“Namanya juga media massa, ada orang di pinggir jurang belum jadi
berita. Tapi kalau sudah nyebur ke jurang baru jadi berita.
Kadang-kadang dia tunggu dulu sampai orang itu masuk jurang. Bahkan bila
perlu didorong agar masuk jurang supaya jadi berita.” Itulah kritik Habib Muhammad Rizieq Shihab, Ketua Front Pembela Islam
(FPI), terhadap media-media massa, yang baginya, sering tidak adil
dalam memberitakan aktivitas ormas yang dipimpinnya.
Padahal, bagi Habib Rizieq, demikian ulama vokal ini biasa disapa,
FPI memiliki empat metode dalam menjalankan setiap aktivitasnya, yang
jarang diungkap media-media massa. Pertama, FPI harus mengedepankan
kelembutan sementara tindakan tegas hanyalah solusi akhir. Kedua, FPI
hanya concern terhadap jenis “kemaksiatan” yang sudah disepakati, bukan
yang masih diperselisihkan. Ketiga, FPI hanya memerangi maksiat yang
dilakukan secara terang-terangan dan terbuka. Keempat, FPI membagi dua
wilayah: amar makruf dan nahi mungkar. Amar makruf adalah wilayah
kemasiatan yang “didukung” oleh masyarakat, misalnya, karena persoalan
mata pencaharian. Di sini, tidak dilakukan tindakan tegas demi
menghindari konflik horizontal dan mudarat yang lebih besar.
Wilayah seperti ini adalah harus didekati dengan memperbanyak dakwah,
mengirim ustad, dan melakukan pencerahan tentang buruknya maksiat.
Sedangkan wilayah nahi mungkar adalah ranah kemasiatan yang sudah tidak
disukai oleh masyarakat. Hanya saja karena kemaksiatan itu didukung oleh
pihak-pihak yang punya kekuatan, maka masyarakat menjadi takut dan
diam.
“Inilah penegakan amar makruf dan nahi mungkar model FPI yang tak
pernah diungkap media,” keluh Rizieq, yang pernah mendekam di Rutan
Salemba selama tujuh bulan karena dianggap menyebarkan perasaan
permusuhan dan kebencian terhadap pemerintah (154 KUHP) pada Agustus
2003.
Di rumahnya yang sederhana, di Gang Bethel kawasan Petamburan, ulama
berusia 43 tahun, lulusan Ummul Quro, Saudi Arabia, itu menerima Majalah
SYIAR untuk berbincang seputar Islam di Indonesia.
Bisa diceritakan mengapa Anda membentuk FPI?
FPI lahir karena tuntutan situasi dan kondisi ketika kemaksiatan dan
kezaliman merajalela di mana-mana, sehingga harus ada barisan umat yang
berani mengambil sikap tegas, jelas, dan nyata dalam berkonfrontasi
melawan kemasiatan, kemungkaran, dan kezaliman. Visi dan misi FPI adalah
amar makruf dan nahi mungkar menuju penerapan Islam secara kaffah.
Ulama menjelaskan bahwa hisbah (perkara-perkara yang tidak ada dalam
narasi agama tetapi tidak boleh diabaikan—red) tidak berlaku hanya pada
negara tetapi juga pada perorangan. Imam al-Mawardi dalam al-Ahkâm
as-Sulthâniyyah, manakala negara telah melaksanakan tugas hisbah -nya,
maka individu tidak wajib lagi. Cuma yang jadi pertanyaan, bagaimana
bila perangkat di negara ini tidak menegakkan hisbah? Maka, kewajiban
itu tidak gugur dari pundak kita.
Di Indonesia, kewajiban hisbah ada pada pundak pemerintah, penegak
hukum, polisi, jaksa, hakim, dan seterusnya. Manakala perangkat ini
bekerja dan berfungsi secara optimal, maka organisasi semacam FPI tidak
diperlukan lagi. Sebaliknya, bila semua perangkat itu tidak berfungsi,
maka keberadaan FPI menjadi keharusan dan kebutuhan. Sebagai bagian dari
masyarakat, FPI adalah perwujudan penolakan atas kemaksiatan dan
kezaliman.
Apakah Anda punya model negara ideal yang menjalankan syariat Islam?
Sekarang ini telah bermunculan negara-negara Muslim yang menjalankan
hukum Islam. Di samping punya kelebihan, mereka juga punya kekurangan.
Contohnya adalah Iran. Setelah Shah Iran tumbang, Ayatulah Khomeini dan
pengikutnya membentuk Republik Islam Iran. Terlepas dari perbedaan
mazhab yang ada, kita juga jangan lupa bahwa model kepeimipinan Islam
ini kan juga terlihat di Sudan meskipun sudah diacak-acak kekuatan
asing. Kalau lemah, niscaya Iran pun akan diacak-acak. Sebagaimana kita
tahu, sejak memproklamasikan diri sebagai Republik Islam, Iran langsung
diserang Irak, dan terjadilah Perang Teluk. Iran dikerubuti berbagai
macam negara dan tekanan Barat juga tidak berkurang. Artinya, tidak ada
satu pun negara Islam di dunia ini yang akan luput dari tekanan. Di
Aljazair, partai Islam sudah menang pemilu tapi dikhianati.
Di kalangan Syiah, Iran sudah menjadi contoh, meskipun ada perbedaan
pendapat antara Khomeini dan Muhammad Jawad Mughniyah tentang konsep
“wilayatul faqih” yang belum tuntas hingga saat ini. Polemik ini adalah
salah satu wujud kekurangan Iran. Sedangkan dari segi sistem politik,
Iran boleh dikatakan sudah menjadi percontohan. Kita berharap ke depan
akan muncul negara-negara Islam lainnya yang bisa menjadi percontohan.
Ada beberapa kesan yang saya dapat dari kunjungan saya ke Iran.
Sebagai Sunni Syafi’i, tentu kita punya pandangan sendiri tentang Syiah.
Namun demikian, antara memandang Syiah dari jauh dengan memandang Syiah
dari dekat itu beda. Dari jauh, Syiah itu begini dan begitu. Sedangkan
bila dilihat dari dekat, ternyata tidak seperti itu. Setidaknya,
kunjungan saya (ke Iran—red) itu akan melunturkan kebekuan. Tadinya
mungkin kaku dan anti-dialog. Tapi setelah kunjungan itu, agak sedikit
lebih cair dan terbuka. Yang kemarin tidak mau mendengar sekarang jadi
mau mendengar. Yang kemarin mau menyerang kini mengajak dialog.
Ke depan, sikap ini perlu dikembangkan. Sebetulnya banyak perbedaan
Sunni-Syiah, baik dalam ushul maupun furu’. Tapi kita ingin menjawab
dalam realita kehidupan sehari-hari, apakah betul tidak ada jalan untuk
mendudukkan mereka bersama. Apakah betul tidak ada ruang dialog di
antara mereka?
Saya lihat banyak sisi yang bisa didialogkan. Selama secara
terang-terangan dan terbuka mencaci-maki Abu Bakar, Umar, dan Usman,
berarti orang-orang Syiah telah menutup pintu dialog. Mustahil ada Sunni
yang mau diajak dialog kalau mendengar dari mulut Syiah sesuatu yang
jelek tentang mereka. Orang Syiah mesti memahami kejiwaan dan perasaan
sensitif Sunni sehingga tidak mencaci-maki atau menghina, apalagi
mengkafirkan mereka.
Begitu juga sebaliknya. Sunni tidak boleh menggeneralisasi bahwa
semua Syiah itu kafir dan sesat. Kalau diambil, pasti sikap seperti ini
akan menyakiti hati orang-orang Syiah. Ini juga akan menutup pintu
dialog.
Jadi, persatuan yang saya pahami bukan soal sependapat atau tidak
sependapat. Persatuan adalah masalah hati. Bila hatinya baik, berjiwa
besar, mau menerima perbedaan, mau berdialog, tidak mencaci-maki, dan
tidak menghina, setiap orang pasti bisa bersatu. Tapi kalau hatinya
sudah busuk dan rusak, orang tidak akan pernah bisa (bersatu—red).
Perbedaan kecil sedikit pun bisa menimbulkan permusuhan.
Perbedaan sekecil apa pun, bila disikapi dengan jiwa kerdil, dada
sempit, sikap egois, dan mau menang sendiri, pasti akan mendatangkan
perpecahan dan malapetaka. Apalagi kalau perbedaannya besar, wah sudah
pasti hancur lebur. Sebaliknya, perbedaan sebesar apa pun, kalau
disikapi dengan jiwa besar, dada lapang, sikap tafâhum, dan saling
hormat, insya Allah tidak akan menimbulkan perpecahan.
Sekali lagi, persatuan ini adalah masalah hati. Kita tidak bisa
memaksakan orang untuk sependapat. Mustahil. Sebab perbedaan pendapat
adalah sunnatullah yang akan selalu ada di setiap tempat dan zaman.
Bila Syiah mengkritik kepemimpinan Abu Bakar dengan cara ilmiah dan
santun dan disertai dalil-dalil dan argumentasi yang baik, Sunni wajib
menjawabnya. Kita pun mesti menjawab pertanyaan-pertanyaan orang kafir
yang bertanya tentang akidah kita. Seperti Ahmad Deedat terhadap
pertanyaan-pertanyaan orang kafir. Begitu juga sebaliknya. Nah, kedua
belah pihak (Sunni-Syiah—red) harus menjawab dengan santun.
Kalau Syiah, tanpa angin dan hujan, tiba-tiba mencaci Abu Bakar, itu
sama saja ngajak perang. Kritik terhadap sahabat, yang bagi Ahlusunah
adalah tabu tetapi biasa bagi Syiah, hendaknya disampaikan dengan adab,
ilmiah, akhlaqul karimah, dan tidak emosional.
Membangun hal seperti ini tidaklah mudah tetapi ini bisa menyatukan hati dan langkah dalam kalimatullah. Itu yang lebih penting.
Pandangan Anda tentang Syiah di Indonesia?
Kalau yang saya lihat selama ini, hubungan saya baik dengan
kawan-kawan Syiah di Indonesia. Apa yang saya sampaikan ke Anda sekarang
ini juga sudah saya sampaikan kepada mereka. Contohnya kepada Ustad
Hassan Daliel, saya katakan, “Bib (habib—red), kenapa kita bisa jalan
bareng? Karena saya belum pernah mendengar Anda mencaci-maki sahabat.
Nah, ini perlu dijaga. Yang saya dengar kritik antum juga sopan. Tapi
kalau suatu saat saya mengkafirkan Anda dan Anda maki-maki sahabat, kita
bisa musuhan.” Ini sebagai gambaran umum dari apa yang saya terima dari
Ustadz Hassan Daliel, Ustadz Othman Shihab, Ustadz Agus Abubakar,
Ustadz Husein Shahab, Ustadz Zein Alhadi, dan banyak lagi ustadz-ustadz
Syiah yang tidak perlu saya sebutkan satu persatu. Saya belum pernah
mendengar ungkapan jelek dari mulut-mulut mereka. Yang saya tahu mereka
adil, berilmu, berakal, dan beradab. Mudah-mudahan hubungan ini bisa
dipertahankan. Bahkan bukan hanya itu, saya berharap orang-orang seperti
mereka mampu tampil ke depan mendorong orang-orang Syiah yang di bawah
atau junior-junior mereka agar tidak mencaci-maki sahabat nabi. Sebab,
ada satu saja Syiah yang mencaci-maki sahabat, nanti orang-orang Sunni
yang tidak paham akan menggeneralisasi bahwa Syiah memang seperti itu.
Orang awam kan mudah menggeneralisasi.
Iran dikenal sebagai negara yang paling banyak membantu perjuangan
Hamas dan rakyat Palestina yang notabene Sunni. Apakah kenyataan ini
tidak bisa dijadikan momentum persatuan Sunni-Syiah?
Iya, betul itu. Itu hal yang saya sangat catat. Waktu saya ke Iran
kemarin, Khaled Mishal (Ketua Depatemen Politik Hamas—red) baru saja
pulang dari Iran, tempat yang sama dengan yang kita datangi.
Jadi, hubungan Hamas dan Hizbullah yang saling topang dan bantu
seharusnya menjadi potret bagi persatuan umat. Mereka tetap pada
pendapatnya masing-masing. Tapi pada saat mempunyai musuh bersama yang
bernama Israel dan Amerika, kekafiran dan kezaliman, Hamas-Hizbullah
bisa duduk dan jalan bersama. Kita juga bisa melihat hubungan erat
antara Hasan Nasrullah (Sekjen Hizbullah—red) yang Syiah dengan Fathi
Yakan (tokoh Ikhwanul Muslimin di Lebanon) yang Sunni. Bahkan Nasrullah
ngomong secara terbuka bahwa Fathi Yakan-lah yang pantas menggantikan
Siniora. Inilah potret positif yang luar biasa di zaman modern ini.
Di sisi lain, kita juga sedih bagaimana Syiah dan Sunni di Irak
begitu gampang diadu domba. Ini jelas permainan pihak ketiga. Dia (pihak
ketiga—red) meledakkan mesjid Syiah dan menuding Sunni, dan kemudian
meledakkan mesjid Sunni dan menuding Syiah.
Saya berharap kita bisa mengembangkan potret Sunni-Syiah yang
pertama. Potret yang kedua harus dihentikan segera. Sekarang di
mana-mana semakin transparan adu dombanya, seperti di Irak dan Pakistan.
Karena Syiah di Indonesia tidak besar, maka (adu domba itu—red) belum
terasa. Tapi di beberapa tempat adu-domba ini jelas berhasil.
Syiah bukan barang baru di Indonesia. Menurut Sejarahwan, Syiah
datang dari Gujarat dan Persia. Setidaknya budaya Persia cukup dikenal
dalam tradisi keberagamaan di Indonesia. Apakah ini bisa jadi salah satu
faktor pemersatu Sunni-Syiah?
Iya, itu bisa jadi faktor. Tapi, tetap faktor utamanya adalah masalah
jiwa besar dan akhlak yang baik. Orang Syiah yang berilmu dan berakhlak
tidak akan mungkin dari mulutnya keluar caci-maki kepada umat lain.
Tidak ada. Saya kenal ulama-ulama Syiah yang berakhlak dan berilmu.
Tidak ada keluar kata-kata kotor dari mulut mereka. Jadi, bila ada
aktivis-aktivis Syiah yang mengeluarkan kata-kata kotor tentang sahabat,
saya jadi heran, mereka itu ngikutin siapa?
Jadi, semua kembali ke hati, yang gambarannya bisa dilihat dari
mulut. Bila mulutnya sudah penuh umpatan dan caci-maki, pasti hatinya
sudah jelek. Kalau hatinya baik, dia bisa menghargai orang. Dia bisa
mengetahui dan menahan ucapannya yang bisa menyinggung saudaranya. Bila
ingin menyampaikan kebenaran, ia menyampaikannya dengan santun. Bahkan
bila kita berhadapan dengan orang kafir, meski mungkin hatinya
mencaci-maki Islam, yang menyampaikan kritiknya dengan sopan, kita mesti
menjawabnya. Nabi dulu juga berdialog dengan orang musyrik, kafir,
Nasrani, dan Yahudi. Itu contoh bagi kita.
Bagaimana dengan fatwa MUI yang menyesatkan Syiah?
Begini, kita tidak bisa menggeneralisasi semua Syiah sesat atau semua
Syiah tidak sesat. Sebab orang Syiah pun merngakui bahwa di internal
Syiah pun terdapat macam-macam golongan, dan di dalamnya ada pula yang
sesat, yakni yang menuhankan Ali, meyakini Jibril salah menyampaikan
risalah, dan al-Quran yang seharusnya lebih tebal daripada sekarang. Itu
ada dan diakui oleh Syiah mainstream. Dalam hal ini, yang dimaksudkan
dengan fatwa MUI tadi adalah Syiah yang semacam itu.
Yang perlu disadari betul oleh Syiah adalah bahwa Ahlusunah punya
sikap tegas soal sahabat. Bagi Sunni, siapa pun yang mencaci-maki dan
apalagi mengkafirkan sahabat akan dikatakan sesat. Ini kunci.
Oleh karena itu, untuk mengambil jalan tengah, Syiah harus menahan diri
dari mencaci-maki dan mengkafirkan sahabat. Ajaklah Sunni berdialog,
seperti yang dilakukan kelompok Zaidiyah yang masih bagian dari Syiah.
Kenapa Sunni dan Zaidiyah bisa akrab? Bahkan, kitab-kitab Zaidiyah,
seperti Subulus Salâm dan Naylul Awthâr, dipakai di pondok-pondok
(pesantren—red) Sunni.
Jadi, yang dikafirkan MUI tanpa ragu-ragu adalah Syiah yang
mengkafirkan sahabat, yang meyakini al-Quran berubah, atau yang
menganggap Ali lebih afdhal daripada Muhammad. Sekarang tinggal Syiah
Indonesia introspeksi diri, apakah mereka masuk ke dalam ciri-ciri yang
disesatkan MUI? Kalau tidak masuk dalam kelompok tersebut, tidak perlu
gerah dengan fatwa itu. Saya sendiri lebih suka MUI membuka dialog.
Hendaknya MUI mengundang tokoh-tokoh Syiah Indonesia untuk klarifikasi
seperti apakah Syiah mereka itu.
Sekali lagi, saya berpendapat, kita tidak bisa mengeneralisasi Syiah.
Sebab, Syiah itu macam-macam: ada yang moderat, konservatif, ekstrem,
dan bahkan ada yang kafir. Bahkan, Muhammad Jawad Mughniyah (ulama Syiah
Lebanon—red) dalam al-Fiqhu ‘ala al-Mazhâhib al-Khamsah mengatakan
bahwa Syiah ghulat adalah kafir. Katanya, gara-gara ghulat, kami, Syiah
Ja’fariyah, yang moderat jadi tertuduh. Waktu di Qum, saya melihat
aparat menggerebek majelis Syiah Alawiyah, yang menuhankan Ali. Artinya,
yang mengkafirkan Syiah ghulat bukan hanya MUI, bahkan ulama Syiah pun
mengkafirkannya. Jadi kita perlu memahami konteks fatwa MUI tersebut.
Salah satu cara mendidik umat adalah menghidupkan tradisi keagamaan. Bagaimana sikap FPI?
Dari segi praktiknya, FPI tidak beda dengan NU dalam hal menjalankan
tradisi Islam. FPI bukan kelompok nawasib (Sunni ekstrem—red). FPI
adalah Sunni Syafi’i, meskipun tidak disyaratkan secara mutlak.
Menghormati Nabi saw dan keluarganya sangat dijaga dalam FPI. Setiap
anggota FPI wajib mencintai Ahlulbait, sahabat, tabi’in, dan
tabi’ut-tabi’in, dan bahkan ulama sekarang. Di dalam FPI, tradisi cium
tangan ulama masih berlaku. Bagi FPI, itu hanya sekadar penghormatan
bukan pengkultusan, termasuk juga memperingati hari besar Islam, seperti
tahun baru Hijrah, Maulid, dan Asyura yang sejarahnya diakui Sunni.
Di Indonesia, tradisi Maulid bisa (berlangsung—red) sampai 4 bulan.
Di Iran, Maulid hanya diselenggarakan pada 12 hingga 16 Rabiul Awal.
Tanggal 12 adalah versi Sunni sedangkan 16 versi Syiah. Berarti 1 minggu
berturut-berturut (di Iran—red) diperingati Maulid sebagai bentuk
penghormatan kepada Sunni-Syiah. Di Indonesia, (Maulid—red) bisa
sepanjang tahun. Kadang-kadang bulan puasa pun baca Maulid. Di FPI,
ratiban dibaca tiap kamis sore.
FPI juga punya munajat al-jabhah, artinya “munajat front”. Isi
munajat itu adalah ratib haddad, ratib athos, wirid Syekh Abu Bakar bin
Salim, dan wirid akidah Syekh Ali bin Abu Bakar as-Syakrar. Jadi, itu
gabungan dari beberapa wirid yang pernah diamalkan para habaib
terdahulu, seperti Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad, Habib Umar bin
Abdurrahman Alathos, Syekh Abu Bakar bin Salim, dan lain-lain. Mereka
ini mempunyai wirid dan munajat yang kita baca. Ada juga wirid dari
Ahlulbait Nabi saw, seperti munajat Sayyidina Ali, Sayyidah Fathimah,
dan Imam Ali Zainal Abidin, yang juga dibaca FPI, bukan hanya di Jakarta
tetapi juga FPI di seluruh Indonesia.
Bagaimana relasi dengan kelompok Islam lain yang anti-tradisi?
Saya bergaul dengan berbagai macam kelompok. Dengan Ustad Abubakar
Baasyir, saya sudah seperti keluarga. Saya anggap dia itu orang tua dan
kawan. Meskipun orang tahu bahwa kita berdua punya pandangan yang
berbeda tentang tradisi. Beliau orang yang arif. Beliau tetap punya
pendapat dan dalil tetapi tidak menyerang kita. Saya bisa duduk dan
diskusi bersama. Ada urusan umat yang lebih besar daripada sekedar
kebolehan dan keharaman tahlil. Ada prioritas.
Kadang-kadang kita juga bicara tentang persoalan furu’, tetapi
sifatnya ringan saja. Misalnya, waktu sama-sama di Lapas Salemba, kita
sempat bicara tentang qunut subuh. Saya qunut karena ikut mazhab
Syafi’i. Beliau tidak pakai qunut. Suatu kali beliau bilang dapat dalil
bahwa Ibnu Abbas juga pakai qunut. Artinya, beliau juga mengkaji tetapi
pembicaraannya ringan dan tetap saling menghormati.
Kenapa bisa demikian? Karena kita bisa berjiwa besar dan berlapang
dada. Kalau mereka tidak menyerang kita, kita juga tidak boleh menyerang
mereka. Kalau sekedar kritik dengan ilmu dan adab, ya…boleh saja dan
itu juga perlu dijawab dengan cara yang serupa.
Tidak bisa kita identikkan tegas dengan ekstrem sehingga membenci
segala macam tradisi. Kalau Salafi mengkritik dengan baik-baik, kita
juga akan menjawabnya dengan baik-baik. Tapi, kalau ada orang-orang yang
mudah memusyrikkan dan mengkafirkan orang-orang yang tawasul dan
tabaruk, maka sesungguhnya mereka tidak bisa membedakan antara
kemungkaran yang disepakati, yang memang harus dilawan dengan tegas, dan
bagian-bagian yang tidak disepakati perihal mungkar tidaknya. Ini
adalah persoalan khilafiyah. Sikap terhadapnya berbeda.
Bagaimana Anda membina keluarga? Kondisi Anda sekarang ini tentu berefek juga secara psikologis kepada anak-istri?
Yang saya pahami, rumah tangga adalah miniatur dari penegakan dakwah,
amar makruf, dan nahi mungkar sebelum (ketiga konsep itu—red)
diterapkan di luar rumah tangga.
Yang saya lihat, banyak orang yang salah mengartikan konsep dakwah,
amar makruf, dan nahi mungkar sehingga terjadi kesemrawutan definisi,
pengertian, dan penerapan konsep ini. Padahal ketiga hal itu mempunyai
metodenya sendiri-sendiri. Meskipun secara umum, setiap dakwah pasti
mempunyai kandungan amar makruf dan nahi mungkar. Setiap amar makruf dan
nahi mungkar pun pasti mengandung unsur dakwah. Ketiganya saling
mengisi dan terkait.
Tetapi mengapa dalam ayat tersebut, Allah membedakan ketiganya? Berarti ada fokus penekanan yang berbeda satu sama lain.
Bentuk realistisnya ada dalam rumah tangga. Dalam hadis dikatakan,
anak di bawah 7 tahun tidak boleh dipaksa salat, disuruh pun tidak usah.
Cukup diajak dan diberi contoh saja. Nah, mengajak itu namanya dakwah.
Kenapa cuma dakwah saja? Sebab, anak kecil belum tahu apa-apa. Dia tidak
tahu mana baik dan buruk. Sifat khas mengajak adalah kelembutan, tidak
boleh secara keras dan malah harus merayu.
Pada usia 7-10 tahun, anak sudah disuruh, bukan lagi diajak. Nabi saw
mengatakan “suruh”. Ayo kita salat dan ambil wudu. Menyuruh lebih tegas
daripada sekadar mengajak. Tidak ada rayuan lagi. Ini sudah masuk
konsep amar makruf, seperti atasan yang menyuruh bawahan. Saat usia 10
tahun, Nabi saw menyuruh “dan pukul mereka saat berusia 10 tahun”.
Begitu kita pukul untuk salat, itu sudah masuk tahap nahi mungkar.
Jadi, dakwah mesti lembut sementara amar makruf mesti keras?
Masyarakat awam yang masih belum ngerti Islam sama seperti anak yang
belum berusia 7 tahun. Ini juga berlaku bagi mereka yang belum masuk
Islam atau kafir. Bagi yang baru kenal Islam, anggap saja mereka baru
berumur 7 tahun. Konsep amar makruf bisa diterapkan setelah mereka lama
mengenal Islam tetapi bandel tidak mau melaksanakan syariat. Saat itu,
kita bisa anggap mereka sebagai anak usia 10 tahun ke atas, mesti keras,
dipukul, seandainya mereka coba-coba bikin maksiat.
Sikap saya dalam rumah tangga dan di luar rumah tidak jauh beda.
Anak-anak saya sudah tidak kaget melihat saya perang dengan mafia.
Anak-anak saya juga sudah tidak kaget bila menerima telepon bernada
teror, mengancam, dan mencaci-maki. Sebab, mereka sudah kita doktrin.
Mereka akan mengatakan, “wah itu musuh abah.” Yang penting kan bukan
abahnya yang dibilang penjahat (tertawa). Karena itulah, anak-anak saya
tidak pernah malu bila melihat saya di penjara. Mereka tetap percaya
diri, tidak minder, dan malah bangga karena ayahnya di penjara demi
membela agama.
Siapa guru yang paling berperan dalam membentuk karakter Anda seperti sekarang?
Dulu saya, Ustadz Hassan Daliel dan Ustadz Othman Shihab, sama-sama
belajar di al-husaini bimbingan Almarhum Habib Muhsin bin Ahmad Alatas.
Guru saya ini ahli fikih yang tegas. Dia akan katakan yang hitam ya
hitam dan putih ya putih, yang halal ya halal, yang haram ya haram.
Beliaulah yang paling banyak memberikan dorongan dan mewarnai pemikiran
saya karena beliau pulalah yang mengenalkan saya sejak awal tentang apa
itu Islam. Ini yang paling berkesan. Dia mengatakan yang hak itu hak,
yang batil itu batil, walaupun seisi dunia akan mencerca kita. Itulah
yang saya pegang sampai sekarang. Dan itulah pula yang saya terapkan
dalam keluarga
http://satuislam.wordpress.com/2009/05/07/ustadz-habib-muhammad-rizieq-shihab-%E2%80%9Cfatwa-mui-hanya-untuk-syiah-ghulat%E2%80%9D/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar