Kamis, 26 April 2012

Syi'ir Doa Jawa Klasik Untuk Menolak Bala Dan Wabah Penyakit

Jakarta - Tembang ini pernah demikian populer saat saya masih kecil dahulu, konon katanya pencipta tembang ini adalah salah satu Wali songo. Nadanya yang syahdu dan penuh nasehat terasa nyaman dan menimbulkan kesan yang mendalam. Selain itu masih menurut kakek saya dan juga orang-orang tua di sekitar tempat saya tinggal tembang ini juga bisa menolak bala dan menyembuhkan wabah penyakit yang datang. Jika ada diantara anda yang lahir antara tahun 1950 - 1970 pasti tidak asing dengan tembang yang satu ini khususnya di pulau jawa karena biasanya dibuat syair atau pujian sebelum sholat dimasjid atau di surau (mushola).
Syairnya adalah sbb :

Likhomsatun uthfi biha harral wabaa il khatimah 
Al Musthafa wal Murtadha Wabnahuma wa Fathimah 2x 

Kulo gadah aji aji limo 
Kanggo mbukak lawange suwargo 
Kanggo nyirepi geni neroko 
Lan nyengkalani siksane Alloh. 2x 

Aji aji limo wujud manungso 
Linuwih ilmu sumber tulodo 
tindak lakune adoh saking olo 
Manah niate tansah waskito. 2x 

Kanjeng Muhammad Rosulillah 
Sayyidatun nisak siti Fathimah 
Sayyidina Ali karromallohu wajhah 
Putro kekalih Hasan lan Husain. 2x 

Poro malaikat podo sholawat 
Bumi lan langit sedoyo khidmat 
Jiwo limo kinasih Alloh 
Jiwo limo satruning doso. 2x 

Sinten kemawon kang nyolawati 
Kanjeng Nabi tansah nyafa’ati 
Marang liyane yen nrisnani 
Gusti Alloh bakal ngridhani. 2x 

Mboten bakal ketrimo sholate 
Yen mboten maos sholawate 
Imam syafi’i ngendika ake 
Niki bukti agunge drajate. 2x 

Nadyan ibadah sak umur-umur 
Amal ibadah ra keno diukur 
Marang limone yen ora akur 
Neroko panggone bakale njegur. 2x 

 Arti bahasa indonesianya kurang lebih demikian

Likhomsatun uthfi biha Kharral wabaa il khatimah 
Al Musthafa wal Murtadha Wabnahuma wa Fathimah 2x 

Saya memiliki lima pusaka, 
Untuk membuka pintu surga, 
Untuk memadamkan api neraka, 
Dan menolak siksanya Allah. 2x 

Pusaka lima berwujud manusia, 
Puncaknya ilmu (dan) sumber teladan, 
tingkah dan perilakunya jauh dari kesalahan, 
Hati dan akalnya selalu lurus. 2x 

Nabi Muhammad Rasulillah 
Sayyidatunnisak Siti Fathimah 
Sayyidina Ali karramallahu wajhah 
Dan kedua putranya Hasan dan Husain 2x 

Para malaikat Semua Bershalawat 
Bumi dan langit semua Berkhidmat 
Jiwa lima kekasih Allah 
Jiwa lima tidak pernah melakukan dosa (bermaksiat). 2x 

Siapa saja yang suka bershalawat, 
Baginda Nabi saw akan memberikan safa’atnya 
Untuk siapa saja yang mencintai mereka 
Allah akan selalu meridhainya. 2x 

Tidak akan diterima sholatnya 
Jika tidak membaca sholawat (kepada Nabi Muhammad dan keluarganya) 
Imam syafi’i pernah mengingatkan (tentang keutamaan Ahlul Bayt) 
Ini adalah bukti keagungan derajatnya (di sisi Allah swt). 2x 

Meski ibadah selama hidupnya 
Amal ibadah sebanyak-banyaknya. 
(Tapi) jika kepada kelima (manusia suci) itu (memusuhi) dan tidak mengikutinya 
Nerakalah tempat akan dimasukinya. 2x 

Download MP3 nya. mau ? Via PC Via HP


Thanks to http://deleteisrael.pun.bz/syiir-doa-jawa-klasik-untuk-menolak-bala.xhtml

Minggu, 22 April 2012

Benarkah Ada Tradisi Syi'ah di Kalangan Nahdliyin?

Masalah eratnya tradisi kaum nahdliyin dengan budaya kaum syi'ah telah banyak diperbincangkan. Saya sendiri lahir dikalangan budaya kaum nahdliyin yang sangat kental. Walaupun saya sendiri bukan berasal dari kalangan santri, namun kekentalan budaya nahdliyin begitu terasa. Masih ingat dengan jelas bagaimana meriahnya perayaan maulid di langgar atau masjid, pengajian-pengajian dalam rangka haul ulama atau para wali, semaraknya majelis barzanji dan diba' yang sering diadakan oleh jama'ah ibu-ibu. Semuanya terasa indah dan membekas di hati saya.
Sampai sekarang jika malam hari tiba, kemudian saya mendengar suara diba'an di masjid dekat rumah saya hati ini terasa tentram. Lantunan syairnya terdengar indah, walaupun saya tidak tahu artinya.  Akan tetapi saya bisa memastikan bahwa itu adalah syair puji-pujian kepada Nabi Muhammad dan keluarganya. Sering saya meneteskan air mata mendengar gemanya..
Ketika saya berada diperantauan, nun jauh di sebuah kota di Jawa Barat, saya jarang sekali mendengar lantunan barzanji atau diba' atau semacamnya.  Memang tempat tinggal saya relatif jauh dari masjid dan kebutulan masjid yang saya gunakan untuk sembahyang fardlu atau jum'at bukanlah masjid yang mempunyai majelis sholawatan. Saya terkadang rindu dengan gema sholawat dan syair puji-pujian seperti halnya dikampung halaman.
Ketika saya mendengar tuduhan bahwa tradisi sholawatan seperti itu adalah budaya syi'ah, saya merasa miris. Sebagai orang yang awam dibidang agama, tudingan seperti itu seperti mengiris hati saya. Dalam hati saya tidak rela. Yang terbayang adalah senyuman para ibu-ibu dikampung saya, derai canda anak-anak yang bahagia mengikuti semaraknya acara sholawatan. Tudingan bahwa hal itu adalah bid'ah sesat pun sebelumnya sudah sering saya dengar. Akan tetapi ketika dituding bahwa hal itu adalah budaya syi'ah membuat saya berontak dan benar-benar sakit hati. Sekali lagi ini karena keawamam saya saja, yang dulunya punya stereotip  bahwa syi'ah adalah sesat karena bukan ASWAJA, sehingga apapun yang berhubungan dengan tradisi keagamaannya adalah juga sesat. Sama halnya dengan tudingan bid'ah  karena majelis semacam sholawatan dan syair-syairnya tidak pernah ada apalagi dicontohkan olah Nabi sehingga apapun tradisi keagamaan yang tidak pernah ada, walaupun itu baik, tetap dikatakan bid'ah yang sesat.
Dibawah ini adalah sebuah tulisan yang saya ambil sepenuhnya dari majalah SYI'AR yang kebetulan memuat wawancara dengan DR. KH. Said Aqiel Siradj (sekarang Ketua Umum PBNU). Tulisan ini memberikan gambaran singkat namun jelas tentang Syi'ah dan budayanya serta relasinya terhadap tradisi NU. Sebagai seorang cendekiawan muslim, ulasan beliau cukup memberikan wawasan tentang bagaimana seharusnya sikap umat nahdliyin terhadap tudingan-tudingan yang sering muncul selama ini. Tulisan yang judul aslinya tentang "Ja'fari  Mazhab Resmi Islam ke-5" saya ambil penuh dengan tujuan sebagai penambah khazanah pengetahuan bagi umat muslim pada umumnya dan Nahdliyin pada khususnya. Semoga bermanfaat!! Jazakumullah Khoiron Katsiro kepada majalah Syi'ar.
  JA'FARI, MAZHAB RESMI KE-5 ISLAM
Bicaranya lugas khas kiai pesantren. Namun data dan istilah yang rancak terselip dalam kalimat-kalimatnya menunjukkan bahwa dia bukan sekadar kiai pesantren biasa, melainkan juga intelektual yang mengenyam pendidikan tinggi dan mempunyai pergaulan yang luas. Kyai Said, demikian sapaan akrab DR. KH. Said Aqiel Siradj.
Ditemui SYI’AR di ruangannya di kantor PBNU, ulama asal Palimanan, Cirebon, ini cerita banyak tentang kunjungannya ke Qatar, sikapnya tentang kerukunan antar-mazhab, kultur Syiah dalam NU dan penjabarannya tentang kondisi umat Islam Indonesia. Berikut kutipannya:
TENTANG SUNAH-SYIAH
Anda bisa ceritakan tentang pertemuan Qatar?
Saya diundang dalam pertemuan Suni-Syiah di Doha, ibukota Qatar, pada 20-22 Januari 2007. Tujuannya mempersempit atau memperkecil sudut pandang Suni-Syiah yang sudah barang tentu penting sekali.
         Pertemuan pada hari pertama memang panas. Terutama pihak Suni. Yusuf Qardhawi, Syekh Wahbah Zuhaili dan Syekh Ali Syabuni punya syarat bahwa mereka bisa bertemu apabila pihak Syiah menghentikan caci maki terhadap sabahat. Mereka tidak akan mau bertemu apabila Syiah masih mengatakan misalnya ‘laknat Allah’ kepada Aisyah karena Suni mengatakan ‘Semoga Allah meridhainya’.
          Kemudian yang sangat disayangkan dan juga dikritik oleh Syekh Yusuf Qaradhawi adalah penyebaran Syiah di kalangan Suni. Dia juga bilang Indonesia sebagai salah satu basis penyebaran Syiah dengan menyebarkan buku-buku terjemahan dan lain sebagainya.
        Lebih seru lagi, Syekh Qaradhawi di forum ini meminta Ali Taskhiri mengucapkan Aisyah radhiya Allahu anha (ra). Dan Syekh Ali Taskhiri mau melakukannya. Tidak berhenti di situ, dia juga minta semua utusan Iran mengucapkan hal yang sama seperti Ali Taskhiri. Ini kejadian yg sangat disayangkan dan sesungguhnya tidak perlu terjadi di forum yang mulia ini. Tetapi pada hari kedua sudah mulai cair.
       Hasil dari seminar itu, pada intinya, masing-masing pihak menghargai peranan masing-masing dan mengendalikan kalangan ekstrim dari masing-masing mazhab.
      Menurut Ali Taskhiri, di kalangan Syiah memang ada juga orang-orang yang ekstrim dan fanatik dan dengan tidak bertanggungjawab mencaci maki sahabat dan Suni. Demikian pula di Suni. Sementara NU sendiri tidak pernah mencaci maki Syiah. Tapi di kalangan Wahabi memang banyak yang ekstrim.
           Pada pertemuan itu, saya diberi kesempatan berbicara dua kali. Pada forum tersebut, saya mengajak kedua pihak untuk masing-masing menulis buku tentang pengakuan dan penghargaan Suni terhadap Syiah dalam membangun peradaban. Begitu juga Syiah, menulis buku tentang peranan Suni dalam membangun peradaban.
        Sebenarnya hal (pertemuan Suni-Syiah) ini sudah lama dilakukan oleh Syekh Syaltut dan Ayatullah Burujerdi. Hasil dari kesepakatan kedua tokoh tersebut adalah bahwa mazhab Ja’fari diajarkan secara resmi di al-Azhar. Bahkan salah satu keberhasilan tersebut adalah diakuinya mazhab Ja’fari sebagai mazhab resmi dalam Islam sebagaimana empat mazhab lainnya. Bahkan rektor Al-Azhar, Dr. Ahmad Thayyib, mengatakan banyak kaidah hukum yang diambil dari mazhab Ja’fari adalah sah, ketika tidak ditemukan pada empat mazhab. Walhasil, mazhab Ja’fari adalah setara dengan empat mazhab lainnya.
Hal apakah yang mendorong terselenggaranya pertemuan tersebut?
Saya kira pertemuan itu didorong oleh kondisi di Irak. Masing-masing menuduh. Suni menuding Iran menyuplai senjata. Demikian pula Syiah menuding kelompok Suni Irak mendapat senjata dari Saudi. Lepas dari masalah itu semua, perpecahan di Irak harus dihentikan. Para ulama di sana harus mengendalikan umatnya, karena bukan hanya sekadar perbedaan pendapat tapi juga sudah ribuan nyawa melayang di sana.
Apakah benar Iran di belakang konflik sektarian itu?
       Saya tahu ini rekayasa Amerika. Saya tahu sengaja dibangun opini bahwa ini adalah konflik mazhab Suni-Syiah. Padahal ini murni politik, toh dulu tidak pernah terjadi konflik seperti ini.
      Saya bisa tegaskan di sini bahwa Iran, selalu dan selamanya, membela Palestina. Padahal di Palestina tidak ada Syiah, semuanya Suni. Tapi Iran matian-matian sampai berkorban dan rela ditekan Amerika karena perjuangannya bagi Palestina. Karena itu harus dipahami Iran berdiri bukan hanya untuk Syiah, bukan hanya untuk partai, tapi juga untuk Islam.
Apakah pertemuan Doha itu memang khusus untuk masalah sektarian di Irak atau memang pertemuan reguler?
Pertemuan Doha ini terdorong karena keadaan di Irak. Kalau yang reguler adalah yang di Iran dan semua pihak diundang dalam pertemuan itu.
Walhasil, masing-masing pihak selalu ada yang ekstrim, dan itu salah. Di Syiah ada yang ekstrim mencaci maki Suni dan di Sunni juga tidak kurang atau kelewatan.
Waktu Imam Khomeini pulang ke Iran, terbit sebuah buku yg menghujat beliau kira-kira judulnya Ja’a Daurul Majus ‘Tibalah Saatnya Majusi Kembali’. Itu sudah keterlaluan.
Sebenarnya bila bicara masalah perbedaan mazhab, itu bukan konsumsi pasar. Bukan obrolan orang awam. Tapi kalau masing-masing sudah menyebarkan buku murahan dan saling caci maki dan menjadi konsumsi awam akan berbahaya sekali. Bahaya terhadap Islam.
Jadi siapa yang berhak menetralisir segala macam isu yang bisa memecah belah persatuan umat ini?
Ulama, dong. Seperti yang saya katakan tadi, Syekh Al-Azhar, Syekh Mahmud Syaltut, mengadakan pendekatan dengan Ayatullah Burujerdi yang kemudian berdampak besar, sampai akhirnya Mazhab Ja’fari resmi dianggap sebagai mazhab kelima, selevel dengan mazhab yang empat.
Apa isu Suni-Syiah demikian krusialnya sampai-sampai diadakan pertemuan Doha? Apa tidak ada isu lain?
Kenyataannya, sekarang (di Irak) sudah saling bunuh. Faktanya begitu. Dalang di belakang kejadian ini kita semua tahu. Juga isu senjata Syiah disuplai Iran dan senjata Sunni disuplai Saudi. Kita semua tahu siapa dalang sesungguhnya. Ini adalah kerjaan Amerika untuk memecah belah Irak. Tapi kan, beberapa ulama terpengaruh. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Syekh Qardhawi, Wahbah Zuhaili dan Ali Syabuni barangkali terpengaruh juga oleh isu ini.
    Seandainya kita bisa berbicara dengan jernih, kembali pada dasar yang paling prinsip, semua mazhab hakikatnya sama kecuali pada hal-hal yang furu’ (parsial). Kenapa kita bisa dialog dengan non-Muslim tapi tidak bisa dengan Syiah kalau tidak dibesar-besarkan oleh kepentingan politik?
TENTANG ISLAM DI INDONESIA
Ulama sedunia bisa bersatu mengenai isu Palestina. Tapi negara tempat ulama itu tinggal mempunyai policy yang berbeda. Bagaimana pendapat Anda?
Pertanyaan Anda mulai berkembang luas. Di Timur Tengah, pola pikir antara pola pikir agama dan nasionalisme belum selesai. Karena nasionalisme Timur Tengah itu universal. Banyak mengadopsi konsep Ernest Renan yang memisahkan gereja dan negara. Ketika di Eropa lahir bangsa-bangsa, sama sekali tidak ada pembicaraan tentang agama. Artinya tidak ada poin agama dalam konsep nasionalisme sehingga kaum Muslim menganggap bahwa nasionalisme adalah sekuler murni.
           Pada umumnya ketika Khilafah Islamiyah di Turki tumbang pada 1924, yang menghadapi penjajah adalah kaum nasionalis. Dan mereka berhasil. Di Mesir ada Muhammad Najib, dan lain-lain. Terakhir merdeka pada zaman Gamal Abdul Naser. Begitu pula di Chad, Mitcel Aflak, Partai Ba’ats, Hafez Asad. Di Irak ada Hassan Sadr, Saddam Hussain. Mereka adalah nasionalis sekuler yang berhasil mengusir penjajah.
     Setelah penjajah pergi, menurut masyarakat Arab awam, nasionalis gagal membangun pemerintahan. Buktinya juga gagal. Tidak ada persatuan yang permanen. Pernah ada republik persatuan Arab yang anggotanya Mesir, Libia dan Syiria tetapi umurnya hanya satu tahun. Jadi bangsa Arab putus asa dengan ide nasionalis. Gantinya adalah Islam garis keras (hardliner).
      Alhamdulillah, kita wajib bersyukur di Indonesia Islam dan nasionalisme bertemu. Dalam Pancasila, sila pertama agama dan sila kedua kebangsaan. Orang luar negeri heran, bentuk apakah itu. Sebab Islam kita khas, ala indonesia, nasionalisme- relijius. Boleh dikata, tidak ada orang nasionalis yang anti agama. Begitu pula tidak ada agamis yang tidak punya semangat nasionalis.
         Sejak berdirinya sampai sekarang, Nahdhatul Ulama juga kuat dengan konsep Negara Darussalam (negara damai), bukan Darul Islam, yang ditetapkan pada muktamar 1926 di Banjarmasin.
      Konsep Darussalam adalah negara yang mengaku semua komponen yang ada baik suku, agama dan budaya lalu digabungkan menjadi satu: negara Indonesia. Nah, nilai-nilai Islam itu ditransfer melalui semangat kebangsaan.
         Oleh karena itu, marilah kita isi kebangsaan ini dengan nilai-nilai agama, tidak usah dilegalkan, diformalkan, diresmikan menjadi konstitusi negara tapi cukup negara Pancasila, Republik Indonesia, bangsa Indonesia.
        Jadi peradaban bangsa ini kita isi dengan nilai-nilai agama dan agama harus amalkan dan diperkuat. Itu adalah komitmen Wahid Hasyim dan Muhammad Kahar Muzakir setuju mencoret Piagam Jakarta, asal spirit dari Piagam Jakarta masih ada dalam berbangsa ini yaitu mengamalkan ajaran Islam tetapi tidak usah dilegalformalkan.
Dalam pandangan politis, pencoretan piagam Jakarta itu karena lobi orang-orang Indonesia Timur yang akan melepaskan diri dari negara kesatuan Indonesia kalau ada negara Islam?
    Iya, saya sangat memahami itu. Tapi apa pun juga sebabnya, persatuan nasional, persatuan nusa dan bangsa harus diperkuat lebih dulu. Kita tidak usah berbicara tentang negara Islam karena itu pasti pecah. Sampai sekarang ini, kalau kita menjadikan negara Indonesia sebagai negara Islam maka akan terjadi perpecahan.
         Kita prioritaskan dan perkuat dulu persatuan negeri ini. Di dalam persatuan sebagai bangsa mari kita berlomba mengisi negara ini dengan nilai-nilai Islam.
       Contohnya begini, kalau di sana mereka membangun gereja maka kita harus membangun mesjid. Kalau di sana mereka membangun rumah sakit maka kita harus membangun rumah sakit pula. Nah, itu yang positif. Bukankah begitu? Kalau di sana mereka membangun rumah sakit, bukan rumah sakitnya yang harus dibakar. Kristen membangun gejera yang besar maka kita pun harus membangun mesjid yang besar pula. Orang Kristen membantu bencana alam maka kita pun harus begitu. Jangan sebaliknya, orang Kristen membangun gejara kok malah dibakar.
Bagaimana dengan apologi bahwa agama kita yang berasal dari Timur Tengah yang di sana sendiri agama dan nasionalisme belum bisa bertemu?
Begini, kita mempunyai dasar yaitu Piagam Madinah. Nabi Muhammad saw membentuk sebuah komunitas Muslim di Mekah selama 13 tahun. Itulah yang namakan Ukhuwah Islamiyah, ikatan persaudaran Muslim. Di sana, siapa pun yang non-Islam, walaupun dia adalah ayahnya, kakaknya, ibunya, saudaranya sekalipun bukan saudara. Sebaliknya, siapa pun yang Muslim adalah saudara. Yang Muslim saudara dan yang non-Muslim bukan saudara.
           Tapi ingat, itu di Mekah. Siapakah yang non-Muslim? Mereka adalah kaum musyrikin, paganis, yang tidak punya kitab suci, tidak punya budaya, tidak punya peradaban dan sebagainya. Yaitu yang Jahiliah.
        Kemudian Nabi saw pindah ke Yatsrib. Dinamakan Yatsrib karena yang membangun kota itu namanya Yatsrib bin Tsabit. Di sana kita menemukan sebuah masyarakat yang plural, ada Muslim Muhajirin, penduduk asli setempat (yaitu suku Aus dan Khazraj) dan masyarakat Muslim Anshar itu sendiri, serta tiga suku Yahudi (yaitu Bani Quraizhah, Bani Qainuqa dan Bani Nadhir).
        Ketika Nabi pindah ke sana, apa yang dilihat dan dihadapi berbeda pula. Muslim terdiri dari Muhajirin dan Anshar dan non-Muslimnya adalah Ahlulkitab Yahudi, bukan Musyrikin. Maka Nabi segera melakukan perjanjian damai yang menghasilkan surat kesepakatan Madinah yang ada di dalam kitab Sirah Nabawiyah yang ditulis oleh Ibnu Hisyam Anshari (juz. 2 hal. 219-222).
           Kesepakatan tersebut bertujuan untuk membangun sebuah kota yang beradab, yang di situlah akan ditegakkan kebenaran, hukum, kesetaraan, tidak ada diskriminasi, persamaan, keadilan, kesejahteraan dan sebagainya. Tidak pandang suku, agama dan lain-lain. Maka dalam piagam Madinah itu, tidak ada satu kata pun kata “Islam” dalam Piagam Madinah. Tidak ada kata “Islam”, tidak ada kata “Al-Quran”. Yang ada hanyalah keadilan, keamanan dan lain-lain.
           Poin pertama dalam piagam Madinah itu berbunyi, Innal mukminin min Quraisy, wa Yatsrib, wal-Yahud, waman tabi’ahum wa lahiqa bihim (Orang Islam Quraiys Madinah, orang Yahudi, dan siapa pun yang berkoalisi dengan mereka) innahum ummatun wahidah (mereka umat yang satu). Jadi jelaslah, masing-masing agama itu dipersilakan melaksanakan agamanya masing-masing.
   Terakhir, piagam ini ditandatangani (disepakati) untuk memberantas kezaliman atau untuk menghadapi kezaliman. Jadi apa pun suku dan agamanya pasti dia akan aman.
          Nah, Piagam Madinah itulah yang merupakan cikal bakal lahirnya konsep Tamaddun. Maka, Yatsrib diganti namanya menjadi Madinah al-Munawwarah yang berasal dari kata “Tamaddun” yaitu Masyarakat yang berperadaban dan sadar hukum, maju dan modern.
Tidak ada negara Islam, tapi negara Madinah. Saya bisa buktikan. Nabi Muhammad saw mau menerima hadiah dari seorang perempuan Mesir yang notabene Ortodoks Koptik, Maryah Qibtiyah, yang kemudian oleh Nabi dikasihkan kepada Hassan bin Tsabit seorang Kristen. Nabi juga menikahi seorang perempuan dari Yahudi, Hafsah bin Huyain.
         Bukti lain, ketika Umar bin Khaththab menjadi khalifah, orang-orang Kristen Syiria, Syam, Cyprus dan lainnya lebih suka berada di bawah Madinah daripada berada di bawah kekuasaan Romawi. Ini betul-betul sudah bertamaddun (berperadaban) .
       Nah, kalau selama 13 tahun di Mekkah Nabi telah membentuk komunitas Muslim yang diikat dengan Ukhuwah Islamiyah maka setelah Nabi pindah ke kota Yatsrib, Nabi membentuk Ukhuwah Madaniyah, yang kalau kita lihat berarti Ukhuwah Wathaniyah (Hubungan sebangsa dan setanah air).
     Terakhir, ketika Nabi mau wafat, beliau berangkat haji dan berkhotbah di Arafah. Pada khotbah itu Nabi hanya mengucapkan, “Ya ayyuhannas, wahai manusia! Sesungguhnya nyawa, harta, dan martabat manusia itu suci mulia, seperti sucinya hari wukuf, bulan haji ini dan Batiullah di Mekkah.”
        Bukan wahai umat Islam, wahai Umat beragama, wahai Umat Semesta alam. Tapi wahai manusia! Di sini, Nabi Muhammad ingin menyampaikan Ukhuwah Insaniyah, persaudaraan sesama manusia. Setelah itu 84 hari setelah itu Nabi Muhammad wafat.
        Jadi, Nabi membangun Ukhuwah Islamiyah di Mekkah 13 tahun dan ditingkatkan di Yatsrib menjadi Ukhuwah Wathaniyah (nasionalis, nasionalis yang Wathaniyah, yang tamaddun, menjalankan kebenaran, keadilan dan bukan monotheisme) .
         Dan yang terakhir Nabi bangun adalah Ukhuwah Insaniyah. Untuk ukhuwah yang terakhir ini, orang musyrik, Yahudi, Budha dan Hindu pun semuanya masuk. Semua nyawa, harta dan martabat manusia harus dihargai. Karena dia merupakan Hak Asasi Manusia. NU sendiri memiliki tiga Ukhuwah itu: Ukhuwah Islamiah, Ukhuwah Wathaniah (yang diadaptasi dari Madinah), dan Ukhuwah Insaniah.
TENTANG TEOLOGI KERUKUNAN
Pelajaran apa yang bisa kita ambil seiring dengan berkembangan Pluralitas dan Multikultural saat ini?
          Satu, kita harus memahami watak orang Irak. Sejak dulu mereka susah dipersatukan. Masyarakat Irak pernah bersatu ketika ia dipimpin oleh seorang diktator yaitu Hajjaj bin Yusuf Tsaqafi. Setelah itu selalu saja ada ajang pertikaian.
         Irak modern sekarang ini adalah mayoritas Suni kalau dilihat dari Kurdi non-Arab dan mayoritas Syiah kalau dilihat dari Arabnya saja. Jadi (mayoritas) Arab Irak itu Syiah, sedangkan Arab Irak Suni sedikit. Tapi kalau menghitung Kurdi yang non-Arab maka Suni menjadi mayoritas.
      Kita berkata terus terang: ayo, Anda mau berangkat dari mana, yang mau ditilik darimana? Bila qaumiah Arabiah (Nasionalisme Arab), maka yang akan jadi mayoritas adalah mayoritas Syiah. Untuk Suni sendiri, dia harus memasukkan suku Kurdi. Masalahnya, suku Kurdi sendiri mazlum (tertindas) selama kekuasaan Saddam Hussain.
        Satu-satunya presiden yang membunuh rakyatnya sendiri dengan senjata massal, terlepas adanya oposisi atau tidak, hanyalah Saddam Hussain. Di Halabja, jangankan suku Kurdi, ayam, bebek dan unggas lain yang tak tahu menahu pun, semuanya pada musnah.
          Banyak juga presiden yang membunuh rakyatnya sendiri secara massal tapi tidak dengan senjata pemusnah massal seperti yang dilakukan oleh Saddam Hussain.
      Jadi Saddam Hussain lah yang pertama kali menggunakan senjata pemusnah massal untuk membunuh rakyatnya sendiri. Korbannya ada yang menyong mulutnya, ada yang kulitnya terkelupas dan lain sebagainya. Yang selamat pun mengalami cacat.
Dalam konteks Indonesia, pelajaran apakah yang kita bisa ambil dari konflik Irak sekarang?
          Kita telah sepakat sejak dulu bahwa negara ini adalah negara Darussalam, negara yang aman dan damai. Bagaimanapun bangsa kita ini memiliki ciri dan tipologi tersendiri dengan menggabungkan atau mensinergiskan antara sila pertama dengan sila kedua, yaitu agama dan kebangsaan. Di negara lain nggak ada. Itulah kelebihan kita. Tinggal kita pelihara dan jaga saja. Konflik yang ada di negara kita ini, terus terang saja, awal mulanya ada yang bikin.
Pada awal tadi, negara tidak boleh mengurusi masalah keyakinan umat beragama. Itu adalah urusan para ulama. Tapi pendapat Anda sekarang, negara perlu campur tangan?
