Masalah eratnya tradisi kaum nahdliyin dengan
budaya kaum syi'ah telah banyak diperbincangkan. Saya sendiri lahir
dikalangan budaya kaum nahdliyin yang sangat kental. Walaupun saya
sendiri bukan berasal dari kalangan santri, namun kekentalan budaya
nahdliyin begitu terasa. Masih ingat dengan jelas bagaimana meriahnya
perayaan maulid di langgar atau masjid, pengajian-pengajian dalam rangka
haul ulama atau para wali, semaraknya majelis barzanji dan diba' yang
sering diadakan oleh jama'ah ibu-ibu. Semuanya terasa indah dan membekas
di hati saya.
Sampai
sekarang jika malam hari tiba, kemudian saya mendengar suara diba'an di
masjid dekat rumah saya hati ini terasa tentram. Lantunan syairnya
terdengar indah, walaupun saya tidak tahu artinya. Akan tetapi saya
bisa memastikan bahwa itu adalah syair puji-pujian kepada Nabi Muhammad
dan keluarganya. Sering saya meneteskan air mata mendengar gemanya..
Ketika
saya berada diperantauan, nun jauh di sebuah kota di Jawa Barat, saya
jarang sekali mendengar lantunan barzanji atau diba' atau semacamnya.
Memang tempat tinggal saya relatif jauh dari masjid dan kebutulan masjid
yang saya gunakan untuk sembahyang fardlu atau jum'at bukanlah masjid
yang mempunyai majelis sholawatan. Saya terkadang rindu dengan gema
sholawat dan syair puji-pujian seperti halnya dikampung halaman.
Ketika
saya mendengar tuduhan bahwa tradisi sholawatan seperti itu adalah
budaya syi'ah, saya merasa miris. Sebagai orang yang awam dibidang
agama, tudingan seperti itu seperti mengiris hati saya. Dalam hati saya
tidak rela. Yang terbayang adalah senyuman para ibu-ibu dikampung saya,
derai canda anak-anak yang bahagia mengikuti semaraknya acara
sholawatan. Tudingan bahwa hal itu adalah bid'ah sesat pun sebelumnya
sudah sering saya dengar. Akan tetapi ketika dituding bahwa hal itu
adalah budaya syi'ah membuat saya berontak dan benar-benar sakit hati.
Sekali lagi ini karena keawamam saya saja, yang dulunya punya stereotip
bahwa syi'ah adalah sesat karena bukan ASWAJA, sehingga apapun yang
berhubungan dengan tradisi keagamaannya adalah juga sesat. Sama halnya
dengan tudingan bid'ah karena majelis semacam sholawatan dan
syair-syairnya tidak pernah ada apalagi dicontohkan olah Nabi sehingga
apapun tradisi keagamaan yang tidak pernah ada, walaupun itu baik, tetap
dikatakan bid'ah yang sesat.
Dibawah ini
adalah sebuah tulisan yang saya ambil sepenuhnya dari majalah SYI'AR
yang kebetulan memuat wawancara dengan DR. KH. Said Aqiel Siradj
(sekarang Ketua Umum PBNU). Tulisan ini memberikan gambaran singkat
namun jelas tentang Syi'ah dan budayanya serta relasinya terhadap
tradisi NU. Sebagai seorang cendekiawan muslim, ulasan beliau cukup
memberikan wawasan tentang bagaimana seharusnya sikap umat nahdliyin
terhadap tudingan-tudingan yang sering muncul selama ini. Tulisan yang
judul aslinya tentang "Ja'fari Mazhab Resmi Islam ke-5" saya
ambil penuh dengan tujuan sebagai penambah khazanah pengetahuan bagi
umat muslim pada umumnya dan Nahdliyin pada khususnya. Semoga
bermanfaat!! Jazakumullah Khoiron Katsiro kepada majalah Syi'ar.
JA'FARI, MAZHAB RESMI KE-5 ISLAM
Bicaranya lugas khas kiai pesantren. Namun data dan
istilah yang rancak terselip dalam kalimat-kalimatnya menunjukkan bahwa
dia bukan sekadar kiai pesantren biasa, melainkan juga intelektual yang
mengenyam pendidikan tinggi dan mempunyai pergaulan yang luas. Kyai
Said, demikian sapaan akrab DR. KH. Said Aqiel Siradj.
Ditemui
SYI’AR di ruangannya di kantor PBNU, ulama asal Palimanan, Cirebon, ini
cerita banyak tentang kunjungannya ke Qatar, sikapnya tentang kerukunan
antar-mazhab, kultur Syiah dalam NU dan penjabarannya tentang kondisi
umat Islam Indonesia. Berikut kutipannya:
TENTANG SUNAH-SYIAH
Anda bisa ceritakan tentang pertemuan Qatar?
Saya
diundang dalam pertemuan Suni-Syiah di Doha, ibukota Qatar, pada 20-22
Januari 2007. Tujuannya mempersempit atau memperkecil sudut pandang
Suni-Syiah yang sudah barang tentu penting sekali.
Pertemuan pada hari pertama memang panas. Terutama pihak Suni. Yusuf
Qardhawi, Syekh Wahbah Zuhaili dan Syekh Ali Syabuni punya syarat bahwa
mereka bisa bertemu apabila pihak Syiah menghentikan caci maki terhadap
sabahat. Mereka tidak akan mau bertemu apabila Syiah masih mengatakan
misalnya ‘laknat Allah’ kepada Aisyah karena Suni mengatakan ‘Semoga
Allah meridhainya’.
Kemudian yang
sangat disayangkan dan juga dikritik oleh Syekh Yusuf Qaradhawi adalah
penyebaran Syiah di kalangan Suni. Dia juga bilang Indonesia sebagai
salah satu basis penyebaran Syiah dengan menyebarkan buku-buku
terjemahan dan lain sebagainya.
Lebih seru lagi, Syekh Qaradhawi di forum ini meminta Ali Taskhiri
mengucapkan Aisyah radhiya Allahu anha (ra). Dan Syekh Ali Taskhiri mau
melakukannya. Tidak berhenti di situ, dia juga minta semua utusan Iran
mengucapkan hal yang sama seperti Ali Taskhiri. Ini kejadian yg sangat
disayangkan dan sesungguhnya tidak perlu terjadi di forum yang mulia
ini. Tetapi pada hari kedua sudah mulai cair.
Hasil dari seminar itu, pada intinya, masing-masing pihak menghargai
peranan masing-masing dan mengendalikan kalangan ekstrim dari
masing-masing mazhab.
Menurut Ali
Taskhiri, di kalangan Syiah memang ada juga orang-orang yang ekstrim dan
fanatik dan dengan tidak bertanggungjawab mencaci maki sahabat dan
Suni. Demikian pula di Suni. Sementara NU sendiri tidak pernah mencaci
maki Syiah. Tapi di kalangan Wahabi memang banyak yang ekstrim.
Pada pertemuan itu, saya diberi kesempatan berbicara dua kali. Pada
forum tersebut, saya mengajak kedua pihak untuk masing-masing menulis
buku tentang pengakuan dan penghargaan Suni terhadap Syiah dalam
membangun peradaban. Begitu juga Syiah, menulis buku tentang peranan
Suni dalam membangun peradaban.
Sebenarnya hal (pertemuan Suni-Syiah) ini sudah lama dilakukan oleh
Syekh Syaltut dan Ayatullah Burujerdi. Hasil dari kesepakatan kedua
tokoh tersebut adalah bahwa mazhab Ja’fari diajarkan secara resmi di
al-Azhar. Bahkan salah satu keberhasilan tersebut adalah diakuinya
mazhab Ja’fari sebagai mazhab resmi dalam Islam sebagaimana empat mazhab
lainnya. Bahkan rektor Al-Azhar, Dr. Ahmad Thayyib, mengatakan banyak
kaidah hukum yang diambil dari mazhab Ja’fari adalah sah, ketika tidak
ditemukan pada empat mazhab. Walhasil, mazhab Ja’fari adalah setara
dengan empat mazhab lainnya.
Hal apakah yang mendorong terselenggaranya pertemuan tersebut?
Saya
kira pertemuan itu didorong oleh kondisi di Irak. Masing-masing
menuduh. Suni menuding Iran menyuplai senjata. Demikian pula Syiah
menuding kelompok Suni Irak mendapat senjata dari Saudi. Lepas dari
masalah itu semua, perpecahan di Irak harus dihentikan. Para ulama di
sana harus mengendalikan umatnya, karena bukan hanya sekadar perbedaan
pendapat tapi juga sudah ribuan nyawa melayang di sana.
Apakah benar Iran di belakang konflik sektarian itu?
Saya tahu ini rekayasa Amerika. Saya tahu sengaja dibangun opini bahwa
ini adalah konflik mazhab Suni-Syiah. Padahal ini murni politik, toh
dulu tidak pernah terjadi konflik seperti ini.
Saya bisa tegaskan di sini bahwa Iran, selalu dan selamanya, membela
Palestina. Padahal di Palestina tidak ada Syiah, semuanya Suni. Tapi
Iran matian-matian sampai berkorban dan rela ditekan Amerika karena
perjuangannya bagi Palestina. Karena itu harus dipahami Iran berdiri
bukan hanya untuk Syiah, bukan hanya untuk partai, tapi juga untuk
Islam.
Apakah pertemuan Doha itu memang khusus untuk masalah sektarian di Irak atau memang pertemuan reguler?
Pertemuan
Doha ini terdorong karena keadaan di Irak. Kalau yang reguler adalah
yang di Iran dan semua pihak diundang dalam pertemuan itu.
Walhasil,
masing-masing pihak selalu ada yang ekstrim, dan itu salah. Di Syiah
ada yang ekstrim mencaci maki Suni dan di Sunni juga tidak kurang atau
kelewatan.
Waktu Imam Khomeini pulang ke
Iran, terbit sebuah buku yg menghujat beliau kira-kira judulnya Ja’a
Daurul Majus ‘Tibalah Saatnya Majusi Kembali’. Itu sudah keterlaluan.
Sebenarnya
bila bicara masalah perbedaan mazhab, itu bukan konsumsi pasar. Bukan
obrolan orang awam. Tapi kalau masing-masing sudah menyebarkan buku
murahan dan saling caci maki dan menjadi konsumsi awam akan berbahaya
sekali. Bahaya terhadap Islam.
Jadi siapa yang berhak menetralisir segala macam isu yang bisa memecah belah persatuan umat ini?
Ulama,
dong. Seperti yang saya katakan tadi, Syekh Al-Azhar, Syekh Mahmud
Syaltut, mengadakan pendekatan dengan Ayatullah Burujerdi yang kemudian
berdampak besar, sampai akhirnya Mazhab Ja’fari resmi dianggap sebagai
mazhab kelima, selevel dengan mazhab yang empat.
Apa isu Suni-Syiah demikian krusialnya sampai-sampai diadakan pertemuan Doha? Apa tidak ada isu lain?
Kenyataannya,
sekarang (di Irak) sudah saling bunuh. Faktanya begitu. Dalang di
belakang kejadian ini kita semua tahu. Juga isu senjata Syiah disuplai
Iran dan senjata Sunni disuplai Saudi. Kita semua tahu siapa dalang
sesungguhnya. Ini adalah kerjaan Amerika untuk memecah belah Irak. Tapi
kan, beberapa ulama terpengaruh. Tanpa mengurangi rasa hormat saya
kepada Syekh Qardhawi, Wahbah Zuhaili dan Ali Syabuni barangkali
terpengaruh juga oleh isu ini.
Seandainya kita bisa berbicara dengan jernih, kembali pada dasar yang
paling prinsip, semua mazhab hakikatnya sama kecuali pada hal-hal yang
furu’ (parsial). Kenapa kita bisa dialog dengan non-Muslim tapi tidak
bisa dengan Syiah kalau tidak dibesar-besarkan oleh kepentingan politik?
TENTANG ISLAM DI INDONESIA
Ulama
sedunia bisa bersatu mengenai isu Palestina. Tapi negara tempat ulama
itu tinggal mempunyai policy yang berbeda. Bagaimana pendapat Anda?
Pertanyaan
Anda mulai berkembang luas. Di Timur Tengah, pola pikir antara pola
pikir agama dan nasionalisme belum selesai. Karena nasionalisme Timur
Tengah itu universal. Banyak mengadopsi konsep Ernest Renan yang
memisahkan gereja dan negara. Ketika di Eropa lahir bangsa-bangsa, sama
sekali tidak ada pembicaraan tentang agama. Artinya tidak ada poin agama
dalam konsep nasionalisme sehingga kaum Muslim menganggap bahwa
nasionalisme adalah sekuler murni.
Pada umumnya ketika Khilafah Islamiyah di Turki tumbang pada 1924, yang
menghadapi penjajah adalah kaum nasionalis. Dan mereka berhasil. Di
Mesir ada Muhammad Najib, dan lain-lain. Terakhir merdeka pada zaman
Gamal Abdul Naser. Begitu pula di Chad, Mitcel Aflak, Partai Ba’ats,
Hafez Asad. Di Irak ada Hassan Sadr, Saddam Hussain. Mereka adalah
nasionalis sekuler yang berhasil mengusir penjajah.
Setelah penjajah pergi, menurut masyarakat Arab awam, nasionalis gagal
membangun pemerintahan. Buktinya juga gagal. Tidak ada persatuan yang
permanen. Pernah ada republik persatuan Arab yang anggotanya Mesir,
Libia dan Syiria tetapi umurnya hanya satu tahun. Jadi bangsa Arab putus
asa dengan ide nasionalis. Gantinya adalah Islam garis keras
(hardliner).
Alhamdulillah, kita wajib
bersyukur di Indonesia Islam dan nasionalisme bertemu. Dalam Pancasila,
sila pertama agama dan sila kedua kebangsaan. Orang luar negeri heran,
bentuk apakah itu. Sebab Islam kita khas, ala indonesia, nasionalisme-
relijius. Boleh dikata, tidak ada orang nasionalis yang anti agama.
Begitu pula tidak ada agamis yang tidak punya semangat nasionalis.
Sejak berdirinya sampai sekarang, Nahdhatul Ulama juga kuat dengan
konsep Negara Darussalam (negara damai), bukan Darul Islam, yang
ditetapkan pada muktamar 1926 di Banjarmasin.
Konsep Darussalam adalah negara yang mengaku semua komponen yang ada
baik suku, agama dan budaya lalu digabungkan menjadi satu: negara
Indonesia. Nah, nilai-nilai Islam itu ditransfer melalui semangat
kebangsaan.
Oleh karena itu,
marilah kita isi kebangsaan ini dengan nilai-nilai agama, tidak usah
dilegalkan, diformalkan, diresmikan menjadi konstitusi negara tapi cukup
negara Pancasila, Republik Indonesia, bangsa Indonesia.
Jadi peradaban bangsa ini kita isi dengan nilai-nilai agama dan agama
harus amalkan dan diperkuat. Itu adalah komitmen Wahid Hasyim dan
Muhammad Kahar Muzakir setuju mencoret Piagam Jakarta, asal spirit dari
Piagam Jakarta masih ada dalam berbangsa ini yaitu mengamalkan ajaran
Islam tetapi tidak usah dilegalformalkan.
Dalam
pandangan politis, pencoretan piagam Jakarta itu karena lobi
orang-orang Indonesia Timur yang akan melepaskan diri dari negara
kesatuan Indonesia kalau ada negara Islam?
Iya, saya sangat memahami itu. Tapi apa pun juga sebabnya, persatuan
nasional, persatuan nusa dan bangsa harus diperkuat lebih dulu. Kita
tidak usah berbicara tentang negara Islam karena itu pasti pecah. Sampai
sekarang ini, kalau kita menjadikan negara Indonesia sebagai negara
Islam maka akan terjadi perpecahan.
Kita prioritaskan dan perkuat dulu persatuan negeri ini. Di dalam
persatuan sebagai bangsa mari kita berlomba mengisi negara ini dengan
nilai-nilai Islam.
Contohnya begini,
kalau di sana mereka membangun gereja maka kita harus membangun mesjid.
Kalau di sana mereka membangun rumah sakit maka kita harus membangun
rumah sakit pula. Nah, itu yang positif. Bukankah begitu? Kalau di sana
mereka membangun rumah sakit, bukan rumah sakitnya yang harus dibakar.
Kristen membangun gejera yang besar maka kita pun harus membangun mesjid
yang besar pula. Orang Kristen membantu bencana alam maka kita pun
harus begitu. Jangan sebaliknya, orang Kristen membangun gejara kok
malah dibakar.
Bagaimana dengan apologi bahwa agama kita yang berasal dari Timur
Tengah yang di sana sendiri agama dan nasionalisme belum bisa bertemu?
Begini,
kita mempunyai dasar yaitu Piagam Madinah. Nabi Muhammad saw membentuk
sebuah komunitas Muslim di Mekah selama 13 tahun. Itulah yang namakan
Ukhuwah Islamiyah, ikatan persaudaran Muslim. Di sana, siapa pun yang
non-Islam, walaupun dia adalah ayahnya, kakaknya, ibunya, saudaranya
sekalipun bukan saudara. Sebaliknya, siapa pun yang Muslim adalah
saudara. Yang Muslim saudara dan yang non-Muslim bukan saudara.
Tapi ingat, itu di Mekah. Siapakah yang non-Muslim? Mereka adalah kaum
musyrikin, paganis, yang tidak punya kitab suci, tidak punya budaya,
tidak punya peradaban dan sebagainya. Yaitu yang Jahiliah.
Kemudian Nabi saw pindah ke Yatsrib. Dinamakan Yatsrib karena yang
membangun kota itu namanya Yatsrib bin Tsabit. Di sana kita menemukan
sebuah masyarakat yang plural, ada Muslim Muhajirin, penduduk asli
setempat (yaitu suku Aus dan Khazraj) dan masyarakat Muslim Anshar itu
sendiri, serta tiga suku Yahudi (yaitu Bani Quraizhah, Bani Qainuqa dan
Bani Nadhir).
Ketika Nabi pindah ke
sana, apa yang dilihat dan dihadapi berbeda pula. Muslim terdiri dari
Muhajirin dan Anshar dan non-Muslimnya adalah Ahlulkitab Yahudi, bukan
Musyrikin. Maka Nabi segera melakukan perjanjian damai yang menghasilkan
surat kesepakatan Madinah yang ada di dalam kitab Sirah Nabawiyah yang
ditulis oleh Ibnu Hisyam Anshari (juz. 2 hal. 219-222).
Kesepakatan tersebut bertujuan untuk membangun sebuah kota yang
beradab, yang di situlah akan ditegakkan kebenaran, hukum, kesetaraan,
tidak ada diskriminasi, persamaan, keadilan, kesejahteraan dan
sebagainya. Tidak pandang suku, agama dan lain-lain. Maka dalam piagam
Madinah itu, tidak ada satu kata pun kata “Islam” dalam Piagam Madinah.
Tidak ada kata “Islam”, tidak ada kata “Al-Quran”. Yang ada hanyalah
keadilan, keamanan dan lain-lain.
Poin pertama dalam piagam Madinah itu berbunyi, Innal mukminin min
Quraisy, wa Yatsrib, wal-Yahud, waman tabi’ahum wa lahiqa bihim (Orang
Islam Quraiys Madinah, orang Yahudi, dan siapa pun yang berkoalisi
dengan mereka) innahum ummatun wahidah (mereka umat yang satu). Jadi
jelaslah, masing-masing agama itu dipersilakan melaksanakan agamanya
masing-masing.
Terakhir, piagam ini ditandatangani (disepakati) untuk memberantas kezaliman atau untuk menghadapi kezaliman. Jadi apa pun suku dan agamanya pasti dia akan aman.
Nah, Piagam Madinah itulah yang merupakan cikal bakal lahirnya konsep Tamaddun. Maka, Yatsrib diganti namanya menjadi Madinah al-Munawwarah yang berasal dari kata “Tamaddun” yaitu Masyarakat yang berperadaban dan sadar hukum, maju dan modern.
Tidak ada negara Islam, tapi negara Madinah. Saya bisa buktikan. Nabi Muhammad saw mau menerima hadiah dari seorang perempuan Mesir yang notabene Ortodoks Koptik, Maryah Qibtiyah, yang kemudian oleh Nabi dikasihkan kepada Hassan bin Tsabit seorang Kristen. Nabi juga menikahi seorang perempuan dari Yahudi, Hafsah bin Huyain.
Terakhir, piagam ini ditandatangani (disepakati) untuk memberantas kezaliman atau untuk menghadapi kezaliman. Jadi apa pun suku dan agamanya pasti dia akan aman.
Nah, Piagam Madinah itulah yang merupakan cikal bakal lahirnya konsep Tamaddun. Maka, Yatsrib diganti namanya menjadi Madinah al-Munawwarah yang berasal dari kata “Tamaddun” yaitu Masyarakat yang berperadaban dan sadar hukum, maju dan modern.
Tidak ada negara Islam, tapi negara Madinah. Saya bisa buktikan. Nabi Muhammad saw mau menerima hadiah dari seorang perempuan Mesir yang notabene Ortodoks Koptik, Maryah Qibtiyah, yang kemudian oleh Nabi dikasihkan kepada Hassan bin Tsabit seorang Kristen. Nabi juga menikahi seorang perempuan dari Yahudi, Hafsah bin Huyain.
Bukti lain, ketika Umar bin Khaththab menjadi khalifah, orang-orang
Kristen Syiria, Syam, Cyprus dan lainnya lebih suka berada di bawah
Madinah daripada berada di bawah kekuasaan Romawi. Ini betul-betul sudah
bertamaddun (berperadaban) .
Nah,
kalau selama 13 tahun di Mekkah Nabi telah membentuk komunitas Muslim
yang diikat dengan Ukhuwah Islamiyah maka setelah Nabi pindah ke kota
Yatsrib, Nabi membentuk Ukhuwah Madaniyah, yang kalau kita lihat berarti
Ukhuwah Wathaniyah (Hubungan sebangsa dan setanah air).
Terakhir, ketika Nabi mau wafat, beliau berangkat haji dan berkhotbah
di Arafah. Pada khotbah itu Nabi hanya mengucapkan, “Ya ayyuhannas,
wahai manusia! Sesungguhnya nyawa, harta, dan martabat manusia itu suci
mulia, seperti sucinya hari wukuf, bulan haji ini dan Batiullah di
Mekkah.”
Bukan wahai umat Islam,
wahai Umat beragama, wahai Umat Semesta alam. Tapi wahai manusia! Di
sini, Nabi Muhammad ingin menyampaikan Ukhuwah Insaniyah, persaudaraan
sesama manusia. Setelah itu 84 hari setelah itu Nabi Muhammad wafat.
Jadi, Nabi membangun Ukhuwah Islamiyah di Mekkah 13 tahun dan
ditingkatkan di Yatsrib menjadi Ukhuwah Wathaniyah (nasionalis,
nasionalis yang Wathaniyah, yang tamaddun, menjalankan kebenaran,
keadilan dan bukan monotheisme) .
Dan yang terakhir Nabi bangun adalah Ukhuwah Insaniyah. Untuk ukhuwah
yang terakhir ini, orang musyrik, Yahudi, Budha dan Hindu pun semuanya
masuk. Semua nyawa, harta dan martabat manusia harus dihargai. Karena
dia merupakan Hak Asasi Manusia. NU sendiri memiliki tiga Ukhuwah itu:
Ukhuwah Islamiah, Ukhuwah Wathaniah (yang diadaptasi dari Madinah), dan
Ukhuwah Insaniah.
TENTANG TEOLOGI KERUKUNAN
Pelajaran apa yang bisa kita ambil seiring dengan berkembangan Pluralitas dan Multikultural saat ini?
Satu, kita harus memahami watak orang Irak. Sejak dulu mereka susah
dipersatukan. Masyarakat Irak pernah bersatu ketika ia dipimpin oleh
seorang diktator yaitu Hajjaj bin Yusuf Tsaqafi. Setelah itu selalu saja
ada ajang pertikaian.
Irak modern
sekarang ini adalah mayoritas Suni kalau dilihat dari Kurdi non-Arab dan
mayoritas Syiah kalau dilihat dari Arabnya saja. Jadi (mayoritas) Arab
Irak itu Syiah, sedangkan Arab Irak Suni sedikit. Tapi kalau menghitung
Kurdi yang non-Arab maka Suni menjadi mayoritas.
Kita berkata terus terang: ayo, Anda mau berangkat dari mana, yang mau
ditilik darimana? Bila qaumiah Arabiah (Nasionalisme Arab), maka yang
akan jadi mayoritas adalah mayoritas Syiah. Untuk Suni sendiri, dia
harus memasukkan suku Kurdi. Masalahnya, suku Kurdi sendiri mazlum
(tertindas) selama kekuasaan Saddam Hussain.
Satu-satunya presiden yang membunuh rakyatnya sendiri dengan senjata
massal, terlepas adanya oposisi atau tidak, hanyalah Saddam Hussain. Di
Halabja, jangankan suku Kurdi, ayam, bebek dan unggas lain yang tak tahu
menahu pun, semuanya pada musnah.
Banyak juga presiden yang membunuh rakyatnya sendiri secara massal tapi
tidak dengan senjata pemusnah massal seperti yang dilakukan oleh Saddam
Hussain.
Jadi Saddam Hussain lah yang
pertama kali menggunakan senjata pemusnah massal untuk membunuh
rakyatnya sendiri. Korbannya ada yang menyong mulutnya, ada yang
kulitnya terkelupas dan lain sebagainya. Yang selamat pun mengalami
cacat.
Dalam konteks Indonesia, pelajaran apakah yang kita bisa ambil dari konflik Irak sekarang?
Kita telah sepakat sejak dulu bahwa negara ini adalah negara
Darussalam, negara yang aman dan damai. Bagaimanapun bangsa kita ini
memiliki ciri dan tipologi tersendiri dengan menggabungkan atau
mensinergiskan antara sila pertama dengan sila kedua, yaitu agama dan
kebangsaan. Di negara lain nggak ada. Itulah kelebihan kita. Tinggal
kita pelihara dan jaga saja. Konflik yang ada di negara kita ini, terus
terang saja, awal mulanya ada yang bikin.
Pada
awal tadi, negara tidak boleh mengurusi masalah keyakinan umat
beragama. Itu adalah urusan para ulama. Tapi pendapat Anda sekarang,
negara perlu campur tangan?
Begini,
negara itu hanya berperan menerima, menampung, dan melaksanakan aspirasi
rakyat melalui ulama karena ulama adalah wakil rakyat yang sebenarnya
(informal leader). Ulama menampung aspirasi rakyat, ulama sebagai
jembatan yang membuat progress dengan state (negara).
Bagaimanakah dengan sikap negara yang melakukan standarisasi agama, ada agama resmi dan agama tidak resmi?
Itulah problem kita yang harus dibicarakan dengan panjang lebar.
Idealnya memang tidak perlu sejauh itu. Tapi untuk mengendalikan keadaan
sementara, barangkali sekarang itu masih dibutuhkan. Toh, sejak Gur Dur
menjadi presiden, hal itu telah dibuka lebar. Sekarang Kong Hu Chu
dijadikan agama resmi. Sekalipun di Depag belum tercatat secara resmi,
tapi mereka bisa secara bebas merayakan Imlek dengan Barongsai laksana
17 Agustusan dan Imlek dijadikan hari libur nasional.
Gus Dur membela dan melindungi agama-agama minoritas seperti Kong Hu Chu. Apakah ini juga sikap resmi kaum Nahdhiyyin?
Yang namanya mayoritas itu harus membela dan melindungi yang minoritas.
Ada perkembangan baru yang luar biasa ketika Nabi Muhammad saw
menganggap Yahudi itu Ahlulkitab.
Ketika Sayidina Umar menjadi khalifah, dia masuk ke Persia dan menjumpai kaum yang baru ditaklukkan di sana yang beragama Majusi atau ash-Shabi’ah, penyembah bintang itu. Bagaimanakah ini? Apakah mereka sama dengan musyrikin dan kafir? Keputusannya, mereka adalah Ahlulkitab. Luar biasa ijtihad Umar itu. Dalil Qurannya, “Walladzina amanu, wa Hâdu wash-Shabi’in, man amana billahi”. Jadi mereka adalah monoteis.
Ketika Sayidina Umar menjadi khalifah, dia masuk ke Persia dan menjumpai kaum yang baru ditaklukkan di sana yang beragama Majusi atau ash-Shabi’ah, penyembah bintang itu. Bagaimanakah ini? Apakah mereka sama dengan musyrikin dan kafir? Keputusannya, mereka adalah Ahlulkitab. Luar biasa ijtihad Umar itu. Dalil Qurannya, “Walladzina amanu, wa Hâdu wash-Shabi’in, man amana billahi”. Jadi mereka adalah monoteis.
Bagaimana pandangan Anda tentang MUI?
MUI
itu didirikan di masa Orde Baru, sama dengan KNPI. Kita husnu dzan saja
ya. Waktu itu ia bermanfaat sebagai forum antar-mazhab yang mewakili
kelompok Islam. Itu okelah. Tapi sekarang masanya sudah berubah. Kita
harus tanyakan: Apakah MUI itu? Dikatakan ormas, jelas bukan. Karena MUI
tidak punya massa.
Apakah dia semacam Darul Ifta’ (Lembaga Fatwa)?
Kalau
dia Darul Ifta’, ya nggak usahlah besar-besar seperti itu. Cukup 10
kyai dari berbagai mazhab yang duduk di situ, ditambah 4 atau 5 orang
sekretaris, sudah cukup. Seperti Mahkamah Konstitusi atau Lembaga
Kehakiman. Sampai sekarang payung hukumnya belum jelas.
NU
dikenal sebagai kelompok konservatif dan Muhammadiyah modernis.
Sehingga NU bisa dikatakan memiliki ikatan emosional dengan
tradisi-tradisi atau agama-agama lokal seperti Islam waktu telu dan
Sunda wiwitan. Bagaimana pendapat Anda ?
Kita
tetap harus berdakwah tentang Islam yang sebenarnya kepada mereka. Ada
prinsip-prinsip ma’lum min ad-din bidh-darûrah (yaitu ada prinsip agama
yang tidak bisa ditawar), seperti rukun Islam itu ada lima, rukun iman
itu ada enam, Nabi Muhammad itu Nabi terakhir, al-Quran itu wahyu
terakhir. Masalah rincian yang parsialnya silakan berbeda.
Kalau begitu, dari berbagai mazhab di Indonesia yang keras dan yang lunak itu, kira-kira perekatnya apa?
Tetap. Kalau mereka mereka masih meyakini rukun Iman dan rukun Islam, mereka masih dikategorikan Islam.
Soalnya masih ada kelompok yang masih mempermasalahkan masalah-masalah yang kecil-kecil begitu…
Gak
apa-apa, masalah-masalah itu justru merupakan dinamika kita dalam
bermasyarakat. Yang tahlil, yang nggak tahlil, yang salat tarawih 20
atau 8 rakaat itu dipersilakan.
Masih
ada yang menyesatkan dan mengafirkan orang tanpa dasar. Padahal mereka
tahu bahwa kelompok yang mereka kafirkan itu masih mengimani Allah,
al-Quran dan sebagainya?
Kalau begitu
nggak akan pernah ketemu. Jangankan dengan non-Muslim, dengan sesama
Muslim pun, baik yang Persis, NU, Muhammadiyah, atau pun Syiah, tidak
akan ketemu kalau itu masih dipersoalkan.
Ada kalangan yang berpendapat bahwa karena mayoritas Indonesia itu
Islam dan tradisinya adalah tradisi Muslim itu maka formalisasi syariat
Islam melalui Perda-perda syariat Islam akan semakin menguatkan posisi
Islam Indonesia. Pandangan Anda?
Pertama-tama, yang Anda harus ketahui, berapa persen masyarakat
Indonesia yang familiar dengan al-Quran? Yang melek sejarah Islam saja,
berapa persen? Paling-paling Cuma 12% yang bisa baca dan familiar dengan
al-Quran. Kita ini masih dalam marhalah (fase) dakwah, masih jauh dari
Islam yang sebenarnya kita inginkan.
Yang kedua, (bila ada) teman-teman kita yang kembali ke gerakan salaf,
itu bagus dan harus, sebab di dalam hadis dikatakan, “Khairu qurun,
qurni tsummal ladzina yalunahum” (sebaik-baik masa adalah masaku dan
masa-masa setelahku).
Tapi contoh
(gerakan salaf) bukan berarti memelihara jenggot dan bercelana di atas
mata kaki. Kalau sekadar ingin berjenggot atau bercelana seperti itu, ya
silakan.
