Selasa, 15 Mei 2012

Risalah Cinta buat Mereka yang Berbeda Mazhab

“Aku mencintaimu, wahai Malik,” kata Imam Ja’far Ash Shadiq setelah tamunya itu duduk di atas permadani seraya bersandar dengan nyaman di bantal yang menempel ke dinding. Sebenarnya, sang tamu, Imam Malik, adalah murid dari Imam Shadiq. Tapi, penghormatan yang sangat besar Imam Shadiq kepada muridnya itu membuatnya memperlakukan sang murid layaknya seorang tamu agung.
Peristiwa sambutan itu sangat berkesan bagi Imam Malik. Apalagi selama kunjungan ilmiahnya ke Madinah dan Mekah itu, Imam Malik juga menyaksikan hal-hal yang luar biasa dari sang guru. Inilah penuturan Imam Malik
“Demi Allah, aku tidak pernah sekalipun menemuinya kecuali beliau sedang shalat, puasa, atau sedang membaca Al Quran. Suatu hari, aku berhaji bersamanya. Ketika tiba saatnya berihram dan mengucapkan talbiah, bergetarlah seluruh tubuhnya. Lidahnya kelu dan tak mampu mengucapkan kalimat apapun. Aku katakan kepadanya, ‘Ya Aba Abdillah, setelah berihram Anda harus mengatakan ‘Labbayka Allahumma labbayk –kupenuhi panggilan-Mu Ya Allah’. Mendengar kata-kataku, ia menjawab, ‘Wahai Malik, aku sungguh takut, ketika kukatakan ‘Labbayka Allahumma labbayk’, Allah lalu menjawab seruanku dengan jawaban, ‘La labbayka wa la sa’dayka- tak ada sambutan dan tak ada kebahagiaan bagimu-”

Itulah sepenggal cerita dari Imam Malik sebagaimana yang tercantum dalam kitab Al Khishal: 167 Kaum Muslimin dunia kemudian mengenal Imam Malik sebagai imam salah satu madzhab besar dunia, yaitu Madzhab Maliki. Sedangkan sang guru, Imam Shadiq, punya pengikut yang dikenal sebagai kelompok Syiah. Keduanya memiliki identitas masing-masing yang berbeda satu sama lain. Berabad-abad kemudian, ada di antara para pengikut kedua madzhab itu yang sedemikian fanatiknya terhadap perbedaan itu, untuk kemudian menjadikannya sebagai sumber perpecahan. Penghormatan Imam Shadiq terhadap Imam Malik, dan juga kekaguman Imam Malik kepada Imam Shadiq tidak pernah lagi diingat apalagi diceritakan.

Perpecahan dan pertengkaran (bahkan sering disertai dengan peng-kafiran) yang berasal dari perbedaan pandangan madzhab itu juga terjadi di antara madzhab-madzhab lainnya. Padahal, sebagaimana yang terjadi pada pengikut Syi’i dan Maliki, para pembesar mereka dulunya adalah orang-orang yang saling memuji, saling menghormati, bahkan saling menimba ilmu satu sama lain. Ekstremitas dan fanatisme yang tidak perlu memang seringkali ditunjukkan oleh kalangan awam, padahal para pemimpin mereka mencontohkan hal yang berbeda.

Salah satu hambatan terbesar dalam hal persatuan ummat Islam atau pendekatan antarmadzhab Sunni dan Syiah adalah sikap, keyakinan, dan penghormatan yang berbeda yang ditunjukkan masing-masing kelompok terkait dengan imam, ulama rujukan, dan orang-orang tertentu. Ada satu kesan umum yang berlaku di kalangan Sunni bahwa orang-orang Syiah tidak pernah menyembunyikan kebenciannya terhadap para Sahabat, padahal para Sahabat adalah orang-orang yang sangat dimuliakan oleh orang-orang Sunni. Bagaimana mungkin menyatukan dua kelompok, jika yang satu sangat memuliakan Sahabat, sementara yang lain mencercanya? Pada artikel sebelumnya, saya mengemukakan penuturan Dr Al Qarni yang secara tegas meminta agar orang-orang Syiah juga menunjukkan penghormatan kepada para sahabat, sebagaimana orang-orang Sunni sangat memuliakan keluarga Nabi.

Seruan Al Qarni memang seharusnya diperhatikan oleh orang-orang Syiah. Bagaimanapun juga, fakta menunjukkan bahwa dalam sistem kepercayaan Ahlu Sunnah, Sahabat adalah simbol kesalehan dan generasi terbaik yang menjadi panutan. Tentu fakta ini difahami dengan baik oleh orang-orang Syiah. Karena itu, akal sehat kita pastilah tidak bisa menerima jika orang-orang Syiah masih sangat suka mempermasalahkan kredibilitas Sahabat dalam forum apapun.

Kebiasaan mempermasalahkan kredibilitas para sahabat itu juga bisa jadi malah kontradiktif dengan prinsip dan keyakinan yang ditunjukkan para imam dan ulama Syiah sepanjang sejarah. Imam Ali bin Abi Thalib, misalnya, sering mengenang masa-masa indah manakala beliau hidup bersama Rasulullah dan para sahabatnya yang setia.

“Dulu kami hidup di zaman Rasulullah, berjuang bersama-sama sampai-sampai harus membunuh orang-orang terdekat kami demi Islam. Namun hal itu tidaklah menambahkan kepada kami, kecuali kesabaran yang dapat mengurangi penderitaan,” demikian kata Imam Ali. Beliau kemukakan kenangan seperti itu sambil membandingkan generasi para Sahabat dengan generasi yang hidup sezaman dengan beliau. “Kalau kami saat itu berperilaku seperti kondisi kalian saat ini, Islam tidak akan mungkin berdiri tegak dan membuahkan hasil.”

Imam Ali Zainal Abidin juga berdoa secara khusus untuk para Sahabat dengan mengatakan, “Ya Allah untuk para Sahabat yang telah menjalin persahabatan baik dengan Nabi-Mu, .... -Imam lalu memanjatkan senarai doa.”
Di awal tulisan ini sudah dikemukakan penghormatan timbal balik antara Imam Shadiq dan Imam Malik. Penghormatan timbal balik yang sama juga ditunjukkan secara tulus antara para imam dan ulama Ahlul Bait dan para imam dan ulama dari kalangan madzhab Sunni lainnya.

Imam Abu Hanifah pernah mengungkapkan pernyataan yang terkenal, “Law la sanatani la halaka Nu’man (kalaulah tiada masa dua tahun itu, binasalah Nu’man).” Dua tahun yang dimaksud dalam perkataan itu merujuk kepada masa-masa ketika beliau menimba ilmu kepada Imam Shadiq. Sementara itu Nu’man adalah nama kecil Imam Abu Hanifah.
Imam Syafi’i malah dikenal sebagai orang yang sangat dekat dengan Ahlul Bait Nabi. Ketika pada saat itu ada upaya politis untuk mendiskreditkan para pecinta Ahlul Bait Nabi, dengan lantang Imam Syafi’i mengatakan bahwa dirinya siap dicap sebagai Rafidhi (sesat), jika kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi dianggap sebagai kesesatan.

Imam Syafi’i juga pernah menuliskan syair yang isinya kurang lebih seperti ini:

“Wahai keluarga Rasulullah, kecintaan kepada kalian adalah sebuah kewajiban yang disebutkan oleh Allah di dalam Al Quran. Cukuplah itu bagi kalian sebagai kemuliaan, karena shalat yang dilakukan tanpa bershalawat kepada kalian dihukumi sebagai shalat yang tidak sah.”

Imam Ahmad bin Hanbal juga demikian. Diriwayatkan bahwa suatu hari ada perdebatan sengit dalam sebuah majelis. Yang diperdebatkan sebenarnya masalah klasik: Imam Ali dan khilafah. Orang-orang berdebat tentang kelayakan Imam Ali menjadi khalifah.  Imam Ahmad saat itu menutup perdebatan sambil dengan tegas menyatakan bahwa kalau yang diperhatikan adalah kapabilitas Imam Ali dari segala segi (kemuliaan, ilmu, jasa, kedekatan dengan Rasulullah, ketakwaan, keberanian, kepahlawanan, dll) segalanya menjadi sangat jelas. “Mengapa kalian memperdebatkan Ali dan khilafah? Sungguh Ali tidak menjadi lebih mulia dengan kursi khilafahnya. Kursi khilafahlah yang mendapatkan kemuliaan dengan duduknya Ali di atasnya.”
Hubungan baik dan kecintaan antarmazhab ini terus berlanjut sampai kepada para ulama dan para pengikut di generasi-generasi sesudahnya. Syeikh Al Mufid adalah seorang ulama Syiah terkenal. Salah satu keistimewaan beliau adalah kebiasaannya untuk selalu melakukan kontak dengan para ulama dari berbagai madzhab. Inilah yang menyebabkan kitab-kitab karya Syeikh Al Mufid penuh dengan berbagai pandangan para ulama dari madzhab-madzhab yang berbeda.

Begitu pula Syeikh Ath Thusi, ulama besar Syiah lainnya. Setelah menelaah dengan seksama pandangan para ulama dari berbagai madzhab, Ath Thusi menulis buku yang diberi judul Al Khilaf. Sedemikian mendalamnya pemaparan Ath Thusi tentang pemikiran yang ada pada madzhab lain, sampai-sampai As Subki, seorang ulama besar Syafi’i, menyebut Syeikh Ath Thusi sebagai pengikut Syafi’i. Tentu saja As Subki tahu persis bahwa Syeikh Ath Thusi itu adalah ulama Syiah. Namun menurutnya, Ath Thusi sangat menguasai pandangan Imam Syafi’i seakan-akan beliau adalah seorang ulama dari madzhab ini.

Contoh lain yang bisa dikemukakan adalah Muhammad Al Makki (lebih dikenal dengan gelar Asy Syahid Al Awwal), seorang ulama besar Syiah lainnya. Sejarah menunjukkan bahwa beliau memang menimba ilmu kepada para ustadz Ahlussunah. Salah seorang murid beliau yang Zainuddin Al ‘Amili (dikenal dengan nama Asy Syahid Ats Tsani), juga berguru kepada 40 orang dari para ulama alumni Al Azhar, Mesir.

Ini adalah fakta sejarah. Jadi, jika ada orang Syiah yang sangat membenci saudara-saudaranya dari kalangan Ahlus Sunnah, otentisitas kesyiahannya layak untuk dipertanyakan. Cukuplah di sini ditegaskan sekali lagi bahwa para takoh dan ulama Syiah sejak dulu sampai sekarang selalu punya risalah cinta yang ditujukan kepada saudara-saudara mereka Ahlus Sunnah.
Sampai sekarang? Mungkin ada yang meragukan pernyataan ini. Mungkin ada yang mengira bahwa risalah cinta tersebut hanya bagian dari sejarah dan kini sudah menjadi cerita-cerita lama. Mungkin ada yang mengira bahwa para ulama dan tokoh Syiah masa kini sudah tidak lagi punya minat dan pandangan terhadap upaya persatuan ummat, terutama yang menyangkut penghormatan terhadap para sahabat.

Pesimisme semacam ini agaknya keliru. Sebagian besar riwayat yang dikutipkan di atas merupakan transkrip dari pidato sambutan Sekjen The World Forum for Proximity of Islamic Schools, Ayatullah Ali Taskhiri, pada Konferensi Internasional Persatuan Antarmazhab, di Jakarta Desember 2009 lalu. Taskhiri dikenal sebagai salah seorang ulama Syiah kontemporer, dan nyatanya, ia sangat antusias menngutip riwayat-riwayat tentang penghormatan kepada para sahabat dan tokoh Sunni.
Tentu saja riwayat-riwayat tersebut dikutip dalam konteks yang sangat jelas. Beliau ingin menyatakan bahwa romantisme persaudaraan dan persatuan itu masih sangat dirindui oleh kalangan internal Syiah sampai sekarang. Taskhiri menyatakan bahwa ada kesenjangan antara kondisi zaman sekarang dan kondisi masa di masa lalu. Simaklah penuturan Taskhiri berikut ini.
“Inilah kondisi pada zaman dahulu yang berjalan secara alami dan Islam. Sangat disayang bahwa kondisi kita saat ini jauh berbeda. Sekelompok orang karena kepentingan musuh, kepentingan pribadi, kebijakan pemerintah tertentu, karena fanatisme, atau kadangkala karena kepicikan dan sedikitnya ilmu, lalu mengubah kondisi yang seharusnya cair dan alami ini menjadi sektarianisme buta, fanatisme, dan ekstrimisme. Sikap buruk ini lalu berkembang menjadi lebih buruk, yaitu ketika sebagian dari kaum Muslimin memandang yang lainnya sebagai kafir, lalu menganggap bahwa agama yang benar hanyalah monopoli dirinya dan kelompoknya.

“Sikap sektarianisme adalah sebuah kemunduran. Penyebabnya adalah fanatisme dan kebodohan. Ketika dibiarkan, lahirlah berbagai tindakan terorisme. Kita harusnya membersihkan diri dari segala tindakan terorisme. Islam sangat menentang tindakan kekerasan dan penganiayaan terhadap orang lain. Karena itu, dalam kesempatan ini, marilah kita serukan ajakan kepada seluruh kaum Muslimin agar mereka kembali kepada kondisi dahulu yang kini telah hilang dan lenyap dari genggaman kita.
“Marilah kita dekatkan seluruh hati kita. Mari kita tebar kasih sayang di antara kita.  Persatuan dan kasih sayang antar sesama Muslim merupakan rahasia kemenangan di zaman awal Islam. Hal tersebut sampai sekarang tidak berubah. Persatuan dan kasih sayang di antara ummat Islam menjadi faktor penentu kemenangan dan keberhasilan Islam saat ini.”

1 komentar:

  1. tulisan yang sangat bermanfaat... sangat baik sebagai bahan renungan

    BalasHapus