     Begini, negara itu hanya berperan menerima, menampung, dan melaksanakan aspirasi rakyat melalui ulama karena ulama adalah wakil rakyat yang sebenarnya (informal leader). Ulama menampung aspirasi rakyat, ulama sebagai jembatan yang membuat progress dengan state (negara).
Bagaimanakah dengan sikap negara yang melakukan standarisasi agama, ada agama resmi dan agama tidak resmi?
        Itulah problem kita yang harus dibicarakan dengan panjang lebar. Idealnya memang tidak perlu sejauh itu. Tapi untuk mengendalikan keadaan sementara, barangkali sekarang itu masih dibutuhkan. Toh, sejak Gur Dur menjadi presiden, hal itu telah dibuka lebar. Sekarang Kong Hu Chu dijadikan agama resmi. Sekalipun di Depag belum tercatat secara resmi, tapi mereka bisa secara bebas merayakan Imlek dengan Barongsai laksana 17 Agustusan dan Imlek dijadikan hari libur nasional.
Gus Dur membela dan melindungi agama-agama minoritas seperti Kong Hu Chu. Apakah ini juga sikap resmi kaum Nahdhiyyin?
       Yang namanya mayoritas itu harus membela dan melindungi yang minoritas. Ada perkembangan baru yang luar biasa ketika Nabi Muhammad saw menganggap Yahudi itu Ahlulkitab.
          Ketika Sayidina Umar menjadi khalifah, dia masuk ke Persia dan menjumpai kaum yang baru ditaklukkan di sana yang beragama Majusi atau ash-Shabi’ah, penyembah bintang itu. Bagaimanakah ini? Apakah mereka sama dengan musyrikin dan kafir? Keputusannya, mereka adalah Ahlulkitab. Luar biasa ijtihad Umar itu. Dalil Qurannya, “Walladzina amanu, wa Hâdu wash-Shabi’in, man amana billahi”. Jadi mereka adalah monoteis.
Bagaimana pandangan Anda tentang MUI?
MUI itu didirikan di masa Orde Baru, sama dengan KNPI. Kita husnu dzan saja ya. Waktu itu ia bermanfaat sebagai forum antar-mazhab yang mewakili kelompok Islam. Itu okelah. Tapi sekarang masanya sudah berubah. Kita harus tanyakan: Apakah MUI itu? Dikatakan ormas, jelas bukan. Karena MUI tidak punya massa.
Apakah dia semacam Darul Ifta’ (Lembaga Fatwa)?
Kalau dia Darul Ifta’, ya nggak usahlah besar-besar seperti itu. Cukup 10 kyai dari berbagai mazhab yang duduk di situ, ditambah 4 atau 5 orang sekretaris, sudah cukup. Seperti Mahkamah Konstitusi atau Lembaga Kehakiman. Sampai sekarang payung hukumnya belum jelas.  
NU dikenal sebagai kelompok konservatif dan Muhammadiyah modernis. Sehingga NU bisa dikatakan memiliki ikatan emosional dengan tradisi-tradisi atau agama-agama lokal seperti Islam waktu telu dan Sunda wiwitan. Bagaimana pendapat Anda ?
Kita tetap harus berdakwah tentang Islam yang sebenarnya kepada mereka. Ada prinsip-prinsip ma’lum min ad-din bidh-darûrah (yaitu ada prinsip agama yang tidak bisa ditawar), seperti rukun Islam itu ada lima, rukun iman itu ada enam, Nabi Muhammad itu Nabi terakhir, al-Quran itu wahyu terakhir. Masalah rincian yang parsialnya silakan berbeda.
Kalau begitu, dari berbagai mazhab di Indonesia yang keras dan yang lunak itu, kira-kira perekatnya apa?
Tetap. Kalau mereka mereka masih meyakini rukun Iman dan rukun Islam, mereka masih dikategorikan Islam.
Soalnya masih ada kelompok yang masih mempermasalahkan masalah-masalah yang kecil-kecil begitu…
Gak apa-apa, masalah-masalah itu justru merupakan dinamika kita dalam bermasyarakat. Yang tahlil, yang nggak tahlil, yang salat tarawih 20 atau 8 rakaat itu dipersilakan.
       Masih ada yang menyesatkan dan mengafirkan orang tanpa dasar. Padahal mereka tahu bahwa kelompok yang mereka kafirkan itu masih mengimani Allah, al-Quran dan sebagainya?
      Kalau begitu nggak akan pernah ketemu. Jangankan dengan non-Muslim, dengan sesama Muslim pun, baik yang Persis, NU, Muhammadiyah, atau pun Syiah, tidak akan ketemu kalau itu masih dipersoalkan.
    Ada kalangan yang berpendapat bahwa karena mayoritas Indonesia itu Islam dan tradisinya adalah tradisi Muslim itu maka formalisasi syariat Islam melalui Perda-perda syariat Islam akan semakin menguatkan posisi Islam Indonesia. Pandangan Anda?
    Pertama-tama, yang Anda harus ketahui, berapa persen masyarakat Indonesia yang familiar dengan al-Quran? Yang melek sejarah Islam saja, berapa persen? Paling-paling Cuma 12% yang bisa baca dan familiar dengan al-Quran. Kita ini masih dalam marhalah (fase) dakwah, masih jauh dari Islam yang sebenarnya kita inginkan.
       Yang kedua, (bila ada) teman-teman kita yang kembali ke gerakan salaf, itu bagus dan harus, sebab di dalam hadis dikatakan, “Khairu qurun, qurni tsummal ladzina yalunahum” (sebaik-baik masa adalah masaku dan masa-masa setelahku).
       Tapi contoh (gerakan salaf) bukan berarti memelihara jenggot dan bercelana di atas mata kaki. Kalau sekadar ingin berjenggot atau bercelana seperti itu, ya silakan.
        Kita harus mengetahui bahwa tiga abad pertama Islam itu adalah masa-masa kejayaaan dan keemasan, yaitu masuknya tsaqafah (kebudayaan) hadharah (peradaban), ilmu pengetahuan, ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu tajwid, ilmu qiraat, ilmu nahwu, sharaf, balaghah, kedokteran, astronomi, dengan tokoh-tokohnya: Ibnu Sina, al-Farabi, al-Kindi, al-Khauqa, al-Idrisi yang ahli ilmu bumi. Semua terjadi di abad ketiga Hijriah, di samping Syafi’i, Maliki, Hambali, Hanafi, Bukhari, Muslim.
        Jadi, kalau kita mau bicara kembali ke salaf, ayo, saya setuju, tapi ilmunya (peradabannya) bukan hanya simbol sorbannya, jenggotnya dan juga celana yang di atas mata kaki itu. Ayo kita kembali membangun kejayaan Islam seperti salaf.
TENTANG MAULID NABI SAW
     Salah satu bentuk kembali ke salaf yaitu mengagumi Nabi Muhammad saw. Tapi mengapa dalam tradisi Muslim, hanya kelahiran Nabi yang diperingati, sedangkan hari wafat ulama diperingati?
        Karena Nabi Muhammad lahir sebagai rahmat bagi seluruh alam, begitu lahir pun sudah menjadi rahmatan lil ‘alamin. Kalau manusia biasa selain Nabi, tidak diketahui akan menjadi apa kelak anak tersebut. Nah, setelah hidupnya terbukti bahwa dia adalah seorang yang alim, barulah wafatnya diperingati.
Kenapa haulnya Nabi tidak diperingati, hanya lahirnya saja?
          Karena sejarah dan pujian-pujian dalam syar-syair itu pun hanya pada hari lahirnya saja. (Dikatakan) bahwa Nabi lahir dengan penuh lautan cahaya dan membawa kebebasan, mengangkat derajat manusia, mengubah tatanan dunia. Yang disebut-sebut itu lahirnya dan bukan haulnya.
         Dalam syair-syair seabrek-abrek disebutkan tentang kelahiran Nabi seperti yang terdapat di dalam Diba, Barzanji dan Burdah, Simtu Durar. Kalau Orang-orang mau menggubah syair atau sastra puji-pujian, yang ditekankan adalah kelahiran Nabi yang membawa rahmat.
Kalau haul ulama?
            Meniru keteladanannya, itu sebenarnya. Haul Sunan Gunung Jati, misalnya, diperingati karena beliaulah yang berjasa besar membawa Islam dan mengislamkan seluruh Jawa Barat ini. Termasuk wilayah Jayakarta, Banten, Sunda, dan Cirebon. Semuanya menjadi Muslim dan mengalahkan kerajaan Pajajaran pada waktu itu.
Mengapa penghinaan kepada sosok Muhammad mendapat reaksi yang sangat keras dibanding penghinaan kepada Allah Swt atau Tuhan?
      Saya tidak akan menjawabnya secara renci. Begini, kalau ada yang mengaku dirinya tuhan, dengan sendirinya dia segera tertolak mentah-mentah oleh semua orang yang waras akalnya. Bisa terjadi ada beberapa atau sejumlah orang akan percaya dengannya. Penghina tuhan akan kualat dengan sendirinya karena Tuhan tetap saja Tuhan.
           Berbeda halnya ketika ada orang yang mengaku nabi itu, kita akan memprotes keras. Misalnya Nabi dikritik karena poligaminya. Sebenarnya Nabi melakukan itu sebagai siasat perang. Perlu penjelasan dan pemaparan khusus akan hal ini.
Kenapa perayaan Maulid Nabi di masyarakat NU itu lebih meriah dan lebih simbolis ketimbang di masyarakat Muhammadiyah?
        Karena di sini ada budaya Syiah. NU menerima budayanya, bukan fikih atau teologinya. Budaya Syiah itu ya mencintai Nabi dan Ahlulbait. Di dalam bait-bait syair Barzanji tidak ada yang memuja dan nyanjung Abu Bakar, Umar dan Usman. Nggak ada.
         Contohnya, “Kami mempunyai bapak yang sangat kami cintai, yaitu Muhammad, kami punya Ali al-Murtadha, kami punya as-Sibthain (Hasan dan Husain), kam Imam min ba’da khalafu (dan imam-imam setelahnya) seperti Ali Zainal Abidin, anaknya Muhammad al-Baqir, sebaik-baiknya wali, dan putranya ash-Shadiq (Imam Ja’far Shadiq) dan putranya Ali Ridha, begitu lho.
       Jadi budaya Syiah masuk ke NU. Bahkan budaya Syiah pun masuk pesantren. Contohnya penghormatan kepada kyainya. Kalau kyainya meninggal maka yang menggantikannya adalah anaknya sekalipun secara kualitas sangat jauh berbeda. Soalnya keilmuannya, ya dia akan bisa mendapatkan dari guru-gurunya yang lain.
Kalau banyak berasal dari kultur Syiah, apakah masyarakat yang sadar akan beralih ke gaya mencintai Nabi ala Muhammadiyah?
Nggak. Silakan Maulid Nabi dan Dibaan itu dikritik, tetap saja nggak bisa hilang dari kami. Malah yang kritik itu sendiri yang terpental.
Mengapa?
     Sebab Allah Swt sendiri yang memuji beliau. Dalam al-Quran, “Innaka la’alâ khuqin azhîm”. Dan kita punya keyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah pemberi syafaat sebagaimana yang tercantum di dalam hadis-hadis sahih. Orang-orang yang banyak dosanya, kalau mereka berziarah kepada Nabi Muhammad dan beristigfar, dan Nabi sendiri memintakan ampunan, pasti mereka akan diampuni dosa-dosanya. “Walau annahum zhalamû anfusahum jâ’ûka fastagfaruhumullah wastagfaruhumur- rasul. Lawajadûllaha tawwabar-rahima.”
       Ada yang bertanya, apakah Nabi Muhammad saw masih hidup sampai sekarang? Jawabannya, ya. Nabi masih hidup sampai sekarang. Buktinya, “Assalamu ‘alaika” dalam tahiyat salat, “‘alaika” berarti beliau masih hidup.
       Jadi, mereka yang datang ke kuburan jasad Nabi (di Madinah) lalu dia beristigfar dan Nabi memantau istigfar kita kepada Allah, maka Allah akan pasti akan mengampuni dosa-dosanya.
TENTANG KULTUR SYIAH
Suni plus kultur Syiah ini, apa hanya khas di NU saja ataukah ada di tempat lain juga?
      Tidak. di Mesir Maulid Nabi semarak sekali, ada tahlilan dan tawasulan. Begitu pula di Maroko. Di Saudi nggak semua (mengharamkan) , hanya Najd dan Riyadh saja. Orang-orang Hijaz dan Madinah masih (membaca) Barzanji segala macam.
     Pada dasarnya umat Islam yang ada di Nusantara ini pada umumnya, terutama NU, berhutang budi banyak terutama kepada Ahlulbait yang telah menyebarkan Islam di Nusantara sejak dahulu kala. Kita semua tahu bahwa beberapa Wali Songo itu rata-rata keturunan Ahlulbait. Karena itu budaya Ahlulbait, budaya Syiah, mempunyai kesamaan dengan budaya Islam Indonesia. Seperti tawassul kepada Sayidina Ali dan Ahlulbait lainnya. Doa-doa seperti hizib yang dibaca oleh orang-orang kampung itu dimulai dengan (mengirim) surah Al-Fatihah kepada Rasulullah dan Ahlulbait.
Tapi tradisi-tradisi seperti itu mulai menghilang dengan datangnya Wahabisme dan modernitas?
Pilar pertahanan Islam adalah budaya. Selama masih ada tahlilan, Diba, Barzanji, puja-puji kepada Rasulullah saw tidak bisa dihilangkan. Partai politik dan ormas bisa dihilangkan atau dilarang, tetapi budaya tidak bisa dihilangkan.
Hati umat Islam Indonesia dan dunia sudah terpatri dengan kecintaan kepada Rasulullah dan Ahlulbaitnya secara mendalam, terlepas dia itu Suni atau Syiah. Semuanya mencintai dan menghormati Ahlulbait.
Di Indonesia ada syair yang dibacakan kalau ada yang tertimpa musibah atau penyakit menular, yaitu: “li khamsatun utfi biha harral wabai hatimah, al-Mustafa wal murtadha wabna huma wa Fathimah” (Saya mempunyai lima orang yang bisa menolak bala yaitu yang pertama, al-Mustafa Muhammad, yang kedua al-Murtahda Ali, dan kedua anakanya Hasan dan Husain, serta yang kelima Fathimah). Itu dibacakan oleh orang-orang kampung. Luar biasa. Selama itu masih dibaca, selama itu pula budaya Syiah masih ada di Indonesia.
Dengan kata lain, Anda ingin mengatakan bahwa Wahabisme tidak bisa masuk ke dalam tradisi NU?
Ya. Silahkan mereka membuat yayasan di mana-mana, tetapi karena sudah jadi budaya itu tidak akan lepas dari NU.
Bagaimana kasus komunitas Syiah di Bondowoso yang diisukan dekat dengan NU?
Itulah yang sangat disayangkan. Saya menghimbau dan mengharapkan kepada teman-teman aktivis Syiah, jangan sekali-sekali memformalisasikan mazhab. NU tidak pernah memusuhi Syiah. Mungkin malah sayang Syiah. Tapi bagaimanapun NU kan Suni yang beraliran Asy’ari dan di bidang tasawufnya adalah al-Ghazali.
Jadi, jangan sekali-kali menonjolkan formalitas mazhab. Hubungan kita dengan Ahlulbait (Syiah) sudah sangat indah sekali, tidak bisa dilepaskan atau dijauhkan antara keduanya.
Orang-orang awam belum mengetahui sejauh mana budaya Syiah itu. Hanya kita-kita yang berpendidikan sajalah yang memahami semua hal itu. Memformalkan Syiah hanya akan merugikan kita semua.
Bagaimana dengan transfer khazanah keilmuan dari Persia ke budaya Indonesia?
      Sangat luar biasa. Contohnya, huruf terakhir kata Arab yang diserap dalam Bahasa Indonesia yang berakhiran “h” dibaca “t”, seperti “surat”. Ini adalah budaya Persia.
       Ada lagi budaya Persia yang masuk ke dalam budaya Indonesia. Kalau kita membaca al-Quran, misalnya “Hudan lil-muttaqin” , maka (di akhir ayat pendengar) akan dijawab dengan “Allah” (dengan nada panjang dan lembut). Itu merupakan budaya Iran yang mencirikan kelembutan khas Iran.
     Mesir tidak begitu. Kalau mereka mendengar kata “Hudan lil-muttaqin” dibacakan maka mereka akan menjawab “Allahu Akbar” (dengan suara lantang). Kalau mereka mendengar orang membaca al-Quran dengan merdu kemudian tersentuh hatinya, seperti bacaan Syekh Abdul Basith, maka mereka akan berucap “Allah” (dengan keras).
Konflik antar mazhab semakin mengeras semenjak Wahabisme muncul. Bagaimana NU memahami Wahabi?
      Saya memahami Wahabi bagian dari Suni, tetapi Suni versi Mazhab Hambali. Hambali sendiri adalah di antara empat (mazhab) yang paling keras. Hambali ini pun kemudian ditafsirkan oleh Ibnu Taimiyah sehingga menjadi lebih keras. Operasionalnya dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, menjadi semakin keras lagi dibandingkan dengan kepala induk dari mazhab ini sendiri. Salah seorang imam yang paling keras adalah Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab lebih keras lagi daripada Ibnu Taimiyah.
Apakah yang Anda bisa simpulkan dari fenomena ini?
       Kesimpulannya yang ingin saya sampaikan adalah bahwa Islam datang ke Indonesia dulu bil hikmah wal mau’izhah wal mujadalah. Dengan penuh hikmah (wisdom), akhlakul karimah, budaya, mauizhah (ceramah yang bagus), dengan diskusi dan debat yang ideal dan bagus. Semua itu dilakukan oleh Ahlulbait dan diteruskan oleh para mubalig dan para Kyai.
       Konon ada beberapa kyai yang keturunan Ahlulbait, tapi gelarnya dikesampingkan dan ditutupi. Saya sendiri, katanya, ada (garis) keturunan dari Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati. Kyai Sahal Mahfudz keturunan Sunan Kudus. Dan apalagi Gus Dur keturunan Sunan Ampel. Semua itu kembali kepada Ahlulbait. Orangtua-orangtua kita menghapus atau tidak menyebutkan al-Haddad, al-Habsyi dan sebagainya. Semua leluhur saya bliang begitu. Kakek saya semuanya keturunan Ahlulbait.
        Kesimpulan kedua, karena dakwahnya bil hikmah, maka budaya itu menyatu dengan kehidupan kita sebagai orang Islam melalui salawatan, puji-pujian dan melalui doa-doa. Jadi kita tidak bisa dipisahkan dengan budaya Ahlulbait. Sekali lagi, budayanya lho, bukan akidah atau politiknya.
          Cara berpikir Syiah boleh kita ambil meskipun kita berfikih Syafi’i dan berakidah Asy’ari. Lama-lama ini akan menjadi sebuah budaya dan nggak usah ditutup-tutupi.
      Di Indonesia juga ada tradisi Asyura (seperti upacara Tabut di Padang dan itu adalah budaya Syiah) juga tradisi mencintai Imam Ali. Semua orang tahu bahwa Sayidina Ali adalah seorang yang hebat dan mulia. Semua ini sudah menjadi sebuah budaya yang turun temurun yang diciptakan di komunitas masyarakat Islam Indonesia.
TENTANG BUDIDAYA TASAUF
Apabila bentuk-bentuk keagamaan yang simbolis malah meruncingkan perbedaan antar mazhab, bisakah tasawuf atau mistisisme menjadi titik temu?
         Mistisisme merupakan titik temu dan muara dari segala agama, bukan saja antara Islam dengan Islam saja tetapi di luar agama Islam. Seperti inilah yang dipraktikkan tasauf. Tidak ada orang yang tidak suka terhadap nilai-nilai keindahan akhlak seperti sabar, tulus dan sebagainya.
     Nggak ada orang yang menolak semua nilai itu meskipun kalangan Kristen, Hindu dan Budha dan Kong Hu Chu. Semua (ajaran) mengarah ke sana, kan? Karena dia merupakan puncak dari moralitas dan spiritual. Jadi dengan ini, kita bisa mempertemukan antara agama bukan hanya antara mazhab saja.
         Mempertahankan tasawuf hanya berarti melalui tradisonalisme, sedangkan tradisi itu adalah masalah utama masyarakat neo-modern. Bisakah kalangan muda NU eksis di dalamnya?
Begini, yang namanya budaya atau tradisi itu berangkat dari kampung. Kemudian kita membawanya ke kota dan di sana kita angkat ke atas (permukaan). Ia (tradisi tasauf itu) boleh dikritik, diperbaiki dan ditambal kekurangan-kekurang annya.
Apakah hal itu tidak malah menghancurkan basis-basis tradisi yang ada di desa?
Tradisi itu kan berasal dari desa (kampung). Akarnya budaya itu berasal dari desa. Saya tidak bisa lepas dari budaya dan tradisi desa di mana saya berasal. Anda yang Sunda juga pasti dia tidak akan bisa lepas dari budaya Sunda yang Anda bawa dari desa ke Jakarta. Karena itu di mana pun Anda berada pasti unsur atau pola pikir Sundanya nggak akan hilang. Yang dari Madura juga tidak akan hilang. Di situlah, silahkan kalau ada kritik atau perbaikan, yang penting tidak bertabrakkan dengan kalimat La Ilaha illa Allah, Muhammad Rasulullah.
Salah satu menanamkan nilai-nilai adalah lewat peringatan-peringat an, dan itu juga menjadi momentum persatuan umat.
      Ya. Dulu Maulid Nabi dimulai pertama kali oleh Khalifah Mu’idz Lidinillah, khalifah Fathimiah, salah satu khalifah keturunan Abdullah dari Tunisia tahun 363 H. Dia lalu masuk Kairo dan mengalahkan Ahmad bin Thulun. Khalifah Mu’idz kemudian menyatukan umat untuk merayakan Maulid Nabi secara besar-besaran.
        Dia kemudian mendirikan sekolah al-Azhar dengan nama Jauhar ath-Thaqul, lalu membangun kota Qahirah (Kairo) hingga kemudian dikalahkan oleh Dinasti Mamalik dan kemudian oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
         Artinya, seremonial-seremoni al seperti itu bisa menyatukan umat, dan menyatakan kepada umat bahwa kita memiliki seorang pemimpin yang namanya Muhammad dan kita harus mengikuti ajaran dan dakwahnya. Hal ini, sama halnya dengan kita memperingati hari 17 Agustus, untuk memperingati bahwa dulu bapak-bapak dan orangtua-orangtua kita telah mengorbankan nyawa, harta dan pikirannya demi kemerdekaan dan membangun Negara Indonesia yang tercinta ini. Adapun bentuk seremonialnya bisa disesuaikan dengan aneka kebudayaan umat yang ada, seperti di Yogyakarta misalnya dengan cirinya sendiri, di Cirebon dengan cirinya sendiri dan di Mesir pun akan lain lagi.
TENTANG MENGAJARKAN CINTA NABI Berarti harus adanya pentradisian di dalam keluarga?
Ya.
Bagaimana kiat Anda dalam mendidik keluarga agar mencintai Nabi dan Ahlulbaitnya?
         Setiap pagi anak-anak saya mendengar bapaknya melantunkan bait-bait Burdah. Pasti lama-lama mereka pun akan ikut juga. Saya hafal Burdah, Barzanji dan Diba. Nazham-nazhamnya saya hafal, Asyraqal Badru ‘Alaina, dan yang lain-lainnya juga saya hafal. Begitu juga, ketika saya masih kecil di kampung. Begitu saya melek (bangun tidur), saya mendengar bapak saya membaca Burdah, Barjanji, dan Diba. Jadi, saya hafal bait-bait syair berikut nazham-nazhamnya itu dengan itu dengan sendirinya.
        Nggak usah Maulid Nabi, setiap kita ceramah, khotbah, dan dakwah kita pasti menyampaikan sejarah Nabi. Itu berarti memperingatkan kita bahwa kita punya pemimpin yang harus kita taati.
Itu dibaca tiap kapan?
Tiap malam. Saya membaca Burdah itu malam sebelum subuh. Dan ini ada kisahnya. Ada seorang dari Alexandria bernama Abu Sa’id al-Busri yang terkena stroke dan mimpi berjumpa Rasulullah saw. Dia meminta izin akan mengubah syair kasidah untuk memuji-muji beliau. Setelah beliau pulang kembali bait syair itu sudah rampung. Lalu Rasulullah saw mempersilakannya. Setelah dia selesai menampilkan syairnya di depan Rasulullah saw, Rasulullah saw mengusap-ucap wajahnya dan keesokan harinya dia sembuh dari penyakit strokenya itu.[] 
 

CINTAI RASULMU dan BERSIAPLAH UNTUK DIUJI !

CINTAI RASULMU dan BERSIAPLAH UNTUK DIUJI !

Ada beberapa kewajiban kita kepada Rasulullah saw. Pertama, kita mesti mengimaninya. Kedua, kita harus membaca shalawat dan salam baginya. Shalawat bukan saja tanda bahwa kita menghormati Rasulullah, tapi juga merupa-kan tanda kecintaan kita kepada Rasulullah saw. Kita tahu bahwa jika orang mencintai seseorang yang lain, maka bibirnya akan sering mengucapkan nama orang itu. Salah satu tanda cinta adalah seringnya kita menyebut nama orang yang dicintai. Menyebutnya pun berbeda dengan menyebut nama orang lain, lantaran emosi tertentu yang terkandung di dalamnya. Seperti itulah tanda kecintaan kita kepada Rasulullah saw. Sehubungan dengan ini, maka tanda memu-liakan Rasulullah saw adalah mahabbah atau mencintainya. Ungkapan kecintaan bisa dilakukan dengan banyak menyebut nama. Dengan shalawat, kita menyebut nama Rasulullah saw.

Dalam sebuah buku Antropologi klasik, Golden Bow, dikisahkan tentang kebiasaan dari berbagai bangsa di dunia dalam hubungannya dengan ilmu gaib. Dijelaskan bahwa ada dua macam ilmu gaib. Pertama, yang disebut dengan Magic Kontak. Yaitu ilmu gaib yang diperoleh dengan melakukan kontak atau hubungan dengan benda-benda atau apa saja yang terkait dengan orang yang menjadi sasaran ilmu gaib itu. Di suku Jawa misalnya, bila orang itu ingin menjatuhkan hati seorang wanita, maka ia akan mengambil sesuatu yang pernah bersentuhan dengan wanita itu.

Jenis yang kedua, disebut dengan Magic Analogis. Ini terjadi bila orang meng-inginkan sesuatu melalui kekuatan gaib dengan melakukan sesuatu yang mirip dengan yang diinginkan. Misalnya, bila orang menginginkan angin berhembus, maka dia akan bersiul. Siulan itu analog dengan datangnya angin. Orang pun dapat menyerang orang lain dengan menggunakan boneka. Boneka itu dianggap analog dengan orang yang diserang. Jika boneka itu ditusuk, maka orang itu yang kesakitan. Jika boneka itu dibakar, maka orang itu yang kepanasan.

Kebiasaan seperti itu ternyata ada di hampir seluruh bangsa di dunia. Saya tidak tahu pasti apakah ada hubungan antara kekuatan gaib dengan persentuhan benda-benda yang berkaitan. Tapi jika kita melihat tradisi para sahabat Rasulullah saw untuk bertabaruk atau mengambil berkah dari benda-benda yang pernah bersentuhan dengan Rasulullah saw, seakan-akan magic yang primitif di atas itu memperoleh justifikasi agama. Para sahabat mengambil apa apa yang telah disentuh Rasulullah saw dengan keyakinan seperti itu.

Contoh dari hal ini dapat kita temukan pada salah satu riwayat Rasulullah saw. Pada satu tengah hari yang terik, Rasulullah saw tidur di rumah Ummu Sulaim, ibu Anas bin Malik. Keringat beliau bercucur-an karena kepanasan. Ummu Sulaim lalu menampung tetes-tetes keringat itu dengan cangkirnya. Saat Rasul terbangun dan melihat ada cangkir di sisinya, ia bertanya, “Apa yang kamu lakukan?” Ummu Sulaim menjawab, “Ya Rasulullah, saya ingin mengambil keringatmu itu untuk mendatangkan berkah buat anak-anak saya.” Bila orang-orang primitif menyebut hal itu dengan kekuatan gaib, Ummu Sulaim menyebut hal itu dengan mengambil berkah. Rasulullah kemudian berkata pada Ummu Sulaim, “Engkau benar.”

Dulu orang sering mengambil sesuatu yang pernah berasal dari Rasulullah saw atau yang pernah disentuh Rasulullah saw. Mereka mengambil berkah dengan menyentuh apa saja yang pernah bersentuhan atau yang pernah menjadi bagian dari Rasulullah saw. Mereka menyentuh mimbar Nabi, menjilati bekas jari jemari Rasul, dan memperebutkan bekas minum Rasul. Tanpa menghubung-kannya dengan magic, saya kira itulah ungkapan kecintaan kepada Rasulullah saw. Bila kita mencintai seseorang, kita juga ingin menyentuh apa yang telah disentuh orang itu.

Pada zaman dahulu, biasanya anak muda yang mulai pacaran senang bertukar sapu tangan. Orang yang jatuh cinta itu akan bahagia bila satu saat, kala hati mereka sedang dipenuhi kerinduan, mereka mencium sapu tangan kekasihnya. Pada suami isteri, bila sang suami pergi, maka isteri akan mengambil dan memeluk baju suaminya. Itu bukan tanda-tanda kemusyrikan. Itulah tanda kecintaan. Seperti itu jugalah kecintaan para sahabat, tabi’in, dan ulama terdahulu terhadap Rasulullah saw.

Misalnya satu ketika Aisyah mendengar Amar bin Yasir ditendang seorang sahabat yang lain sehingga ia pingsan. Aisyah keluar dengan membawa sandal dan rambut Rasulullah saw. Sambil berteriak-teriak, ia berkata, “Lihat! Sandal Rasulullah ini belum lusuh dan rambutnya belum lekang tapi kalian sudah meninggalkan sunnah Rasulullah.” Siti Aisyah menghubungkan dua benda itu dengan Rasulullah saw.

Ketika Rasulullah saw meninggal dunia, beberapa sahabat datang ke kuburan Rasul. Mereka mengambil tanah kuburan itu dan mengusapkannya ke wajah mereka. Mereka tahu, tanah kuburan itu telah menyentuh jasad Nabi yang mulia. Dengan penuh kecintaan, mereka mengusapkan tanah ke wajah mereka. Mereka lakukan itu bukan karena kemusyrikan melainkan karena kecintaan kepada Rasulullah saw.

Bila saat ibadah haji banyak jemaah yang berusaha untuk menyentuh dinding kuburan Rasul, itu juga lantaran ungkapan cinta mereka kepada Rasul. Mereka tidak melakukannya karena menganggap Rasul sebagai Tuhan yang lain selain Allah. Kalau mereka menyentuh dinding kuburan, itu karena mereka tahu bahwa di balik dinding itu, ada Nabi yang mulia dimakamkan. Ketika saya pergi haji beberapa waktu lalu, saya melihat ada orang-orang yang matanya penuh dengan linangan air mata. Mereka meng-usapkan tangannya di atas makam Rasul seraya mengucapkan shalawat. Pemandangan itu menurut saya amat indah. Dulu saya anggap hal itu sebagai kebodohan kaum muslimin yang masih melakukan kemusyrik-an. Sekarang saya lihat hal itu sebagai ungkapan kecintaan umat yang telah ditinggalkan Rasulnya selama lebih dari seribu tahun. Meskipun telah sepuluh abad lebih Rasulullah pergi, umatnya masih meneteskan air mata kecintaan kepadanya hanya dengan menyentuh dinding kuburan-nya saja.

Kecintaan kita kepada Nabi diperintahkan oleh Rasulullah. Saya akan kemukakan berbagai hadits tentang kewajiban kita untuk mencintai Rasulullah saw. Salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan dalam Shahih Al-Turmudzi juz ke-2 hal 308. Dalam hadits yang diriwayatkan dengan sanad dari Ibnu Abbas ini, dikisahkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Cintailah Allah atas nikmatnya kepada kamu semua. Cintailah aku karena kecintaanmu kepada Allah. Dan cintailah ahli baitku karena kecintaanmu kepadaku.” Hadits ini menunjukkan bahwa kita disuruh mencintai Allah karena nikmat yang telah Dia berikan. Jika kita mencintai Allah, maka kita pun harus mencintai Rasulullah saw dan jika kita mencintai Rasulullah saw, maka kita pun harus mencintai keluarganya.

Jalaluddin Al-Suyuthi, dalam tafsir Al-Durr Al-Mantsur, mengutip ayat Alquran untuk menjelaskan hadits ini. Ayat 23 dari surat Al-Syura itu berbunyi, “Katakanlah oleh kamu Muhammad; Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas dakwahku, kecuali kecintaan kepada keluargaku.”

Dalam surat Al-Ra’d ayat 28 Allah berfirman, “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan dzikir kepada Allah. Ingatlah, hanya dengan zikir kepada Allahlah, hati menjadi tentram.” Rasulullah saw menjelaskan ayat ini dengan mengatakan, “Orang-orang yang bisa tentram hatinya dengan zikir kepada Allah adalah orang-orang yang mencintai Allah, mencintai Rasul-Nya, dan mencintai keluargaku dengan kecintaan yang tulus, bukan kecintaan yang dusta.”

Kita diwajibkan untuk mencintai Rasulullah saw. Salah satu ungkapan cinta kita kepada Rasulullah saw adalah dengan mencintai ahlul baitnya. Sebuah hadits yang terdapat dalam Kitab Kanzul ‘Umâl juz ke-6 halaman 218 menceritakan ucapan Rasulullah saw kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib. Rasul bersabda, “Hai Ali, Islam itu telanjang. Pakaiannya adalah takwa. Perhiasannya adalah rasa malu. Yang membaguskannya adalah sifat wara’. Manifestasinya ialah amal saleh. Asasnya adalah kecintaan kepadaku dan kepada keluargaku.” Jadi tonggak Islam itu adalah kecintaan kepada Rasulullah saw dan keluarganya. Di atas dasar itulah Islam ditegakkan.

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Thabrani dalam Al-Kabir dan Al-Awshaf, yang juga diriwayatkan dalam Kanzul ‘Umâl juz ke-7 halaman 212, Rasulullah saw bersabda, “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia ditanya dari empat hal. Ia akan ditanya dari umurnya; ke mana umurnya itu ia habiskan. Ia akan ditanya dari jasadnya; ke mana jasad itu ia rusakkan. Ia akan ditanya dari hartanya; untuk apa harta itu ia infakkan dan dari mana harta itu ia peroleh. Dan ia akan ditanya dari kecintaannya kepada kami, keluarga Rasul.” Kita akan ditanya pada hari Kiamat, apakah kita mencintai Rasulullah saw dan mencintai keluarganya.

Begitu pentingnya kecintaan ini sebagai asas Islam, sampai Rasulullah saw bersabda, “Didikkan tiga hal pada anak-anak kamu. Pertama, mencintai Nabi kamu. Kedua, mencintai keluarga Nabi. Ketiga, membaca Alquran. Karena pembaca Alquran akan berada di dalam perlindungan Allah pada hari ketika tidak ada lagi perlindungan kecuali perlindungan-Nya.” Itulah asas Islam; Alquran dan kecintaan kepada Nabi dan keluarganya.

Dalam hadits Al-Tsaqalayn yang kita kenal, Rasulullah saw bersabda “Aku tinggalkan kepadamu dua hal yang kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang kepadanya. Yang kesatu adalah tali Allah yang terjulur dari langit ke bumi. Ujung tali itu bersumber kepada Allah dan ujung lain pada kamu. (Yang dimaksud dengan tali ini adalah Alquran). Yang kedua adalah keluargaku.” Dalam shahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah saw sampai menyebutkan hal ini tiga kali untuk menunjukkan betapa penting-nya mencintai keluarga Nabi dan berpegang teguh kepada Alquran.

Hadits berikutnya berasal dari Jabir bin Abdullah. Jabir mendengar Rasulullah saw bersabda, “Tidak akan mencintai kami, keluarga Rasul, kecuali mukmin yang takwa dan tidak akan membenci kami kecuali orang munafik yang durhaka.” Jadi, ukuran apakah seseorang itu mukmin atau munafik ter-gantung dari kecintaannya kepada Rasulullah saw dan keluarganya.

Mengapa kita harus mencintai Rasulullah saw dan keluarganya dan mengapa kecintaan itu disebut sebagai asas dan tonggak dari Islam?

Saya akan menjawab pertanyaan ini dengan beberapa hadits. Pernah suatu ketika ada orang datang menemui Nabi dan mengatakan, “Ya Rasulullah, saya mencintai-mu.” Lalu Nabi berkata, “Anta ma’a man ahbabta. Kamu beserta orang yang kamu cintai.”

Pada riwayat lain, di Masjid Kuba ada seorang Imam yang diprotes oleh makmum-nya karena selalu membaca surat Al-Ikhlas dalam shalatnya. Seseorang datang kepada Imam itu dan protes, “Mengapa kau selalu membaca Al-Ikhlas?” Imam itu menjawab, “Bila kau tidak senang kepadaku, silahkan cari Imam yang lain.” Suatu saat Rasulullah saw datang ke masjid Kuba dan diberita-kanlah kepada Rasulullah ihwal “Imam Pembaca Al-Ikhlas” itu. Rasulullah lalu memanggil sahabat itu dan bertanya, “Mengapa kamu selalu membaca Al-Ikhlas?” Sahabat itu menjawab, “Ya Rasulullah, saya senang betul kepada Al-Ikhlas ini. Saya mencintainya.” Lalu Rasulullah saw berkata, “Anta ma’a man ahbabta. Engkau beserta apa yang engkau cintai.”

Kita akan beserta apa yang kita cintai. Rasa cinta amat berpengaruh besar terhadap perilaku kita. Kalau kita mencintai sesuatu, maka seluruh perilaku kita akan dipengaruhi oleh sesuatu itu. Jika kita mencintai sepak bola, kita akan mencintai apa saja yang berkaitan dengan sepak bola. Kita akan menempel gambar pemain sepak bola dan kita akan berlangganan tabloid Bola. Kalau pemain kesayangan kita bertanding, seluruh emosi kita akan dibawa dalam suatu kekhusyukan menyaksikan pertandingan itu. Kita akan mampu bangun tengah malam hanya karena kita tahu bahwa malam itu akan ada suatu pertandingan sepak bola. Karena kita mencintai sepak bola, maka seluruh perilaku kita dipengaruhi oleh sepak bola.

Jika Anda mencintai Michael Jackson, maka Anda akan berusaha untuk membeli segala sesuatu yang berkaitan dengan Jackson. Tidak hanya itu, Anda juga akan berusaha untuk meniru segala perilaku Jackson. Mulai dari rambut, jaket, sampai sepatu, Anda akan mencari yang mirip dengan yang dikenakan pujaan Anda itu.

Jadi, anta ma’a man ahbabta. Jiwa Anda akan beserta jiwa orang yang Anda cintai. Rasulullah saw menganjurkan kita untuk mencintai beliau dan ahli baitnya. Karena bila kita mencintainya dengan tulus, maka perilaku kita akan sesuai dengan perilaku Rasulullah saw dan keluarganya. Kita akan bertingkah laku seperti apa yang dikehendaki Rasulullah. Seluruh kejadian yang menimpa Rasulullah dan keluarganya akan mempengaruhi emosi dan perasaan kita.

Kita sering mendengar orang berkata, “Kita harus meniru sunnah Rasulullah saw.” Meniru sunnah Nabi tidak bisa diajarkan lewat khutbah. Itu harus diajarkan lewat kecintaan kepada Rasulullah. Jika kita mencintainya, maka secara otomatis kita akan meniru segenap tingkah lakunya. Kita akan mampu meniru perilaku Rasulullah saw. Bila riwayat Rasulullah saw diceritakan, hati kita akan terbawa di dalam kekhusyukan ketika kita mendengarkannya.

Karena itulah kita memahami mengapa kecintaan terhadap Rasulullah saw dan keluarganya menjadi asas dari Islam. Karena kalau kita membenci Rasulullah dan keluarganya, maka seluruh bangunan keagamaan kita itu runtuh. Kita tidak bisa lagi meniru Rasulullah saw. Sukar bagi kita untuk berperilaku seperti perilaku Rasulullah.

Seseorang dengan mengutip Shakespeare berkata, “Love is like a gentle rain. Cinta itu seperti air hujan yang turun dari langit. Ia turun di mana saja yang ia kehendaki. Jadi kita tidak bisa menyuruh orang lain untuk mencintai sesuatu. Karena cinta tidak bisa diarahkan dan diajarkan.” Saya kira dalam hal ini Shakespeare keliru. Pertama, hujan tidak selalu jatuh pada tempat yang tidak terduga atau yang ia kehendaki. Hujan jarang jatuh di padang pasir. Jatuhnya hujan dapat kita prediksikan. Kedua, cinta itu dapat dibina. Cinta bisa ditanamkan. Salah satu cara menanamkan kecintaan kita kepada Rasulullah saw ialah dengan berusaha mengenal riwayat Rasulullah. Salah satu peribahasa Jawa, yang terkenal kebenarannya secara ilmiah, berbunyi, “Witing tresno jalaran soko kulino. Permulaan kasih itu karena kita mengenal.” Peribahasa itu terbukti benar. Kita cenderung mencintai hal-hal yang kita kenal dengan baik. Jika Anda mengenal seekor kucing yang sering datang ke rumah Anda setiap pagi, dan satu saat kucing itu mati, maka Anda pasti akan merasa sedih.

Kecintaan tumbuh karena kita mengenal. Kita harus mengenal riwayat, akhlak, dan perjuangan Rasulullah saw dan keluarganya. Bila kita tidak kenal, kita tidak akan menyenanginya. Karena itu, usaha orang munafik dan orang kafir untuk merobohkan tonggak Islam ialah dengan memperkenalkan Rasulullah saw dan keluarganya dengan cara-cara yang jelek supaya kita tidak mencintai Rasulullah. Lihat saja buku-buku karya para orientalis terdahulu tentang Rasulullah saw. Mereka menceritakan Rasulullah dengan luar biasa buruknya. Seorang penulis Prancis menjuduli karyanya dengan Muhammad, Sang Penipu Besar. Dante Alighieri, penulis Divina Comedia, menceritakan dalam karyanya tentang Muhammad yang ia temukan di dasar neraka. Mereka berusaha dengan sistematis untuk mendiskreditkan Rasulullah saw. Karena bila umat Islam sudah hilang kecintaannya kepada Rasulullah, maka runtuhlah seluruh tonggak agama itu. Kita hanya akan berperilaku seperti Rasulullah bila kita mencintainya. Dalam sejarah Islam juga muncul riwayat-riwayat yang mendiskreditkan Rasulullah. Misalnya hadits tentang Rasulullah yang bermuka masam dan berpaling dari orang buta sampai Rasul ditegur oleh Allah swt.

Sebuah hadits lain menceritakan datangnya seorang sahabat yang mencintai Rasul ini agak berbeda. Ketika seseorang mendatangi Rasulullah saw dan berkata, “Ya Rasulullah, aku mencintaimu.”, Rasulullah menjawab, “Maka bersiaplah engkau menghadapi ujian.” Cinta memang harus diuji untuk membuktikan ketulusannya. Dalam Ilmu Psikologi Cinta, ada yang disebut dengan ujian kecintaan. Jika seorang wanita tahu bahwa seorang lelaki mencintainya, tapi wanita itu ingin merasa yakin akan cinta sang lelaki, maka wanita itu akan melakukan suatu ujian akan kecintaan lelaki tersebut. Cinta harus diuji. Oleh sebab itulah ketika seseorang datang kepada Rasulullah seraya menyatakan cintanya, Rasul berkata, “Bersiaplah, engkau akan menghadapi ujian.”

Bila Anda telah menyatakan kecintaan Anda kepada Rasulullah saw dan keluarganya, bersiaplah untuk diuji dalam kehidupan Anda. Salah satu bentuk ujian itu ialah Anda akan dicerca, dicemooh, dimaki, dan difitnah. Ujian itu akan membuktikan apakah Anda bertahan atau tidak dalam kecintaan kepada Rasulullah saw dan keluarganya.

Jika Anda baca riwayat para pecinta Rasul dan keluarganya sepanjang sejarah, Anda akan menyaksikan ujian-ujian yang luar biasa yang mereka alami. Di zaman Muawiyah, selama 80 tahun keluarga Rasulullah dicaci maki di mimbar-mimbar. Orang yang tidak mau mencaci harus berhadapan dengan pihak penguasa. Misalnya yang terjadi dengan Hujur bin ‘Adi. Suatu saat, seorang khatib menutup khutbahnya dengan mengutuk keluarga Rasul. Hujur protes. Ia berdiri lalu mengutuk khatib itu. Hujur lalu ditangkap dan dikubur hidup-hidup. Pernah di zaman pemerintahan Al-Hajjaj, ketika Al-Hajjaj mengutuk keluarga Nabi di suatu masjid, orang-orang ribut dan tidak mau ikut mengutuk. Al-Hajjaj lalu memotong semua tangan jemaah masjid itu karena mereka tidak mau mencaci maki keluarga Nabi. Sampai ada satu tradisi waktu itu, bila orang ingin mencaci orang lain, ia memanggilnya, “Ya Ali!” Ali digunakan sebagai makian. Bahkan bila ada orang yang mempunyai nama Ali, maka ia akan dibunuh.

Sepanjang sejarah, para pecinta Rasul dan keluarganya itu dianiaya, disakiti, dan dibunuh. Seorang guru Umar bin Abdul Aziz adalah pecinta Rasul dan keluarganya. Tetapi ia menyembunyikan kecintaannya itu karena pertimbangan keselamatan dirinya. Satu saat, Umar kecil memaki saudaranya dengan menyebut, “Hai Ali! Hai Murtad!” Guru itu rupanya tidak tahan menyembunyikan kecintaannya. Ia panggil Umar dan berkata kepadanya, “Kamu tahu siapa itu Ali bin Abi Thalib yang kamu caci maki itu? Ketahuilah, dialah menantu Rasulullah. Dialah orang yang berbaring di ranjang Rasulullah ketika Nabi akan hijrah. Dialah orang yang tentangnya Rasulullah berkata, ‘Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya.’…” Dan mulailah guru itu bercerita tentang hadits-hadits mengenai keutamaan Sayidina Ali. Umar memberitahu-kan hal ini kepada ayahnya, khalifah waktu itu. Guru itu dipanggil. Karena dia meng-ajarkan kecintaan kepada keluarga Rasulullah lewat lidahnya, maka lidah guru itu digunting. Sesudah itu ia dibunuh di hadapan Umar bin Abdul Aziz. Umar mencintai gurunya dan ia merasa berdosa akan kejadian itu. Maka setelah ia dewasa dan menjadi khalifah, hal pertama yang ia lakukan adalah melarang orang mengutuk Ali bin Abi Thalib di mimbar-mimbar.

Sepanjang sejarah, keluarga Rasulullah saw dan para pecintanya dirusakkan nama dan kehormatannya. Sehingga bila Anda berniat untuk mencintai Rasulullah saw dan keluarganya, bersiap-siaplah untuk menghadapi bencana.

http://www.jalal-center.com/index.php?option=com_content&task=view&id=388

Syiah Aceh

[ penulis: Dr. Hasballah M Saad ]

ADAKAH pemeluk Syiah di Aceh? Ini perlu dipertanyakan ketika banyak sekali simbol symbol “syiah” ditemukan, dan sangat menonjol di kehidupan sehari hari masyarakat Aceh..

Sejarah mula kedatangan Islam ke Aceh, pemimpinnya dikenal bernama Shir, seperti Shir Poli, Shir Nuwi, Shir Duli. Dalam hikayat hikayat Aceh lama, kata gelar Shir sering pula disebut Syahir. Misal, Shir Nuwi dibaca Syahir Nuwi, Shir Poli dibaca Syahir Poli dst. Kata Syahir ini lebih kurang setara dengan kata Ampon Tuwanku dalam tradisi melayu di Malaysia.

Asal kata shir, datangnya dari keluarga bangsawan di kawasan Persia, dan sekitanya. Maka putri Raja Persia yang setelah negerinya ditaklukkan Umar Ibnul-Khatab, ditawan dan dibawa ke Madinah, mulanya bernama Shir Banu. Setelah dibebaskan oleh Ali bin Abi Thaleb, Shir Banu menikah dengan putra Ali bernama Husen. Sementara dua saudara Shir Banu lainnya menjadi menantu Abubakar dan menantu Umar Ibnul Khattab. Belakangan nama menantu Ali itu berubah menjadi Syahira Banu, dan dalam lafal di Hikayat Hasan Husen, nama itu dipanggil Syari Banon, yang menjadi isteri Sayyidina Husen bin Ali. Husen syahid dibunuh Yazid bin Muawiyah di Karbala pada 10 Muharam. Shir Banu atau Syari Banon menjanda sambil membesarkan anaknya Ali Zainal Abidin, yang sering dipanggil Imam as-Sajad, karena selalu suka bersujud (shalat).

Dalam hikayat Hasan Husen, nama Syari Banon disebut berulang ulang karena beliau ini mendampingi suami dengan sangat setianya, hingga ke kemah terakhir di Karbala, mengantar Husen menuju kesyahidan. Banon bersama putra kesayangannya Ali Zainal Abidin yang masih sangat belia, menyaksikan sendiri tragedy yang jadi sejarah hitam umat Islam, karena darah titisan Rasul saw tumpah di bumi Kufah oleh tangan orang yang mengatasnamakan dirinya khalifah kaum muslimin. Peristiwa Karbala ini, di Aceh diperingati dengan khanduri A‘syura secara turun temurun. Adakalanya diiringi dengan membaca hikayat Hasan Husen, dan para wanita Aceh mempersiapkan penganan sebagai khanduri keu pangulee. Acapkali pula, para pendengar hikayat ini mencucurkan airmata tatkala ceritera sampai kepada pembantaian anak cucu Rasulullah saw itu.

Rafli, penyanyi Aceh kontemporer mendendangkan peristiwa itu dengan lirik:

//”Lheuh syahid Hasan ji prang lom Husen/ Ji neuk poh bandum cuco Sayyidina/ Dum na pasukan bandum di yue tron/ Lengkap ban ban dum alat senjata”// ( Dah syahid Hasan, Husen pun digempur/ Nak dihabisi cucu Sayyidina (Rasulullah) / Seluruh pasukan disuruh turun/ Lengkap semua dengan senjata.)

Semangat mencintai ahlul bait, keluarga Rasulullah saw itu muncul pula di Aceh dalam bentuk tari tarian. Di antaranya yang terkenal adalah Saman Aceh. Ragam gerak, lirik lagu dan ratoh dipenuhi symbol symbol Karbala . “Tumbok Tumbok Droe”(memukul mukul dada sendiri) dilakukan oleh para pemain Saman Aceh (juga dalam seudati) sebagai symbol penyesalan Karbala . Seluruh gerak tari Saman itu diilhami oleh kepedihan, penyesalan, dan ratap tangis atas syahidnya Sayyidina Husen, yang terperangkap oleh tipu daya penduduk Kufah yang mendukung Yazid bin Muawiyah.

La Fata Illa Ali, Wa La Syaifa Illa Dzulfaqor

Di Iran, dan beberapa kawasan sekitar benua Persia itu, amat lazim dijumpai perempuan dan laki laki memukul mukul dada hingga ada yang berdarah untuk mengenang peristiwa Karbala di hari Asyura, setiap tahunnya. Dalam naskah hikayat Muhammad Nafiah, yang mengisahkan peran adik laki laki Hasen bin Ali dari lain ibu, yasng menuntut bela atas syahidnya Husen di Karbala, jelas sekali dilukiskan bagaimana pengikut Yazid “dikafirkan” oleh sang penulis hikayat itu. Tatkala Muhammad Nafiah ingin mengeksekusi mati seorang lagi perempuan hamil yang masih hidup, sementara yang lain sudah dibunuh semua, maka turunlah suara dari manyang (langit)

//”Sep ka wahe Muhammad Nafiah, bek le tapoh kaphe ulu/ Bah tinggai keu bijeh, agar uroe dudoe mangat na asoe neuraka”// ( “Cukup sudah wahai Muhammad Nafiah, jangan lagi dibunuh kafir hamil itu/ agar dia beranak pinak lagi untuk isi nereka kelak”)

Karensa Muhammad Nafiah ingin mengabaikan perintah penghentian pembantaian itu, maka tiba tiba dia dan kudanya diperangkap oleh kekuatan sghaib. Lalu terkurunglah dia bersama kudanya dalam sebuahgua batu. //Muhammad Nafiah lam guha bate/ Sinan meu teuentee dua ngen guda// (Muhammad Nafiah dalam gua batu/ Terkurung disitu bersama kudanya).

Dalam bagian lain, dikisahkan bahwa pada suatu hari, ketika Muhammad Nafiah masih kecil, Ali bin Abi Thaleb membawa pulang ke Madinah anak laki lakinya itu dan duduk duduk bercengkerama bersama Rasul dan dua kakaknya lain ibu, Hasan dan Husen. Rasulullah saw mendudukkan Hasan dan Husen di pangkuan sebelah kiri, sementaara Muhammad Nafiah duduk di atas paha kanan Rasulullah. Tatkala Fatimah, ibunnya Hasan dan Husen melintas, dia bermasam muka karena melihat justru putra Ali yang bukan berasal dari rahim Fatimah mendapat tempat di sebelah kanan Rasulullah, sementara putra putranya, Hasan dan Husen duduk di paha kiri Rasul.

Rasul memandang wajah masam Fatimah az-Zahra, putri kesayangannya itu. Lalu Rasul memanggil Fatimah, dan bersabda:

“Wahai anakku, janganlah bermasam muka. Yang ini, sambil menunjuk Hasan dan Husen, akan menemui ajal kelak ketika kita sudah tiada, karena dibunuh orang. Yang inilah, sambil menunjuk Muhammad Nafiah, yang akan menuntut bela atas kematian kedua mereka ini, maksudnya Hasan dan Husen. Jibrail telah menyampaikann hal itu kepeda ku wahai Fatimah”

Mendengar ucapan Rasul waktu itu, barulah wajah Fatimah kembali berseri seperti sediakala. Ada pesan Jibrail kepada Rasulullah atas peristiwa yang bakal terjadi atas anak cucunya setelah Rasul dan Fatimah tiada kelak. Begitu mulianya kedudukan Muhammad Nafiah, putra Ali dari isteri lain, (mungkin hasil perkawinan mut‘ah dalam peperangan yang lama).

Hikayat itu telah menjadi bacaan sehari hari kaum muslimin di Aceh. Dalam benak orang Aceh, kafir perempuan yang hamil tua itu, meskipun dia adalah pemeluk agama Islam, namun dipandang sebagai kafir karena dia pengikut Yazid bin Muawiyah. Dam inilah cikal bakal kafir sekarang ini yang akan menjadi pengisi neraka kelak. Wallahu ’aklamu bis-shawab!

Jika dibandingkan dengan ceritera tentang kehebatan Amerika dalam film-film perang mereka dengan Vietnam umpamanya, muncul kesan publik bahwa Amerik-lah yang paling jagoan, meskipun semua orang tahu pada akhirnya dia harus angkat kaki dari negara bekas jajahan Perancis itu, meskipun orang Vietnam melawan dengan bambu runcing. Tak ada catatan sejarah yang akurat tentang Muhammad Nafiah yang menghabiskan seluruh pasukan Yazid di Kufah, namun hikayat itu justru mengisahkan yang tinggal hanya seorang “kaphe ulu” (maaf: hamil) yang anak turunannya menjadi cikal bakal penghuni neraka kelak.

Saya bisa memahami bagaimana kepedihan kaum muslimin katika Husen syahid, dan perasaan itu dihibur dengan pembelaan yang gemilang oleh cerita kemenangan Muhammad Nafiah bin Sayyidina Ali, setelah Husen dan pengikutnya syahid di Karbala. Ini juga menjadi bukti terhadap apa yang diriwayatkan, tentanag ceritera Fatimah bermasam muka, karena Hasan Husen diletakkah di atas paha kiri Rasulullah, ketika mereka masih kecil dulu dan Muhammad Nafiah justru dipaha kanan Rasul.

Dalam tradisi Aceh, hikayat berbentuk hiburan yang selalu mengandung pesan, nasihat, sumber pengetahuan, sejarah serta agama. Hikayat Hasan Husen, Nubuwat Nabi, Fatimah Wafat, Muhammad Nafiah dll. merupakann bacaan rakyat yang utama disamping hikayat hikayat lain seperti Putroe Gumbak Meuh, Peurakoison, Nun Farisi, Indra Budiman, Indra Bangsawan, Baya Siribee, dll. Kala itu memang belum ada novel Lasjkar Pelangi, atau Sang Pemimpi, atau Ayat Ayat Cinta dsb. Sinetron pun belum dikenal oleh masyarakat Aceh lama. Maka ceritera dalam hikayat lah yang menjadi referensi perilaku, sumber nasehat, dan pengetahunan sejarah bagi masyarakat luas.

Di kawasan pantai barat Aceh, termasuk utamanya Aceh Selatan, berkembang kesenian tradisional “Pho” Tari pho dimainkan oleh sejumlah anak anak gadis remaja, dengan mendendangkan syair penuh nuansa sendu, seumpama orang meratapi kematian. Dalam format khusus, gadis remaja menyusun format berkeliling melingkar, dan meratapi sesuatu, bagaikan meratapi kematian. Ingatlah bagaimana masyarakat Aceh memperingati “Asyura” dengan nyanyian dan hikayat Hasan Husen, semua dilantunkan dalam irama pilu penuh duka lara.

Di komunitas lain di Pidie, agak menarik disimak rentetan nama nama anggota keluarga Sayed (Habib). Sebut saja berawal dari Nama Sayed Idris alias Teungku Syik di Keude, memiliki tiga anak laki laki dan dua anak perempuan. Yang laki laki bernama Sayed Hasyem, Sayed Husen, Sayed Abidin (Zainal Abidin), Sementara anak perempuannya bernama Cutwan Dhien dan Cutwan Samalanga (nama aslinya tidak lagi dikelnal lagi) Sayed Husen berputrakan Sayed Abubakar, Sayed Puteh, dan Sayed Bunthok, sementara yang perempuan bernama Cutwan Syarifah, Cutwan Manyak dan Cutwan Fatimah.

Sayed Zainal Abidin mempunyai seorang putri tunggal bernama Ummi Kalsum (Cutwan Kasum) Dari perkawinannya dengan saudara sepupu, Sayed Abubakar, Cutwan Kasum memiliki saeorang putri tunggal diberi nama Cutwan Fatimah, yang menikah dengan Sayed Ali bin Sayed Abdullah Bambi. Sayed Abdullah Bambi menikah dengan Cutwan Khadijah binti Habib Husen Az-Zahir. Sementara kakak Cutwan Khadijah bernama Habib Hasan dan Habib Ahmad Sabil. Khadijah sendiri berputrakan selain Sayed Ali adalah Sayed Muihammad, dan Aja Rohani.

Sementara Habib Hasyem alias Habib Peureumbeue, mempunyai beberapa orang putra, antara lain Sayed Ahmad (Pak Mukim) Sayed Abdullah, dan yang perempuan bernama Cutwan Khadijah pula. Cutwan Khadijah menikah dengan Habib Ahmad Mon Keulayu, dan berputrakan antara lain Sayed Hasan, Sayed Husen, Sayed Aabdurrahman, Sayed Alwi, Sayed Ali dan Sayed Jamaluddin. Simaklah putaran nama nama itu, semuanya berkisar sekitar nama keluarga Rasulullah, mulai dari Hasyem, Abdullah, Khadijah, Ahmad (Muhammad) Ali, Fatimah, Hasan, Husen, Umi Kalsum, Zainal Abidin, Abubakar, dst. Sementara masyarakat umum yang bukan keturunan Sayed, selalu memberikan nama anak anak mereka dengan nama nama Abbas, Hamzah, Aminah, Thaleb, Zainab, Rukaiyah, disamping nama nama seperti yang saya sebutkan itu.

Apakah fenomena ini dapat dijadikan indikasi bahwa para pemilik nama nama itu merupakah pengikut Syiah Aceh? Apakah nama nama demikian karena menasabkan diri pada keturunan Rasulullah? Atau telah terjadi pertalian dua kepentingan, petama menasabkan diri pada darah nabi, dan kedua melestarikan nama nama yang dikenal sebagai nama ahlul bait yang utama? Tentu hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut.

Simak pula, kisah yang selalu dilantunkan pada bulan Muharram (bulan dimana syahidnya Sayyidina Husen di Karbala):

//”Bak siploh uroe buleueun Muharram/ Kesudahan Husen Jamaloe (Jamalul/ Peu na mudah ta khanduri / Po Tallah bri pahla dudoe”// ( “Sepuluh hari bulan Muharram/ Kesudahan Husen Jamalul/ Jika ada kemudahan agar ber khanduri/ Allah memberi pahla nantinya”)

Bagaimanan jika disimak praktek ritual ibadah wajib seperti shalat lima waktu, puasa, zakat dan haji? Orang Aceh semuanya mengikuti praktek ibadah kaum Sunny, sebagaimana lazimnya kaum muslimin ditempat tempat lain di Indonesia. Namun bacaan shalawat kepada Nabi dan keluarganya, selalu diucapkan dengan menambahkan kata Sayyidina di depan nama Muhammad, dan Ibrahim. “Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad, wa ’ala ali Sayyidina Muhammad, kama shallaita ala Sayyidina Ibrahim, wa ala ali Sayyina Ibrahim, dst” Hal ini amat ditentang oleh pengikut Wahabi yang sangat anti terhadap praktek ibadah seperti memuja nama Rasul itu dengan meletakkan nama Sayyidina di depan nama nama mereka.

Saya hampir sampai pada kesimpulan bahwa orang Aceh itu pencinta ahlul bait yang sangat setia, kalaupun mereka tidak pernah mengaku sebagai pengukut syi‘ah. Bukankah pada masa tertentu dalam sejarah Islam, kaum syi‘ah meperkenalkan istilah taqiyah (bersembunyi) dan dari itu lahirlah ungkapan, bahwa orang yang mengaku dirinya syi‘ah bukanlah syi‘ah lagi”

Simaklah sebuah ceritera lucu tapi mengharukan, yang berlaku dalam satu keluarga miskin dan buta huruf di sebuah desa di Aceh pada tahun 1950-an. Tersebutlah nama Waki Saad Gapui, yang menikah dengan prempuan desa buta huruf, Maimunah namanya. Mereka berputra kan beberapa orang dan semua laki laki. Saad adalah penggemar hikayat Hasan Husen, seperti juga penduduk kampung lainnya. Maka dalam hikayat itu dikisahkan begini:

“Hasan dan Husen cuco di Nabi/ Aneuek tuan Siti Fatimah Dora/ Tuan teu Husen Syahid dalam Prang / Tuan teu Hasan syahid ji tuba/ Syahid di Husen ka keunong beusoe/ Di Hasan sidroe keunong bencana (racun)/ Tuan teu Husen syahid dalam Prang/ Tuan teu Hasan di rumoh tangga”//

Terkesima dengan kegungan nama yang disebut dalam bait hikayat itu, Saad sepakat memberikan nama nama anaknya seperti nama nama cucunda Nabi. Yang tertua diberi nama Hasan (Keuchik Hasan) yang kedua diberi nama Dan (Apa Dan) dan yang ketiga diberi nama Husen (meninggal waktu kecil). Maka kalau dibaca dalam satu nafas menjadi Hasan Dan Husen dilanjutkan dengan Cuco di Nabi. Padahal kata sambung dan itu bukan nama orang. Saad tidak peduli, dan nama anak keduanya tetap saja DAN, meskipun ketika dewasa nama itu menjadi Mad Dan, karena kesulitan menulis nama dalam KTP. Lalu adik adiknya diberi nama Sulaiman (nama Nabi), Ibrahim (nama Nabi), Zainal Abidin (nama putra Husen) dan Abdul Hamid. Apa yang terjadi dalam kehidupan kejiwaan Saad?Meskipun buta huruf dan petani biasa, Saad merasa sangat dekat dengan kehidupan Rasulullah, sehingga kumandang nama ahlul bait selalu terdengar dalam keluarga mereka. Saya merasa yakin, seandainya Saad memiliki anak perempuan, pasti akan diberi nama Khadijah, Fatimah atau Aminah!

Pertanyaannya kini adalah, apalah, sekali lagi, hal ini dapat dijadikan indikator bahwa orang Aceh baik keturunan Sayyed, atau orang biasa dapat disebut pengukut Syi‘ah? Atau dengan sebutan lain, apakah mereka ini bisa dipanggil dengan sebutan Syi‘ah Aceh? Saya sendiri cenderung berfikir demikian. Namun agar praduga ini cukup memiliki hujjah yang kuat, perlu dilakukan penelitian yang lebih dalam tentang fenomena yang saya uraikan dalam tulisan ini. Ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa Islam yang mula mula masuk ke Aceh justru berasal dari para ahlul bait yang hijrah karena tekanan politik dinasti Ummayah (turunan Muawiyah bin Abu Sofyan) terhadap keturunan Sayyidina Ali yang belakangan dikenal dengan kaum Alawiyin, pengikut Ali yang sepupu dan menantu Rasulullah.

Ingatlah pula bahwa pada saat haji wadak, Rasul pernah berkata di hadapan jama‘ah yang bergerak kembali ke Madinah setelah selesai berhaji. Rasul sawa sambil mengangkat tangan Ali, Rasul bersabda, “Wahai saudaraku kaum muslimin, aku dengan dia (sambil menunjuk Ali) bagaikan Musa dengan Harun, jika sesudah ku masih ada nabi, maka dialah orangnya. Namun karena tak ada nabi sesudahku, maka dialah penerusku. Kau saksikankah ucapanku ini wahai sekalian manusia?” kata Rasul dibukit Ghadir Khum itu. Maka dari turunan Sayyidina Ali itulah, kaum Alawiyin membangsakan diri. Wallahu a‘lamu bis-shawab.

*) Penulis adalah pemerhati sejarah dan kebudayaan, pegiatan Aceh Cultur Institut (ACI)

http://serambinews.com/old/index. php?aksi= bacabudaya&budid=104

Taqiyah Menurut Allahyarham Prof. HAMKA

(Dipetik dari Tafsir al-Azhar oleh Allahyarham Prof. HAMKA, halaman 145-146, Juz 3, berkenaan ayat 28, Surah Ali Imran:

"Janganlah mengambil orang-orang yang mu'minin orang-orang yang kafir jadi pemimpin lebih daripada orang-orang yang beriman. Dan barangsiapa yang berbuat demikian itu maka tidaklah ada dari Allah sesuatu juapun. Kecuali bahawa kamu berawas diri dari mereka itu sebenar awas. Dan Allah memperingatkan kamu benar-benar akan diriNya. Dan kepada Allahlah tujuan kamu.")

Bersikap lunak lembut kepada musuh, yang merupakan satu ketundukan dan menyerah. karena rnusuh itu lebih kuat, itulah yang dinamai sikap Taqiyah. Kepala selalu terangguk-angguk merupakan setuju, padahai hati bukan setuju. Mulut senantiasa tersenyum sehingga rnusuh yang kafir itu menyangka bahwa si Mu'min telah tunduk, padahal hatinya bukan tunduk.

Orang yang tidak memahami ajaran Islam menyamakan saja sikap begini dengan munafik. Padahal munafik ialah bermulut manis, bersikap Iembut dan tersenyum senyum di dalam menyembunyikan pendirian yang salah, yang kufur. Sebagai orang munafik mengakui di hadapan Rasuiullah s.a.w. bahwa mereka telah percaya bahwa beliau memang Utusan Allah, padahai hati mereka tidak mengaku. Walaupun yang mereka katakan benar. kalau kata yang benar itu tidak dari hati, mereka tetap berdusta. Itulah orang yang munafik.

Tetapi kalau kita yakin bahwa kita di pihak yang benar, dalam lindungan hukum-hukum Allah dan Rasul, sedang musuh kuat, sehingga kita tidak kuat bertindak menentang musuh Tuhan itu, kalau kita menunjukkan muka manis dan mengangguk angguk, bukanlah munafik namanya, melainkan taqiyah.

Dalam satu. seminar di Jakarta dalam bulan September 1966 seorang sahabat menyatakan pendapat bahwa sikap taqiyah yang menjadi pegangan sangat teguh dari kaum Syi'ah adalah menunjukkan sikap yang lemah. Lalu Penafsir ini membantah: "Memang kaum Syi'ah mempunyai ajaran taqiyah, tetapi ini bukanlah alamat kelemahan!" Terlepas dari pendirian Penafsir sendiri yang bukan Syi'ah, tetapi penganut Mazhab Sunni, Penafsir kagum akan ajaran taqiyah kaum Syi'ah itu. Sebab bagi mereka taqiyah bukan kelemahan, melainkan satu siasat yang berencana. Oleh sebab itu maka Mazhab Syi'ahlah satu mazhab politik yang banyak sekali mempunyai rencana-rencana rahasia, yang baru diketahui oleh musuh musuhnya setelah musuh itu menghadapi kenyataan.

Kerajaan-kerajaan Syi'ah yang berdiri di mana-mana, baik di Asia atau Afrika di zaman-zaman Khalifah-khalifah Baghdad, kebanyakan pada mulanya adalah gerakan yang dirahasiakan. Berdirinya gerakan Bani Abbas menentang Bani Umaiyah, mulanya ialah gerakan rahasia yang timbul di Khurasan. Kerajaan Bani Idris di Afrika, Kerajaan Fathimiyah di Mesir yang dahulu bernama 'Ubaidiyah di Qairouan mulanya adalah gerakan rahasia. Gerakan Hasan Shabah yang terkenai dengan nama "Hasysyasyin" (Assasin), adalah mulanya gerakan sangat rahasia. Oleh sebab itu kalau kaum Syi'ah memakai pendirian taqiyah, bukanlah kelemahan, melainkan siasat yang berencana. Oleh sebab itu kalau ada orang Islam yang menyerah kepada kekuasaan kafir, sampai kerja-sama atau membantu kafir, padahal tidak ada rencana hendak terus menumbangkan kerajaan kafir itu, bukanlah itu taqiyah, tetapi menggadaikan diri sendiri kepada musuh.

"Dan Allah memperingatkan kamu benar-benar akan diriNya." Di sambungan ayat ini Allah Ta'ala memberi peringatan dengan keras, bahwa di dalam urusan ini, khusus dalam taqiyah, janganlah dipandang enteng. Jangan sampai sikap taqiyah itu dijadikan tempat lari untuk melepaskan diri daripada tanggungjawab menghadapi lawan. Hendaklah awas dan jangan sekali-kali lupa bahwa diri Allah Ta'ala senantiasa ada, senantiasa mengawasi, dan menilik sepak terjang yang kamu lakukan. Karena kalau taqiyah itu akan membawa agama Allah jadi lemah, bukanlah dia taqiyah lagi tetapi beralih menjadi sikap pengecut. Itu sebabnya maka ujung ayat lebih menjelaskan pula, bahwa baik di waktu kamu sedang kuat, lain menolak kerjasama dengan musuh yang akan melemahkan agamamu, atau sedang lemah sehingga terpaksa kamu mengambil sikap taqiyah, namun ingatlah: "Dan kepada Allahlah tujuan kamu." (ujung ayat 28).

Akhir ayat ini mengingatkan kita akan perumpamaan hidup kita yang tengah belayar di tengah lautan besar, menaiki sebuah bahtera. Sejak dari permulaan belayar kita telah menentukan tujuan dan arah di mana bahtera itu akan berlabuh. Lalu pelayaran kita teruskan. Tetapi oleh karena laut itu tidak senantiasa tenang. bahkan ada gelombong, ada taufan, ada badai dahsyat sudahlah dalam perhitungan, bahwa kadang-kadang bahtera itu akan dihalau oleh angin entah ke mana. Tetapi betapapun hebatnya pukulan gelombang, namun nakhoda kapal wajib tetap menjaga pedoman, tidak boleh berkisar dari tujuan semula.

Tujuan bahtera hidup beragama ialah ALLAH.

Untuk kelengkapan penafsiran ini hendaklah kita tilik lagi ayat 8 dan ayat 9 dari surat 60 (al-Mumtahanah). Surat inipun diturunkan di Madinah. Di ayat 8 ditegaskan bahwa terhadap kafir yang tidak memerangi kamu dan tidak mengusirmu dari kampung halaman kamu, tidaklah mengapa jika hidup berdampingan dengan damai (An-tabarru-hum) dan berhubungan secara adil (Watuq-sithu Ilaihim); memberi dan menerima, duduk sama rendah, tegak sama tinggi. Lalu di ayat 9 ditegaskan lagi, bahwa jika musuh itu memerangi kamu dalam hal agama dan mengusir kamu dari kampung halaman kamu dan dengan terang-terang pula pengusiran itu, tidaklah kamu boleh bersahabat atau berhubungan dengan mereka.

Nescaya kita dapat berfikir lebih lanjut tentang isi sekalian ayat ini. Baik ayat-ayat yang tegas melarang dan memerintahkan supaya selalu awas, atau ayat yang membolehkan berhubungan dengan mereka, karena taqiyah atau karena kuat. Kalau kita kuat tentu tidak berhalangan kalau kita berhubungan dan berdamai dengan kafir, membuat pcrjanjian-perjanjian dagang, hutang-piutang dan lain-lain sebagainya, terutama hidup bernegara di zaman modern, tidaklah ada satu negeri yang dapat memencilkan diri dari negeri lain. Sudahlah selayaknya jika wakil-wakil dari negeri dan negara Islam duduk bersama bermusyawarat memperkatakan soal-soal Internasional dengan wakil-wakil negara-negara lain.

Adapun sikap awas dan waspada, sikap tidak lupa diri Allah, niscaya tidak boleh dilepaskan, baik di waktu lemah ataupun di waktu kuat.

Sabtu, 21 April 2012

Pengaruh Persia terhadap Kebudayaan Indonesia

Pengaruh Iran terhadap Indonesia kebanyakan dalam bidang kebudayaan, kesusastraan, pemikiran, dan tasawuf. Pada kenyataannya, kebudayaan bangsa Iran cukup berpengaruh terhadap seluruh dunia. Masyarakat Iran, setelah menerima agama Islam, banyak menemukan keahlian dalam semua bidang ilmu keislaman, yang tidak satu pun dari bangsa lainnya yang sampai kepada derajat tersebut.

Secara khusus, kecintaan bangsa Iran kepada Ahlulbait tidak ada bandingannya. Melalui tasawuf dan kebudayaan Islam, kecintaan tersebut menyebar ke negeri-negeri Islam lainnya, dan karena itulah kebudayaan Iran pun dikenal. Mengenai Ahlubait, orang-orang Iran memiliki cara khusus untuk mengenang peristiwa pembantaian Imam Husain as pada bulan Muharram. Peristiwa ini, atau yang dikenal sebagai tragedi Karbala, adalah sebuah pentas kepahlawanan dunia, yang telah mempengaruhi kebudayaan bangsa-bangsa non-Muslim.

Kisah kepahlawanan ini sudah berabad-abad selalu menjadi inspirasi dan tema penting bagi para penyair dan pemikir Iran. Ia juga merupakan episode sejarah yang penting dalam khzanah ajaran Syi’ah dan Sunah, dan bahkan kesusastraan dunia.

Dalam Islam, kecintaan kepada Ahlulbait merupakan kecenderungan yang abadi. Tanpa kecintaan ini, agama akan kosong dari ruh cinta. Bahkan, sebagian orang berkeyakinan bahwa apabila tidak memiliki rasa cinta kepada Ahlulbait, maka seseorang telah keluar dari Islam. Budaya cinta kepada Ahlulbait, yang merupakan bagian dari pemikiran dan tradisi bangsa Iran, telah membekas diseluruh negeri Islam. Hal ini terkadang juga disebut sebagai pengaruh mazhab Syi’ah yang tampak pada kebudayaan Indonesia dan kaum Muslim dunia.

Kebudayaan Iran memiliki pengaruh yang cukup penting terhadap kebudayaan Indonesia. Hal itu menunjukan bahwa sejak dahulu telah terjalin hubungan antara Iran dan Indonesia sehingga berpengaruh sangat kuat terhadap kebudayaan, tasawuf, dan kesusastraan. Meskipun mayoritas Muslim di Indonesia bermazhab Syafi’i, penelitian menunjukan bahwa kecintaan Muslim Indonesia kepada Ahlulbait karena pengaruh orang-orang Iran.

Pengaruh Iran terhadap Indonesia kebanyakannya tampak dalam bentuk kebudayaan dan kesusastraan. Sejarah mencatat bahwa, di samping orang-orang Arab dan orang-orang Islam dari India, orng-orang Iran memiliki peran yang penting dalam perkembangan Islam di Indonesia dan negeri-negeri Timur Jauh lainnya.

Ada dugaan bahwa sebagian besar raja di Aceh bermazhab Syi’ah. Dimungkinkan pada masa awal perkembangan Islam disini, fikih Syi’ah-lah yang berlaku. Namun, dengan berkembangnya mazhab Syafi’i, mazhab Syi’ah mulai terkikis dan sekarang ini pengaruh fikih Syi’ah di Indonesia tidak terlihat lagi. Azan di Indonesia sedikit berbeda dengan azan di Iran (yang terdengar melalui media elektronik). Shalat Jumat di Indonesia dilakukan disetiap mesjid tetapi di Iran shalat Jumat hanya dilakukan di satu tempat di setiap kota.

Model bangunan makam-makam para wali di Indonesia berbeda dengan makam-makam para imam dan keturunan imam di Indonesia, bahkan bisa dikatakan sangat sederhana.

Adapun pengaruh Iran yang penting setelah revolusi Islam terlihat pada kelompok Syi’ah di Indonesia. Di kepulauan Indonesia, sebagian besar sayid Alawi berasal dari wilayah Hadramaut, Yaman, yang sangat berperan besar dalam dakwah Islam.

Sayid bermakna ’pemimpin atau petunjuk’. Di dalam al-Qur’an, Allah SWT berfirman, Dan mereka berkata, wahai Tuhan kami, kami telah menaati para pemimpin dan orang-orang terhormat di antara kami, dan mereka telah menyesatkan kami dari jalan yang benar.[1]

Rasulullah, Muhammad saw, tentang Fatimah as bersabda, “Fatimah adalah penghulu wanita seluruh alam.”[2] Kemudian, tentang cucunya, Imam Husain as, Nabi saw bersabda, “Al-Husain adalah penghulu para pemuda surga.”[3] Berdasarkan pandangan ini,, dikatakan bahwa para sayid adalah anak keturunan Rasulullah saw serta pemimpin kabilah dan kaum, misalnya al-Ishfahani mengatakan, “Makna sayid adalah penguasa atau pemimpin keluarga, sebagaimana Ustman bin Affan sebagai sayid keluarganya.”[4]

Sayid pun digunakan untuk julukan bagi ahli tasawuf dan para wali[5]. Pada abad ke-8 H, kelompok Syi’ah Dua Belas Imam, para pengikut Imam Ali bin Abi Thalib, juga disebut dengan sayid[6]. Pada abad ke-8 H, terdapat seseorang bernama Naqib Ahlulbait, Abu Barakat bin Ali al-Husaini dikenal dengan julukan as-Sayid asy-Syarif.[7]

Umumnya, julukan “syarif” adalah gelar bagi anak keturunan Hasan bin Ali as, yang kebanyakan hidup di Madinah. Sementara itu, gelar “sayid” digunakan bagi anak keturunan Husain bin Ali as, yang kebanyakan tinggal di Hadramaut, Yaman.[8]

Komunitas para sayid Hadramaut juga dijuluki dengan habib (haba’ib), yang artinya adalah anggota Ahlulbait. Sejumlah besar sayid dari Hadramaut telah berhijrah ke kepulauan Indonesia.

Dikatakan bahwa wilayah Hadramaut di Yaman memiliki pohon-pohon kurma yang kuat, pepohonan yang indah, dan padang-padang berpasir dengan Laut Merah, dan juga memiliki sejarah dan peradaban kuno. Pada abad ke-5 dan 6 M, negeri indah Yaman adalah sumber sengketa antara kekasaisaran Romawi dan Persia. Pada awal abad ke-7 M, negeri ini menjadi bagian dari pemerintahan Islam yang berpusat di Madinah.[9]

Pada masa kejatuhan Irak ke tangan Islam, Muslim Hadramaut memiliki peran besar dalam peperangan antara pasukan Islam dan pasukan kerajaan Sasani. Setelah itu, sejumlah besar masyarakat Hadramaut hijrah ke Irak, secara khusus pada zaman kekuasaan Khalifah Umar bin Khattab. Kemudian, pada zaman ‘Ali bin Abi Thaib as, pasukan Hadramaut yang berada di Irak menjadi pendukung Khalifah Ali as dalam peperangan Jamal dan Shiffin dan sejumlah besar dari mereka menerima mazhab Syi’ah.[10]

Gerakan politik mazhab Syi’ah bertambah besar pada zaman kekuasaan Bani Umayah. Seorang Khalifah Bani Umayah, Hisyam, pada 122 H/740 M, berhasil memenangkan peperangan dan membunuh pemimpin terakhir kaum Syi’ah, Zaid bin Ali, cucu Imam Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib as.

Pada zaman ini pula, 129 H/747 M, di Hadramaut muncul gerakan kelompok Ibadiah dari kalangan Khawarij yang dipimpin oleh Abdullah bin Yahya, yang berjulukan Thalibulhaq. Ia terbunuh pada zaman kekuasaan Khalifah Umayah, Marwan bin Muhammad. Pada zaman ini, pengaruh khawarij di Hadramaut menjadi kuat dan Ahmad bin Isa adalah pemimpin terpenting bagi kaum Sayid Hadramaut.

Pada zaman Khalifah al-Mu’tamad (156-276 H/870-892 M), kakek dari Ahmad bin Isa, yaitu Muhammad an-Naqib bin Ali bin Jafar ash-Shadiq bersama putranya bernama Isa, hijrah dari Madinah ke Basrah, Irak. Disanalah, Isa menikah den lahirlah putranya yang bernama Ahmad.

Ahmad dan putranya Abdullah, pada 317 H/929 M hijrah dari Irak ke Hadramaut, Yaman. Ia hijrah karena, di Basrah, kelompok-kelompok Qaramitah dan Zanj (dari Sudan) melakukan kerusakan-kerusakan dan pemerintahan Abasiyah, di masa Khalifah al-Muqtadir (295-320 H/908-932 M), selalu melakukan kezaliman dan penganiayaan terhadap anak keturunan Ali as.[11] Berkenaan dengan hijrah tersebut, Ahmad bin Isa disebut dengan Muhajir ilallah (yang berhijrah kepda Allah).

Ahmad bin Isa dan para pengikutnya secara bertahap berhasil menghentikan pengaruh Khawarij di Hadramaut. Mazhab suni Syafi’i pun berkembang di sana.[12] Dua abad kemudian, pada 521 H/1127 M, sejumlah orang dari Alawi al-Qasim, hijrah ke daerah Tharum, di Selatan Hadramaut. Tharum pernah terkenal sebagai pusat agama dan ilmu, dan di sana para sayid Alawi Hadramaut sangat dimuliakan.

Di sana para sayid mendirikan suatu pergerakan yang diberi nama Ba’alawi, sebagai sarana mengenal para sayid Alawi.[13] Para sayid menyakini bahwa diri mereka berasal dari keluarga Rasulullah saw, dari anak keturunan imam Husain as. Sejumlah besar sayid Hadramaut (para sayid Alawi) telah berhijrah ke Jawa, Indonesia, dan ke Asia Tenggara.[14]

Imam husain as pada tahun 61H/681M, dalam usia 56 tahun, syahid di Karbala. Putranya, Imam Ali Zainal Abidin as, berasal dari istri imam Husain yang merupakan putri Yazgard, raja Iran yang terkenal. [15]

Sumber-sumber sejarah mencatat bahwa para Sayid Alawi hadramaut berasal dari keturunan Ali al-Qasim bil Bashrah, yakni cucu ketiga dari imam Husain as. Dapat dikatakan bahwa para sayid Hadramaut, dari anak keturunan Ahmad bin Isa, sangat terkenal serta memiliki hubungan yang kuat dengan para sayid di Maroko, Hijaz, dan India, dan selalu mendapatkan bantuan keuangan dari mereka.

Secara umum para sayid menguasai bidang ilmu agama dan tasawuf.[16] Ibnu Khaldun menulis bahwa pada zaman Abasiyah, setelah terjadinya berbagai perubahan, ajaran kelompok Rafidhiah (julukan tendensius para penentang Syi’ah. Rafidhiah berasal dari kata rafadha yang berarti “menolak”, yakni menolak tiga khalifah pertama- peny.) sangat berpengaruh besar terhadap tasawuf dan bermunculanlah para tokoh sufi terkenal, misalnya Qushairi dan Imam Abu Hamid Muhammad Ghazali.

Setelah abad ke-4 H atau abad ke-11 M, tasawuf tampil secara sempurna sebagai sebuah cabang ilmu. Di dunia Islam, lahir berbagai kelompok tarekat, yang semuanya bersumber pada ajaran al-Quran. Setiap tarekat memiliki cara khusus dalam berzikir kepada alllah Swt.[17] Tarekat Alawi (tarekat yang didirikan oleh sebagian besar sayid di yaman Selatan) terbagi menjadi dua cabang, batiniah dan zahiriah. Zahiriah mengikuti Imam Abu Hamid Muhammad Ghazali sedangkan batiniah adalah pengikut tarekat Syadziliyah.[18]

Kebanyakan sufi terekat Alawi memiliki karamah dan menyandang sejumlah julukan, misalnya syekh, naqib dan quthb, serta mereka mewariskan sejumlah kitab tentang zikir. Dalam kitab-kitab zikir disebutkan sejumlah tokoh terkenal dari kalangan para sayid, seperti Muhammad bin Ali Ba’lawi, Syekh Alin bin Abdullah Baras, Abdurrahman Assegaf dan al-Qutub Umar bin Abdurrahman al-Attas.

Dikatakan bahwa para waliyullah memiliki kemampuan untuk memecahkan batu-batu besar dan menyembuhkan penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Masyarakat setempat sangat menghormati mereka dan mendapatkan kesembuhan dengan keberkahan doa mereka.[19] Para sayid Alawi sangat menguasai pelayaran dan perdagangan. Mereka sangat aktif mulai dari Semenanjung Arab hingga ke Teluk Persia, tepatnya di sejumlah pelabuhan misalnya Siraf, Kish dan Ubullah (Bushers).

Sejak Irak jatuh ketangan orang-orang Mongolia, pada 1258 M, pusat perdagangan Arab berpindah ke Eden, di Yaman. Serombongan pedagang, tokoh-tokoh agama, dan ulama dari berbagai penjuru Semenanjung Arab pernah pergi ke sejumlah negeri di Timur Jauh, seperti Cina dan Semenanjung Melayu, yang sebagian dari mereka adalah ahli tasawuf dan agama.[20]

Islam yang diterima di Indonesia merupakan hasil usaha mubalig dari Arab, Iran dan India. Pengaruh tasawuf di sana pun sangat mencolok. Buku Hikayat Raja-raja Pasai dan buku Sejarah Melayu juga mencatat fenomena tersebut.

Buku Hikayat Raja-raja Pasai menggambarkan proses perjalanan penyebaran ajaran Islam di Sumatra. Disebutkan juga bahwa beberapa tahun setelah Rasulullah wafat, seorang syarif di Mekkah mendengar bahwa di Timur Jauh terdapat pulau yang bernama Sumatra. Lalu, ia mengutus sejumlah ulama dengan menggunakan kapal untuk menyebarkan Islam di sana. Nahkoda kapal tersebut bernama Syekh Ismail. Kapal tersebut terlebih dahulu singgah ke sebuah pantai, yang merupakan jalur yang sangat ramai, yakni Coromandel, yang terletak di Dakan, Hindustan (India). Raja disana bernama Sultan Muhammad dan ia termasuk anak keturunan Abu Bakar. Ketika mendengar bahwa Syekh Ismail hendak pergi ke Sumatra, untuk menyebarkan ajaran Islam, segera Sultan Muhammad memberikan singgasana kerajaan kepada salah satu putranya lalu mengenakan pakaian darwis dan mengganti namanya dengan Fakir Muhammad. Kemudian ia bersama Syekh Muhammad menaiki kapal untuk pergi menuju pantai Sumatra. Di sana, ia mendapatkan daratan tersebut dengan nama Samudra, dan rajanya bernama Merah Silu.

Di hari berikutnya, Syekh Ismail dan Fakir Muhammad tiba di kerajaan Merah Silu dan berhasil menjadikannya seorang Muslim. Sang raja kemudian mengenakan jubah kebesaran, pemberian dari syarif mekkah.

Ia mengganti nama resminya menjadi Sultan Malik ash-Shaleh Syah Alam Zilullaah fil ‘Alam.[21] Makam Sultan Malik ash-shaleh terletak di kota Lhok Seumawe, Aceh, Sumetera. Di bagian sisi makamnya tertulis tanggal wafatnya, yaitu 1297 M/696 H. Itu adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia yang terkenal dengan kerajaan Islam Samudra Pasai.[22]

Malik ash-Shaleh memerintah antara 690-696 H/1291-1297 M.[23] Buku sejarah Melayu mencatat bahwa mubalig Arab, Makhdum Said Abdul Aziz, telah berhasil mengislamkan sultan Malaka dan memberinya nama baru Sultan Muhammad.[24]

Malaka, pada masa sultan Manshur Syah (1456-1477 M) merupakan pusat ilmu, kesusastraan dan penyebaran ajaran Islam. Seorang sufi terkenal, Maulana Abu Bakar, pernah datang kesana. Ia sempat menulis sebuah buku Dur al-Manzhum dan membawa Abu Ishak Syirazi ke Malaka. Buku tersebut menjadi buku tasawuf terpenting yang ditulis dalam bahasa Arab.

Di Samudra Pasai, Seorang ulama bernama Makhdum Fatah Khan menerjemahkan buku tersebut ke dalam bahasa melayu (Indonesia). Setelah berhasil memperkenalkan tasawuf dan tarekat di Malaka, Maulana Abu Bakar pergi ke berbagai wilayah di Indonesia. Di Brunei dan Ceh (Filipina), Ia pun sempat memperkenalkan ajaran Islam. Kebanyakan para mubalig yang datang ke Tanah Melayu menyandang sejumlah julukan, misalnya Syekh, sayid dan syarif. [25]

Sejumlah besar sayid datang dan pergi ke Asia Tenggara, yaitu Jawa, Sumatra dan Semenanjung Melayu hingga masa penjajahan Belanda.[26]

Pada abad ke-16 M, seorang Mubalig Arab bernama Syarif Muhammad bersama beberapa pengikutnya, tiba di Mindanao, di selatan Filipina dari Malaysia untuk menyebarkan Islam. Disebutkan bahwa ia adalah putra dari seorang Arab bernama Syarif Ali Zainal Abidin, dari kalangan para sayid Alawi Hadramaut. [27]

Para sayid Alawi, dalam jumlah besar, datang ke kepulauan Nusantara melalaui jalur India, misalnya Sayid Usman bin Shahab yang memerintah kerajaan Siak dan Sayid Husain al-Qadri yang menjadi sultan di kerajaan Pontianak, di Kalimantan.[28]

Hijrahnya para sayid dari Hadramaut ke Asia Tenggara antara abad ke-17 hingga 20 H, berlangsung dalam beberapa tahapan. Mereka datang ke kepulauan nusantara dari India dan Indo-Cina. Para sayid Alawi berada di India sejak abad ke-7 H atau abad ke-13 H. Kemudian, sejak abad ke-10 H M, mereka sering datang-pergi ke daerah Pahang, di Malaysia.

Di kampung Pematang Pasir, di jazirah Tambun Pekan, di kota Pahang, Malaysia, terdapat sebuah makam orang Arab yang meninggal pada tanggal 14 Rabiul Awwal 419 H atau tahun 999 M.

Menurut sejumlah penulis seperti Nuwairi dan al-Maqrizi, sejak zaman kekuasan Bani Ummayah, beberpa keluarga kelompok Alawi atau Syi’ah telah berada di Jazirah Sila (Korea) dan Cina. Sangat mungkin, kepergian mereka ke sana karena lari dari kezaliman dan kejahatan Bani Umayah.

Demikian pula, terdapat kampung Leran, di Jawa Timur, yang nama kampung tersebut diambil dari kaum Lor, yakni orang-orang Iran yang pernah hijrah ke Jawa. Di kampung itu, terdapat makam seorang wanita Muslimah bernama Fatimah binti Maimun. Ia wafat pada 475 H/1082-1083 M.

Semua keterangan di atas menjelaskan bahwa hubungan negeri Arab dan Teluk Persia dengan Cina dan kepulauan Nusantara sudah ada sejak dahulu kala. Para sayid Alawi Hadramaut yang pernah berhijrah ke Asia Tenggara umumnya berasal dari beberapa marga, misalnya; al-Habsyi, al-Yahya (bin Aqil), Khirid, Hiduwan, as-Segaf, al-Attas, al-Jufri, al-Idrus, al-Haddad, asy-Syihab, dan yang lainnya.[29]

Menurut seorang peneliti dan ahli sejarah, Aboebakar Atjeh, di antara para mubalig yang pernah memperkenalkan ajaran Islam di Indonesia adalah keturuanan Ahlulbait. Aceh adalah wilayah pertama yang didatangi para mubalig dari Arab, Iran, dan India. Sementara itu, mazhab yang pertama kali berkembang di Aceh adalah Syi’ah dan Syafi’i.

Ia juga adalah wilayah yang menjadi tempat pemberhentian dan wilayah transit para pedagang sebelum pergi ke sejumlah pelabuhan, seperti Malaka, kepulauan Nusantara, dan Cina.

Orang Indonesia yang akan menunaikan ibadah haji kerap melintasi Aceh, dengan menggunakan kapal-kapal Aceh atau internasional. Aceh adalah wilayah yang dikenal sebagai Serambi Mekkah. Aboebakar Atjeh juga menulis bahwa dua orang ahli sejarah Iran, Sayid Mustafa Thabathaba’i dan Sayid Dhiya’ Shahab, dalam buku Hawla al-Alaqah ats Tsaqafiyah bayna Iran wa Indunizi (Tentang Hubungan Kebudayaan antara Iran dan Indonesia) menunjukan bahwa makam Maulana Malik Ibrahim Kasyani (wafat 822 H/1419 M) berada di Gresik, Jawa Timur, dan makamnya Sayid Syarif Qahhar bin Amir Ali Astarabadi (wafat 833 H) dan Hisamuddin Naini berada di Aceh.[30]

Sayid Mustafa juga melihat makam lainnya, yang pada papan makamnya tertulis beberapa baris ayat al-Qur’an dan syair tentang keagungan Imam Ali as, yang terjemahannya kira-kira sebagai berikut;

Pemuka Para Pemberani, Singa Tuhan,
Kekuatan Tuhan
Tidak ada pemuda kecuali Ali,
Tidak ada pedang kecuali Zulfikar.[31]

Masuknya ajaran Islam ke Sumatra umunya melalui usaha para sayid Alawi. Dalam kitab-kitab Arab kuno, kepulauan Nusantara tertulis denga nama Syarq al-Hind (Hindia Timur), Srilanka dengan nama Sarandip, kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama Sribaza, Kedah di Malaysia dengan nama Kalah, Jawa dengan nama Zabij, dan Kalimantan dengan nama Ranj.

Para mubalig yang pertama kali datang ke Brunai adalah para sayid dan syarif, dan masih memiliki hubungan keluarga dengan keluarga sultan-sultan di Brunai dan Fhilipina.

Sejarah Serawak, Malaysia, menunjukan bahwa raja Brunei, Sultan Barakat adalah anak keturunan Imam Husain bin Ali as. Demikian pula, para sultan di Mindanao, dan Sulu, di Fhilipina, adalah anak keturunan para sayid. Di Pontianak, Kalimanan, Indonesia, para sultan berasal dari kabilah Qadri. Dikatakan bahwa para sultan Brunei dan sultan Mindanao sama-sama berasal dari anak keturunan Imam Ali Zainal Abidin bin Husain as.

Para leluhur mereka berasal dari Hadramaut yang kemudian hijrah ke Johor, Malaysia. Para sultan Aceh pun berasal dari kalangan para sayid. Di Daerah Talang Sura, Palembang, Sumatra, terdapat makam Sayid Jamaluddin Agung bin Ahmad bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad, dari keturunan Imam Husain as. Begitu pula dengan Walisongo atau ’Sembilan Wali Jawa’ dan sultan-sultan di Jawa, semuanya berasal dari kalangan para sayid.[32]

Catatan Kaki

1. Q.S. al-Ahzab :67

2. Ibnu Saad, Tabaqat, Leiden, 1940, Vol. VII, p.17.

3. C.V.Avendonk. Art, Sharif, Encyclopedia of Islam, M. TH. Houtsma, A.J Wensink. (eds), Vol. IV S-Z, J. Britll Ltd, Leiden, 1934, p.326.

4. Isfahani, Kitab al-Aghani, Math’ah Bulak, Cairo, 1285 A.H Vol. XVII, p.105-6.

5. Sharji, Thabaqat al-Khawawas, Cairo, 1321 AH, p. 2,3, 195.

6. Dhahabi, Tharikh al-islam, Manuscript, Leiden, 1721, Vol. 65A.

7. Nurwairi, Nihayat al-Arab, Wizarah al-Thaqafah wa al-Isryad al-Gawmi (ed). Dar al Kutub, Cairo, 1955, Vol. II, p.277. Hanya pada zaman kerajaan Fatimiah Mesir, keturunan Imam Hasan dan Imam Husain di juluki “syarif”, silahkan merujuk Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyah, Enger, (ed), Bonn, 1853 AD, p. 277.

8. Ibnu al-Faqih, Mukhtasar Kitab al Buldan, MJ, de Goeje (ed) Leiden, Brill, 1885, p.33.

9. Mahayudin Haji Yahya, Sejarah Orang Syed di Pahang, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1984, p.3.

10. Mahayudin Haji Yahya, Sejarah Orang Syed, ibid. p.4.

11. Shalli, Kitab al-Mashra ar-Rawwi fi Manaqib as-Sadah al-Kiram al-Abi Alawi, al-Matba’ah al-Amiriah al-Sharafiyyah, Cairo, 1319 H/1901 M, Vol. I, p. 121.

12. Shalli, Kitab al-Mashra, loc. Cit.

13. Shalli, Kitab al-Mashra, ibid, p.129.

14. R.B.Serjeant, “Historians and Historiography of Hadramaut”, Buletin of SOAS, XXV, No.2, Londom 1962, p.245.

15. Ya’kubi, Tarikh, Mathba’ah al-Ghurri, Najaf, 1358 H, Vol. II, p.219.

16. R.B. Serjenant, The Sayids of Hadramaut, School of Oriental and African Studies, University of London, Luzan and Co, London, 1957, p.3. Lihat Sayid Alwi bin Thahir al-Haddad, Uqud al-Almas (Arabic). Mathba’ah al-Madani, Cairo, 1968, Second Edition, Vol.2.pp. 45-46. Lihat juga al-Idrus bin Umar al-Habsyi, Iqd al-Yawaqit al-Jawahiriah, Cairo, 1317 H, Vol. I, p. 127.

17. Ibnu kHldun, Muqaddimah, Wazarat al-Thaqafah wa al-Irsyad al-Qawmi, Cairo, 1960, pp. 261-262. Lihat H.A. R.Gibb and Kramers (eds), Shorter Encycopeadia of Islam, E.J.Brill, Leiden, 1953, p.573. Lihat juga H.A. R Gibb, Mohammedanism, Oxford University Press, London, 1969, p.104.

18. Sayid Alawi b. Tahir al-Haddad, Uqud al- Almas, op.cit, pp.82-87.

19. Sayid Muhammad b. Salim al-Attas, Aziz al-Manal wa Fath al- Wisal, Malaysia Press, Berhad, Singapura, 1974. Lihat juga Mahyudin Haji Yahya, Sejarah Orang Syed, op.cit, p.16.

20. S.Q. Fatimi, Islam Comes to Malaysia, Sociological Reseach Institute, Ltd, Singapore, 1960, p.94.

21. A.H. Hill (ed), Hikayat Raja-raja Pasai, JMBRAS, No 33, Part 2, 1960, p.32-33.

22. Buzani, “Pengaruh Kebudayaan dan Bahasa Persia Terhdap Kesusastraan Indonesia”, Majalah Fakultas Sastra, Universitas Tehran no I, Tahun ke-14, 1345 Sh, p.6.

23. A.H. Hill, (ed), Hikayat Raja-raja Pasai, JMBRAS, No.3, Part 2 1960, pp.32-33, 117-120.

24. S.R. Winstedt (ed), The Sejarah Melayu (Malay Annals), JMPRAS, XXVI, Pt I, 1938, pp. 170-172.

25. A. Hasjmi (ed), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, P.T. Al-Maarif, Jakarta, 1981, p.375. Lihat juga Mhayudin Haji Yahya, Sejarah Orang Syed di Pahang, op, cit, p.23.

26. R.B. Serjeant, The Sayids of Haramaut, op, cit, pp.24-25.

27. Alawi b. Thahir al-Haddad, Uqud al-Almas, op, cit, p.131.

28. Mahayudin Haji Yahya, Sejarah Orang Syed, op, cit., p.25.

29. Shahabudin Ahmad bin Abdul Wahab an-Numairi, Nihayat al-Arab fi Funun al-Adab, Wizarat ath-Thaqafah wa al-Irsyad al-Qawmi, Cairo, 1932, Vol. I, p. 230. Lihat juga Ahmad b. Ali al- Maqrizi, Khitat, Mathbaah Bulak, Cairo, 1279 H, Vol I. lihat juga Haji Aboebakar Atjeh, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Panitia Seminar, Medan, 1963, pp. 109-110, 123. Lihat juga Mahayudi Haji Yahya, Sejarah Orang Syed, ibid, pp. 33,37.

30. Aboebakar Atjeh, Aliran Syiah di Nusantara, Islamic Reseach Institute, Jakarta, 1977, p.31-32. Lihat juga Sayid Musthafa A-Thabataba’i and Dhiya Shahab, Hawla al-Alaqah ats-Tsaqafiyah bayna Iran wa Indonesia, Embassy of Iran, Jakarta, 1960.

31. Aboebakar Atjeh, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Ramadhani, Solo, Jawa Tengah, 1985, p.29.

32. Aboebakar Atjeh, Masuknya Islam, ibid, p.35-37. Lihat juga S. Baring Gould, A History of Sarawak Under Two White Rajahs, Singapore. Lihat juga Al-Habib Alwi bin Thahir al-Haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, Penerbit Lentera, Jakarta, 1995, pp.69-115.

Dikutip dari buku "Kafilah Budaya", karya Dr. Muhammad Zafar Iqbal, terbitan: Citra, Jakarta, tahun 2006

http://www.taghrib.ir/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=184:pengaruh-persia-terhadap-kebudayaan-indonesia-&catid=44:mirase-moshtarak&Itemid=145