Kita harus mengetahui
bahwa tiga abad pertama Islam itu adalah masa-masa kejayaaan dan
keemasan, yaitu masuknya tsaqafah (kebudayaan) hadharah (peradaban),
ilmu pengetahuan, ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu tajwid, ilmu qiraat,
ilmu nahwu, sharaf, balaghah, kedokteran, astronomi, dengan
tokoh-tokohnya: Ibnu Sina, al-Farabi, al-Kindi, al-Khauqa, al-Idrisi
yang ahli ilmu bumi. Semua terjadi di abad ketiga Hijriah, di samping
Syafi’i, Maliki, Hambali, Hanafi, Bukhari, Muslim.
Jadi, kalau kita mau bicara kembali ke salaf, ayo, saya setuju, tapi
ilmunya (peradabannya) bukan hanya simbol sorbannya, jenggotnya dan juga
celana yang di atas mata kaki itu. Ayo kita kembali membangun kejayaan
Islam seperti salaf.
TENTANG MAULID NABI SAW
Salah satu bentuk kembali ke salaf yaitu mengagumi Nabi Muhammad saw.
Tapi mengapa dalam tradisi Muslim, hanya kelahiran Nabi yang
diperingati, sedangkan hari wafat ulama diperingati?
Karena Nabi Muhammad lahir sebagai rahmat bagi seluruh alam, begitu
lahir pun sudah menjadi rahmatan lil ‘alamin. Kalau manusia biasa selain
Nabi, tidak diketahui akan menjadi apa kelak anak tersebut. Nah,
setelah hidupnya terbukti bahwa dia adalah seorang yang alim, barulah
wafatnya diperingati.
Kenapa haulnya Nabi tidak diperingati, hanya lahirnya saja?
Karena sejarah dan pujian-pujian dalam syar-syair itu pun hanya pada
hari lahirnya saja. (Dikatakan) bahwa Nabi lahir dengan penuh lautan
cahaya dan membawa kebebasan, mengangkat derajat manusia, mengubah
tatanan dunia. Yang disebut-sebut itu lahirnya dan bukan haulnya.
Dalam syair-syair seabrek-abrek disebutkan tentang kelahiran Nabi
seperti yang terdapat di dalam Diba, Barzanji dan Burdah, Simtu Durar.
Kalau Orang-orang mau menggubah syair atau sastra puji-pujian, yang
ditekankan adalah kelahiran Nabi yang membawa rahmat.
Kalau haul ulama?
Meniru keteladanannya, itu sebenarnya. Haul Sunan Gunung Jati, misalnya, diperingati karena beliaulah yang berjasa besar membawa Islam dan mengislamkan seluruh Jawa Barat ini. Termasuk wilayah Jayakarta, Banten, Sunda, dan Cirebon. Semuanya menjadi Muslim dan mengalahkan kerajaan Pajajaran pada waktu itu.
Meniru keteladanannya, itu sebenarnya. Haul Sunan Gunung Jati, misalnya, diperingati karena beliaulah yang berjasa besar membawa Islam dan mengislamkan seluruh Jawa Barat ini. Termasuk wilayah Jayakarta, Banten, Sunda, dan Cirebon. Semuanya menjadi Muslim dan mengalahkan kerajaan Pajajaran pada waktu itu.
Mengapa penghinaan kepada sosok Muhammad mendapat reaksi yang sangat keras dibanding penghinaan kepada Allah Swt atau Tuhan?
Saya tidak akan menjawabnya secara renci. Begini, kalau ada yang
mengaku dirinya tuhan, dengan sendirinya dia segera tertolak
mentah-mentah oleh semua orang yang waras akalnya. Bisa terjadi ada
beberapa atau sejumlah orang akan percaya dengannya. Penghina tuhan akan
kualat dengan sendirinya karena Tuhan tetap saja Tuhan.
Berbeda halnya ketika ada orang yang mengaku nabi itu, kita akan
memprotes keras. Misalnya Nabi dikritik karena poligaminya. Sebenarnya
Nabi melakukan itu sebagai siasat perang. Perlu penjelasan dan pemaparan
khusus akan hal ini.
Kenapa perayaan Maulid Nabi di masyarakat NU itu lebih meriah dan lebih simbolis ketimbang di masyarakat Muhammadiyah?
Karena di sini ada budaya Syiah. NU menerima budayanya, bukan fikih
atau teologinya. Budaya Syiah itu ya mencintai Nabi dan Ahlulbait. Di
dalam bait-bait syair Barzanji tidak ada yang memuja dan nyanjung Abu
Bakar, Umar dan Usman. Nggak ada.
Contohnya, “Kami mempunyai bapak yang sangat kami cintai, yaitu
Muhammad, kami punya Ali al-Murtadha, kami punya as-Sibthain (Hasan dan
Husain), kam Imam min ba’da khalafu (dan imam-imam setelahnya) seperti
Ali Zainal Abidin, anaknya Muhammad al-Baqir, sebaik-baiknya wali, dan
putranya ash-Shadiq (Imam Ja’far Shadiq) dan putranya Ali Ridha, begitu
lho.
Jadi budaya Syiah masuk ke NU.
Bahkan budaya Syiah pun masuk pesantren. Contohnya penghormatan kepada
kyainya. Kalau kyainya meninggal maka yang menggantikannya adalah
anaknya sekalipun secara kualitas sangat jauh berbeda. Soalnya
keilmuannya, ya dia akan bisa mendapatkan dari guru-gurunya yang lain.
Kalau banyak berasal dari kultur Syiah, apakah masyarakat yang sadar akan beralih ke gaya mencintai Nabi ala Muhammadiyah?
Nggak.
Silakan Maulid Nabi dan Dibaan itu dikritik, tetap saja nggak bisa
hilang dari kami. Malah yang kritik itu sendiri yang terpental.
Mengapa?
Mengapa?
Sebab Allah Swt sendiri
yang memuji beliau. Dalam al-Quran, “Innaka la’alâ khuqin azhîm”. Dan
kita punya keyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah pemberi syafaat
sebagaimana yang tercantum di dalam hadis-hadis sahih. Orang-orang yang
banyak dosanya, kalau mereka berziarah kepada Nabi Muhammad dan
beristigfar, dan Nabi sendiri memintakan ampunan, pasti mereka akan
diampuni dosa-dosanya. “Walau annahum zhalamû anfusahum jâ’ûka
fastagfaruhumullah wastagfaruhumur- rasul. Lawajadûllaha
tawwabar-rahima.”
Ada yang bertanya,
apakah Nabi Muhammad saw masih hidup sampai sekarang? Jawabannya, ya.
Nabi masih hidup sampai sekarang. Buktinya, “Assalamu ‘alaika” dalam
tahiyat salat, “‘alaika” berarti beliau masih hidup.
Jadi, mereka yang datang ke kuburan jasad Nabi (di Madinah) lalu dia
beristigfar dan Nabi memantau istigfar kita kepada Allah, maka Allah
akan pasti akan mengampuni dosa-dosanya.
TENTANG KULTUR SYIAH
Suni plus kultur Syiah ini, apa hanya khas di NU saja ataukah ada di tempat lain juga?
Tidak. di Mesir Maulid Nabi semarak sekali, ada tahlilan dan tawasulan.
Begitu pula di Maroko. Di Saudi nggak semua (mengharamkan) , hanya Najd
dan Riyadh saja. Orang-orang Hijaz dan Madinah masih (membaca) Barzanji
segala macam.
Pada dasarnya umat Islam
yang ada di Nusantara ini pada umumnya, terutama NU, berhutang budi
banyak terutama kepada Ahlulbait yang telah menyebarkan Islam di
Nusantara sejak dahulu kala. Kita semua tahu bahwa beberapa Wali Songo
itu rata-rata keturunan Ahlulbait. Karena itu budaya Ahlulbait, budaya
Syiah, mempunyai kesamaan dengan budaya Islam Indonesia. Seperti
tawassul kepada Sayidina Ali dan Ahlulbait lainnya. Doa-doa seperti
hizib yang dibaca oleh orang-orang kampung itu dimulai dengan (mengirim)
surah Al-Fatihah kepada Rasulullah dan Ahlulbait.
Tapi tradisi-tradisi seperti itu mulai menghilang dengan datangnya Wahabisme dan modernitas?
Pilar
pertahanan Islam adalah budaya. Selama masih ada tahlilan, Diba,
Barzanji, puja-puji kepada Rasulullah saw tidak bisa dihilangkan. Partai
politik dan ormas bisa dihilangkan atau dilarang, tetapi budaya tidak
bisa dihilangkan.
Hati umat Islam Indonesia
dan dunia sudah terpatri dengan kecintaan kepada Rasulullah dan
Ahlulbaitnya secara mendalam, terlepas dia itu Suni atau Syiah. Semuanya
mencintai dan menghormati Ahlulbait.
Di
Indonesia ada syair yang dibacakan kalau ada yang tertimpa musibah atau
penyakit menular, yaitu: “li khamsatun utfi biha harral wabai hatimah,
al-Mustafa wal murtadha wabna huma wa Fathimah” (Saya mempunyai lima
orang yang bisa menolak bala yaitu yang pertama, al-Mustafa Muhammad,
yang kedua al-Murtahda Ali, dan kedua anakanya Hasan dan Husain, serta
yang kelima Fathimah). Itu dibacakan oleh orang-orang kampung. Luar
biasa. Selama itu masih dibaca, selama itu pula budaya Syiah masih ada
di Indonesia.
Dengan kata lain, Anda ingin mengatakan bahwa Wahabisme tidak bisa masuk ke dalam tradisi NU?
Ya. Silahkan mereka membuat yayasan di mana-mana, tetapi karena sudah jadi budaya itu tidak akan lepas dari NU.
Bagaimana kasus komunitas Syiah di Bondowoso yang diisukan dekat dengan NU?
Itulah
yang sangat disayangkan. Saya menghimbau dan mengharapkan kepada
teman-teman aktivis Syiah, jangan sekali-sekali memformalisasikan
mazhab. NU tidak pernah memusuhi Syiah. Mungkin malah sayang Syiah. Tapi
bagaimanapun NU kan Suni yang beraliran Asy’ari dan di bidang
tasawufnya adalah al-Ghazali.
Jadi, jangan
sekali-kali menonjolkan formalitas mazhab. Hubungan kita dengan
Ahlulbait (Syiah) sudah sangat indah sekali, tidak bisa dilepaskan atau
dijauhkan antara keduanya.
Orang-orang awam
belum mengetahui sejauh mana budaya Syiah itu. Hanya kita-kita yang
berpendidikan sajalah yang memahami semua hal itu. Memformalkan Syiah
hanya akan merugikan kita semua.
Bagaimana dengan transfer khazanah keilmuan dari Persia ke budaya Indonesia?
Sangat luar biasa. Contohnya, huruf terakhir kata Arab yang diserap
dalam Bahasa Indonesia yang berakhiran “h” dibaca “t”, seperti “surat”.
Ini adalah budaya Persia.
Ada lagi budaya Persia yang masuk ke dalam budaya Indonesia. Kalau kita membaca al-Quran, misalnya “Hudan lil-muttaqin” ,
maka (di akhir ayat pendengar) akan dijawab dengan “Allah” (dengan nada
panjang dan lembut). Itu merupakan budaya Iran yang mencirikan
kelembutan khas Iran.
Mesir tidak begitu. Kalau mereka mendengar kata “Hudan lil-muttaqin” dibacakan maka mereka akan menjawab “Allahu Akbar”
(dengan suara lantang). Kalau mereka mendengar orang membaca al-Quran
dengan merdu kemudian tersentuh hatinya, seperti bacaan Syekh Abdul
Basith, maka mereka akan berucap “Allah” (dengan keras).
Konflik antar mazhab semakin mengeras semenjak Wahabisme muncul. Bagaimana NU memahami Wahabi?
Saya memahami Wahabi bagian dari Suni, tetapi Suni versi Mazhab
Hambali. Hambali sendiri adalah di antara empat (mazhab) yang paling
keras. Hambali ini pun kemudian ditafsirkan oleh Ibnu Taimiyah sehingga
menjadi lebih keras. Operasionalnya dilakukan oleh Muhammad bin Abdul
Wahab, menjadi semakin keras lagi dibandingkan dengan kepala induk dari
mazhab ini sendiri. Salah seorang imam yang paling keras adalah Ibnu
Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab lebih keras lagi daripada Ibnu
Taimiyah.
Apakah yang Anda bisa simpulkan dari fenomena ini?
Kesimpulannya yang ingin saya sampaikan adalah bahwa Islam datang ke
Indonesia dulu bil hikmah wal mau’izhah wal mujadalah. Dengan penuh
hikmah (wisdom), akhlakul karimah, budaya, mauizhah (ceramah yang
bagus), dengan diskusi dan debat yang ideal dan bagus. Semua itu
dilakukan oleh Ahlulbait dan diteruskan oleh para mubalig dan para Kyai.
Konon ada beberapa kyai yang
keturunan Ahlulbait, tapi gelarnya dikesampingkan dan ditutupi. Saya
sendiri, katanya, ada (garis) keturunan dari Syarif Hidayatullah, Sunan
Gunung Jati. Kyai Sahal Mahfudz keturunan Sunan Kudus. Dan apalagi Gus
Dur keturunan Sunan Ampel. Semua itu kembali kepada Ahlulbait.
Orangtua-orangtua kita menghapus atau tidak menyebutkan al-Haddad,
al-Habsyi dan sebagainya. Semua leluhur saya bliang begitu. Kakek saya
semuanya keturunan Ahlulbait.
Kesimpulan kedua, karena dakwahnya bil hikmah, maka budaya itu menyatu
dengan kehidupan kita sebagai orang Islam melalui salawatan, puji-pujian
dan melalui doa-doa. Jadi kita tidak bisa dipisahkan dengan budaya
Ahlulbait. Sekali lagi, budayanya lho, bukan akidah atau politiknya.
Cara berpikir Syiah boleh kita ambil meskipun kita berfikih Syafi’i dan
berakidah Asy’ari. Lama-lama ini akan menjadi sebuah budaya dan nggak
usah ditutup-tutupi.
Di Indonesia juga
ada tradisi Asyura (seperti upacara Tabut di Padang dan itu adalah
budaya Syiah) juga tradisi mencintai Imam Ali. Semua orang tahu bahwa
Sayidina Ali adalah seorang yang hebat dan mulia. Semua ini sudah
menjadi sebuah budaya yang turun temurun yang diciptakan di komunitas
masyarakat Islam Indonesia.
TENTANG BUDIDAYA TASAUF
Apabila
bentuk-bentuk keagamaan yang simbolis malah meruncingkan perbedaan
antar mazhab, bisakah tasawuf atau mistisisme menjadi titik temu?
Mistisisme merupakan titik temu dan muara dari segala agama, bukan saja
antara Islam dengan Islam saja tetapi di luar agama Islam. Seperti
inilah yang dipraktikkan tasauf. Tidak ada orang yang tidak suka
terhadap nilai-nilai keindahan akhlak seperti sabar, tulus dan
sebagainya.
Nggak ada orang yang
menolak semua nilai itu meskipun kalangan Kristen, Hindu dan Budha dan
Kong Hu Chu. Semua (ajaran) mengarah ke sana, kan? Karena dia merupakan
puncak dari moralitas dan spiritual. Jadi dengan ini, kita bisa
mempertemukan antara agama bukan hanya antara mazhab saja.
Mempertahankan tasawuf hanya berarti melalui tradisonalisme, sedangkan
tradisi itu adalah masalah utama masyarakat neo-modern. Bisakah kalangan
muda NU eksis di dalamnya?
Begini, yang
namanya budaya atau tradisi itu berangkat dari kampung. Kemudian kita
membawanya ke kota dan di sana kita angkat ke atas (permukaan). Ia
(tradisi tasauf itu) boleh dikritik, diperbaiki dan ditambal
kekurangan-kekurang annya.
Apakah hal itu tidak malah menghancurkan basis-basis tradisi yang ada di desa?
Tradisi
itu kan berasal dari desa (kampung). Akarnya budaya itu berasal dari
desa. Saya tidak bisa lepas dari budaya dan tradisi desa di mana saya
berasal. Anda yang Sunda juga pasti dia tidak akan bisa lepas dari
budaya Sunda yang Anda bawa dari desa ke Jakarta. Karena itu di mana pun
Anda berada pasti unsur atau pola pikir Sundanya nggak akan hilang.
Yang dari Madura juga tidak akan hilang. Di situlah, silahkan kalau ada
kritik atau perbaikan, yang penting tidak bertabrakkan dengan kalimat La
Ilaha illa Allah, Muhammad Rasulullah.
Salah satu menanamkan nilai-nilai adalah lewat peringatan-peringat an, dan itu juga menjadi momentum persatuan umat.
Ya. Dulu Maulid Nabi dimulai pertama kali oleh Khalifah Mu’idz
Lidinillah, khalifah Fathimiah, salah satu khalifah keturunan Abdullah
dari Tunisia tahun 363 H. Dia lalu masuk Kairo dan mengalahkan Ahmad bin
Thulun. Khalifah Mu’idz kemudian menyatukan umat untuk merayakan Maulid
Nabi secara besar-besaran.
Dia
kemudian mendirikan sekolah al-Azhar dengan nama Jauhar ath-Thaqul, lalu
membangun kota Qahirah (Kairo) hingga kemudian dikalahkan oleh Dinasti
Mamalik dan kemudian oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Artinya, seremonial-seremoni al seperti itu bisa menyatukan umat, dan
menyatakan kepada umat bahwa kita memiliki seorang pemimpin yang namanya
Muhammad dan kita harus mengikuti ajaran dan dakwahnya. Hal ini, sama
halnya dengan kita memperingati hari 17 Agustus, untuk memperingati
bahwa dulu bapak-bapak dan orangtua-orangtua kita telah mengorbankan
nyawa, harta dan pikirannya demi kemerdekaan dan membangun Negara
Indonesia yang tercinta ini. Adapun bentuk seremonialnya bisa
disesuaikan dengan aneka kebudayaan umat yang ada, seperti di Yogyakarta
misalnya dengan cirinya sendiri, di Cirebon dengan cirinya sendiri dan
di Mesir pun akan lain lagi.
TENTANG MENGAJARKAN CINTA NABI Berarti harus adanya pentradisian di dalam keluarga?
Ya.
Ya.
Bagaimana kiat Anda dalam mendidik keluarga agar mencintai Nabi dan Ahlulbaitnya?
Setiap pagi anak-anak saya mendengar bapaknya melantunkan bait-bait
Burdah. Pasti lama-lama mereka pun akan ikut juga. Saya hafal Burdah,
Barzanji dan Diba. Nazham-nazhamnya saya hafal, Asyraqal Badru ‘Alaina,
dan yang lain-lainnya juga saya hafal. Begitu juga, ketika saya masih
kecil di kampung. Begitu saya melek (bangun tidur), saya mendengar bapak
saya membaca Burdah, Barjanji, dan Diba. Jadi, saya hafal bait-bait
syair berikut nazham-nazhamnya itu dengan itu dengan sendirinya.
Nggak usah Maulid Nabi, setiap kita ceramah, khotbah, dan dakwah kita
pasti menyampaikan sejarah Nabi. Itu berarti memperingatkan kita bahwa
kita punya pemimpin yang harus kita taati.
Itu dibaca tiap kapan?
Tiap
malam. Saya membaca Burdah itu malam sebelum subuh. Dan ini ada
kisahnya. Ada seorang dari Alexandria bernama Abu Sa’id al-Busri yang
terkena stroke dan mimpi berjumpa Rasulullah saw. Dia meminta izin akan
mengubah syair kasidah untuk memuji-muji beliau. Setelah beliau pulang
kembali bait syair itu sudah rampung. Lalu Rasulullah saw
mempersilakannya. Setelah dia selesai menampilkan syairnya di depan
Rasulullah saw, Rasulullah saw mengusap-ucap wajahnya dan keesokan
harinya dia sembuh dari penyakit strokenya itu.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar