbasiyah lari dari Timur Tengah sebelah
utara, yang sekarang mungkin daerah Irak, ke sebelah selatan –dibawah
pimpinan seorang yang bernama Ahmad Muhajir– sampai ke Yaman. Mereka
menghentikan pelarian di puncak-puncak bukit yang terjal. Kisah ini
dimuat dalam beberapa kitab Syi’ah. Alkisah, pemimpinnya, Ahmad Muhajir,
waktu itu mematahkan pedangnya dan kemudian mengatakan, “Wahai saat ini
kita ganti perjuangan kita dengan pena.”<span id="more-350"></span><br />
Kemudian mereka semua secara lahir menganut mazhab Syafi’i. Mereka
bertaqiyyah sebagai pengikut mazhab Syafi’i di daerah Yaman, Hadramaut.
Sehingga di dalam kamus Munjid edisi lama, pada kata ‘Hadramaut’
ditulis: sukkanuha syi’iyyuna syafi’iyyuna; penduduknya orang-orang
Syi’i yang bermazhab Syafi’i. Saya kira Munjid itu merekam mereka. Dari
Hadramaut inilah menyebar para penyebar Islam yang pertama, khususnya
kaum ‘Alawiy, orang-orang keturunan Sayyid, atau yang mengklaim sebagai
keturunan Sayyid. Mereka datang ke Indonesia dan menyebarkan Islam.
Tetapi ketika mereka datang ke Indonesia, di luar, mereka Syafi’i, di
dalam, mereka Syi’i.<br />
Belakangan ada bukti-bukti lain yang memperkuat teori ini. Misalnya,
pernyataan Abdurrahman Wahid bahwa NU secara kultural adalah Syi’ah. Hal
itu karena tradisi Syafi’i di Indonesia –berbeda dengan tradisi Syafi’i
di negeri-negeri lain– sangat kental diwarnai tradisi-tradisi Syi’ah.
Ada beberapa shalawat khas Syi’ah yang sampai sekarang masih dijalankan
di pesantren-pesantren. Ada wirid-wirid tertentu yang jelas menyebutkan
lima keturunan Ahlul Bait. Kemudian juga tradisi ziarah kubur, lalu
membuat kubah pada kuburan. Itu semua tradisi Syi’ah. Tradisi itu lahir
di sini dalam bentuk mazhab Syafi’i. Jadi di luarnya Syafi’i di dalamnya
Syi’i.<br />
Masih ada juga bukti-bukti ritus khas Syi’ah –bukan khas Syafi’i–
yang populer di Indonesia. Salah satunya ialah tahlilan hari ke satu
atau keempatpuluh (setelah kematian seseorang) dan juga haul. Itu
tradisi Syi’ah yang tidak dikenal pada mazhab Syafi’i di Mesir. Lalu, di
kalangan NU setiap malam Jum’at sering dibacakan shalawat diba’. Pada
shalawat itu disebutkan seluruh Imam Syi’ah yang dua belas. Dan itu
mereka lakukan setiap malam Jum’at, seperti pembaruan bai’at, kepatuhan
pada dua belas Imam.<br />
Untuk memperkuat itu, ada juga kebiasaan orang-orang Indonesia yang
menganut mazhab Syafi’i untuk menghormati –kadang-kadang secara
berlebihan– keturunan Nabi yang mereka artikan sebagai Ahlul Bait. Saya
sebut secara berlebihan karena menurut orang-orang Syi’ah, Ahlul Bait
itu hanya terbatas kepada dua belas Imam yang ma’shum. Jadi, tidak semua
keturunan Nabi adalah termasuk Ahlul Bait. Mereka juga percaya bahwa
semua Ahlul Bait itu pasti masuk surga, dan mereka tak berdosa.
Kepercayaan itu merata, khususnya pada kalangan Muslim yang awam.<br />
Kemudian di Surabaya ada seorang peneliti (kalau tidak salah namanya
Agus Sunyoto) dari sebuah lembaga penyiaran Islam (nama lembaganya saya
lupa; dipimpin oleh Dr. Saleh Jufri) yang pernah melakukan penelitian
terhadap kuburan-kuburan di Jawa Timur. Ia menemukan bahwa
kuburan-kuburan itu adalah kuburan-kuburan orang Syi’ah. Ia punya dugaan
keras bahwa Islam yang pertama kali masuk ke Indonesia itu Islam
Syi’ah. Kemudian, Ali Hsymi juga pernah menulis buku tentang Syi’ah di
Indonesia dan ia punya teori bahwa Isalm yang pertama datang ke
Indonesia ini adalah Islam Syi’ah. Menurut Agus Sunyoto, sebagian besar
dari wali yang sembilan itu adalah Syi’ah, kecuali satu (kalau tidak
salah Sunan Kalijaga atau entah siapa, saya tidak ingat betul; itulah
yang suni). Itu dari segi bukti-bukti sejarah.<br />
<br />
Teori kedua, Islam yang datang ke Indonesia itu Islam Sunni. Tetapi
kemudian Syi’ah masuk terutama melalui aliran-aliran tarekat. Soalnya,
dalam tarekat, Syi’ah dan Sunni bertemu sudah sejak lama. Ambillah
contoh tarekat Qadriyyah-Naqsabandiyyah. Silsilahnya bersambung kepada
imam-imam Syi’ah. Sisilahnya begini: dari Allah, Malaikat Jibril,
Rasulullah, Ali, Husain, Ali bin Husain, terus kepada Imam Syi’ah sampai
Imam Ali Ridha. Dari situ barulah keluar kepada silsilah yang lain.
Tetapi tujuh atau delapan yang awal itu adalah para imam Syi’ah.<br />
Tampaknya, menurut teori kedua ini, Islam yang datang ke Indonesia
ialah Islam Sunni. Tetapi karena Islam yang pertama datang itu Islam
yang bersifat mistikal, maka pengaruh-pengaruh Syi’ah masuk lewat Islam
yang mistikal itu. Ritus-ritus yang disebutkan tadi tidak menunjukkan
bahwa Syi’ahlah yang pertama datang ke Indonesia. Itu hanya sekedar
menunjukkan adanya pengaruh Syi’ah yang masuk ke dalam pemikiran
Ahlussunnah lewat Syafi’i. Ada juga yang punya teori Islam itu dulu
pernah disebarkan ke Indonesia lewat orang-orang Persia. Ada yang
menyebutkan mereka juga pernah tinggal di Gujarat, di India Barat yang
kebanyakan adalah Syi’ah.<br />
<br />
Teori ketiga, Syi’ah itu baru datang setelah peristiwa Revolusi Islam
Iran (RII), dimulai antara lain dengan tulisan-tulisan Ali Syariati dan
disusul dengan tulisan-tulisan pemikir Islam Iran lain. Sebetulnya,
banyak orang yang terpengaruh Syi’ah hanya kerena peristiwa RII.
Belakangan, kadang-kadang orang mendefinisikan Syi’ah sebagai siapa saja
yang bersimpati terhadap RII. Misalnya, Mas Amien Rais, pernah menerima
gelar Syi’ah juga. Bahkan sebuah buku kecil pernah ditulis tentang ciri
ke-Syi’ah-an Amien Rais. Saya kira sebabnya sederhana saja: karena mas
Amien Rais memang sering memuji RII. Boleh jadi ada juga orang yang
menyebut mas Dawam Rahardjo itu Syi’ah karena ia sangat apresiatif
terhadap Iran, sampai seringkali memuji-muji ulama Iran.<br />
<br />
<em>[Petikan wawancara Jalaluddin Rakhmat dengan Redaktur Majalah
Ulumul Quran (UQ): Arief Subhan dan Nasrullah Ali Fauzi; edisi No.4,
Vol.VI, Tahun 1995] </em></div>Muhammadihttp://www.blogger.com/profile/00436905208667354938noreply@blogger.com0