Minggu, 22 April 2012

CINTAI RASULMU dan BERSIAPLAH UNTUK DIUJI !

CINTAI RASULMU dan BERSIAPLAH UNTUK DIUJI !

Ada beberapa kewajiban kita kepada Rasulullah saw. Pertama, kita mesti mengimaninya. Kedua, kita harus membaca shalawat dan salam baginya. Shalawat bukan saja tanda bahwa kita menghormati Rasulullah, tapi juga merupa-kan tanda kecintaan kita kepada Rasulullah saw. Kita tahu bahwa jika orang mencintai seseorang yang lain, maka bibirnya akan sering mengucapkan nama orang itu. Salah satu tanda cinta adalah seringnya kita menyebut nama orang yang dicintai. Menyebutnya pun berbeda dengan menyebut nama orang lain, lantaran emosi tertentu yang terkandung di dalamnya. Seperti itulah tanda kecintaan kita kepada Rasulullah saw. Sehubungan dengan ini, maka tanda memu-liakan Rasulullah saw adalah mahabbah atau mencintainya. Ungkapan kecintaan bisa dilakukan dengan banyak menyebut nama. Dengan shalawat, kita menyebut nama Rasulullah saw.

Dalam sebuah buku Antropologi klasik, Golden Bow, dikisahkan tentang kebiasaan dari berbagai bangsa di dunia dalam hubungannya dengan ilmu gaib. Dijelaskan bahwa ada dua macam ilmu gaib. Pertama, yang disebut dengan Magic Kontak. Yaitu ilmu gaib yang diperoleh dengan melakukan kontak atau hubungan dengan benda-benda atau apa saja yang terkait dengan orang yang menjadi sasaran ilmu gaib itu. Di suku Jawa misalnya, bila orang itu ingin menjatuhkan hati seorang wanita, maka ia akan mengambil sesuatu yang pernah bersentuhan dengan wanita itu.

Jenis yang kedua, disebut dengan Magic Analogis. Ini terjadi bila orang meng-inginkan sesuatu melalui kekuatan gaib dengan melakukan sesuatu yang mirip dengan yang diinginkan. Misalnya, bila orang menginginkan angin berhembus, maka dia akan bersiul. Siulan itu analog dengan datangnya angin. Orang pun dapat menyerang orang lain dengan menggunakan boneka. Boneka itu dianggap analog dengan orang yang diserang. Jika boneka itu ditusuk, maka orang itu yang kesakitan. Jika boneka itu dibakar, maka orang itu yang kepanasan.

Kebiasaan seperti itu ternyata ada di hampir seluruh bangsa di dunia. Saya tidak tahu pasti apakah ada hubungan antara kekuatan gaib dengan persentuhan benda-benda yang berkaitan. Tapi jika kita melihat tradisi para sahabat Rasulullah saw untuk bertabaruk atau mengambil berkah dari benda-benda yang pernah bersentuhan dengan Rasulullah saw, seakan-akan magic yang primitif di atas itu memperoleh justifikasi agama. Para sahabat mengambil apa apa yang telah disentuh Rasulullah saw dengan keyakinan seperti itu.

Contoh dari hal ini dapat kita temukan pada salah satu riwayat Rasulullah saw. Pada satu tengah hari yang terik, Rasulullah saw tidur di rumah Ummu Sulaim, ibu Anas bin Malik. Keringat beliau bercucur-an karena kepanasan. Ummu Sulaim lalu menampung tetes-tetes keringat itu dengan cangkirnya. Saat Rasul terbangun dan melihat ada cangkir di sisinya, ia bertanya, “Apa yang kamu lakukan?” Ummu Sulaim menjawab, “Ya Rasulullah, saya ingin mengambil keringatmu itu untuk mendatangkan berkah buat anak-anak saya.” Bila orang-orang primitif menyebut hal itu dengan kekuatan gaib, Ummu Sulaim menyebut hal itu dengan mengambil berkah. Rasulullah kemudian berkata pada Ummu Sulaim, “Engkau benar.”

Dulu orang sering mengambil sesuatu yang pernah berasal dari Rasulullah saw atau yang pernah disentuh Rasulullah saw. Mereka mengambil berkah dengan menyentuh apa saja yang pernah bersentuhan atau yang pernah menjadi bagian dari Rasulullah saw. Mereka menyentuh mimbar Nabi, menjilati bekas jari jemari Rasul, dan memperebutkan bekas minum Rasul. Tanpa menghubung-kannya dengan magic, saya kira itulah ungkapan kecintaan kepada Rasulullah saw. Bila kita mencintai seseorang, kita juga ingin menyentuh apa yang telah disentuh orang itu.

Pada zaman dahulu, biasanya anak muda yang mulai pacaran senang bertukar sapu tangan. Orang yang jatuh cinta itu akan bahagia bila satu saat, kala hati mereka sedang dipenuhi kerinduan, mereka mencium sapu tangan kekasihnya. Pada suami isteri, bila sang suami pergi, maka isteri akan mengambil dan memeluk baju suaminya. Itu bukan tanda-tanda kemusyrikan. Itulah tanda kecintaan. Seperti itu jugalah kecintaan para sahabat, tabi’in, dan ulama terdahulu terhadap Rasulullah saw.

Misalnya satu ketika Aisyah mendengar Amar bin Yasir ditendang seorang sahabat yang lain sehingga ia pingsan. Aisyah keluar dengan membawa sandal dan rambut Rasulullah saw. Sambil berteriak-teriak, ia berkata, “Lihat! Sandal Rasulullah ini belum lusuh dan rambutnya belum lekang tapi kalian sudah meninggalkan sunnah Rasulullah.” Siti Aisyah menghubungkan dua benda itu dengan Rasulullah saw.

Ketika Rasulullah saw meninggal dunia, beberapa sahabat datang ke kuburan Rasul. Mereka mengambil tanah kuburan itu dan mengusapkannya ke wajah mereka. Mereka tahu, tanah kuburan itu telah menyentuh jasad Nabi yang mulia. Dengan penuh kecintaan, mereka mengusapkan tanah ke wajah mereka. Mereka lakukan itu bukan karena kemusyrikan melainkan karena kecintaan kepada Rasulullah saw.

Bila saat ibadah haji banyak jemaah yang berusaha untuk menyentuh dinding kuburan Rasul, itu juga lantaran ungkapan cinta mereka kepada Rasul. Mereka tidak melakukannya karena menganggap Rasul sebagai Tuhan yang lain selain Allah. Kalau mereka menyentuh dinding kuburan, itu karena mereka tahu bahwa di balik dinding itu, ada Nabi yang mulia dimakamkan. Ketika saya pergi haji beberapa waktu lalu, saya melihat ada orang-orang yang matanya penuh dengan linangan air mata. Mereka meng-usapkan tangannya di atas makam Rasul seraya mengucapkan shalawat. Pemandangan itu menurut saya amat indah. Dulu saya anggap hal itu sebagai kebodohan kaum muslimin yang masih melakukan kemusyrik-an. Sekarang saya lihat hal itu sebagai ungkapan kecintaan umat yang telah ditinggalkan Rasulnya selama lebih dari seribu tahun. Meskipun telah sepuluh abad lebih Rasulullah pergi, umatnya masih meneteskan air mata kecintaan kepadanya hanya dengan menyentuh dinding kuburan-nya saja.

Kecintaan kita kepada Nabi diperintahkan oleh Rasulullah. Saya akan kemukakan berbagai hadits tentang kewajiban kita untuk mencintai Rasulullah saw. Salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan dalam Shahih Al-Turmudzi juz ke-2 hal 308. Dalam hadits yang diriwayatkan dengan sanad dari Ibnu Abbas ini, dikisahkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Cintailah Allah atas nikmatnya kepada kamu semua. Cintailah aku karena kecintaanmu kepada Allah. Dan cintailah ahli baitku karena kecintaanmu kepadaku.” Hadits ini menunjukkan bahwa kita disuruh mencintai Allah karena nikmat yang telah Dia berikan. Jika kita mencintai Allah, maka kita pun harus mencintai Rasulullah saw dan jika kita mencintai Rasulullah saw, maka kita pun harus mencintai keluarganya.

Jalaluddin Al-Suyuthi, dalam tafsir Al-Durr Al-Mantsur, mengutip ayat Alquran untuk menjelaskan hadits ini. Ayat 23 dari surat Al-Syura itu berbunyi, “Katakanlah oleh kamu Muhammad; Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas dakwahku, kecuali kecintaan kepada keluargaku.”

Dalam surat Al-Ra’d ayat 28 Allah berfirman, “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan dzikir kepada Allah. Ingatlah, hanya dengan zikir kepada Allahlah, hati menjadi tentram.” Rasulullah saw menjelaskan ayat ini dengan mengatakan, “Orang-orang yang bisa tentram hatinya dengan zikir kepada Allah adalah orang-orang yang mencintai Allah, mencintai Rasul-Nya, dan mencintai keluargaku dengan kecintaan yang tulus, bukan kecintaan yang dusta.”

Kita diwajibkan untuk mencintai Rasulullah saw. Salah satu ungkapan cinta kita kepada Rasulullah saw adalah dengan mencintai ahlul baitnya. Sebuah hadits yang terdapat dalam Kitab Kanzul ‘Umâl juz ke-6 halaman 218 menceritakan ucapan Rasulullah saw kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib. Rasul bersabda, “Hai Ali, Islam itu telanjang. Pakaiannya adalah takwa. Perhiasannya adalah rasa malu. Yang membaguskannya adalah sifat wara’. Manifestasinya ialah amal saleh. Asasnya adalah kecintaan kepadaku dan kepada keluargaku.” Jadi tonggak Islam itu adalah kecintaan kepada Rasulullah saw dan keluarganya. Di atas dasar itulah Islam ditegakkan.

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Thabrani dalam Al-Kabir dan Al-Awshaf, yang juga diriwayatkan dalam Kanzul ‘Umâl juz ke-7 halaman 212, Rasulullah saw bersabda, “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia ditanya dari empat hal. Ia akan ditanya dari umurnya; ke mana umurnya itu ia habiskan. Ia akan ditanya dari jasadnya; ke mana jasad itu ia rusakkan. Ia akan ditanya dari hartanya; untuk apa harta itu ia infakkan dan dari mana harta itu ia peroleh. Dan ia akan ditanya dari kecintaannya kepada kami, keluarga Rasul.” Kita akan ditanya pada hari Kiamat, apakah kita mencintai Rasulullah saw dan mencintai keluarganya.

Begitu pentingnya kecintaan ini sebagai asas Islam, sampai Rasulullah saw bersabda, “Didikkan tiga hal pada anak-anak kamu. Pertama, mencintai Nabi kamu. Kedua, mencintai keluarga Nabi. Ketiga, membaca Alquran. Karena pembaca Alquran akan berada di dalam perlindungan Allah pada hari ketika tidak ada lagi perlindungan kecuali perlindungan-Nya.” Itulah asas Islam; Alquran dan kecintaan kepada Nabi dan keluarganya.

Dalam hadits Al-Tsaqalayn yang kita kenal, Rasulullah saw bersabda “Aku tinggalkan kepadamu dua hal yang kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang kepadanya. Yang kesatu adalah tali Allah yang terjulur dari langit ke bumi. Ujung tali itu bersumber kepada Allah dan ujung lain pada kamu. (Yang dimaksud dengan tali ini adalah Alquran). Yang kedua adalah keluargaku.” Dalam shahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah saw sampai menyebutkan hal ini tiga kali untuk menunjukkan betapa penting-nya mencintai keluarga Nabi dan berpegang teguh kepada Alquran.

Hadits berikutnya berasal dari Jabir bin Abdullah. Jabir mendengar Rasulullah saw bersabda, “Tidak akan mencintai kami, keluarga Rasul, kecuali mukmin yang takwa dan tidak akan membenci kami kecuali orang munafik yang durhaka.” Jadi, ukuran apakah seseorang itu mukmin atau munafik ter-gantung dari kecintaannya kepada Rasulullah saw dan keluarganya.

Mengapa kita harus mencintai Rasulullah saw dan keluarganya dan mengapa kecintaan itu disebut sebagai asas dan tonggak dari Islam?

Saya akan menjawab pertanyaan ini dengan beberapa hadits. Pernah suatu ketika ada orang datang menemui Nabi dan mengatakan, “Ya Rasulullah, saya mencintai-mu.” Lalu Nabi berkata, “Anta ma’a man ahbabta. Kamu beserta orang yang kamu cintai.”

Pada riwayat lain, di Masjid Kuba ada seorang Imam yang diprotes oleh makmum-nya karena selalu membaca surat Al-Ikhlas dalam shalatnya. Seseorang datang kepada Imam itu dan protes, “Mengapa kau selalu membaca Al-Ikhlas?” Imam itu menjawab, “Bila kau tidak senang kepadaku, silahkan cari Imam yang lain.” Suatu saat Rasulullah saw datang ke masjid Kuba dan diberita-kanlah kepada Rasulullah ihwal “Imam Pembaca Al-Ikhlas” itu. Rasulullah lalu memanggil sahabat itu dan bertanya, “Mengapa kamu selalu membaca Al-Ikhlas?” Sahabat itu menjawab, “Ya Rasulullah, saya senang betul kepada Al-Ikhlas ini. Saya mencintainya.” Lalu Rasulullah saw berkata, “Anta ma’a man ahbabta. Engkau beserta apa yang engkau cintai.”

Kita akan beserta apa yang kita cintai. Rasa cinta amat berpengaruh besar terhadap perilaku kita. Kalau kita mencintai sesuatu, maka seluruh perilaku kita akan dipengaruhi oleh sesuatu itu. Jika kita mencintai sepak bola, kita akan mencintai apa saja yang berkaitan dengan sepak bola. Kita akan menempel gambar pemain sepak bola dan kita akan berlangganan tabloid Bola. Kalau pemain kesayangan kita bertanding, seluruh emosi kita akan dibawa dalam suatu kekhusyukan menyaksikan pertandingan itu. Kita akan mampu bangun tengah malam hanya karena kita tahu bahwa malam itu akan ada suatu pertandingan sepak bola. Karena kita mencintai sepak bola, maka seluruh perilaku kita dipengaruhi oleh sepak bola.

Jika Anda mencintai Michael Jackson, maka Anda akan berusaha untuk membeli segala sesuatu yang berkaitan dengan Jackson. Tidak hanya itu, Anda juga akan berusaha untuk meniru segala perilaku Jackson. Mulai dari rambut, jaket, sampai sepatu, Anda akan mencari yang mirip dengan yang dikenakan pujaan Anda itu.

Jadi, anta ma’a man ahbabta. Jiwa Anda akan beserta jiwa orang yang Anda cintai. Rasulullah saw menganjurkan kita untuk mencintai beliau dan ahli baitnya. Karena bila kita mencintainya dengan tulus, maka perilaku kita akan sesuai dengan perilaku Rasulullah saw dan keluarganya. Kita akan bertingkah laku seperti apa yang dikehendaki Rasulullah. Seluruh kejadian yang menimpa Rasulullah dan keluarganya akan mempengaruhi emosi dan perasaan kita.

Kita sering mendengar orang berkata, “Kita harus meniru sunnah Rasulullah saw.” Meniru sunnah Nabi tidak bisa diajarkan lewat khutbah. Itu harus diajarkan lewat kecintaan kepada Rasulullah. Jika kita mencintainya, maka secara otomatis kita akan meniru segenap tingkah lakunya. Kita akan mampu meniru perilaku Rasulullah saw. Bila riwayat Rasulullah saw diceritakan, hati kita akan terbawa di dalam kekhusyukan ketika kita mendengarkannya.

Karena itulah kita memahami mengapa kecintaan terhadap Rasulullah saw dan keluarganya menjadi asas dari Islam. Karena kalau kita membenci Rasulullah dan keluarganya, maka seluruh bangunan keagamaan kita itu runtuh. Kita tidak bisa lagi meniru Rasulullah saw. Sukar bagi kita untuk berperilaku seperti perilaku Rasulullah.

Seseorang dengan mengutip Shakespeare berkata, “Love is like a gentle rain. Cinta itu seperti air hujan yang turun dari langit. Ia turun di mana saja yang ia kehendaki. Jadi kita tidak bisa menyuruh orang lain untuk mencintai sesuatu. Karena cinta tidak bisa diarahkan dan diajarkan.” Saya kira dalam hal ini Shakespeare keliru. Pertama, hujan tidak selalu jatuh pada tempat yang tidak terduga atau yang ia kehendaki. Hujan jarang jatuh di padang pasir. Jatuhnya hujan dapat kita prediksikan. Kedua, cinta itu dapat dibina. Cinta bisa ditanamkan. Salah satu cara menanamkan kecintaan kita kepada Rasulullah saw ialah dengan berusaha mengenal riwayat Rasulullah. Salah satu peribahasa Jawa, yang terkenal kebenarannya secara ilmiah, berbunyi, “Witing tresno jalaran soko kulino. Permulaan kasih itu karena kita mengenal.” Peribahasa itu terbukti benar. Kita cenderung mencintai hal-hal yang kita kenal dengan baik. Jika Anda mengenal seekor kucing yang sering datang ke rumah Anda setiap pagi, dan satu saat kucing itu mati, maka Anda pasti akan merasa sedih.

Kecintaan tumbuh karena kita mengenal. Kita harus mengenal riwayat, akhlak, dan perjuangan Rasulullah saw dan keluarganya. Bila kita tidak kenal, kita tidak akan menyenanginya. Karena itu, usaha orang munafik dan orang kafir untuk merobohkan tonggak Islam ialah dengan memperkenalkan Rasulullah saw dan keluarganya dengan cara-cara yang jelek supaya kita tidak mencintai Rasulullah. Lihat saja buku-buku karya para orientalis terdahulu tentang Rasulullah saw. Mereka menceritakan Rasulullah dengan luar biasa buruknya. Seorang penulis Prancis menjuduli karyanya dengan Muhammad, Sang Penipu Besar. Dante Alighieri, penulis Divina Comedia, menceritakan dalam karyanya tentang Muhammad yang ia temukan di dasar neraka. Mereka berusaha dengan sistematis untuk mendiskreditkan Rasulullah saw. Karena bila umat Islam sudah hilang kecintaannya kepada Rasulullah, maka runtuhlah seluruh tonggak agama itu. Kita hanya akan berperilaku seperti Rasulullah bila kita mencintainya. Dalam sejarah Islam juga muncul riwayat-riwayat yang mendiskreditkan Rasulullah. Misalnya hadits tentang Rasulullah yang bermuka masam dan berpaling dari orang buta sampai Rasul ditegur oleh Allah swt.

Sebuah hadits lain menceritakan datangnya seorang sahabat yang mencintai Rasul ini agak berbeda. Ketika seseorang mendatangi Rasulullah saw dan berkata, “Ya Rasulullah, aku mencintaimu.”, Rasulullah menjawab, “Maka bersiaplah engkau menghadapi ujian.” Cinta memang harus diuji untuk membuktikan ketulusannya. Dalam Ilmu Psikologi Cinta, ada yang disebut dengan ujian kecintaan. Jika seorang wanita tahu bahwa seorang lelaki mencintainya, tapi wanita itu ingin merasa yakin akan cinta sang lelaki, maka wanita itu akan melakukan suatu ujian akan kecintaan lelaki tersebut. Cinta harus diuji. Oleh sebab itulah ketika seseorang datang kepada Rasulullah seraya menyatakan cintanya, Rasul berkata, “Bersiaplah, engkau akan menghadapi ujian.”

Bila Anda telah menyatakan kecintaan Anda kepada Rasulullah saw dan keluarganya, bersiaplah untuk diuji dalam kehidupan Anda. Salah satu bentuk ujian itu ialah Anda akan dicerca, dicemooh, dimaki, dan difitnah. Ujian itu akan membuktikan apakah Anda bertahan atau tidak dalam kecintaan kepada Rasulullah saw dan keluarganya.

Jika Anda baca riwayat para pecinta Rasul dan keluarganya sepanjang sejarah, Anda akan menyaksikan ujian-ujian yang luar biasa yang mereka alami. Di zaman Muawiyah, selama 80 tahun keluarga Rasulullah dicaci maki di mimbar-mimbar. Orang yang tidak mau mencaci harus berhadapan dengan pihak penguasa. Misalnya yang terjadi dengan Hujur bin ‘Adi. Suatu saat, seorang khatib menutup khutbahnya dengan mengutuk keluarga Rasul. Hujur protes. Ia berdiri lalu mengutuk khatib itu. Hujur lalu ditangkap dan dikubur hidup-hidup. Pernah di zaman pemerintahan Al-Hajjaj, ketika Al-Hajjaj mengutuk keluarga Nabi di suatu masjid, orang-orang ribut dan tidak mau ikut mengutuk. Al-Hajjaj lalu memotong semua tangan jemaah masjid itu karena mereka tidak mau mencaci maki keluarga Nabi. Sampai ada satu tradisi waktu itu, bila orang ingin mencaci orang lain, ia memanggilnya, “Ya Ali!” Ali digunakan sebagai makian. Bahkan bila ada orang yang mempunyai nama Ali, maka ia akan dibunuh.

Sepanjang sejarah, para pecinta Rasul dan keluarganya itu dianiaya, disakiti, dan dibunuh. Seorang guru Umar bin Abdul Aziz adalah pecinta Rasul dan keluarganya. Tetapi ia menyembunyikan kecintaannya itu karena pertimbangan keselamatan dirinya. Satu saat, Umar kecil memaki saudaranya dengan menyebut, “Hai Ali! Hai Murtad!” Guru itu rupanya tidak tahan menyembunyikan kecintaannya. Ia panggil Umar dan berkata kepadanya, “Kamu tahu siapa itu Ali bin Abi Thalib yang kamu caci maki itu? Ketahuilah, dialah menantu Rasulullah. Dialah orang yang berbaring di ranjang Rasulullah ketika Nabi akan hijrah. Dialah orang yang tentangnya Rasulullah berkata, ‘Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya.’…” Dan mulailah guru itu bercerita tentang hadits-hadits mengenai keutamaan Sayidina Ali. Umar memberitahu-kan hal ini kepada ayahnya, khalifah waktu itu. Guru itu dipanggil. Karena dia meng-ajarkan kecintaan kepada keluarga Rasulullah lewat lidahnya, maka lidah guru itu digunting. Sesudah itu ia dibunuh di hadapan Umar bin Abdul Aziz. Umar mencintai gurunya dan ia merasa berdosa akan kejadian itu. Maka setelah ia dewasa dan menjadi khalifah, hal pertama yang ia lakukan adalah melarang orang mengutuk Ali bin Abi Thalib di mimbar-mimbar.

Sepanjang sejarah, keluarga Rasulullah saw dan para pecintanya dirusakkan nama dan kehormatannya. Sehingga bila Anda berniat untuk mencintai Rasulullah saw dan keluarganya, bersiap-siaplah untuk menghadapi bencana.

http://www.jalal-center.com/index.php?option=com_content&task=view&id=388

Tidak ada komentar:

Posting Komentar