Minggu, 22 April 2012

Taqiyah Menurut Allahyarham Prof. HAMKA

(Dipetik dari Tafsir al-Azhar oleh Allahyarham Prof. HAMKA, halaman 145-146, Juz 3, berkenaan ayat 28, Surah Ali Imran:

"Janganlah mengambil orang-orang yang mu'minin orang-orang yang kafir jadi pemimpin lebih daripada orang-orang yang beriman. Dan barangsiapa yang berbuat demikian itu maka tidaklah ada dari Allah sesuatu juapun. Kecuali bahawa kamu berawas diri dari mereka itu sebenar awas. Dan Allah memperingatkan kamu benar-benar akan diriNya. Dan kepada Allahlah tujuan kamu.")

Bersikap lunak lembut kepada musuh, yang merupakan satu ketundukan dan menyerah. karena rnusuh itu lebih kuat, itulah yang dinamai sikap Taqiyah. Kepala selalu terangguk-angguk merupakan setuju, padahai hati bukan setuju. Mulut senantiasa tersenyum sehingga rnusuh yang kafir itu menyangka bahwa si Mu'min telah tunduk, padahal hatinya bukan tunduk.

Orang yang tidak memahami ajaran Islam menyamakan saja sikap begini dengan munafik. Padahal munafik ialah bermulut manis, bersikap Iembut dan tersenyum senyum di dalam menyembunyikan pendirian yang salah, yang kufur. Sebagai orang munafik mengakui di hadapan Rasuiullah s.a.w. bahwa mereka telah percaya bahwa beliau memang Utusan Allah, padahai hati mereka tidak mengaku. Walaupun yang mereka katakan benar. kalau kata yang benar itu tidak dari hati, mereka tetap berdusta. Itulah orang yang munafik.

Tetapi kalau kita yakin bahwa kita di pihak yang benar, dalam lindungan hukum-hukum Allah dan Rasul, sedang musuh kuat, sehingga kita tidak kuat bertindak menentang musuh Tuhan itu, kalau kita menunjukkan muka manis dan mengangguk angguk, bukanlah munafik namanya, melainkan taqiyah.

Dalam satu. seminar di Jakarta dalam bulan September 1966 seorang sahabat menyatakan pendapat bahwa sikap taqiyah yang menjadi pegangan sangat teguh dari kaum Syi'ah adalah menunjukkan sikap yang lemah. Lalu Penafsir ini membantah: "Memang kaum Syi'ah mempunyai ajaran taqiyah, tetapi ini bukanlah alamat kelemahan!" Terlepas dari pendirian Penafsir sendiri yang bukan Syi'ah, tetapi penganut Mazhab Sunni, Penafsir kagum akan ajaran taqiyah kaum Syi'ah itu. Sebab bagi mereka taqiyah bukan kelemahan, melainkan satu siasat yang berencana. Oleh sebab itu maka Mazhab Syi'ahlah satu mazhab politik yang banyak sekali mempunyai rencana-rencana rahasia, yang baru diketahui oleh musuh musuhnya setelah musuh itu menghadapi kenyataan.

Kerajaan-kerajaan Syi'ah yang berdiri di mana-mana, baik di Asia atau Afrika di zaman-zaman Khalifah-khalifah Baghdad, kebanyakan pada mulanya adalah gerakan yang dirahasiakan. Berdirinya gerakan Bani Abbas menentang Bani Umaiyah, mulanya ialah gerakan rahasia yang timbul di Khurasan. Kerajaan Bani Idris di Afrika, Kerajaan Fathimiyah di Mesir yang dahulu bernama 'Ubaidiyah di Qairouan mulanya adalah gerakan rahasia. Gerakan Hasan Shabah yang terkenai dengan nama "Hasysyasyin" (Assasin), adalah mulanya gerakan sangat rahasia. Oleh sebab itu kalau kaum Syi'ah memakai pendirian taqiyah, bukanlah kelemahan, melainkan siasat yang berencana. Oleh sebab itu kalau ada orang Islam yang menyerah kepada kekuasaan kafir, sampai kerja-sama atau membantu kafir, padahal tidak ada rencana hendak terus menumbangkan kerajaan kafir itu, bukanlah itu taqiyah, tetapi menggadaikan diri sendiri kepada musuh.

"Dan Allah memperingatkan kamu benar-benar akan diriNya." Di sambungan ayat ini Allah Ta'ala memberi peringatan dengan keras, bahwa di dalam urusan ini, khusus dalam taqiyah, janganlah dipandang enteng. Jangan sampai sikap taqiyah itu dijadikan tempat lari untuk melepaskan diri daripada tanggungjawab menghadapi lawan. Hendaklah awas dan jangan sekali-kali lupa bahwa diri Allah Ta'ala senantiasa ada, senantiasa mengawasi, dan menilik sepak terjang yang kamu lakukan. Karena kalau taqiyah itu akan membawa agama Allah jadi lemah, bukanlah dia taqiyah lagi tetapi beralih menjadi sikap pengecut. Itu sebabnya maka ujung ayat lebih menjelaskan pula, bahwa baik di waktu kamu sedang kuat, lain menolak kerjasama dengan musuh yang akan melemahkan agamamu, atau sedang lemah sehingga terpaksa kamu mengambil sikap taqiyah, namun ingatlah: "Dan kepada Allahlah tujuan kamu." (ujung ayat 28).

Akhir ayat ini mengingatkan kita akan perumpamaan hidup kita yang tengah belayar di tengah lautan besar, menaiki sebuah bahtera. Sejak dari permulaan belayar kita telah menentukan tujuan dan arah di mana bahtera itu akan berlabuh. Lalu pelayaran kita teruskan. Tetapi oleh karena laut itu tidak senantiasa tenang. bahkan ada gelombong, ada taufan, ada badai dahsyat sudahlah dalam perhitungan, bahwa kadang-kadang bahtera itu akan dihalau oleh angin entah ke mana. Tetapi betapapun hebatnya pukulan gelombang, namun nakhoda kapal wajib tetap menjaga pedoman, tidak boleh berkisar dari tujuan semula.

Tujuan bahtera hidup beragama ialah ALLAH.

Untuk kelengkapan penafsiran ini hendaklah kita tilik lagi ayat 8 dan ayat 9 dari surat 60 (al-Mumtahanah). Surat inipun diturunkan di Madinah. Di ayat 8 ditegaskan bahwa terhadap kafir yang tidak memerangi kamu dan tidak mengusirmu dari kampung halaman kamu, tidaklah mengapa jika hidup berdampingan dengan damai (An-tabarru-hum) dan berhubungan secara adil (Watuq-sithu Ilaihim); memberi dan menerima, duduk sama rendah, tegak sama tinggi. Lalu di ayat 9 ditegaskan lagi, bahwa jika musuh itu memerangi kamu dalam hal agama dan mengusir kamu dari kampung halaman kamu dan dengan terang-terang pula pengusiran itu, tidaklah kamu boleh bersahabat atau berhubungan dengan mereka.

Nescaya kita dapat berfikir lebih lanjut tentang isi sekalian ayat ini. Baik ayat-ayat yang tegas melarang dan memerintahkan supaya selalu awas, atau ayat yang membolehkan berhubungan dengan mereka, karena taqiyah atau karena kuat. Kalau kita kuat tentu tidak berhalangan kalau kita berhubungan dan berdamai dengan kafir, membuat pcrjanjian-perjanjian dagang, hutang-piutang dan lain-lain sebagainya, terutama hidup bernegara di zaman modern, tidaklah ada satu negeri yang dapat memencilkan diri dari negeri lain. Sudahlah selayaknya jika wakil-wakil dari negeri dan negara Islam duduk bersama bermusyawarat memperkatakan soal-soal Internasional dengan wakil-wakil negara-negara lain.

Adapun sikap awas dan waspada, sikap tidak lupa diri Allah, niscaya tidak boleh dilepaskan, baik di waktu lemah ataupun di waktu kuat.

1 komentar:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus