Selasa, 15 Mei 2012

Fatwa Syekh Jad Al-Haq Mengenai Para Pengikut Madzhab-madzhab Islam

Bismillah Ar-Rahman Ar-Rahim Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam tercurahkan kepada Rasulullah. Amma Ba’du. Majalah ‘Oktober’ volume 4601 tanggal 25 Agustus 1985 memuat sebuah surat yang ditulis oleh Abdul Aziz Saqid kepada Syekh Al-Azhar saat itu, Syekh Jad Al-Haqq. Ringkasan dari surat dengan judul ‘Al-Azhar Benteng Pertama Agama’ tersebut adalah demikian;
Dalam sepekan terakhir, saya menerima surat yang ditulis oleh sejumlah aktivis pusat-pusat kegiatan Islam negara bagian Virginia Amerika yang isinya sebagai berikut:
“Musuh-musuh Islam terus melakukan langkah-langkah untuk menciptakan perpecahan di tengah warga minoritas muslim di negara-negara Afrika, Asia dan Amerika. Mereka mengemas berbagai isu perbedaan yang ada dengan kemasan agama. Mereka mengkfirkan para pengikut berbagai madzhab Syiah seperti Imamiyah, Zaidiyah, dan lainnya. Serangan licik ini dilakukan untuk memecah belah umat Islam. Sebagian orang beranggapan bahwa ibadah dan muamalah seorang muslim hanya sah jika mengikuti salah satu dari empat mazhab Ahlussunnah wal Jamaah.”
Wahai Syekh yang Terhormat!
Apakah Anda setuju dengan anggapan itu?
Sebagian orang menyebut Syiah sebagai kelompok sesat dan kafir. Mereka berlepas tangan dari keislaman para pengikut Syiah. Apakah jawaban Anda dalam hal ini? Apakah orang Islam dapat mengkafirkan kaum muslimin dari kelompok yang lain?
Mendapat pertanyaan seperti itu kami menyatakan ;
Pertama; tentang masalah taqlid, dan apakah wajib bagi seseorang untuk mengikuti satu madzhab tertentu ataukah tidak? Seluruh ulama ilmu ushul mengatakan bahwa orang yang awam yakni orang yang tidak memiliki kelayakan dan kecakapan untuk berijtihad dalam hukum syariat, orang seperti ini, meski menguasai limu yang lain, dalam masalah syariat harus mengikuti seorang mujtahid dan fatwanya. Prinsip ini sejalan dengan ayat Al-Qur’an yang berbunyi
Bertanyalah kepada orang-orang yang mengetahui jika kalian tidak mengetahui. (Q.S. Al-Nahl ayat 43)
Ayat ini mengandung makna umum yang meliputi semua orang yang tidak menguasai ilmu hukum syariat. Umumnya orang bahkan di zaman para sahabat dan tabi’in dalam masalah syariat dan hukum agama bertanya kepada para mujtahid dan mengamalkan kata-kata mereka. Para mujtahid yang menguasai hukum syariat mengeluarkan fatwa dengan berpijak pada sumber-sumber utama agama Islam untuk dimanfaatkan oleh orang-orang lain. Mereka tidak merasa keberatan untuk menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang awam. Keabsahan untuk bertaqlid dalam masalah furu’ddin adalah hukum yang disepakati oleh semua ulama (ijma’). Hanya saja, orang awam hanya dapat bertaqlid kepada orang yang layak untuk berijtihad dan berfatwa, yaitu orang yang diakui telah mencapai derajat keilmuan tinggi, memiliki keadilan dan layak untuk berfatwa. Sebab masalah agama adalah urusan yang sangat vital dan diperlukan kehati-hatian dalam hal ini.
Mayoritas ulama meyakini bahwa mengikuti satu madzhab tertentu dan mengamalkan kewajiban serta meninggalkan yang dianggap haram didalamnya, bukanlah sebuah kewajiban bagi semua orang. Tidak ada yang bisa memasung seseorang dalam satu madzhab tertentu. Semua orang berhak untuk mengikuti fatwa seorang mujtahid dalam satu kasus dan mengikuti fatwa mujtahid yang lain dalam kasus yang lain. Seluruh mufti sepanjang sejarah, sejak zaman sahabat sampai kini melakukan hal demikian. Pendapat itu diyakini oleh para ulama besar semisal Amudi, Ibnu Hajib, Kamal dalam kitab tahrir, Rafi’i dan lainnya. Sebab memegang teguh satu mdzhab tertentu dalam semua masalah hukum syariat bukan satu keharusan. Satu-satunya hal yang wajib dilakukan adalah yang diwajibkan oleh Allah dan RasulNya. Allah dan RasulNya (SAW) tidak pernah mewajibkan kepada seorang pun untuk mengikuti madzhab tertentu dari madzhab-madzhab yang ada, mengamalkan apa yang dititahkan dalam madzhab tersebut dan meningggalkan pendapat orang lain.
Ibn Amir Hajj salah seorang ulama ilmu Ushul mengatakan, tidak benar menyebut seorang awam dengan embel-embel sebutan suatu madzhab hanya lantaran ia mengikuti madzhab tersebut. Sebab, madzhab hanya bisa dinisbatkan kepada orang yang memiliki pandangan dalam dan argumentatif tentang madzhab yang ia anut, atau orang yang telah membaca dan menguasai kitab-kitab yang ditulis dalam madzhab tersebut sehingga ia mengetahui dengan sempurna fatwa-fatwa dan pendapat imam madzhab tersebut. Karena itu tidak benar menisbatkan madzhab kepada orang yang tidak memiliki kemampuan tersebut dan hanya bertaqlid kepada salah satu madzhab lantas mengatakan bahwa “Saya adalah Hanafi atau Syafi’i”.
Penjelasan tadi mengungkapkan bahwa tidak ada keharusan untuk bertaqlid kepada seorang mujtahid tertentu. Banyak ulama yang meyakini kebolehan mengamalkan talfiq dalam artian bertaqlid dalam satu masalah kepada seorang mujtahid dan dalam masalah yang lain bertaqlid kepdaa mujtahid yang lain. Hal itu bisa dilakukan -dengan sebab apapun- baik dalam masalah ibadaat maupun mu’amalaat. Talfiq semacam rahmat dan kemudahan bagi umat Islam. Bahkan banyak ulama yang memperbolehkan untuk mencari hal-hal yang mudah dan memberi kelonggoran di sela-sela fatwa para mujtahid, sehingga seorang mukallaf dalam menjalankan kewajibannya semudah mungkin dan dalam setiap masalah yang ia belum bertaqlid kepada seorang mujtahid pun, ia bebas memilih mujtahid untuk diikuti.
Singkatnya, setiap orang yang tidak mencapai derajat mujtahid mutlaq harus bertaqlid dalam fiqh, sebab ia wajib untuk mengamalkan hukum syariat. Tetapi ia tidak diwajibkan untuk mengikuti satu madzhab tertentu dalam semua hal. Ia dapat mengikuti fatwa mujtahid lain dalam berbagai masalah. Madzhab setiap orang yang awam adalah fatwa mujtahid yang ia ikuti yang memenuhi syarat keilmuan dan ‘adalah (keadilan). Tidak ada larangan untuk melakukan talfiq yaitu beramal dalam banyak kasus berdasarkan fatwa berbagai mujtahid yang berbeda.
Kedua, hukum takfir, dan apakah boleh orang muslim mengakirkan muslim yang lain?
Dalam menjawab pertanyaan ini pertama kami harus menjelaskan hakikat makna keimanan, keislaman dan kekafiran.
i- Keimanan dan hakikatnya: Iman secara bahasa berarti pembenaran. Pembenaran yang dimaksud tidak terbatas pada hal-hal tertentu. Sedangkan dalam istilah, iman berarti pembenaran akan adanya Tuhan, para nabi, kitab-kitab suci, para malaikat, hari kiamat, serta qadha’ dan qadar.
Allah swt berfirman,
Artinya, “Rasul beriman kepada apa yang diturunkan Allah kepadanya. Demikian juga orang-orang mukmin. Mereka semua beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab dan para rasul. Kami tidak membedakan satupun dari rasul-rasulNya.” (Q. S. Al-Baqarah 285)
Dengan demikian, makna dari iman adalah pembenaran dalam hati kepada agama dan keyakinan-keyakinan yang ada di dalamnya. Hati dipenuhi oleh keyakinan dan pembenaran akan ketuhanan dan tekad untuk mengikuti agamaNya. Kesimpulan ini dikukuhkan oleh Nabi SAW dalam sabdanya,
“Ya Allah tetapkanlah hatiku pada agamaMu.”
Beliau juga pernah bersabda kepada Usamah yang membunuh salah seorang tentara musuh yang telah mengucapkan laa ilaaha illallah. Beliau bersabda, “Apakah engkau telah membelah dadanya (untuk mengetahui apakah ia mengucapkan kalimat tauhid itu dari hati atau hanya sekedar untuk mencari selamat)?” (Shahih Bukhari dan Muslim)
ii- Islam dan hakikat keislaman: Islam berasal dari kata aslama berarti tunduk. Dalam istilah Islam dijelaskan lewat sebuah hadis;
“Islam berarti engkau bersaksi bahwa tidak tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan berhaji ke baitullah jika engkau mampu melakukannya.” (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim)
Karena itu Islam berarti mengamalkan kewajiban agama, mengucapkan ikrar dua kalimah syahadat, melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan Allah dan RasulNya (SAW). Sedangkan iman adalah keyakinan hati. Siapa saja yang mengingkari salah satu prinsip keyakinan yang ada dalam keimanan, berarti ia telah keluar dari golongan kaum muslimin. Allah swt berfirman:
“Siapapun yang mengingkari Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya dan hari akhir, berarti ia telah tersesat dalam kesesatan yang jauh.” (Q. S Al-Nisa’: 136)
Islam adalah perbuatan dan perkataan. Amal dengan anggota tubuh dan perkataan dengan lisan. Perbedaan antara iman dan islam disebutkan dalam firman Allah swt:
“Orang-orang Badwi berkata, ‘Kami telah beriman’, katakanlah ‘Kalian belum beriman tapi katakana kami telah masuk Islam, karena keimanan belum masuk ke hati kalian” (Q.S. Al-Hujurat: 14)
iii- Kapan seorang masuk kategori sebagai muslim?
Rasul SAW menjawab pertanyaan ini dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari. Beliau bersabda,
“Aku diperintah untuk memerangi umat manusia sampai mereka bersaksi tidak ada tuhan selain Allah serta beriman kepadaku dan kepada apa-apa yang aku bawa. Jika mereka melakukan hal itu berarti darah dan harta benda mereka terjaga dariku kecuali atas hak-haknya masing-masing dan Allah-lah yang akan memperhitungkan mereka (jika mereka ternyata hanya berdusta dan munafik).”
Hadits itu menjelaskan kapan seorang bisa dikatakan muslim. Kapan orang muslim keluar dari kelompok umat Islam? Apakah dengan melakukan maksiat dan mengerjakan perbuatan haram atau meninggalkan kewajiban ia keluar dari keislaman dan kehilangan hak-hak sebagai muslim?
Allah swt berfirman:
“Allah tidak akan mengampuni perbuatan syirik terhadapNya dan mengampuni selainnya jika Dia berkehendak.” (Q. S. Al-Nisa’ 116)
iv- Apa arti kufur?
Kufur secara bahasa berarti menutupi sesuatu. Secara istilah, kufur berarti pengingkaran terhadap perintah Allah untuk beriman padahal kewajiban perintah beriman itu telah sampai kepadanya dan tak alasan baginya untuk ingkar.
Kufur biasa disebut sebagai lawan dari iman. Kufur berarti menutupi kebenaran dan menyembunyikannya. Tetapi terkadang, kufur diartikan sebagai kufur atas nikmat Allah.
Kufur terburuk adalah kufur terhadap keesaan Allah dan menyekutukan Allah dengan selainNya, kufur kepada kenabian Rasulullah SAW dan syariat yang beliau bawa. Kafir adalah sebutan bagi mereka yang terjerumus dalam kekufuran tersebut.
Jika makna keimanan, keislaman dan kekafiran seperti yang telah dijelaskan tadi sesuai dengan dalil-dalil yang ada pada nash Al-Qur’an dan konteks hadits, berarti orang muslim yang melakukan dosa meski ia berdosa dan bermaksiat kepada Allah swt serta berhak mendapat murka Allah dan azab ilahi, namun ia tetap berada dalam lingkungan orang-orang yang beriman dan tetap dianggap sebagai muslim. Ia masih berhak menyandang sebutan muslim dan berhak untuk memperoleh hak-hak sebagai bagian dari umat Islam. Dosa yang dilakukan oleh muslim tadi, baik dosa itu kecil atau besar, tidak akan membuatnya keluar dari lingkup Islam dan iman. Ini adalah makna dan kesimpulan dari ayat suci Al-Qur’an dan firman ilahi yang berbunyi:
Allah swt berfirman:
“Allah tidak akan mengampuni perbuatan syirik terhadapNya dan mengampuni selainnya jika Dia berkehendak.” (Q. S. Al-Nisa’ 116)
v- Bolehkah mengkafirkan seorang muslim karena dosa-dosa yang ia lakukan? Apakah boleh mengkafirkan orang mukmin yang masih tetap memiliki keimanan di hati? Adakah hukum syariat dalam hal ini? Siapakah yang dapat menjelaskan hukum itu?
Allah swt berfirman:
Artinya, “Jangan kalian katakan kepada orang yang mengaku sebagai muslim ‘Engkau bukan orang mukmin’ sehingga dengan itu kalian dapat memperoleh keuntungan duniawi. Sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah adalah keuntungan yang banyak.” (Q. S. Al-Nisa’: 94)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Rasul SAW bersabda;
Artinya, “Ada tiga hal yang menjadi dasar keimanan, salah satunya adalah mencegah adanya gangguan terhadap mereka yang mengucapkan laa ilaaha illallah, tidak menuduhnya kafir karena dosa yang ia lakukan dan tidak menudingnya telah keluar dari Islam karena perbuatannya.”
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda;
Artinya, “Tidak ada yang menuduh orang lain dengan tuduhan fasik atau melemparkan tudingan kafir kepadanya kecuali hal itu kembali kepada pengucapnya jika orang tersebut bukan fasik dan bukan kafir.”
Dari nash-nash tersebut dapat difahami tidak boleh menisbatkan kufur kepada orang muslim karena dosa yang ia lakukan atau kewajiban yang ia tinggalkan atau perbuatan haram yang ia kerjakan. Barang siapa mengkqfirkan seorang muslim atau menuduhnya fasik jika ternyata ia bukan fasik dan bukan kafir, maka tuduhan itu kembali kepada yang menuduh.
vi- Siapakah yang berhak untuk mengeluarkan hukum kekufuran dan kefasikan terhadap orang lain?
Allah swt berfirman;
Artinya, “Jika kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasul…” (Q. S. Al-Nisa’; 59)
Ayat yang lain menyebutkan;
Artinya, “Mengapa sekelompok orang dari mu’minin tidak pergi untuk memperdalam ilmu agama lalu mengingatkan kepada kaumnya ketika mereka kembali.” (Q. S. Al-Taubah : 122)
Di bagian lain Allah swt berfirman;
Artinya, “Bertanyalah kepada orang-orang yang mengetahui jika kalian tidak tahu.” (Q. S. Al Nahl: 43)
Diriwayatkan oleh Zuhri dari Omar Ibn Syuaib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW pernah mendengar sekelompok orang berdebat tentang ayat-ayat Al-Qur’an, lalu beliau bersabda;
Artinya, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena masalah ini, sebagian orang menafikan ayat-ayat Tuhan dengan ayat-ayat yang lain. Padahal ayat-ayat Allah diturunkan untuk saling membenarkan bukan saling mendustakan. Apa yang kalian ketahui sampaikanlah dan yang tidak kalian ketahui serahkanlah kepada orang yang mengetahuinya.”
Ayat-ayat dan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW tersebut mengajarkan kepada kita untuk menyerahkan urusan perbedaan pandangan dalam masalah agama kepada Allah dan RasulNya (SAW). Mereka yang berhak untuk mengurusi masalah agama dan perselisihan ini adalah mereka yang mengetahui tentang Al-Qur’an dan Sunnah. Karena itu, tidak ada seorang muslim pun yang berhak menghukumi muslim lainnya dengan kekafiran atau kefasikan, sementara ia tidak mengetahui orang yang bersangkutan telah terjerumus ke dalam hal-hal yang membuatnya jatuh kepada kekafiran atau tidak mengetahui bahwa orang tersebut benar-benar berbuat dosa sehingga layak disebut fasik.
Islam adalah aqidah dan syariat. Dalam dunia Islam ada banyak ulama yang memiliki spesialisasi dalam masalah ilmu-ilmu keagamaan. Mereka menjalankan perintah dan ajaran Allah dan RasulNya (SAW). Semua orang muslim taat beragama, sedangkan yang berhak untuk berbicara tentang halal dan haram adalah orang-orang yang memiliki spesialisasi di bidang ini. Hanya mereka, para ulama, lah yang berhak.
Karena itu tidak benar bila madzhab-madzhab Islam dijadikan alat untuk kepentingan politik, atau untuk mendukung penguasa atau kelompok tertentu. Sebaiknya, umat Islam diseru untuk memperlakukan sesama layaknya saudara. Mereka hendaknya mengenalkan Islam baik aqidah maupun syariatnya kepada komunitas-komunitas non muslim. Semua madzhab-madzhab Islam yang ada mengambil ajaran dari sumber suci yang sama yaitu, Nabi Muhammad SAW.
Al-Azhar menganggap upaya seperti itu sebagai perbuatan yang keji dan buruk. Al-Azhar mencela tindakan orang-orang yang berbuat demikian. Tidak ada seorang muslim Syiah pun yang berhak mengajak muslim Sunni untuk meninggalkan madzhabnya –Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali- dan mengikuti madzhab Syiah. Orang Sunni juga tidak berhak untuk melakukan hal yang sama terhadap muslim Syiah.
Selama mereka masih termasuk golongan kaum muslimin, mereka harus diperlakukan seperti saudara dalam menyebarkan ajaran Islam di tengah kaum non muslim. Perselisihan dan perpecahan di tubuh umat Islam harus dihindari. Jangan sampai umat Islam memperlakukan madzhab-madzhab Islam layaknya aliran dan partai politik, sebab hal itu tidak pernah dilakukan oleh kaum muslimin di era pertama Islam. Perbuatan itu bertentangan dengan aman ayat Al-Qur’an yang berbunyi:
“Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhan bagi kalian, maka sembahlah Aku.” (Q. S. Al-Mu’minun : 52)[im/mt/taghrib]

Sumber: Islam Muhammadi