Sabtu, 21 April 2012

Syiah Militan Menebar Benih Kekuasaan?

Syiah Militan Menebar Benih Kekuasaan? (1)

“Secara alami kita terkait dengan demokrasi. Kekebasan bertindak yang tidak disertai dengan kemampuan berpikir yang memadai, hanya akan menciptakan kekacauan ”, John Dewey, Filsuf.

SEKITAR tahun 1993 yang lalu, majalah Aula edisi November menurunkan berita menghebohkan mengenai pengungkapan Habib Hussein bin Abu Bakar al-Habsyi, pendiri pesantren YAPI (Yayasan Pesantren Islam) Bangil, Pasuruan, masuk Syiah. Padahal, Habib Hussein dikenal sebagai ulama Sunni yang masyhur di kota Bangil, dan dianggap mumpuni di kalangan para habib. Berita yang dilansir majalah milik Nahdlatul Ulama itu bersumber dari surat rahasia Habib Hussein yang ditujukan kepada seseorang tokoh Syiah di Iran, yang menyatakan selama ini ia membuat kedok menyembunyikan ke-Syiah-annya (bertakiyah) sebagai strategi dakwah (Syiahali, Ahad, 27 Februari 2011).

DUABELAS IMAM SYIAH. "Dalam tradisi Nahdliyin juga dikenal membaca shalawat diba' yang biasanya dibaca pada setiap malam Jumat. Pada shalawat tersebut disebutkan seluruh imam Syiah yang dua belas. Masyarakat Nahdliyin juga sangat menghormati ahlul bait, bahkan terkadang agak berlebihan". Orang Nahdatul Ulama, Jawa pada umumnya, tidak berani mengadakan hajat menikahkan anak, atau berpesta, pada hari Asyura (10 Muharram), yang merupakan hari kesedihan memperingati syahidnya Hussain bin Abi Thalib, cucu Nabi SAW dan iman Syiah ketiga. Gus Dur, panggilan akrab KH Abdurrahman Wahid (alm), menyebut gejala itu sebagai "Syiah kultural" atau pengaruh Syiah dari segi budaya, bukan dari segi akidah. (gambar download googlesearch)

Sejak itu, penganut Syiah tidak segan-segan lagi melakukan aktivitas dan pengajian Islam aliran (mazhab) Syiah secara terbuka. Pesantren YAPI memang dikenal sebagai yayasan yang tertua milik kelompok Syiah, dibanding yayasan-yayasan Syiah lainnya. Terungkapnya surat rahasia itu membuat masyarakat Bangil pun berbelok arah, banyak para asatidz dan santri kemudian keluar dari pesantren YAPI tersebut. Itulah awal dari perselisihan antara kelompok Sunni dan Syiah di Bangil dan sekitarnya. Tahun 2007, sekelompok masyarakat melakukan demo besar setelah shalat Jum’at menolak paham Syiah. Dan, berujung dengan penyerangan tiba-tiba pondok pesantren Alma’hadul Islam YAPI di Desa Kenep, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, YAPI Bangil oleh ratusan orang yang mengklaim dari kelompok ASWAJA (Ahlussunnah Waljamaah) beberapa waktu lalu (15/2/2011), yang mengakibatkan empat santri terluka di bagian kepala. Masalah ini berlanjut dengan penyerangan kelompok Syiah di Kecamatan Omben, Sampang, Madura (29/12/211).

Bertaqiyyah untuk menebar benih di tempat baru

Takiyah (taqiyyah) yang dilakukan kaum Syiah itu adalah sebagai tindakan menampilkan fakta yang berbeda mengenai urusan agama, baik dengan perkataan maupun perbuatan dengan mengikuti perkataan dan perbuatannya, tujuannya adalah  menjauhkan bahaya untuk menjaga jiwa, harta, dan kehormatan dari pihak lain yang tidak menerima paham Syiah. Pengertian taqiyyah termasuk berdiam diri dari perlawanan atas kebatilan dengan tanpa pengakuan. Dalam kelompok Syiah yang mendapatkan perlakuan represif dari sejak Dinasti Umayyah, Abbasiyyah, hingga pemerintahan Turki Ustmaniyyah, Ja’far As-Shadiq, imam Syiah keenam, menekankan pentingnya penggunaan taqiyyah untuk menjaga eksistensi keyakinan (Islam Digest Republika, 12 Juni 2011).

Menurut Syafiq Basri Assegaff, dalam sebuah tulisannya ‘Menelisik Syiah’, pada sekitar 320 H, Ahmad bin Isa “Al Muhajir” bin Muhammad bin Ali bin Ja’far As-Shadiq, cucu Ja’far As-Shadiq, hijrah dari Irak ke Hadramaut, Yaman bagian selatan, untuk menghindari teror penguasa Dinasti Abbasiyyah, khalifah di Irak yang memusuhi kelompok Syiah. Di Hadramaut itu, Al Muhajir mengajarkan tarekat Al-Alawiy (Alawiyyah, Alawiyyin), yang menurut penilaian sebagian sejarahwan ia bermazhab Syafi’i, tetapi ada pula yang mengatakan sebenarnya ia adalah Syiah, tetapi menutupinya demi keselamatan dari kejaran penguasa. Pada sekitar tahun 1600-an, anak cucu Al Muhajir –yang menyandang gelar sayid, syed, sharif, atau habib– melakukan diaspora (bahasa Latin untuk mengatakan melakukan penyebaran atau penaburan benih) ke sejumlah negara, termasuk Indonesia, dengan melakukan dakwah secara damai dan anti fundamentalis (Kompas, 3 Januari 2012).

Karena itulah, Syiah Imamiyah Dua Belas Imam (Itsna Asyariyah) mempunyai banyak kesamaan dengan mazhab Syafi’i, salah satu mazhab Sunni (Ahlussunnah wal Jamaah) yang menjadi panutan mayoritas Nahdliyin di Indonesia. Minimal dalam tradisi, mazhab Syafi’i di Indonesia sangat kental dengan tradisi Syiah. Tradisi ziarah kubur, membuat kubah pada kuburan, tradisi tahlilan, peringatan kematian hari ke tiga, ke tujuh atau empat puluh, dan juga tradisi haul yang serupa dengan upacara-upara Syiah, misalnya, tidak dikenal dalam tradisi mazhab Syafi’i di Mesir, justru banyak dilakukan warga Nahdlatul Ulama (NU). Ada beberapa puji-pujian khas Syiah yang sampai sekarang dibaca di pesantren-pesantren dan masjid-masjid, misalnya pujian menjelang shalat subuh: likhamsatun uthfi biha harral waba’ al-khatimah. Al-mushtafa wal murtadha wabnahuma wa Fatimah (Aku memiliki lima “jimat” untuk memadamkan epidemi yang mengancam; mereka adalah al-Musthafa (Nabi Muhammad), al-Murtadla (yakni Ali ibn Abi Talib, menantu dan sepupu Nabi), wabnahuma (kedua putra Ali, yakni Hasan dan Husein), dan Fatimah (isteri Ali). Ada juga wirid-wirid tertentu yang jelas menyebutkan lima keturunan ahlul bait (keturunan Nabi Muhammad).

Dalam tradisi Nahdliyin juga dikenal membaca shalawat diba’ yang biasanya dibaca pada setiap malam Jumat. Pada shalawat tersebut disebutkan seluruh imam Syiah yang dua belas. Masyarakat Nahdliyin juga sangat menghormati ahlul bait, bahkan terkadang agak berlebihan. Orang Nahdatul Ulama, Jawa pada umumnya, tidak berani mengadakan hajat menikahkan anak, atau berpesta, pada hari Asyura (10 Muharram), yang merupakan hari kesedihan memperingati syahidnya Hussain bin Abi Thalib, cucu Nabi SAW dan iman Syiah ketiga. Gus Dur, panggilan akrab KH Abdurrahman Wahid (alm), menyebut gejala itu sebagai “Syiah kultural” atau pengaruh Syiah dari segi budaya, bukan dari segi akidah.
Selain itu, tanpa harus menjadi Syiah, tradisi tabuik di Pariaman, Sumatera Barat, atau tabot di Bengkulu, yang mengusung peti jenazah (casket) Husain, sangat kental dengan tradisi Syiah, yaitu perayaan Asyura yang biasa dirayakan oleh pengikut Syiah untuk memperingati terbunuhnya Husain ibn Ali, cucu Nabi Muhammad dalam penghadangan di Karbala pada 10 Muharram 61 H (10 Oktober 680). Tradisi tersebut berjalan begitu saja sebagai bagian dari tradisi keagamaan yang diterima sebagai kebiasaan setempat. Mungkin, tradisi tersebut menjelaskan masuknya Islam ke Indonesia ada hubungannya dengan pendakwah dari kelompok Syiah. Memang tidak ada data pasti kapan Syiah datang ke Indonesia, meski pun ada yang berspekulasi, seperti M. Yunus Jamil (1968) dan A. Hasymi (1983), yang mengatakan Islam yang datang ke Indonesia pertama adalah Islam Syiah. Bahkan, menurut mereka, Syiah pernah menjadi kekuatan politik tangguh di kepulauan ini (kerajaan Samudera Pasai di Aceh), namun hal tersebut tidak cukup meyakinkan. Meski demikian, yang sulit disangkal adalah dekatnya kultur keislaman Indonesia, terutama Nahdatul Ulama (NU) dengan tradisi Syiah. Bahkan KH. Abdurrahman Wahid pernah menyatakan bahwa Nahdatul Ulama secara kultural adalah Syiah minus imamah, dan Syiah adalah Nahdatul Ulama plus imamah.

Penelitian Prof DR. H. Mohammad Baharun, SH, MA, pengamat Syiah, untuk disertasinya di IAIN Sunan Ampel, Surabaya, menjelaskan adanya perkembangan Syiah ideologis dari pengkaderan yang cukup intensif di Indonesia. Kaderisasi ini melalui pendidikan (sekolah dan pesantren) yang disiapkan dengan guru-guru terlatih. Ia menemukan, bahwa YAPI mengkhususkan diri sebagai lembaga yang sengaja menyiapkan kader-kader (santri yang diharapkan jadi guru/ustadz atau da’i Syiah Itsna ‘Asyariyah) yang berkualitas, sehingga dapat menyebarkan doktrin Syiah Imamiyah kepada masyarakat luas (http://www.voa-islam.com/news/interview/2012/01/16/17425/ prof-dr-mohammad-baharun-revolusi-iran-itu-bukan-islam/). Namun, menurut Ketua Dewan Syuro IJABI Jalaluddin Rakhmat, sampai saat ini Pesantren YAPI Bangil merupakan Syiah yang non IJABI, walapun tercatat banyak alumni YAPI Bangil yang menjadi tokoh Syiah IJABI. Pada awalnya pesantren YAPI Bangil mendapat dana dari Saudi Arabia, namun ketika kemudian ketahuan mereka adalah Syiah, dananya ditarik.

Berjuang bersama mengatasi keterpurukan umat Islam

Memasuki abad ke-19, dunia Islam benar-benar terpuruk dan cenderung termarjinalkan, karena berada dalam cengkraman penjajahan kekuatan Barat. Mereka melakukan infiltrasi konsep dan praktik asing yang memecah-belah (disintegrate) umat Islam, dan mendukung praktik pemerintahan lokal dengan kekuasaan politik absolut (despotism) yang menguntungkan pihak penjajah tersebut. Umat Islam terjebak pada taklid buta (hanya menurut saja) dan mengalami kejumudan (tertinggal jauh) dalam berbagai bidang, baik pendidikan, sosial politik, maupun budaya. Di tengah kondisi dunia Islam yang benar-benar terbelakang itu, Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh menghidupkan kembali gerakan Salafiyah, yang menurut John L. Esposito, guru besar untuk bidang Agama dan Hubungan Internasional pada Universitas Georgetown, Amerika Serikat, dalam Ensiklopedia Oxford: Dunia Islam Modern, adalah Salafiyah modern yang berbeda dengan era klasik Ibnu Taimiyah yang berdasarkan konsep Imam Ahmad bin Hambal.

Jamaluddin al-Afghani, yang bernama asli Sayid Muhammad bin Shafdar al-Husain, adalah seorang pemikir Islam dari kelompok Syiah yang juga aktivis politik, dan jurnalis terkenal. Ia dilahirkan di desa Asadabad, distrik Konar, Afghanistan, pada 1838, sebagai keluarga bergelar sayid (sayyids) yang memiliki ikatan darah dengan Husain bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW, imam Syiah ketiga. Ada juga pendapat yang mengatakan Al-Afghani adalah seorang Sunni. Dalam pandangan Al-Afghani, distorsi keyakinan Islam yang paling dasar telah membuat umat Islam bersikap pasrah, pasif, dan tunduk pada kekuatan Barat. Agar dunia Islam tak tunduk kepada Barat, ia mencoba menegaskan validitas Islam pada masa modern, dan membuktikan kesesuaiannya dengan akal dan ilmu pengetahuan. Untuk mengembalikan kebanggaan umat Islam akan agama mereka pada bentuk murninya semula, dan mereformasi kondisi moral, budaya, dan politik Islam, pada tahun 1879 Al-Afghani memulai gerakannya dengan membentuk partai politik dengan nama Hizb al-Wathani (Partai Kebangsaan).

Syiah Militan Menebar Benih Kekuasaan? (2)

SEBELUMNYA, pada tahun 1869 dalam sebuah diskusi di kampus Universitas Al Azhar, Mesir, seorang mahasiswa, Muhammad Abduh, tertarik dengan ide pembaruan dunia Islam yang digagas oleh Al-Afghani. Sejak itu, Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah, lahir di desa Mahallat Nash di kabupaten al-Buhairah, Mesir, pada 1849, banyak belajar dari Al-Afghani, yang kemudian menjadi pendukung utama gerakan Muslim di seluruh dunia untuk melawan stagnasi, kehancuran moral, despotisme politik, dan dominasi asing.

SYIAH MERASA DIDZALIMI...."dalam Syiah terbangun keakraban akibat deraan kesulitan, karena perlakuan represif dari penguasa setempat (Sunni) yang mencurigai mereka sebagai pemberontak, sampai-sampai harus bertakiyah segala. Di tengah kesulitan, muncul harapan perubahan nasib dengan datangnya Imam Mahdi,....". (gambar download).

Kerjasama tokoh Syiah, Al-Afghani, dengan Sunni, Muhammad Abduh, juga terjadi pada era tahun 1950-an, pemimpin Ikhwanul Muslimin Hasan al-Bana (Sunni) melakukan kerjasama dengan Imam al-Qummi (Syiah). Setelah itu, pada 1954 Nawab Safawi, pemimpin gerakan Fida’iyyin Islam dari Iran, datang ke Kairo. Muhammad Ali al-Dhanawi, dalam bukunya Kubra al-Harakat al-Islamiyyah fil ‘Ash al Hadits, mengutip kata-kata Bernard Lewis, “Walaupun mereka (Fida’iyyin Islam) bermazhab Syiah, mereka percaya pada kesatuan Islam sama besarnya kepercayaan kaum Muslim Mesir yang Sunni. Di antara mereka terjalin komunikasi yang sangat lancar”. Menurut Dr Ishaq Musa al-Husaini dalam al-Ikhwanul Muslimin sejumlah pelajar dari Iran yang sedang belajar di Mesir ketika itu telah bergabung dalam organisasi tersebut. Ia mengungkapkan, di Irak pun banyak pemuka Ikhwanul Muslimin yang bermazhab Syiah (Islam Digest Republika, 12 Juni 2011).

Imam ke-12 sebagai senjata rahasia kebangkitan Syiah

Sebenarnya, dengan perkiraan hanya sekitar 20 persen dari total umat Islam di dunia yang bermazhab Syiah, dengan konsentrasi terbanyak di Iran, dan Irak, sebenarnya tidak perlu ada ketakutan akan pengaruh Syiah ini di Indonesia yang mayoritas Sunni, kecuali kalau menilai kaum Syiah itu memang lebih berkualitas dan militan. Menurut Dr. Michael Brant, mantan tangan kanan direktur CIA Bob Woodwards dalam sebuah buku berjudul A Plan to Divide and Destroy the Theology, yang membuat Syiah lebih aktif dibanding Muslimin lainnya, faktor terkuatnya adalah adanya sistem kepemimpinan politik berdasarkan agama (marjaiyah), dan ikatan melalui perayaan Asyura. Peringatan syahidnya Husein, cucu Rasulullah SAW, 1400 tahun lalu itu, selalu diperingati oleh kaum Syiah secara meluas sebagai upacara-upacara kesedihan yang mempersatukan (http://www.victorynewsmagazine.com/ConspiracyAgainstJaffariSchoolofThought Revealed.htm).

Selain itu, dalam Syiah terbangun keakraban akibat deraan kesulitan, karena perlakuan represif dari penguasa setempat (Sunni) yang mencurigai mereka sebagai pemberontak, sampai-sampai harus bertakiyah segala. Di tengah  kesulitan, muncul harapan perubahan nasib dengan datangnya Imam Mahdi, seorang “Juru Langsir Sejarah” yang akan menarik mereka dari kubangan kekelaman dan kegetiran yang akut, untuk menuntun mereka memasuki gerbang kejayaan. Walaupun Mahdiisme dikenal pada hampir semua agama besar dan berbagai budaya sebagai juru selamat (Messiah/Elijah/Ratu Adil), namun Syiah meyakini Imam ke-12, yang tiba-tiba menghilang, akan kembali menuntun mereka. Karena itu, menurut Zen Rachmat Sugito, dalam tulisannya Visi Otentik Globalisme Mahdi, kaum Syiah melihat penderitaan yang dialami “para pejalan suci” yang sedang menuju realitas masa mendatang yang lebih baik, adalah sebagai pra kondisi bagi kedatangan Imam Mahdi (Koran Tempo, 22 Januari 2006). Mereka tegar menghadapi segala kesulitan yang dihadapinya, dan kalau perlu harus bertakiyah.

Karena itu, banyak gerakan perebutan kekuasaan negara yang berasal dari kelompok tarekat sufi yang melakukan perlawanan sebagai kelompok tertindas dengan mengandalkan munculnya Imam Mahdi sebagai penyelamat. Salah satu tarekat Syiah yang berkembang di Iran dan sukses mendirikan dinasti Shafawiyah pada tahun 1501, dimulai dari pengajian yang dipimpin oleh Syah Ismail Shafawiyah dalam usaha yang panjang dan intens berupa propaganda agama. Bersamaan dengan melemahnya pendukung Sunni di Iran, tampil Syiah sekte Ismailiyah, yang disebut Syiah Tujuh Imam, karena mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang dari ‘Ali bin Abi Thalib, dan imam ketujuh ialah Isma’il. Dalam banyak kasus politik, Syiah Ismailiyah, yang juga disebut Shafawiyah, adalah yang dianggap kelompok garis keras yang militan.

Persaingan global yang dipentaskan juga di Indonesia

Pertanyaannya, kenapa belakangan ini Sunni dan Syiah mengalami ketegangan sedemikian rupa di Sampang dan Pasuruan? Gejala ini tentu saja aneh, mengingat kejadian tersebut justru terjadi di kantong-kantong Nahdatul Ulama yang dikenal moderat. Meminjam pendapat Rumadi dalam sebuah tulisannya  berjudul Islam Tanpa Syiah, ada beberapa hal yang bisa digunakan untuk menjelaskan hal tersebut.

Pertama, di dunia Islam, pada tingkat global, terjadi persaingan yang sangat kuat antara Iran (Syiah) dengan Saudi Arabia (Sunni yang Wahabi). Saudi Arabia sebagai “pusat Islam” beserta jaringan-jaringannya mengerahkan segala upaya untuk menangkal perkembangan Syiah di dunia Islam.

Kedua, Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia yang dikenal moderat merupakan wilayah yang mudah dipengaruhi Syiah. Apalagi dengan bukti-bukti kedekatan kultural tersebut, tentu sangat mengkhawatirkan Saudi Arabia. Dalam konteks inilah, kelompok-kelompok Salafi yang sangat dipengaruhi oleh doktrin Wahabisme yang sekarang tumbuh di mana-mana bertemu dengan kepentingan Saudi Arabia. Dalam konteks anti Syiah, keduanya mempunyai kepentingan yang sama, membendung Syiah. Bagi kelompok Sunni-Salafi-Wahabi ini, Syiah dianggap sebagai kelompok yang sudah keluar dari Islam.

Ketiga, menguatnya kelompok intoleran, terutama dari kalangan Sunni-Salafi-Wahabi, yang berpengaruh ke mana-mana, termasuk ke dalam tubuh Nahdatul Ulama. Jika Nahdatul Ulama secara kelembagaan tidak mampu membendung infiltrasi kelompok intoleran, maka beberapa kantong Nahdatul Ulama akan dengan mudah dimanfaatkan sebagai kekuatan “penggebuk” Syiah. Potensi ke arah tersebut bisa saja terjadi jika kalangan Sunni ekstrim dan Syiah ekstrim terus berdebat mengenai akidah yang pasti tidak akan berujung pada titik temu. Sunni-Salafi-Wahabi akan terus menerus mencari-cari kesalahan Syiah, sementara Syiah pun bertahan dengan keyakinannya merasa tidak melakukan kesalahan seperti dituduhkan pada mereka.

Keempat, pelan-pelan, menguatnya pengaruh Saudi Arabia melalui kekuatan Sunni-Salafi-Wahabi ini ditandai dengan terjadinya pergeseran cara masyarakat di sebagian wilayah Indonesia dalam merespon perbedaan. Jika sebelumnya sejumlah masyarakat Indonesia dikenal toleran dengan perbedaan, sekarang sudah mulai terjadi pergeseran ke arah non-toleran yang perlu diwaspadai (www.lenteratimur.com, Senin, 16 Januari 2012).

Selain itu, adanya kecurigaan, mengenai konspirasi Syiah Internasional yang konon dikatakan akhir-akhir ini sedang membangun aliansi strategis Syiah Shafawiyah, aliansi gabungan pemerintah Iran, Suriah, Hizbullah Libanon dan kekuatan Syiah di Irak. Mereka berencana mengembalikan kejayaan Syiah Shafawiyah Fathimiyah di semenanjung Arab dan Afrika, memanfaatkan suhu politik yang panas di beberapa negara Muslim di jazirah Arab dan Afrika (Arab Spring). Pembelotan Syiah al-Hutsiyin di Yaman, kerusuhan makar bertujuan menggulingkan pemerintah Bahrain juga diusung oleh pengikut Syiah, adalah bagian dari konspirasi yang didukung oleh aliansi tersebut. Kejadian-kejadian tersebut ditengarai sebagai operasi proyek Syiah internasional.

Masalahnya, dengan niat Israel untuk menyerang Iran dengan berbagai dalih yang mendapat dukungan pihak Barat, banyak pihak menilai bahwa propaganda yang memecah kekuatan Sunni dan Syiah adalah disponsori oleh poros Amerika yang berkepentingan untuk menguasai minyak di Iran, dimanfaatkan oleh Israel sebagai tameng pelindungnya dari serangan Hamas (Gaza) dan Hisbulah (Lebanon) yang mendapat dukungan dari Iran. Dengan menguras sehabis-habisnya tenaga manusia dan material kelompok Islam, misalnya dalam persengketaan antara Sunni dan Syiah di Irak dan negara Arab lainnya, pihak Barat, terutama Amerika Serikat, menjadikan kawasan Timur Tengah sebagai sumber utama penjualan produk industri senjata mereka. Juga, dengan mendorong kelompok Sunni menyibukkan diri dalam pertikaian dengan Syiah, supaya kedua belah pihak mengabaikan tujuan utama untuk mengusir Yahudi dari Palestina.

Karena itu, sebelum terbukti Syiah berulah di Indonesia, jangan sampai terperangkap propaganda hitam.

-Disusun untuk sociopolitica oleh Syamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang. 

http://sociopolitica.wordpress.com/2012/03/29/syiah-militan-menebar-benih-kekuasaan-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar