Sabtu, 21 April 2012

Syi’ah dan Proses Islamisasi di Nusantara

Oleh: Tedi Kholiludin

Potret muslim Syi’ah di Indonesia memang bukanlah cerita tentang sebuah komunitas yang besar. Mereka tidak jauh berbeda dengan minoritas muslim lainnya seperti Jemaat Ahmadiyah. Selain kecil secara kuantitas, komunitas muslim Syi’ah juga tidak memiliki ladang ekonomi yang dapat menunjang aktivitasnya. Inilah yang menjadi sebab mengapa muslim Syi’ah jarang tampak di permukaan. Jika tampakpun, mesti dibarengi dengan ketakutan-ketakutan. Tak heran kalau dalam komunitas ini dikenal istilah taqiyyah (quietism). Itu dimaksudkan untuk “menyembunyikan” sementara keyakinan sebagai cara untuk memproteksi diri dari tangan dzalim penguasa.

Meski hanya komunitas kecil, tetapi umat muslim Syi’ah tetap tidak bisa dinafikan eksistensinya sebagai bagian dari umat Islam Indonesia. Satu hal yang barangkali luput dari perhatian kebanyakan pemerhati masalah keislaman, adalah torehan prestasi kaum muslim Syi’ah dalam dakwah islam di Indonesia.

Kehadiran Islam di Indonesia, biasanya dikaitkan dengan dua teori besar yakni teori Arab dan India. Teori Arab mengatakan bahwa Islam masuk Indonesia langsung dari tanah Arab, tepatnya Hadramaut. Teori ini kali pertama diungkapkan oleh Crawfurd yang kemudian diikuti oleh sejarawan Indonesia seperti Mukti Ali dan Buya Hamka. Dan kesimpulan tersebut juga terlihat dalam seminar sejarah Islam di Medan tahun 1963. Sementara teori India (Gujarat) yang dipopulerkan oleh Snouck Hurgronje.

Tahun 2003, Sumanto al-Qurtubhy dalam bukunya Arus Cina-Islam-Jawa, menggali kembali eksistensi dan kontribusi besar yang diberikan oleh kalangan muslim Tionghoa. Teori (Cina) ini, menurut Sumanto bukan berarti menegasikan dua teori sebelumnya. Upaya ini hanya dimaksudkan untuk memunculkan sisi lain dari fakta sejarah keislaman Nusantara yang selama ini telah dipetieskan oleh rezim untuk kepentingan tertentu.

Meskipun demikian, sebenarnya apa yang dipopulerkan Sumanto ini pernah tercermin dalam Serat Darmogandul, sebuah karya sastra Jawa yang agak anti Islam dari akhir abad ke-19. Fakta tersebut bisa diteliti kembali dalam buku karya Slamet Muljana yang pernah dibreidel Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Juga beberapa karya lain seperti HJ. de Graff dan Th.G.Th. Pigeaud dalam “Chinese Muslim in Jawa in the 15th and 16th centuries: The Malay Annals of Semarang and Cerbon”. (Van Bruinessen, 1987).

Selain tiga teori tersebut (Arab, India dan Cina) ada juga beberapa komunitas muslim yang telah berjasa mengenalkan Islam di Indonesia seperti orang Benggala (Bangladesh), peranakan Arab dari Gujarat dan orang Persia (Iran).

Perlu digarisbawahi, kehadiran orang Syi’ah di Indonesia beserta kontribusinya terhadap pengembangan ajaran Islam kerap dinafikan. Martin Van Bruinessen dalam uraiannya yang berjudul Bruinessen, Martin van, 1987, ‘Bukankah orang Kurdi yang mengislamkan Indonesia?’ (Pesantren 4-4:43-53) mengatakan bahwa jejak-jejak representasi muslim Syi’ah itu dapat diamati dari peninggalan muslim suku Kurdi. Suku Kurdi merupakan penghuni wialayah Kurdistan yang berada di pegunungan utara dan timur laut Mesopotamia yang sekarang meliputi bagian utara Irak, bagian timur Turki dan bagian barat daya Iran.

Ulama Kurdi memiliki peran dan pengaruh yang signifikan dalam pola keberagamaan umat Islam Indonesia. Salah satunya adalah kitab Barzanji yang dibaca pada setiap kali ritus syukuran, perayaan ataupun maulidan. Barzanji sendiri adalah nama keluarga ulama dan syeikh tarekat Kurdi yang paling terkenal. Kebanyakan keluarga besar Barzanji menganut dan mengembangkan tarekat Qadiriyah. Syeikh Abdulqadir Jaelani, yang dianggap sebagai pendiri tarekat ini sangat popular di Kurdistan.

Selain kitab Barzanji, ada juga kitab Tanwir al-Qulub yang dikarang oleh Muhammad Amin Al-Kurdi. Kitab ini menguraikan tentang fiqh, tauhid, tasawwuf dan tarekat Naqsyabandiyyah. Tarekat ini memiliki pengikut yang cukup banyak di Indonesia. Salah satu cabangnya, Khalidiyah, didirikan oleh Maulana Khalid Dliya’uddin al Baghdadi seorang Kurdi yang cukup berpengaruh pada abad 19.

Tak hanya dalam bentuk kitab, pengaruh ulama Kurdi hadir dalam pola keberagamaan model tasawwuf. Sikap mistik ulama Kurdi yang mistik-magis inilah yang terasa tidak terlalu jauh berbeda dengan kebanyakan orang nusantara. Peranan ulama tasawwuf abad 17-19 M seperti Syeikh Ibrahim al-Kurani, Maulana Khalid al-Baghdadi, Abdurrauf Singkel, dan M. Amin al-Kurdi, jelas membuktikan eksistensi dan dinamika perkembangan Islam di Nusantara.

Berbeda

Proses islamisasi yang dilakukan oleh ulama Kurdi memiliki kekhasan tersendiri jika dibandingkan dengan yang diperankan Cina, Arab atau Gujarat. Tiga bangsa tersebut sudah sejak lama terlibat dalam hubungan dagang dengan Asia Tenggara dan saudagar-saudagarnya daam jumlah cukup besar menetap di kota-kota pelabuhan Nusantara.

Sementara ulama Kurdi tidak pernah berkunjung ke Nusantara dan tidak pernah ada ulama Nusantara yang selama belajar di Timur Tengah mengunjungi Kurdistan. Perjumpaan Kurdi dengan negara-negara Asia Tenggara, terjadi di tanah suci. Banyak ulama Kurdi yang menetap di sana dan menjadi guru orang Nusantara yang mencari ilmu di sana.

Alasan terpenting tentang pilihan berguru pada ulama Kurdi ini adalah karena kebanyakan ulama Kurdi bermadzhab Syafi’i, sedangkan banyak ulama di sana yang bermadzhab Hanafi atau Hambali dan Maliki. Tak hanya sekedar menganut madzhab Syafi’i, ulama Kurdi juga tahu dan bersikap terbuka terhadap kebudayaan bukan Arab (seperti Iran dan India) sehingga mudah berdialog dengan murid dari Asia Tenggara.

Atas dasar inilah maka sesungguhnya Syi’ah telah menjadi bagian integral dari proses Islamisasi di Indonesia. Meski belum ada bukti otentik yang menunjukkan bahwa mereka yang kali pertama melakukan dakwah di nusantara, tetapi ulama Kurdi yang Syi’ah itu telah menghadirkan sesuatu yang tidak pernah dihadirkan oleh yang lain.

http://elsaonline.com/?p=926

Tidak ada komentar:

Posting Komentar