Selasa, 15 Mei 2012

Perjuangan Hasan al-Banna Dalam Mewujudkan Persatuan

Ustadz Syahid Hasan al-Banna (semoga Allah Swt merahmatinya) adalah salah satu tokoh yang memiliki peran besar dalam mendirikan "Lembaga Pendekatan Antar Mazhab Islam" (Dâr at-Taqrîb Baina al-Madzâhib al-Islâmiyah). Ia bersama dengan para tokoh dan ulama termuka lainnya, yang diantaranya ialah:
• Ustadz Muhammad Ali Basha.
• Syekh Abdul Majid Salim (Syekh Al-Azhar).
• Haj Amin Husaini (Mufti Palestina).
• Syekh Muhammad Abdul Fattah ‘Anany (anggota" dewan Kibar al-Ulama dan tokoh pengikut mazhab Maliki).
• Syekh Isa Manun (anggota" dewan Kibar al-Ulama dan tokoh mazhab Syafi’i).
• Syekh Mahmoud Syaltut (Syekh Al-Azhar dan salah satu ulama terkemuka mazhab Hanafi).
• Syekh Muhammad Taqi Qommi (salah satu ulama terkemuka mazhab Syi’ah Imamiyah).
• Syekh Abdul Wahhab Khalaf (Salah satu ulama besar konservatif kontemporer)
• Syekh Ali Khafif (Syekh Al-Azhar).
• Syekh Ali bin Ismail Muayad (ulama mazhab Syi’ah Zaidiyah).
• Syekh Muhammad Abdul Lathif Subki ( guru besar Al-Azhar dari mazhab Hanbali).
• Syekh Mohammad Mohammad Madany (seorang ruhaniawan terkemuka).
• Syekh Mohammad Husein Kasyif la-Ghita’ (marja’ taklid kota Najaf Asyraf).
• Sayyid Hibatuddin Syahrustani (ulama dari kota Kadzimain).
• Allamah Abdul Husain Syarafuddin (ulama Syiah terkemuka).
Kehadiran figur Syahid Hasan al-Banna di sisi para ulama dan tokoh terkemuka dunia Islam ini, menggambarkan akan keberanian dan idenya yang cemerlang terutama seputar pendekatan antar mazhab, ide yang sejalan dengan misi dan tujuan ikatan yang dibentuk oleh para tokoh tersebut, dimana dalam pasal kedua anggaran dasar ikatan para ulama ini –sekaitan dengan misi dan tujuan- tercantum beberapa draf berikut:
1. Upaya dalam membangun asas kesatuan dan solidaritas antara pelbagai mazhab Islam, hal ini dapat direalisasikan karena dalam pandangan masing-masing mazhab tidak terdapat perbedaan menyangkut prinsip umum agama Islam yang menjadi batas pemisah antar kaum Muslimin dan pengikut masing-masing mazhab.
2. Publikasi dan penyebaran akidah, hukum dan undang-undang universal Islam dalam berbagai bahasa serta menjelaskan perkara-perkara yang menjadi kebutuhan masyarakat dalam tatanan praktis.
3. Upaya dalam menyelesaikan perselisihan dan konflik nasional atau sektarian antara kaum Muslimin dan mengupayakan pendekatan serta solidaritas di antara mereka.
Kendati Imam Hasan al-Banna tidak termaksud ulama al-Azhar, akan tetapi, ia memiliki jiwa revolusioner yang tinggi dan pengaruh yang besar terhadap para ulama lainnya. Besar pengaruh ulama karismatik ini dapat kita saksikan dalam ucapan seorang ulama dan tokoh persatuan seperti Syekh Muhammad Taqi Qommi.
Saat Syekh Taqi Qommi berbicara mengenai Hasan al-Banna, dirinya tampak bersemangat seakan semangat al-Banna telah marasuki jiwanya. Dengan kalimat panjang ia menuliskan:
“Hasan al-Banna bukanlah ulama al-Azhar, ia pun tidak memiliki ikatan khusus dengan para Syekh al-Azhar, akan tetapi, semangat, tekad, pengabdian, cita-cita mulia dan keikhlasan dirinya, telah menjadikannya bagaikan gunung yang kokoh. Dengan kriteria yang agung ini, ia mampu terjun di kalangan muda akademisi dan menebarkan pengaruhnya dalam jiwa mereka. Ia berhasil mencetak generasi yang bertakwa, pejuang, berjiwa bersih, mengenal budaya Islam dan memiliki kesadaran tinggi. Dengan tetap fokus kepada tujuan utama perjuangannya dalam mengembalikan umat Islam kepada kejayaan masa lalu –yang menjadi tujuan hidupnya-, ia senantiasa memikirkan permasalahan persatuan dan pendekatan antar mazhab. Semangatnya ini telah mempengaruhi jiwa kelompok Ikhwanul Muslimin sebuah organisasi besar Islam yang ia dirikan, dan hingga saat ini pun pengaruh ini masih dapat kita saksikan. Terlebih kelompok terdahulu dari mereka yang selalu menjauhi fanatisme mazhab dan menjalin ikatan dengan kelompok Islam lainnya dengan berdasarkan prinsip Islam dan bukan mazhab, serta tidak mempermasalahkan perbedaan-perbedaan antara kelompok dan mazhab kaum Muslimin. Kelompok inil, adalah kelompok Ikhwanul Muslimin[1].
DR. Muhammad Ali Adzarshab mengatakan bahwa Syekh Hasan al-Banna pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin sangat mementingkan gerakan taqrib (pendekatan antar mazhab). Adzarshab menuliskan: “Pada hari-hari menjelang didirikannya Lembaga Pendekatan Antar Mazhab, para tokoh lembaga ini di antaranya Ayatullah Muhammad Taqi Qommi –sebagai pendiri lembaga tersebut- sedang memikirkan nama apakah yang layak untuk lembaga tersebut. Apakah dengan mengunakan istilah persatuan, solidaritas atau pun persaudaraan. Pada saat itu, Syekh Hasan al-Banna menyarankan untuk memberi nama taqrib (pendekatan), dengan alasan bahwa nama ini lebih sesuai dengan tujuan-tujuan lembaga tersebut dibanding dengan nama atau istilah lainnya. Akhirnya lembaga ini pun dinamakan dengan nama taqrib sesuai dengan pendapat pejuangan besar ini.
Surat Kabar “Hasan Al-Banna” Media Pendekatan Antar Mazhab
Dalam isi surat kabar yang dirilisnya, tampak Syekh Hasan al-Banna sangat mementingkan permasalahan persatuan antara Sunnah dan Syi’ah. Ia tidak segan-segan -dengan bekerjasama dengan lembaga Darul al-Taqrib- berupaya untuk menyampaikan pesan persatuan kepada para ulama bahkan kepada penguasa kerajaan Saudi saat itu, dimana pada saat itu, berbicara mengenai persatuan Sunnah dan Syiah merupakan perkara yang dilarang di negeri itu. Berkaitan dengan masalah ini, Ayatulah Muhammad Taqi Qommi menuliskan:
Setelah peristiwa eksekusi Sayid Abu Thalib Yazdi di negeri Hijaz (yang saat ini berubah nama menjadi Saudi Arabia), untuk beberapa tahun, pemberangkatan jamaah haji Iran sempat terhenti, meskipun setelah itu mereka kembali diizinkan untuk menunaikan ibadah Haji. Dalam upaya meminimalisir kesalahpahaman umat Islam terhadap mazhab Syi’ah, terutama setelah propaganda negatif terhadap Syi’ah paska persitiwa eksekusi Sayyid Yazdi dan pelarangan haji bagi masyarakat muslim Iran, lembaga “Dar at-Taqrib” menerbitkan panduan manasik haji berdasarkan pandangan lima mazhab, yaitu empat mazhab Ahlu Sunnah beserta mazhab Syi’ah Imamiyah.
Buku manasik haji yang diterbitkan ini, secara jelas mengungkapkan banyaknya kesamaan dalam amalan dan manasik haji yang diyakini mazhab Ahlu Sunnah dan Syiah. Dikarenakan muatannya ini, pemerintah Saudi pun secara tegas melarang masuknya buku ini ke wilayah Saudi. Pada saat inilah, Syekh Hasan al-Banna menemukan solusi agar materi yang dimuat dalam kitab tersebut dapat dibaca oleh kaum Muslimin yang menunaikan Ibadah Haji. Dengan kecerdasannya, ia memuat seluruh materi manasik haji dalam buku itu dalam korannya dan mencetaknya dangan skala besar dan kemudian pada musim haji, ia mengirimnya ke Saudi Arabia dan membagikannya kepada para jamaah haji.
Upaya yang dilakukan Hasan al-Banna ini memiliki pengaruh positif yang luar biasa di kalangan kaum Muslimin [sehingga menjadi salah satu faktor yang mendorong para pejabat Saudi untuk menarik kembali pelarangan haji atas masyarakat muslim Iran]. Pada tahun itu pula, Syekh al-Banna pergi menunaikan ibadah haji dan di tanah suci umat Islam ini, ia mengadakan pertemuan dengan seorang ulama Syi’ah Ayatullah Abu Qasim Kashani, pemimpin Gerakan Nasionalisasi Minyak Iran[2].
Allamah Sayid Hadi Khosrow Shahi mengkonfirmasikan kepada saya (penulis) bahwa sebagian ulama besar Iran memandang statement Syekh Hasan al-Banna dengan penuh pujian. Ia (Allamah Hadi Khosrow) dalam pada tahun 1375 H.Q. menghadiri majlis Ayatullah Sayid Ridha Sadr (salah satu ulama besar Syiah) dan mendengar ceramah beliau seputar peran ibadah haji dalam kehidupan sosial dan persatuan umat Islam. Dalam ceramah ini, beliau mengungkapkan peran besar Hasan al-Banna dalam banyak permasalahan, terutama dalam perjalanan dan statemennya pada musim haji, dalam memperkenalkan masyarakat Muslim Mesir akan ideologi mazhab Syi’ah yang sebenarnya, meredam penyebaran isu-isu anti-syiah dan mengeluarkan pernyataan akan keislaman para pengikut Syi’ah. Pada saat itu, Ayatullah Sadr menekankan kepada para hadirin dan mengatakan: “Kaliah harus mengenal kepribadian Syekh Hasan al-Banna, beliau adalah pahlawan yang pemberani dan pemimpin abadi dunia Islam dari kelompok Ikhwanul Muslimin[3].”
Di saat di dunia Islam sedang tersebar kebencian terhadap mazhab Syi’ah bahkan sedang gencar-gencarnyanya tuduhan kafir dan fasik terhadap para pengikut mazhab Ahlul Bait as ini, Syekh hasan al-Banna berjuang keras melakukan berbagai pendekatan dengan menunjukkan berbagai kesamaan antara akidah Syiah dengan akidah Ahlu Sunnah. Sungguh, sebuah perjuangan dan upaya yang mengekspresikan jiwa pemberani beliau.
Semangat “pendekatan antar mazhab” ini terus bergulir dalam prinsip gerakan Ikhwanul Muslimin, dan hari demi hari terus melebarkan pengaruhnya di dunia Islam. Salah satu prinsip dalam gerakan Islam ini, ialah menjauhi segala bentuk konflik sektarian dan perselisihan mazhab[4].
Ikhwanul Muslimin senantiasa konsisten dalam esensi keislamannya, gerakan ini adalah gerakan lintas mazhab yang tidak membatasi diri pada mazhab tertentu, yang selalu menghindari perselisihan parsial antar mazhab dan mengingatkan kaum Muslimin akan permasalahan penting ini. Di mata para tokoh gerakan ini, perselisihan pendapat antara para ulama Islam merupakan faktor yang dapat mengembangkan wacana pemikiran dunia Islam dan memajukan kaum Muslimin, terutama dalam aspek fleksibilitas dan dinamisme agama Islam serta praktek ijtihad[5].
Misi persatuan ini pun terus dilanjutkan oleh para peminmpin Ikhwanul Muslimin setelah Syekh al-Banna, salah satunya adalah almarhum Syekh Musthafa Masyhur. Ia pernah mengirimkan pesan ukhuwahnya kepada Ayatullah Khosrow Shahi. Dalam suratnya ini ia menuliskan:
Sejak semula didirikan oleh pemimpin besar, Imam Hasan al-Banna, Ikhwanul Muslimin, dengan mengesampingkan segala perselisihan antar mazhab dan kecenderungan atas pandangan aliran tertentu, senantiasa mengajak seluruh kaum Muslimin kepada persatuan umat, karena perpecahan dan perselisihan antar umat Islam akan menjadikan mereka hina dan lemah di hadapan musuh.
Allah Swt pun berfirman: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”, dalam ayat lain, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”
Fondasi ide persatuan umat dan seruan yang dilakukan Ikhwanul Muslimin ini, bertumpu pada sikap saling mengerti dan prinsip syariat. Kitab suci al-Quran dan sunah Nabawi merupakan dua sumber utama undang-undang agama Islam. Kami tidak akan mengkafirkan setiap Muslim yang mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengamalkan kandungannya, selama ia tidak melakukan perbuatan kufur. Selain itu, kami akan selalu mempraktekkan syiar yang populer dan dikenal sebagai prinsip emas yang berbunyi: “Saling kerjasama dalam masalah-masalah yang disepakati dan menolelir perbedaan pandangan”. Makna prinsip ini sangatlah jelas, tentunya kesamaan pandangan umumnya terletak dalam prinsip-prisip agama, adapun perbedaan terletak dalam furu’ atau cabang agama.
Imam Syahid Hasan al-Banna (semoga Allah Swt merahmatinya), baik dalam ucapan dan prilaku beliau, secara sempurna menyadari dan menekankan akan masalah ini. Saya pribadi menyaksikan foto beliau yang diambil pada tahun 1325 H.Q. Dalam foto tersebut tampak beliau sedang mengadakan pertemuan di “Lembaga Pendekatan Antar Mazhab Islam” bersama para ulama besar lainnya, diantaranya ialah: Syekh Abdul Majid Salim (Syekh al-Azhar masa itu), Mufti Palestina Syekh Amin Husaini, Ayatullah Muhammad Taqi Qommi dan beberapa ulama lainnya. Hubungan baik antara Ikhwanul Muslimin dan para pengikut Syi’ah di Iran dan negara lainnya, semenjak dekade lima puluhan abad ini (abad 20 Masihi) dan paska kemenagan revolusi Islam Iran, sebuah realita yang menjadi saksi akan hal ini.
Kaum Muslimin pada masa ini, lebih membutuhkan kepada persatuan dan solidaritas di banding dengan masa-masa sebelumnya. Cukup sudah, masa dimana perpecahan kaum Muslimin telah menambah kekuatan kepada musuh hingga mampu menundukan mereka (umat Islam).
Perbedaan antara Ahlu Sunnah dan Syiah Zaidiyah maupun Imamiyah hanya sebatas dalam sebagian cabang agama. Mereka (pengikut Syiah) mengucapakan dua kalimat syahadat “Tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah” dan menyakini bahwa al-Quran sebagai sumber pertama syariat Islam dan sunah Nabawi sebagai sumber kedua dan [saat shalat] menghadap kepada kiblat yang sama. Agama bukanlah alat permainan masyarakat umum (awam), saat ini telah tiba masanya untuk meredam fitnah dan memadamkan kobaran apinya.
Tertanda: Musthafa Masyhur, 27 Rajab 1423 H.Q. – Kairo
Semangat pendekatan antar mazhab tetap terjaga sehingga kita dapat merasakannya di seluruh tulisan para ulama terkemuka seperti Syekh Ghazali, Syekh Hasan Hudhayyi, Syekh Umar Talmasani, Sayyid Quthub, Syekh Turabi, Syekh Muhammad Hamid Abu Nashr, Syekh Ma’mun Hudhaibi, Syekh Allamah Qaradhawi, Ustadz Muhammad Mahdi ‘Akif dan para ulama lainnya.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa semangat persatuan ini merupakan salah satu faktor terpenting keberhasilan revolusi Islam di Iran yang dipimpin oleh Imam Khomaini, yang tentunya berbicara mengenai hal ini akan memakan waktu yang panjang.
Dari semua ini dapat disimpulkan bahwa sikap obyektif dan jauh dari fanatisme mazhab merupakan kriteria yang paling menonjol yang dimiliki oleh [para tokoh dan anggota] gerakan Ikhwanul Muslimin. Ustazd Muhammad Abdul Halim dalam penelitiannya mengenai gerakan ini menuliskan: “Di antara prestasi terbesar yang diraih oleh kelompok Ikhwanul Muslimin adalah penjagaan dan arahan yang mereka lakukan atas pemikiran Islam tanpa terjerumus kepada penyimpangan, terbawa isu yang menyebar di masyarakat umum dan terjebak pada kondisi yang sulit[6].
Ungkapan ini dapat kita rasakan dalam banyak tulisan para tokoh Ikhwanul Muslimin. Dibandingkan dengan para ulama lainnya, mereka pun lebih banyak merujuk kepada kitab-kitab yang diakui dalam pandangan Syi’ah, seperti kitab Nahjul Balaghah –yang memuat khutbah-khutbah dan mutiara hikmah Imam Ali as yang dikumpulkan oleh Syarif Radhi-. Sebagai contoh, Ustadz Abdul Hamid saat mengomentari perintah Imam Ali as yang ditujukan kepada Malik Asytar dan pengangkatannya sebagai gubernur Mesir, ia menuliskan: “Surat ini merupakan salah satu dokumen bersejarah, ia bagaikan harta karun yang langka yang hingga saat ini belum pernah terlintas di benak para ulama maupun para ahli, kebijakan yang menyerupai atau mirip dengan dokumen tersebut[7].”
Tidak diragukan lagi, ungkapan adalah sebuah kebenaran.
Sikap dan pandangan para tokoh Ikhwanul Muslimin ini terilhami dari kebijakan-kebijakan Imam Hasan al-Banna terutama seruan-seruannya untuk merangkul seluruh kelompok dan golongan umat Islam. Dalam misinya ini, ia menghadapi berbagai tantangan berat terutama dari kelompok Salafi fanatik dan Sufi ekstrim. Semua ini ia alami karena ia telah menempuh jalan tengah dan realistis.
Di pertengahan dekade tiga puluhan, Syekh al-Banna menulis sebuah makalah yang dimuat dalam majalah Ikhwanul Muslimin, dalam makalah tersebut ia menggambar sebuah persegi empat dan di keempat segi tersebut ke arah dalam, ia menuliskan:
لااله الا الله ، محمدا رسول الله
Dan di bagian tengahnya pun ia menggambar sebuah segi empat kecil yang di dalamnya tertuliskan:
لااله الا الله محمد رسول الله
لا لا
اله اله
الا الا
الله الله
محمد محمد
رسول رسول
الله الله
لااله الا الله محمدا رسول الله
Setelah itu, Syekh al-Banna menuliskan:
“Saudara-saudara yang mengkritik sikap kami, seruan mereka hanya terbatas pada makna yang terkandung dalam segi empat kecil yang berada di tengah, yakni mereka hanya akan menerima kelompok yang memiliki ideologi yang sesuai dan benar –secara sempurna- menurut penilaian akidah mereka. Akan tetapi, jumlah mereka hanya sedikit. Adapun seruan [persatuan] kami tertuju kepada seluruh yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad Saw adalah utusan Allah Swt, meskipun menurut keyakinan kami, terdapat problem dalam sebagian ideologi mereka. Kami menyerukan agar di antara setiap golongan dan mazhab Islam terjalin ikatan persaudaraan dalam rangka mewujudkan kembali kejayaan dan kemuliaan Islam. Reruan yang tidak terdapat syarat di dalamnya kecuali ucapan dua kalimat syahadat, dimana dua kalimat syahadat ini mencakup seluruh kaum muslimin dengan berbagai derajat keimanan dan amalan mereka terhadap ajaran-ajaran Islam.
Tidak diragukan lagi, Syekh al-Banna memandang bahwa sikap yang dilakukan ini merupakan jalan untuk memberi hidayah dan diterapkannnya ajaran Islam –secara sempurna- di tengah-tengah masyarakat. Dalam pandangannya, pintu untuk berdialog secara damai dan ilmiah dalam pelbagai permasalahan fiqih, ushul, akidah dan sejarah tidak pernah tertutup. Seluruh permasalahan ini dapat diterima dan ditolelir dalam lingkaran dua kalimat syahadat dan keimanan kepada rukun-rukun iman dan Islam[8].
Semoga Allah Swt membalas segala amal baik yang ia lakukan ini dengan pahala yang agung! Sekali lagi kami ucapkan salam kepada ruh beliau, kami akan meneruskan misi beliau dan mengajak kepada seluruh umat Islam agar bersama-sama berupaya dalam mewujudkan persatuan Islam, karena tanpa upaya kita semua, persatuan antar umat Islam tidak akan pernah terealisasi dan akibatnya kita pun tidak akan memiliki keutamaan-keutamaan yang disebutkan al-Quran bagi umat pembawa kitab suci ini.
Oleh: Ayatullah Muhammad Ali Taskhiri


[1] DR. Muhammad Ali Adzar Shab: Parwandeh Taqrîb bainal madzâhib, Hal. 137.
[2] Ibid, hlm. 138.
[3] Referensi ada pada penulis.
[4] Sukhanrânihâye Syekh Hasan al-Banna, hlm. 18-20.
[5] Da’watunâ, hlm: 292.
[6] Al-Ikhwân al-Muslimîn Ru’yatu min ad-Dakhil, Jld. 3, hlm. 581.
[7] Ibid, hlm. 292.
[8] Ibid, jld. 2, hlm. 355.

http://muslimunity.net/index.php?option=com_content&view=article&id=131:perjuangan-hasan-al-banna-dalam-mewujudkan-persatuan&catid=38:artikel&Itemid=67

Tidak ada komentar:

Posting Komentar