Oleh: Yasser Arafat
Belum lama ini saya membaca sebuah artikel yang dibuat oleh Adian Husaini, berisikan resume tentang buku bantahan yang membantah buku “Sunnah Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?” yang ditulis oleh Dr. Quraish Shihab. Buku bantahan yang berjudul cukup panjang, “Mungkinkah Sunnah Syi’ah dalam Ukhuwah? Jawaban atas buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah Syi’ah bergandengan tangan! Mungkinkah)” itu disusun oleh Tim Penulis Buku Pustaka Sidogiri, Pondok Pesantren Sidogiri yang dipimpin oleh Ahmad Qusyairi Ismail.
Entah apa yang
membuat aku ingin mencoba menanggapi tulisan seorang ulama ternama di
Indonesia, yang terkenal kecakapannya sekelas Adian Husaini. Mohon
kiranya tanggapanku ini tidak dimaknai sebagai bentuk kelancangan sikap
seorang anak kecil yang masih bau kencur kepada seorang ustadz sepintar
Adian Husaini. Sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh Ahmad Qusyairi
Ismail, yang katanya masih muda, ketika mengkritisi buku dari seorang
ulama yang sudah sepuh dan telah menghasilkan satu buku tafsir
Al-Qur’an.
Pada bagian
sampul belakang buku terbitan Pesantren Sidogiri tersebut, ada sambutan
dari KH. A. Nawawi Abdul Djalil seorang pengasuh Pesantren Sidogiri.
Beliau berkata, ”Mungkin saja, Syi’ah tidak akan pernah habis sampai
hari kiamat dan menjadi tantangan utama akidah Ahlulsunnah. Oleh karena
itu, kajian sungguh-sungguh yang dilakukan anak-anak muda seperti ananda
Qusyairi dan kawan-kawannya ini, menurut saya merupakan langkah penting
untuk membendung pengaruh aliran sesat semacam Syi’ah.”
Membaca komentar
dari ustadz A. Nawawi Abdul Djalil diatas, aku tergoda untuk mengutipkan
beberapa perkataan ulama dan tokoh pejuang Islam mengenai Syi’ah,
Revolusi Iran, dan Imam Khomeini.
Pandangan Beberapa Ulama Ahlulsunnah
Beberapa tahun
silam Iran, negara yang saat itu tengah diperintah oleh seorang raja
dzalim, melalui kegigihan dan ketabahan Imam Khomeini beserta para
pengikutnya, berhasil melakukan sebuah revolusi Islam yang ditandai
dengan digulingkannya raja dzalim yang berkuasa pada saat itu.
Sehubungan dengan keberhasilan Revolusi Islam di Iran, ada beberapa
pandangan negatif terhadapnya. Pandangan negatif itu muncul hanya karena
yang melakukan revolusi ini adalah orang-orang Syi’ah yang, menurut
sebagian umat Islam, dihakimi sebagai aliran sesat.
Dari ucapan A.
Nawawi Abdul Djalil diatas menunjukkan bahwa sebenarnya ditengah-tengah
umat Islam masih ada saja stigma negatif atas syi’ah yang berkembang.
Usaha untuk mendiskreditkan Syi’ah nampak sekali tidak pernah berhenti
sampai sekarang. Mulai dari dari memanipulasi kutipan-kutipan dari
ucapan para ulama Syi’ah ternama, sampai menuduhkan sesuatu hal padahal
hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh umat Syi’ah. Sering kali juga
perilaku salah satu umat Islam Syi’ah yang menyimpang, dijadikan busur
panah fitnah yang diarahkan dan siap dilepaskan kepada Syi’ah guna membunuh karakter Syi’ah.
Berangkat dari
fenomena tersebut, izinkan aku untuk mengutipkan pandangan para pejuang
Islam di luar Syi’ah yang sekiranya dapat dijadikan sebagai indikator
(petunjuk) apakah kaum Syi’ah (Imamiyah), yang merupakan mayoritas besar
masyarakat Iran, dipandang sebagai sesama saudara Muslimin oleh kaum
Muslimin yang bukan Syi’ah.
Dalam bukunya Al-Harakat al-islamiyyah wa al-Tahdits, Rasyid Al-Ghannusyi memandang adanya suatu pendekatan Islam yang baru, yakni sebagai yang telah dijelaskan dan diberi bentuk yang kukuh oleh Imam Hasan Al-Banna, Abul A’la Al-Maududi, Sayyid Quthub dan Imam Khomeini wakil-wakil
yang paling penting dari cara pendekatan Islam pada gerakan jaman ini.
Beliau juga berkeyakinan bahwa keberhasilan Revolusi Islam di Iran itu
akan merupakan permulaan suatu peradaban Islam yang baru. Di bawah
subjudul Apakah yang kita maksudkan dengan Gerakan Islam?, Al-Ghannusyi
mengatakan: ”Yang kami maksudkan ialah pendekatan yang bersumber dari
pengertian Negara Islam yang komprehensif (bersifat mampu menerima
dengan baik), sesuai dengan tiga cara pendekatan (yang benar) oleh
Ikhwanul Muslimin, Jama’at Islami di Pakistan, serta gerakan Imam
Khomeini di Iran.” Beliau menuturkan lebih lanjut, ”Suatu
operasi, yang mungkin akan merupakan suatu dari peristiwa-peristiwa
dalam sejarah gerakan kemerdekaan di seluruh kawasan ini, telah dimulai
di Iran, yang akan membebaskan Islam dari kekuasaan pemerintah yang
memperalat Islam untuk mencegah gelombang revolusi ke kawasan itu.”
Maulana Abul A’la Al-Maududi,
seorang ulama terkemuka yang juga pendiri dan pemimpin Jama’at Islami
di Pakistan, mengeluarkan sebuah fatwa tentang Revolusi di Iran:
”Revolusi Khomaini adalah Revolusi Islam. Pesertanya dari kalangan umat
Islam dan pemuda-pemuda yang terdidik dalam gerakan-gerakan Islam.
Seluruh kaum Muslimin pada umumnya, dan gerakan-gerakan Islam pada
khususnya, harus mendukung revolusi itu dan bekerja sama dengannya dalam
segala-galanya.” (Majalah Al-Da’wah, Kairo, 29 Agustus 1979)
Rektor Universitas Al-Azhar dalam wawancaranya dengan koran al-Syarq al-Ausath
yang diterbitkan di London dan Jeddah, 3 Februari 1979, mengatakan:
”Imam Khomeini adalah saudara kita dalam Islam. Kaum Muslimin, walaupun
berbeda mazhab, adalah sesama saudara dalam Islam, dan Imam Khomeini
berdiri di bawah panji yang sama dengan saya: Islam.”
Dari beberapa
pendapat ulama-ulama tersebut, semuanya mengatakan bahwa Revolusi yang
dipimpin oleh Imam Khomeini di Iran bukanlah Revolusi Iran, tetapi
Revolusi Islam. Itu berarti Syi’ah itu muslim, dia bersaudara dengan
Ahlulsunnah.
Petunjuk Jalan Lurus
Di dalam shalat
yang sehari-hari kita lakukan, sebagai hamba Tuhan mengakui
ketidakberdayaan di hadapan-Nya untuk mengetahuai secara pasti jalan
manakah yang merupakan jalan lurus (kebenaran) dan jalan sesat
(kebatilan). Pengakuan diri itu kita ucapkan ketika membaca surat
Al-Fatihah ayat 6-7, ”Tunjukilah kami jalan yang
lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada
mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka
yang sesat.”
Maka menurut
hematku, kalau masih ada orang Islam yang merasa dirinya paling benar,
dirinya paling berhak atas surga Tuhan, maka sebenarnya dia belum
sepenuhnya menghayati makna shalat yang lima kali dalam sehari ia
lakukan.
Di dalam Surat An-Nahl ayat 125, Tuhan lebih menegaskan lagi, ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.”
Dengan segala
kerendahan hati, aku ingin mengatakan kepada seluruh umat Islam, kita
ini adalah makluk yang nisbi. Pengetahuan kita terkadang itu pengetahuan
yang nisbi pula. Sudah sepantasnya kita yang nisbi ini merendahkan hati
untuk tidak menganggap diri kita paling benar dan paling shaleh
diantara yang lain. Bukankah Iblis dilaknat Tuhan ketika Iblis merasa
dirinya paling baik dibandingkan manusia. Satu perkataan iblis yang
terkenal, ”Ana khairum min hum. Aku lebih baik dari dia.” Perkataan itulah yang mengantarkan iblis pada laknat Tuhan.
Terakhir untuk
menutup tulisan ini, aku ingin menyampaikan bahwa dalam Al-Qur’an Tuhan
telah memerintahkan umat Islam yang telah terpecah belah, seperti yang
disabdakan Rasulullah, untuk bersatu dan tidak berpecah belah. Persatuan
Islam, dalam hal ini Ahlulsunnah dan Syi’ah, adalah suatu keniscayaan
karena tidak mungkin Allah memerintahkan kita melakukan sesuatu
sedangkan kita tidak mampu melakukannya. Tuhan memerintahkan sesuatu
sesuai dengan kemampuan hamba-Nya.
Ambillah Hamas
dan Hizbullah sebagai contoh. Keduanya menampilkan suatu keharmonisan
dan kerjasama dalam melawan Zionis Israel. Ahlulsunnah yang diwakili
oleh Hamas dan Syi’ah yang diwakili oleh Hizbullah berjuang melawan
agresi militer Zionis Israel yang biadab.
Disaat Zionis
Israel menghembuskan propaganda devide et impera, sekelompok umat Islam
yang merasa dirinya paling benar dan paling shaleh juga ikut-ikutan
menghembuskan nafas permusuhan dikalangan umat Islam. Mengapa sebagian
dari kita malah senang melakukan sesuatu yang ujung-ujungnya
menguntungkan pihak yang memusuhi Islam?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar