Minggu, 22 April 2012

Benarkah Ada Tradisi Syi'ah di Kalangan Nahdliyin?

Masalah eratnya tradisi kaum nahdliyin dengan budaya kaum syi'ah telah banyak diperbincangkan. Saya sendiri lahir dikalangan budaya kaum nahdliyin yang sangat kental. Walaupun saya sendiri bukan berasal dari kalangan santri, namun kekentalan budaya nahdliyin begitu terasa. Masih ingat dengan jelas bagaimana meriahnya perayaan maulid di langgar atau masjid, pengajian-pengajian dalam rangka haul ulama atau para wali, semaraknya majelis barzanji dan diba' yang sering diadakan oleh jama'ah ibu-ibu. Semuanya terasa indah dan membekas di hati saya.
Sampai sekarang jika malam hari tiba, kemudian saya mendengar suara diba'an di masjid dekat rumah saya hati ini terasa tentram. Lantunan syairnya terdengar indah, walaupun saya tidak tahu artinya.  Akan tetapi saya bisa memastikan bahwa itu adalah syair puji-pujian kepada Nabi Muhammad dan keluarganya. Sering saya meneteskan air mata mendengar gemanya..
Ketika saya berada diperantauan, nun jauh di sebuah kota di Jawa Barat, saya jarang sekali mendengar lantunan barzanji atau diba' atau semacamnya.  Memang tempat tinggal saya relatif jauh dari masjid dan kebutulan masjid yang saya gunakan untuk sembahyang fardlu atau jum'at bukanlah masjid yang mempunyai majelis sholawatan. Saya terkadang rindu dengan gema sholawat dan syair puji-pujian seperti halnya dikampung halaman.
Ketika saya mendengar tuduhan bahwa tradisi sholawatan seperti itu adalah budaya syi'ah, saya merasa miris. Sebagai orang yang awam dibidang agama, tudingan seperti itu seperti mengiris hati saya. Dalam hati saya tidak rela. Yang terbayang adalah senyuman para ibu-ibu dikampung saya, derai canda anak-anak yang bahagia mengikuti semaraknya acara sholawatan. Tudingan bahwa hal itu adalah bid'ah sesat pun sebelumnya sudah sering saya dengar. Akan tetapi ketika dituding bahwa hal itu adalah budaya syi'ah membuat saya berontak dan benar-benar sakit hati. Sekali lagi ini karena keawamam saya saja, yang dulunya punya stereotip  bahwa syi'ah adalah sesat karena bukan ASWAJA, sehingga apapun yang berhubungan dengan tradisi keagamaannya adalah juga sesat. Sama halnya dengan tudingan bid'ah  karena majelis semacam sholawatan dan syair-syairnya tidak pernah ada apalagi dicontohkan olah Nabi sehingga apapun tradisi keagamaan yang tidak pernah ada, walaupun itu baik, tetap dikatakan bid'ah yang sesat.
Dibawah ini adalah sebuah tulisan yang saya ambil sepenuhnya dari majalah SYI'AR yang kebetulan memuat wawancara dengan DR. KH. Said Aqiel Siradj (sekarang Ketua Umum PBNU). Tulisan ini memberikan gambaran singkat namun jelas tentang Syi'ah dan budayanya serta relasinya terhadap tradisi NU. Sebagai seorang cendekiawan muslim, ulasan beliau cukup memberikan wawasan tentang bagaimana seharusnya sikap umat nahdliyin terhadap tudingan-tudingan yang sering muncul selama ini. Tulisan yang judul aslinya tentang "Ja'fari  Mazhab Resmi Islam ke-5" saya ambil penuh dengan tujuan sebagai penambah khazanah pengetahuan bagi umat muslim pada umumnya dan Nahdliyin pada khususnya. Semoga bermanfaat!! Jazakumullah Khoiron Katsiro kepada majalah Syi'ar.
  JA'FARI, MAZHAB RESMI KE-5 ISLAM
Bicaranya lugas khas kiai pesantren. Namun data dan istilah yang rancak terselip dalam kalimat-kalimatnya menunjukkan bahwa dia bukan sekadar kiai pesantren biasa, melainkan juga intelektual yang mengenyam pendidikan tinggi dan mempunyai pergaulan yang luas. Kyai Said, demikian sapaan akrab DR. KH. Said Aqiel Siradj.
Ditemui SYI’AR di ruangannya di kantor PBNU, ulama asal Palimanan, Cirebon, ini cerita banyak tentang kunjungannya ke Qatar, sikapnya tentang kerukunan antar-mazhab, kultur Syiah dalam NU dan penjabarannya tentang kondisi umat Islam Indonesia. Berikut kutipannya:
TENTANG SUNAH-SYIAH
Anda bisa ceritakan tentang pertemuan Qatar?
Saya diundang dalam pertemuan Suni-Syiah di Doha, ibukota Qatar, pada 20-22 Januari 2007. Tujuannya mempersempit atau memperkecil sudut pandang Suni-Syiah yang sudah barang tentu penting sekali.
         Pertemuan pada hari pertama memang panas. Terutama pihak Suni. Yusuf Qardhawi, Syekh Wahbah Zuhaili dan Syekh Ali Syabuni punya syarat bahwa mereka bisa bertemu apabila pihak Syiah menghentikan caci maki terhadap sabahat. Mereka tidak akan mau bertemu apabila Syiah masih mengatakan misalnya ‘laknat Allah’ kepada Aisyah karena Suni mengatakan ‘Semoga Allah meridhainya’.
          Kemudian yang sangat disayangkan dan juga dikritik oleh Syekh Yusuf Qaradhawi adalah penyebaran Syiah di kalangan Suni. Dia juga bilang Indonesia sebagai salah satu basis penyebaran Syiah dengan menyebarkan buku-buku terjemahan dan lain sebagainya.
        Lebih seru lagi, Syekh Qaradhawi di forum ini meminta Ali Taskhiri mengucapkan Aisyah radhiya Allahu anha (ra). Dan Syekh Ali Taskhiri mau melakukannya. Tidak berhenti di situ, dia juga minta semua utusan Iran mengucapkan hal yang sama seperti Ali Taskhiri. Ini kejadian yg sangat disayangkan dan sesungguhnya tidak perlu terjadi di forum yang mulia ini. Tetapi pada hari kedua sudah mulai cair.
       Hasil dari seminar itu, pada intinya, masing-masing pihak menghargai peranan masing-masing dan mengendalikan kalangan ekstrim dari masing-masing mazhab.
      Menurut Ali Taskhiri, di kalangan Syiah memang ada juga orang-orang yang ekstrim dan fanatik dan dengan tidak bertanggungjawab mencaci maki sahabat dan Suni. Demikian pula di Suni. Sementara NU sendiri tidak pernah mencaci maki Syiah. Tapi di kalangan Wahabi memang banyak yang ekstrim.
           Pada pertemuan itu, saya diberi kesempatan berbicara dua kali. Pada forum tersebut, saya mengajak kedua pihak untuk masing-masing menulis buku tentang pengakuan dan penghargaan Suni terhadap Syiah dalam membangun peradaban. Begitu juga Syiah, menulis buku tentang peranan Suni dalam membangun peradaban.
        Sebenarnya hal (pertemuan Suni-Syiah) ini sudah lama dilakukan oleh Syekh Syaltut dan Ayatullah Burujerdi. Hasil dari kesepakatan kedua tokoh tersebut adalah bahwa mazhab Ja’fari diajarkan secara resmi di al-Azhar. Bahkan salah satu keberhasilan tersebut adalah diakuinya mazhab Ja’fari sebagai mazhab resmi dalam Islam sebagaimana empat mazhab lainnya. Bahkan rektor Al-Azhar, Dr. Ahmad Thayyib, mengatakan banyak kaidah hukum yang diambil dari mazhab Ja’fari adalah sah, ketika tidak ditemukan pada empat mazhab. Walhasil, mazhab Ja’fari adalah setara dengan empat mazhab lainnya.
Hal apakah yang mendorong terselenggaranya pertemuan tersebut?
Saya kira pertemuan itu didorong oleh kondisi di Irak. Masing-masing menuduh. Suni menuding Iran menyuplai senjata. Demikian pula Syiah menuding kelompok Suni Irak mendapat senjata dari Saudi. Lepas dari masalah itu semua, perpecahan di Irak harus dihentikan. Para ulama di sana harus mengendalikan umatnya, karena bukan hanya sekadar perbedaan pendapat tapi juga sudah ribuan nyawa melayang di sana.
Apakah benar Iran di belakang konflik sektarian itu?
       Saya tahu ini rekayasa Amerika. Saya tahu sengaja dibangun opini bahwa ini adalah konflik mazhab Suni-Syiah. Padahal ini murni politik, toh dulu tidak pernah terjadi konflik seperti ini.
      Saya bisa tegaskan di sini bahwa Iran, selalu dan selamanya, membela Palestina. Padahal di Palestina tidak ada Syiah, semuanya Suni. Tapi Iran matian-matian sampai berkorban dan rela ditekan Amerika karena perjuangannya bagi Palestina. Karena itu harus dipahami Iran berdiri bukan hanya untuk Syiah, bukan hanya untuk partai, tapi juga untuk Islam.
Apakah pertemuan Doha itu memang khusus untuk masalah sektarian di Irak atau memang pertemuan reguler?
Pertemuan Doha ini terdorong karena keadaan di Irak. Kalau yang reguler adalah yang di Iran dan semua pihak diundang dalam pertemuan itu.
Walhasil, masing-masing pihak selalu ada yang ekstrim, dan itu salah. Di Syiah ada yang ekstrim mencaci maki Suni dan di Sunni juga tidak kurang atau kelewatan.
Waktu Imam Khomeini pulang ke Iran, terbit sebuah buku yg menghujat beliau kira-kira judulnya Ja’a Daurul Majus ‘Tibalah Saatnya Majusi Kembali’. Itu sudah keterlaluan.
Sebenarnya bila bicara masalah perbedaan mazhab, itu bukan konsumsi pasar. Bukan obrolan orang awam. Tapi kalau masing-masing sudah menyebarkan buku murahan dan saling caci maki dan menjadi konsumsi awam akan berbahaya sekali. Bahaya terhadap Islam.
Jadi siapa yang berhak menetralisir segala macam isu yang bisa memecah belah persatuan umat ini?
Ulama, dong. Seperti yang saya katakan tadi, Syekh Al-Azhar, Syekh Mahmud Syaltut, mengadakan pendekatan dengan Ayatullah Burujerdi yang kemudian berdampak besar, sampai akhirnya Mazhab Ja’fari resmi dianggap sebagai mazhab kelima, selevel dengan mazhab yang empat.
Apa isu Suni-Syiah demikian krusialnya sampai-sampai diadakan pertemuan Doha? Apa tidak ada isu lain?
Kenyataannya, sekarang (di Irak) sudah saling bunuh. Faktanya begitu. Dalang di belakang kejadian ini kita semua tahu. Juga isu senjata Syiah disuplai Iran dan senjata Sunni disuplai Saudi. Kita semua tahu siapa dalang sesungguhnya. Ini adalah kerjaan Amerika untuk memecah belah Irak. Tapi kan, beberapa ulama terpengaruh. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Syekh Qardhawi, Wahbah Zuhaili dan Ali Syabuni barangkali terpengaruh juga oleh isu ini.
    Seandainya kita bisa berbicara dengan jernih, kembali pada dasar yang paling prinsip, semua mazhab hakikatnya sama kecuali pada hal-hal yang furu’ (parsial). Kenapa kita bisa dialog dengan non-Muslim tapi tidak bisa dengan Syiah kalau tidak dibesar-besarkan oleh kepentingan politik?
TENTANG ISLAM DI INDONESIA
Ulama sedunia bisa bersatu mengenai isu Palestina. Tapi negara tempat ulama itu tinggal mempunyai policy yang berbeda. Bagaimana pendapat Anda?
Pertanyaan Anda mulai berkembang luas. Di Timur Tengah, pola pikir antara pola pikir agama dan nasionalisme belum selesai. Karena nasionalisme Timur Tengah itu universal. Banyak mengadopsi konsep Ernest Renan yang memisahkan gereja dan negara. Ketika di Eropa lahir bangsa-bangsa, sama sekali tidak ada pembicaraan tentang agama. Artinya tidak ada poin agama dalam konsep nasionalisme sehingga kaum Muslim menganggap bahwa nasionalisme adalah sekuler murni.
           Pada umumnya ketika Khilafah Islamiyah di Turki tumbang pada 1924, yang menghadapi penjajah adalah kaum nasionalis. Dan mereka berhasil. Di Mesir ada Muhammad Najib, dan lain-lain. Terakhir merdeka pada zaman Gamal Abdul Naser. Begitu pula di Chad, Mitcel Aflak, Partai Ba’ats, Hafez Asad. Di Irak ada Hassan Sadr, Saddam Hussain. Mereka adalah nasionalis sekuler yang berhasil mengusir penjajah.
     Setelah penjajah pergi, menurut masyarakat Arab awam, nasionalis gagal membangun pemerintahan. Buktinya juga gagal. Tidak ada persatuan yang permanen. Pernah ada republik persatuan Arab yang anggotanya Mesir, Libia dan Syiria tetapi umurnya hanya satu tahun. Jadi bangsa Arab putus asa dengan ide nasionalis. Gantinya adalah Islam garis keras (hardliner).
      Alhamdulillah, kita wajib bersyukur di Indonesia Islam dan nasionalisme bertemu. Dalam Pancasila, sila pertama agama dan sila kedua kebangsaan. Orang luar negeri heran, bentuk apakah itu. Sebab Islam kita khas, ala indonesia, nasionalisme- relijius. Boleh dikata, tidak ada orang nasionalis yang anti agama. Begitu pula tidak ada agamis yang tidak punya semangat nasionalis.
         Sejak berdirinya sampai sekarang, Nahdhatul Ulama juga kuat dengan konsep Negara Darussalam (negara damai), bukan Darul Islam, yang ditetapkan pada muktamar 1926 di Banjarmasin.
      Konsep Darussalam adalah negara yang mengaku semua komponen yang ada baik suku, agama dan budaya lalu digabungkan menjadi satu: negara Indonesia. Nah, nilai-nilai Islam itu ditransfer melalui semangat kebangsaan.
         Oleh karena itu, marilah kita isi kebangsaan ini dengan nilai-nilai agama, tidak usah dilegalkan, diformalkan, diresmikan menjadi konstitusi negara tapi cukup negara Pancasila, Republik Indonesia, bangsa Indonesia.
        Jadi peradaban bangsa ini kita isi dengan nilai-nilai agama dan agama harus amalkan dan diperkuat. Itu adalah komitmen Wahid Hasyim dan Muhammad Kahar Muzakir setuju mencoret Piagam Jakarta, asal spirit dari Piagam Jakarta masih ada dalam berbangsa ini yaitu mengamalkan ajaran Islam tetapi tidak usah dilegalformalkan.
Dalam pandangan politis, pencoretan piagam Jakarta itu karena lobi orang-orang Indonesia Timur yang akan melepaskan diri dari negara kesatuan Indonesia kalau ada negara Islam?
    Iya, saya sangat memahami itu. Tapi apa pun juga sebabnya, persatuan nasional, persatuan nusa dan bangsa harus diperkuat lebih dulu. Kita tidak usah berbicara tentang negara Islam karena itu pasti pecah. Sampai sekarang ini, kalau kita menjadikan negara Indonesia sebagai negara Islam maka akan terjadi perpecahan.
         Kita prioritaskan dan perkuat dulu persatuan negeri ini. Di dalam persatuan sebagai bangsa mari kita berlomba mengisi negara ini dengan nilai-nilai Islam.
       Contohnya begini, kalau di sana mereka membangun gereja maka kita harus membangun mesjid. Kalau di sana mereka membangun rumah sakit maka kita harus membangun rumah sakit pula. Nah, itu yang positif. Bukankah begitu? Kalau di sana mereka membangun rumah sakit, bukan rumah sakitnya yang harus dibakar. Kristen membangun gejera yang besar maka kita pun harus membangun mesjid yang besar pula. Orang Kristen membantu bencana alam maka kita pun harus begitu. Jangan sebaliknya, orang Kristen membangun gejara kok malah dibakar.
Bagaimana dengan apologi bahwa agama kita yang berasal dari Timur Tengah yang di sana sendiri agama dan nasionalisme belum bisa bertemu?
Begini, kita mempunyai dasar yaitu Piagam Madinah. Nabi Muhammad saw membentuk sebuah komunitas Muslim di Mekah selama 13 tahun. Itulah yang namakan Ukhuwah Islamiyah, ikatan persaudaran Muslim. Di sana, siapa pun yang non-Islam, walaupun dia adalah ayahnya, kakaknya, ibunya, saudaranya sekalipun bukan saudara. Sebaliknya, siapa pun yang Muslim adalah saudara. Yang Muslim saudara dan yang non-Muslim bukan saudara.
           Tapi ingat, itu di Mekah. Siapakah yang non-Muslim? Mereka adalah kaum musyrikin, paganis, yang tidak punya kitab suci, tidak punya budaya, tidak punya peradaban dan sebagainya. Yaitu yang Jahiliah.
        Kemudian Nabi saw pindah ke Yatsrib. Dinamakan Yatsrib karena yang membangun kota itu namanya Yatsrib bin Tsabit. Di sana kita menemukan sebuah masyarakat yang plural, ada Muslim Muhajirin, penduduk asli setempat (yaitu suku Aus dan Khazraj) dan masyarakat Muslim Anshar itu sendiri, serta tiga suku Yahudi (yaitu Bani Quraizhah, Bani Qainuqa dan Bani Nadhir).
        Ketika Nabi pindah ke sana, apa yang dilihat dan dihadapi berbeda pula. Muslim terdiri dari Muhajirin dan Anshar dan non-Muslimnya adalah Ahlulkitab Yahudi, bukan Musyrikin. Maka Nabi segera melakukan perjanjian damai yang menghasilkan surat kesepakatan Madinah yang ada di dalam kitab Sirah Nabawiyah yang ditulis oleh Ibnu Hisyam Anshari (juz. 2 hal. 219-222).
           Kesepakatan tersebut bertujuan untuk membangun sebuah kota yang beradab, yang di situlah akan ditegakkan kebenaran, hukum, kesetaraan, tidak ada diskriminasi, persamaan, keadilan, kesejahteraan dan sebagainya. Tidak pandang suku, agama dan lain-lain. Maka dalam piagam Madinah itu, tidak ada satu kata pun kata “Islam” dalam Piagam Madinah. Tidak ada kata “Islam”, tidak ada kata “Al-Quran”. Yang ada hanyalah keadilan, keamanan dan lain-lain.
           Poin pertama dalam piagam Madinah itu berbunyi, Innal mukminin min Quraisy, wa Yatsrib, wal-Yahud, waman tabi’ahum wa lahiqa bihim (Orang Islam Quraiys Madinah, orang Yahudi, dan siapa pun yang berkoalisi dengan mereka) innahum ummatun wahidah (mereka umat yang satu). Jadi jelaslah, masing-masing agama itu dipersilakan melaksanakan agamanya masing-masing.
   Terakhir, piagam ini ditandatangani (disepakati) untuk memberantas kezaliman atau untuk menghadapi kezaliman. Jadi apa pun suku dan agamanya pasti dia akan aman.
          Nah, Piagam Madinah itulah yang merupakan cikal bakal lahirnya konsep Tamaddun. Maka, Yatsrib diganti namanya menjadi Madinah al-Munawwarah yang berasal dari kata “Tamaddun” yaitu Masyarakat yang berperadaban dan sadar hukum, maju dan modern.
Tidak ada negara Islam, tapi negara Madinah. Saya bisa buktikan. Nabi Muhammad saw mau menerima hadiah dari seorang perempuan Mesir yang notabene Ortodoks Koptik, Maryah Qibtiyah, yang kemudian oleh Nabi dikasihkan kepada Hassan bin Tsabit seorang Kristen. Nabi juga menikahi seorang perempuan dari Yahudi, Hafsah bin Huyain.
         Bukti lain, ketika Umar bin Khaththab menjadi khalifah, orang-orang Kristen Syiria, Syam, Cyprus dan lainnya lebih suka berada di bawah Madinah daripada berada di bawah kekuasaan Romawi. Ini betul-betul sudah bertamaddun (berperadaban) .
       Nah, kalau selama 13 tahun di Mekkah Nabi telah membentuk komunitas Muslim yang diikat dengan Ukhuwah Islamiyah maka setelah Nabi pindah ke kota Yatsrib, Nabi membentuk Ukhuwah Madaniyah, yang kalau kita lihat berarti Ukhuwah Wathaniyah (Hubungan sebangsa dan setanah air).
     Terakhir, ketika Nabi mau wafat, beliau berangkat haji dan berkhotbah di Arafah. Pada khotbah itu Nabi hanya mengucapkan, “Ya ayyuhannas, wahai manusia! Sesungguhnya nyawa, harta, dan martabat manusia itu suci mulia, seperti sucinya hari wukuf, bulan haji ini dan Batiullah di Mekkah.”
        Bukan wahai umat Islam, wahai Umat beragama, wahai Umat Semesta alam. Tapi wahai manusia! Di sini, Nabi Muhammad ingin menyampaikan Ukhuwah Insaniyah, persaudaraan sesama manusia. Setelah itu 84 hari setelah itu Nabi Muhammad wafat.
        Jadi, Nabi membangun Ukhuwah Islamiyah di Mekkah 13 tahun dan ditingkatkan di Yatsrib menjadi Ukhuwah Wathaniyah (nasionalis, nasionalis yang Wathaniyah, yang tamaddun, menjalankan kebenaran, keadilan dan bukan monotheisme) .
         Dan yang terakhir Nabi bangun adalah Ukhuwah Insaniyah. Untuk ukhuwah yang terakhir ini, orang musyrik, Yahudi, Budha dan Hindu pun semuanya masuk. Semua nyawa, harta dan martabat manusia harus dihargai. Karena dia merupakan Hak Asasi Manusia. NU sendiri memiliki tiga Ukhuwah itu: Ukhuwah Islamiah, Ukhuwah Wathaniah (yang diadaptasi dari Madinah), dan Ukhuwah Insaniah.
TENTANG TEOLOGI KERUKUNAN
Pelajaran apa yang bisa kita ambil seiring dengan berkembangan Pluralitas dan Multikultural saat ini?
          Satu, kita harus memahami watak orang Irak. Sejak dulu mereka susah dipersatukan. Masyarakat Irak pernah bersatu ketika ia dipimpin oleh seorang diktator yaitu Hajjaj bin Yusuf Tsaqafi. Setelah itu selalu saja ada ajang pertikaian.
         Irak modern sekarang ini adalah mayoritas Suni kalau dilihat dari Kurdi non-Arab dan mayoritas Syiah kalau dilihat dari Arabnya saja. Jadi (mayoritas) Arab Irak itu Syiah, sedangkan Arab Irak Suni sedikit. Tapi kalau menghitung Kurdi yang non-Arab maka Suni menjadi mayoritas.
      Kita berkata terus terang: ayo, Anda mau berangkat dari mana, yang mau ditilik darimana? Bila qaumiah Arabiah (Nasionalisme Arab), maka yang akan jadi mayoritas adalah mayoritas Syiah. Untuk Suni sendiri, dia harus memasukkan suku Kurdi. Masalahnya, suku Kurdi sendiri mazlum (tertindas) selama kekuasaan Saddam Hussain.
        Satu-satunya presiden yang membunuh rakyatnya sendiri dengan senjata massal, terlepas adanya oposisi atau tidak, hanyalah Saddam Hussain. Di Halabja, jangankan suku Kurdi, ayam, bebek dan unggas lain yang tak tahu menahu pun, semuanya pada musnah.
          Banyak juga presiden yang membunuh rakyatnya sendiri secara massal tapi tidak dengan senjata pemusnah massal seperti yang dilakukan oleh Saddam Hussain.
      Jadi Saddam Hussain lah yang pertama kali menggunakan senjata pemusnah massal untuk membunuh rakyatnya sendiri. Korbannya ada yang menyong mulutnya, ada yang kulitnya terkelupas dan lain sebagainya. Yang selamat pun mengalami cacat.
Dalam konteks Indonesia, pelajaran apakah yang kita bisa ambil dari konflik Irak sekarang?
          Kita telah sepakat sejak dulu bahwa negara ini adalah negara Darussalam, negara yang aman dan damai. Bagaimanapun bangsa kita ini memiliki ciri dan tipologi tersendiri dengan menggabungkan atau mensinergiskan antara sila pertama dengan sila kedua, yaitu agama dan kebangsaan. Di negara lain nggak ada. Itulah kelebihan kita. Tinggal kita pelihara dan jaga saja. Konflik yang ada di negara kita ini, terus terang saja, awal mulanya ada yang bikin.
Pada awal tadi, negara tidak boleh mengurusi masalah keyakinan umat beragama. Itu adalah urusan para ulama. Tapi pendapat Anda sekarang, negara perlu campur tangan?
     Begini, negara itu hanya berperan menerima, menampung, dan melaksanakan aspirasi rakyat melalui ulama karena ulama adalah wakil rakyat yang sebenarnya (informal leader). Ulama menampung aspirasi rakyat, ulama sebagai jembatan yang membuat progress dengan state (negara).
Bagaimanakah dengan sikap negara yang melakukan standarisasi agama, ada agama resmi dan agama tidak resmi?
        Itulah problem kita yang harus dibicarakan dengan panjang lebar. Idealnya memang tidak perlu sejauh itu. Tapi untuk mengendalikan keadaan sementara, barangkali sekarang itu masih dibutuhkan. Toh, sejak Gur Dur menjadi presiden, hal itu telah dibuka lebar. Sekarang Kong Hu Chu dijadikan agama resmi. Sekalipun di Depag belum tercatat secara resmi, tapi mereka bisa secara bebas merayakan Imlek dengan Barongsai laksana 17 Agustusan dan Imlek dijadikan hari libur nasional.
Gus Dur membela dan melindungi agama-agama minoritas seperti Kong Hu Chu. Apakah ini juga sikap resmi kaum Nahdhiyyin?
       Yang namanya mayoritas itu harus membela dan melindungi yang minoritas. Ada perkembangan baru yang luar biasa ketika Nabi Muhammad saw menganggap Yahudi itu Ahlulkitab.
          Ketika Sayidina Umar menjadi khalifah, dia masuk ke Persia dan menjumpai kaum yang baru ditaklukkan di sana yang beragama Majusi atau ash-Shabi’ah, penyembah bintang itu. Bagaimanakah ini? Apakah mereka sama dengan musyrikin dan kafir? Keputusannya, mereka adalah Ahlulkitab. Luar biasa ijtihad Umar itu. Dalil Qurannya, “Walladzina amanu, wa Hâdu wash-Shabi’in, man amana billahi”. Jadi mereka adalah monoteis.
Bagaimana pandangan Anda tentang MUI?
MUI itu didirikan di masa Orde Baru, sama dengan KNPI. Kita husnu dzan saja ya. Waktu itu ia bermanfaat sebagai forum antar-mazhab yang mewakili kelompok Islam. Itu okelah. Tapi sekarang masanya sudah berubah. Kita harus tanyakan: Apakah MUI itu? Dikatakan ormas, jelas bukan. Karena MUI tidak punya massa.
Apakah dia semacam Darul Ifta’ (Lembaga Fatwa)?
Kalau dia Darul Ifta’, ya nggak usahlah besar-besar seperti itu. Cukup 10 kyai dari berbagai mazhab yang duduk di situ, ditambah 4 atau 5 orang sekretaris, sudah cukup. Seperti Mahkamah Konstitusi atau Lembaga Kehakiman. Sampai sekarang payung hukumnya belum jelas.  
NU dikenal sebagai kelompok konservatif dan Muhammadiyah modernis. Sehingga NU bisa dikatakan memiliki ikatan emosional dengan tradisi-tradisi atau agama-agama lokal seperti Islam waktu telu dan Sunda wiwitan. Bagaimana pendapat Anda ?
Kita tetap harus berdakwah tentang Islam yang sebenarnya kepada mereka. Ada prinsip-prinsip ma’lum min ad-din bidh-darûrah (yaitu ada prinsip agama yang tidak bisa ditawar), seperti rukun Islam itu ada lima, rukun iman itu ada enam, Nabi Muhammad itu Nabi terakhir, al-Quran itu wahyu terakhir. Masalah rincian yang parsialnya silakan berbeda.
Kalau begitu, dari berbagai mazhab di Indonesia yang keras dan yang lunak itu, kira-kira perekatnya apa?
Tetap. Kalau mereka mereka masih meyakini rukun Iman dan rukun Islam, mereka masih dikategorikan Islam.
Soalnya masih ada kelompok yang masih mempermasalahkan masalah-masalah yang kecil-kecil begitu…
Gak apa-apa, masalah-masalah itu justru merupakan dinamika kita dalam bermasyarakat. Yang tahlil, yang nggak tahlil, yang salat tarawih 20 atau 8 rakaat itu dipersilakan.
       Masih ada yang menyesatkan dan mengafirkan orang tanpa dasar. Padahal mereka tahu bahwa kelompok yang mereka kafirkan itu masih mengimani Allah, al-Quran dan sebagainya?
      Kalau begitu nggak akan pernah ketemu. Jangankan dengan non-Muslim, dengan sesama Muslim pun, baik yang Persis, NU, Muhammadiyah, atau pun Syiah, tidak akan ketemu kalau itu masih dipersoalkan.
    Ada kalangan yang berpendapat bahwa karena mayoritas Indonesia itu Islam dan tradisinya adalah tradisi Muslim itu maka formalisasi syariat Islam melalui Perda-perda syariat Islam akan semakin menguatkan posisi Islam Indonesia. Pandangan Anda?
    Pertama-tama, yang Anda harus ketahui, berapa persen masyarakat Indonesia yang familiar dengan al-Quran? Yang melek sejarah Islam saja, berapa persen? Paling-paling Cuma 12% yang bisa baca dan familiar dengan al-Quran. Kita ini masih dalam marhalah (fase) dakwah, masih jauh dari Islam yang sebenarnya kita inginkan.
       Yang kedua, (bila ada) teman-teman kita yang kembali ke gerakan salaf, itu bagus dan harus, sebab di dalam hadis dikatakan, “Khairu qurun, qurni tsummal ladzina yalunahum” (sebaik-baik masa adalah masaku dan masa-masa setelahku).
       Tapi contoh (gerakan salaf) bukan berarti memelihara jenggot dan bercelana di atas mata kaki. Kalau sekadar ingin berjenggot atau bercelana seperti itu, ya silakan.
        Kita harus mengetahui bahwa tiga abad pertama Islam itu adalah masa-masa kejayaaan dan keemasan, yaitu masuknya tsaqafah (kebudayaan) hadharah (peradaban), ilmu pengetahuan, ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu tajwid, ilmu qiraat, ilmu nahwu, sharaf, balaghah, kedokteran, astronomi, dengan tokoh-tokohnya: Ibnu Sina, al-Farabi, al-Kindi, al-Khauqa, al-Idrisi yang ahli ilmu bumi. Semua terjadi di abad ketiga Hijriah, di samping Syafi’i, Maliki, Hambali, Hanafi, Bukhari, Muslim.
        Jadi, kalau kita mau bicara kembali ke salaf, ayo, saya setuju, tapi ilmunya (peradabannya) bukan hanya simbol sorbannya, jenggotnya dan juga celana yang di atas mata kaki itu. Ayo kita kembali membangun kejayaan Islam seperti salaf.
TENTANG MAULID NABI SAW
     Salah satu bentuk kembali ke salaf yaitu mengagumi Nabi Muhammad saw. Tapi mengapa dalam tradisi Muslim, hanya kelahiran Nabi yang diperingati, sedangkan hari wafat ulama diperingati?
        Karena Nabi Muhammad lahir sebagai rahmat bagi seluruh alam, begitu lahir pun sudah menjadi rahmatan lil ‘alamin. Kalau manusia biasa selain Nabi, tidak diketahui akan menjadi apa kelak anak tersebut. Nah, setelah hidupnya terbukti bahwa dia adalah seorang yang alim, barulah wafatnya diperingati.
Kenapa haulnya Nabi tidak diperingati, hanya lahirnya saja?
          Karena sejarah dan pujian-pujian dalam syar-syair itu pun hanya pada hari lahirnya saja. (Dikatakan) bahwa Nabi lahir dengan penuh lautan cahaya dan membawa kebebasan, mengangkat derajat manusia, mengubah tatanan dunia. Yang disebut-sebut itu lahirnya dan bukan haulnya.
         Dalam syair-syair seabrek-abrek disebutkan tentang kelahiran Nabi seperti yang terdapat di dalam Diba, Barzanji dan Burdah, Simtu Durar. Kalau Orang-orang mau menggubah syair atau sastra puji-pujian, yang ditekankan adalah kelahiran Nabi yang membawa rahmat.
Kalau haul ulama?
            Meniru keteladanannya, itu sebenarnya. Haul Sunan Gunung Jati, misalnya, diperingati karena beliaulah yang berjasa besar membawa Islam dan mengislamkan seluruh Jawa Barat ini. Termasuk wilayah Jayakarta, Banten, Sunda, dan Cirebon. Semuanya menjadi Muslim dan mengalahkan kerajaan Pajajaran pada waktu itu.
Mengapa penghinaan kepada sosok Muhammad mendapat reaksi yang sangat keras dibanding penghinaan kepada Allah Swt atau Tuhan?
      Saya tidak akan menjawabnya secara renci. Begini, kalau ada yang mengaku dirinya tuhan, dengan sendirinya dia segera tertolak mentah-mentah oleh semua orang yang waras akalnya. Bisa terjadi ada beberapa atau sejumlah orang akan percaya dengannya. Penghina tuhan akan kualat dengan sendirinya karena Tuhan tetap saja Tuhan.
           Berbeda halnya ketika ada orang yang mengaku nabi itu, kita akan memprotes keras. Misalnya Nabi dikritik karena poligaminya. Sebenarnya Nabi melakukan itu sebagai siasat perang. Perlu penjelasan dan pemaparan khusus akan hal ini.
Kenapa perayaan Maulid Nabi di masyarakat NU itu lebih meriah dan lebih simbolis ketimbang di masyarakat Muhammadiyah?
        Karena di sini ada budaya Syiah. NU menerima budayanya, bukan fikih atau teologinya. Budaya Syiah itu ya mencintai Nabi dan Ahlulbait. Di dalam bait-bait syair Barzanji tidak ada yang memuja dan nyanjung Abu Bakar, Umar dan Usman. Nggak ada.
         Contohnya, “Kami mempunyai bapak yang sangat kami cintai, yaitu Muhammad, kami punya Ali al-Murtadha, kami punya as-Sibthain (Hasan dan Husain), kam Imam min ba’da khalafu (dan imam-imam setelahnya) seperti Ali Zainal Abidin, anaknya Muhammad al-Baqir, sebaik-baiknya wali, dan putranya ash-Shadiq (Imam Ja’far Shadiq) dan putranya Ali Ridha, begitu lho.
       Jadi budaya Syiah masuk ke NU. Bahkan budaya Syiah pun masuk pesantren. Contohnya penghormatan kepada kyainya. Kalau kyainya meninggal maka yang menggantikannya adalah anaknya sekalipun secara kualitas sangat jauh berbeda. Soalnya keilmuannya, ya dia akan bisa mendapatkan dari guru-gurunya yang lain.
Kalau banyak berasal dari kultur Syiah, apakah masyarakat yang sadar akan beralih ke gaya mencintai Nabi ala Muhammadiyah?
Nggak. Silakan Maulid Nabi dan Dibaan itu dikritik, tetap saja nggak bisa hilang dari kami. Malah yang kritik itu sendiri yang terpental.
Mengapa?
     Sebab Allah Swt sendiri yang memuji beliau. Dalam al-Quran, “Innaka la’alâ khuqin azhîm”. Dan kita punya keyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah pemberi syafaat sebagaimana yang tercantum di dalam hadis-hadis sahih. Orang-orang yang banyak dosanya, kalau mereka berziarah kepada Nabi Muhammad dan beristigfar, dan Nabi sendiri memintakan ampunan, pasti mereka akan diampuni dosa-dosanya. “Walau annahum zhalamû anfusahum jâ’ûka fastagfaruhumullah wastagfaruhumur- rasul. Lawajadûllaha tawwabar-rahima.”
       Ada yang bertanya, apakah Nabi Muhammad saw masih hidup sampai sekarang? Jawabannya, ya. Nabi masih hidup sampai sekarang. Buktinya, “Assalamu ‘alaika” dalam tahiyat salat, “‘alaika” berarti beliau masih hidup.
       Jadi, mereka yang datang ke kuburan jasad Nabi (di Madinah) lalu dia beristigfar dan Nabi memantau istigfar kita kepada Allah, maka Allah akan pasti akan mengampuni dosa-dosanya.
TENTANG KULTUR SYIAH
Suni plus kultur Syiah ini, apa hanya khas di NU saja ataukah ada di tempat lain juga?
      Tidak. di Mesir Maulid Nabi semarak sekali, ada tahlilan dan tawasulan. Begitu pula di Maroko. Di Saudi nggak semua (mengharamkan) , hanya Najd dan Riyadh saja. Orang-orang Hijaz dan Madinah masih (membaca) Barzanji segala macam.
     Pada dasarnya umat Islam yang ada di Nusantara ini pada umumnya, terutama NU, berhutang budi banyak terutama kepada Ahlulbait yang telah menyebarkan Islam di Nusantara sejak dahulu kala. Kita semua tahu bahwa beberapa Wali Songo itu rata-rata keturunan Ahlulbait. Karena itu budaya Ahlulbait, budaya Syiah, mempunyai kesamaan dengan budaya Islam Indonesia. Seperti tawassul kepada Sayidina Ali dan Ahlulbait lainnya. Doa-doa seperti hizib yang dibaca oleh orang-orang kampung itu dimulai dengan (mengirim) surah Al-Fatihah kepada Rasulullah dan Ahlulbait.
Tapi tradisi-tradisi seperti itu mulai menghilang dengan datangnya Wahabisme dan modernitas?
Pilar pertahanan Islam adalah budaya. Selama masih ada tahlilan, Diba, Barzanji, puja-puji kepada Rasulullah saw tidak bisa dihilangkan. Partai politik dan ormas bisa dihilangkan atau dilarang, tetapi budaya tidak bisa dihilangkan.
Hati umat Islam Indonesia dan dunia sudah terpatri dengan kecintaan kepada Rasulullah dan Ahlulbaitnya secara mendalam, terlepas dia itu Suni atau Syiah. Semuanya mencintai dan menghormati Ahlulbait.
Di Indonesia ada syair yang dibacakan kalau ada yang tertimpa musibah atau penyakit menular, yaitu: “li khamsatun utfi biha harral wabai hatimah, al-Mustafa wal murtadha wabna huma wa Fathimah” (Saya mempunyai lima orang yang bisa menolak bala yaitu yang pertama, al-Mustafa Muhammad, yang kedua al-Murtahda Ali, dan kedua anakanya Hasan dan Husain, serta yang kelima Fathimah). Itu dibacakan oleh orang-orang kampung. Luar biasa. Selama itu masih dibaca, selama itu pula budaya Syiah masih ada di Indonesia.
Dengan kata lain, Anda ingin mengatakan bahwa Wahabisme tidak bisa masuk ke dalam tradisi NU?
Ya. Silahkan mereka membuat yayasan di mana-mana, tetapi karena sudah jadi budaya itu tidak akan lepas dari NU.
Bagaimana kasus komunitas Syiah di Bondowoso yang diisukan dekat dengan NU?
Itulah yang sangat disayangkan. Saya menghimbau dan mengharapkan kepada teman-teman aktivis Syiah, jangan sekali-sekali memformalisasikan mazhab. NU tidak pernah memusuhi Syiah. Mungkin malah sayang Syiah. Tapi bagaimanapun NU kan Suni yang beraliran Asy’ari dan di bidang tasawufnya adalah al-Ghazali.
Jadi, jangan sekali-kali menonjolkan formalitas mazhab. Hubungan kita dengan Ahlulbait (Syiah) sudah sangat indah sekali, tidak bisa dilepaskan atau dijauhkan antara keduanya.
Orang-orang awam belum mengetahui sejauh mana budaya Syiah itu. Hanya kita-kita yang berpendidikan sajalah yang memahami semua hal itu. Memformalkan Syiah hanya akan merugikan kita semua.
Bagaimana dengan transfer khazanah keilmuan dari Persia ke budaya Indonesia?
      Sangat luar biasa. Contohnya, huruf terakhir kata Arab yang diserap dalam Bahasa Indonesia yang berakhiran “h” dibaca “t”, seperti “surat”. Ini adalah budaya Persia.
       Ada lagi budaya Persia yang masuk ke dalam budaya Indonesia. Kalau kita membaca al-Quran, misalnya “Hudan lil-muttaqin” , maka (di akhir ayat pendengar) akan dijawab dengan “Allah” (dengan nada panjang dan lembut). Itu merupakan budaya Iran yang mencirikan kelembutan khas Iran.
     Mesir tidak begitu. Kalau mereka mendengar kata “Hudan lil-muttaqin” dibacakan maka mereka akan menjawab “Allahu Akbar” (dengan suara lantang). Kalau mereka mendengar orang membaca al-Quran dengan merdu kemudian tersentuh hatinya, seperti bacaan Syekh Abdul Basith, maka mereka akan berucap “Allah” (dengan keras).
Konflik antar mazhab semakin mengeras semenjak Wahabisme muncul. Bagaimana NU memahami Wahabi?
      Saya memahami Wahabi bagian dari Suni, tetapi Suni versi Mazhab Hambali. Hambali sendiri adalah di antara empat (mazhab) yang paling keras. Hambali ini pun kemudian ditafsirkan oleh Ibnu Taimiyah sehingga menjadi lebih keras. Operasionalnya dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, menjadi semakin keras lagi dibandingkan dengan kepala induk dari mazhab ini sendiri. Salah seorang imam yang paling keras adalah Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab lebih keras lagi daripada Ibnu Taimiyah.
Apakah yang Anda bisa simpulkan dari fenomena ini?
       Kesimpulannya yang ingin saya sampaikan adalah bahwa Islam datang ke Indonesia dulu bil hikmah wal mau’izhah wal mujadalah. Dengan penuh hikmah (wisdom), akhlakul karimah, budaya, mauizhah (ceramah yang bagus), dengan diskusi dan debat yang ideal dan bagus. Semua itu dilakukan oleh Ahlulbait dan diteruskan oleh para mubalig dan para Kyai.
       Konon ada beberapa kyai yang keturunan Ahlulbait, tapi gelarnya dikesampingkan dan ditutupi. Saya sendiri, katanya, ada (garis) keturunan dari Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati. Kyai Sahal Mahfudz keturunan Sunan Kudus. Dan apalagi Gus Dur keturunan Sunan Ampel. Semua itu kembali kepada Ahlulbait. Orangtua-orangtua kita menghapus atau tidak menyebutkan al-Haddad, al-Habsyi dan sebagainya. Semua leluhur saya bliang begitu. Kakek saya semuanya keturunan Ahlulbait.
        Kesimpulan kedua, karena dakwahnya bil hikmah, maka budaya itu menyatu dengan kehidupan kita sebagai orang Islam melalui salawatan, puji-pujian dan melalui doa-doa. Jadi kita tidak bisa dipisahkan dengan budaya Ahlulbait. Sekali lagi, budayanya lho, bukan akidah atau politiknya.
          Cara berpikir Syiah boleh kita ambil meskipun kita berfikih Syafi’i dan berakidah Asy’ari. Lama-lama ini akan menjadi sebuah budaya dan nggak usah ditutup-tutupi.
      Di Indonesia juga ada tradisi Asyura (seperti upacara Tabut di Padang dan itu adalah budaya Syiah) juga tradisi mencintai Imam Ali. Semua orang tahu bahwa Sayidina Ali adalah seorang yang hebat dan mulia. Semua ini sudah menjadi sebuah budaya yang turun temurun yang diciptakan di komunitas masyarakat Islam Indonesia.
TENTANG BUDIDAYA TASAUF
Apabila bentuk-bentuk keagamaan yang simbolis malah meruncingkan perbedaan antar mazhab, bisakah tasawuf atau mistisisme menjadi titik temu?
         Mistisisme merupakan titik temu dan muara dari segala agama, bukan saja antara Islam dengan Islam saja tetapi di luar agama Islam. Seperti inilah yang dipraktikkan tasauf. Tidak ada orang yang tidak suka terhadap nilai-nilai keindahan akhlak seperti sabar, tulus dan sebagainya.
     Nggak ada orang yang menolak semua nilai itu meskipun kalangan Kristen, Hindu dan Budha dan Kong Hu Chu. Semua (ajaran) mengarah ke sana, kan? Karena dia merupakan puncak dari moralitas dan spiritual. Jadi dengan ini, kita bisa mempertemukan antara agama bukan hanya antara mazhab saja.
         Mempertahankan tasawuf hanya berarti melalui tradisonalisme, sedangkan tradisi itu adalah masalah utama masyarakat neo-modern. Bisakah kalangan muda NU eksis di dalamnya?
Begini, yang namanya budaya atau tradisi itu berangkat dari kampung. Kemudian kita membawanya ke kota dan di sana kita angkat ke atas (permukaan). Ia (tradisi tasauf itu) boleh dikritik, diperbaiki dan ditambal kekurangan-kekurang annya.
Apakah hal itu tidak malah menghancurkan basis-basis tradisi yang ada di desa?
Tradisi itu kan berasal dari desa (kampung). Akarnya budaya itu berasal dari desa. Saya tidak bisa lepas dari budaya dan tradisi desa di mana saya berasal. Anda yang Sunda juga pasti dia tidak akan bisa lepas dari budaya Sunda yang Anda bawa dari desa ke Jakarta. Karena itu di mana pun Anda berada pasti unsur atau pola pikir Sundanya nggak akan hilang. Yang dari Madura juga tidak akan hilang. Di situlah, silahkan kalau ada kritik atau perbaikan, yang penting tidak bertabrakkan dengan kalimat La Ilaha illa Allah, Muhammad Rasulullah.
Salah satu menanamkan nilai-nilai adalah lewat peringatan-peringat an, dan itu juga menjadi momentum persatuan umat.
      Ya. Dulu Maulid Nabi dimulai pertama kali oleh Khalifah Mu’idz Lidinillah, khalifah Fathimiah, salah satu khalifah keturunan Abdullah dari Tunisia tahun 363 H. Dia lalu masuk Kairo dan mengalahkan Ahmad bin Thulun. Khalifah Mu’idz kemudian menyatukan umat untuk merayakan Maulid Nabi secara besar-besaran.
        Dia kemudian mendirikan sekolah al-Azhar dengan nama Jauhar ath-Thaqul, lalu membangun kota Qahirah (Kairo) hingga kemudian dikalahkan oleh Dinasti Mamalik dan kemudian oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
         Artinya, seremonial-seremoni al seperti itu bisa menyatukan umat, dan menyatakan kepada umat bahwa kita memiliki seorang pemimpin yang namanya Muhammad dan kita harus mengikuti ajaran dan dakwahnya. Hal ini, sama halnya dengan kita memperingati hari 17 Agustus, untuk memperingati bahwa dulu bapak-bapak dan orangtua-orangtua kita telah mengorbankan nyawa, harta dan pikirannya demi kemerdekaan dan membangun Negara Indonesia yang tercinta ini. Adapun bentuk seremonialnya bisa disesuaikan dengan aneka kebudayaan umat yang ada, seperti di Yogyakarta misalnya dengan cirinya sendiri, di Cirebon dengan cirinya sendiri dan di Mesir pun akan lain lagi.
TENTANG MENGAJARKAN CINTA NABI Berarti harus adanya pentradisian di dalam keluarga?
Ya.
Bagaimana kiat Anda dalam mendidik keluarga agar mencintai Nabi dan Ahlulbaitnya?
         Setiap pagi anak-anak saya mendengar bapaknya melantunkan bait-bait Burdah. Pasti lama-lama mereka pun akan ikut juga. Saya hafal Burdah, Barzanji dan Diba. Nazham-nazhamnya saya hafal, Asyraqal Badru ‘Alaina, dan yang lain-lainnya juga saya hafal. Begitu juga, ketika saya masih kecil di kampung. Begitu saya melek (bangun tidur), saya mendengar bapak saya membaca Burdah, Barjanji, dan Diba. Jadi, saya hafal bait-bait syair berikut nazham-nazhamnya itu dengan itu dengan sendirinya.
        Nggak usah Maulid Nabi, setiap kita ceramah, khotbah, dan dakwah kita pasti menyampaikan sejarah Nabi. Itu berarti memperingatkan kita bahwa kita punya pemimpin yang harus kita taati.
Itu dibaca tiap kapan?
Tiap malam. Saya membaca Burdah itu malam sebelum subuh. Dan ini ada kisahnya. Ada seorang dari Alexandria bernama Abu Sa’id al-Busri yang terkena stroke dan mimpi berjumpa Rasulullah saw. Dia meminta izin akan mengubah syair kasidah untuk memuji-muji beliau. Setelah beliau pulang kembali bait syair itu sudah rampung. Lalu Rasulullah saw mempersilakannya. Setelah dia selesai menampilkan syairnya di depan Rasulullah saw, Rasulullah saw mengusap-ucap wajahnya dan keesokan harinya dia sembuh dari penyakit strokenya itu.[] 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar