Oleh: Ayatullah Sayid Husein Fadhlullah
Gerakan
Pendekatan Mazhab Islam sangat efektif dalam mendekatkan
pemikiran-pemikiran setiap mazhab dan menciptakan unsur kebersamaan di
dalamnya. Tak diragukan lagi bahwa gerakan tersebut juga dapat
menyingkirkan sikap saling mengkafirkan pada diri setiap Muslim terhadap
sesama saudaranya.
Gerakan
Pendekatan Mazhab-Mazhab Islam di Mesir merupakan sebuah gerakan
budaya yang menunjukkan sejauhmana tingkat keberagaman, intelektual,
akidah, sejarah dan fikih umat Islam. Tentu saja usaha tersebut menemui
berbagai rintangan sosial-politik dan tipu daya musuh-musuh Islam.
Gerakan
Pendekatan Mazhab Islam sangat efektif dalam mendekatkan
pemikiran-pemikiran setiap mazhab dan menciptakan unsur kebersamaan di
dalamnya. Tak diragukan lagi bahwa gerakan tersebut juga dapat
menyingkirkan sikap saling mengkafirkan pada diri setiap Muslim terhadap
sesama saudaranya. Tentu saja usaha tersebut menemui berbagai
rintangan sosial-politik dan tipu daya musuh-musuh Islam.
Adalah
sangat disayangkan bahwa siasat musuh dalam menciptakan perpecahan dan
perselisihan antara Muslimin yang tujuannya adalah terwujudnya
instabilitas politik dan kerusuhan tampak berjalan dengan lancar. Tipu
muslihat ini terfokus pada usaha untuk mengungkit kembali
permasalahan-permasalah sejarah yang sensitif, sehingga umat Islam yang
seharusnya bekerja sama menghadapi masalah-masalah besar yang sedang
menimpa mereka di masa ini, justru saling berkelahi seputar sejarah dan
masa lalu.
Permasalahan
ini begitu dahsyatnya sampai-sampai satu sama lain dengan mudah
membubuhkan stempel "kafir", padahal perbedaan mereka hanya berkisar
pada furu'uddin (cabang-cabang agama). Mereka beranggapan bahwa
perbedaan dalam furu' berkaitan dengan ikhtilaf dalam ushul
(prinsip-prinsip agama). Akhirnya, mereka mengeluarkan fatwa kafirnya
pengikut mazhab lain dan orang-orang yang tidak sepaham atau berbeda
ijtihad dengan mereka. Sebagian dari mufti-mufti (para pemberi fatwa)
ini berkeyakinan bahwa orang-orang kafir non-Muslim jauh lebih baik
daripada orang-orang Islam yang berbeda pemikiran dengan mereka. Mereka
bersikap seperti orang-orang Yahudi Madinah yang menilai kaum Muslimin
dengan berkata kepada kaum musyrik: "Kalian lebih mendapatkan hidayah
daripada umat Muhammad."
Semenjak
gagalnya gerakan pendekatan ini kondisi Muslimin semakin memburuk.
Mereka tidak saling dekat, bahkan hubungan antara satu mazhab dan
mazhab yang lain bagaikan hubungan satu agama dan agama lainnya dimana
di antara keduanya terletak jurang pemisah yang dalam. Hingga saat ini
musuh-musuh Islam sedang melancarkan aksinya untuk menciptakan
jurang-jurang pemisah antara umat Islam, bahkan antara penganut satu
mazhab sekalipun.
Umat
Islam dewasa ini masih juga menyandang predikat obyek penderita/lemah,
baik yang di barat maupun di timur, di selatan maupun di utara. Dengan
mata telanjang kita dapat menyaksikan pemandangan pahit ini. Umat
Islam yang dulunya adalah umat yang paling besar dan berwibawa daripada
umat-umat lainnya, kini sedang mengalami kondisi yang tidak sepatutnya
dialami.
Mengapa
keterpurukan ini begitu mengakar pada diri kita sehingga kita menjadi
umat yang lemah, khususnya di hadapan negara-negara adidaya? Mengapa
kita tidak saling memahami kondisi internal kita yang runtuh dan
berpecah belah? Dan yang lebih utama dari itu semua adalah, mengapa
kita tidak bangkit untuk mencari titik keterpurukan—yang membuat kita
lemah dan dilemahkan—ini sehingga kita dapat mengatasinya? Memang benar
yang melemahkan kita adalah negara-negara adidaya; namun siapa yang
membuat diri kita lemah di hadapan mereka?
Masalah
berikutnya, apakah diri kita siap untuk mengakui kebenaran segala yang
benar, sehingga dengan demikian kita dapat menujukkan keseriusan dalam
berusaha keluar dari jeratan malapetaka ini?
Pertanyaan
yang lain adalah, rencana dan program apa saja yang harus kita
jalankan untuk menyelesaikan masalah ini? Apa yang harus kita lakukan
untuk melanjutkan gerakan pendekatan antar-mazhab ini?
Kita
harus bersikap transparan dan terus terang. Pertama-tama kita harus
membangun kembali jembatan kepercayaan antara satu dan yang lain.
Sepanjang sejarah jembatan itu telah dirobohkan berkali-kali oleh para
tiran yang memegang tampuk kekuasaan. Para penguasa hanya memiliki
hubungan yang baik dengan mazhab- yang mereka akui dan yang
menguntungkan mereka. Seharusnya mereka membiarkan penganut mazhab lain
berkeyakinan sesuai dengan pemikiran mereka. Tidak seharusnya mereka
mengkafirkan, menyebut zindiq (munafik) dan memusuhi penganut mazhab
lain. Budaya pengkafiran yang diciptakan penguasa ini mempengaruhi
kebanyakan orang dan membuat mereka terbiasa dengannya, meskipun tanpa
tahu-menahu asal usul dan sebabnya. Konsekuensi dari tradisi buruk ini
adalah para penganut mazhab yang tak dianggap resmi memilih untuk lari
dan hidup menyendiri serta jauh dari interaksi sosial yang sehat. Mereka
melakukan praktek taqiyah (menutupi keyakinan yang sebenarnya) dan berada dalam ketakutan.
Para
penjajah datang ke tanah air kita pada abad ke-20, sedangkan kita
masih dalam keadaan lalai dan belum menyadari seperti apakah hubungan
ideal antar sesama Muslim, apapun mazhab mereka. Para penjajah kala itu
dengan penuh kesadaran menjalankan siasatnya agar kita sama sekali
melupakan isu persatuan ini, sehingga kita tidak dapat bangkit dengan
kekuatan persatuan.
Melihat
realita di atas, dapat kita katakan bahwa saat ini kita sedang
menghadapi dua masalah besar dan berbahaya yang sedang mengancam
gerakan pendekatan antar mazhab. Masalah petama, masalah perpecahanan
kita. Perpecahanan ini memang didasari oleh faktor politik, namun kita
sendiri yang tertipu dan justru mengikuti siasat tersebut. Kemudian
perpecahan ini telah disusun secara rapi sebelumnya dan diarahkan
sedemikian rupa hingga benar-benar merasuk dalam tubuh kaum Muslimin.
Masalah kedua, problema yang ditimbulkan oleh para penjajah dan
negara-negara adidaya kepada kita. Problema ini hanya dapat diatasi
dengan dijalankannya strategi pendekatan antar mazhab Islam, sehingga
terciptalah keamanan internal dan solodnya barisan kaum Muslimin saat
berhadapan dengan mereka.
Untuk
mewujudkan rencana ini, kita perlu memetakan pelbagai perkara dalam
timbangan skala prioritas. Sebagian dari perkara tersebut berkaitan
dengan akidah umat Islam, dan sebagian lainnya berkaitan dengan kondisi
politik mereka. Mengenai perkara-perkara yang berkenaan dengan akidah,
kita perlu memperhatikan beberapa masalah di bawah ini:
Pertama,
kita perlu meniru al-Quran yang mengajarkan kita cara berdiskusi dan
membahas sesuatu. Metode diskusi dan perbincangan yang diajarkan
al-Quran akan mengantarkan kita keluar dari lingkaran egoisme dan
kesempitan berpikir menuju sikap inklusif dan keterbukaan. Metode inilah
yang disebut metode terbaik dalam berkomunikasi, dimana kedua belah
pihak benar-benar mendapatkan penghormatan oleh lawan bicaranya.
Kedua,
kita harus menjadikan Islam sebagai parameter tertinggi dalam
berinteraksi. Seharusnya dua syahadat (bersaksi bahwa Allah Swt sebagai
Pencipta alam semesta dan Nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya)
dijadikan sebagai syarat terjaganya setiap Muslim dari kekufuran dan
kebebasannya dalam berpendapat sesuai dengan mazhab yang diyakininya,
sekaligus menjadi syarat perlindungan terhadap harta dan kekayaan yang
dimilikinya.
Ketiga,
seharusnya kata "kafir" dihapus dari kamus percakapan dan komunikasi
antar Muslim. Seseorang tidak akan pernah keluar dari bingkai keimanan
dan masuk dalam jurang kekufuran selama ia tidak bertentangan dengan
prinsip dua syahadat tersebut.
Keempat,
perbedaan mazhab seharusnya dianggap sebagai variasi dalam kesatuan.
Ijtihad setiap mazhab tidak boleh dengan mudah dinilai melenceng dari
garis Islam. Mazhab lain tidak boleh dianggap bodoh, bahkan musuh,
hanya karena perbedaan cara berpikir dan sumbernya saja. Oleh
karenanya, sudah merupakan tugas para pemikir Islam untuk menjadikan
budaya komunikasi dan diskusi yang sehat sebagai budaya resmi mereka
dimana tak seorang pun yang meragukan dampak positif hal ini.
Kelima,
jiwa persahabatan, perdamaian, cinta dan kebebasan harus ditanamkan
dalam diri setiap Muslim. Ini adalah tugas utama yang harus diemban oleh
setiap cendekiawan dan ulama.
Keenam,
pada situasi tertentu, perlu adanya sikap tegas terhadap pihak-pihak
garis keras dan yang fanatik agar mereka sadar dan mengikuti aturan yang
seharusnya. Sering kali terjadi, misalnya saat diadakan sebuah seminar
pendekatan antar-mazhab, kita tidak leluasa mengutarakan pelbagai
pendapat kita karena masih tetap ada saja rasa fanatik dalam diri kita,
atau mungkin kita tidak menjelaskan kenyataan yang sebenarnya tentang
suatu mazhab atau pihak lain karena kita tidak sejalan dengan mereka
sehingga lawan bicara kita tidak mengetahui yang sebenarnya.
Ketujuh,
menjalankan ajaran al-Quran, yakni saling menghormati dalam berdiskusi
dan bertukar pendapat. Meskipun lawan bicara kita non-Muslim
sekalipun, tentu ada titik-titik kesamaan yang dapat ditelusuri dalam
pemikirannya dan ditanggapi dengan positif.
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan berkenaan dengan kondisi politik adalah:
Pertama,
harus ada pemisah antara permasalahan primer dan permasalahan sekunder
dalam masyarakat-Muslim. Sebagian dari permasalahan yang berkaitan
dengan keseluruhan umat Islam tidak dapat dilakukan oleh seseorang atau
tokoh tertentu yang mewakili beberapa kalangan atau juga sebuah partai
yang semuanya mengatasnamakan umat Islam, karena kesalahan bertindak
dalam hal ini akan membawa bahaya dan kerugian yang dampaknya akan
menimpa umat Islam secara keseluruhan. Dengan kata lain, permasalahan
yang mengyangkut kepentingan seluruh umat Islam hanya diselesaikan
secara bersama dengan melalui pertimbangan yang matang. Adapun sebagian
permasalah yang lainnya, yang bersifat terbatas pada dataran geografis,
seperti permasalahan satu negara, adalah masalah yang tidak pokok.
Permasalahan tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan kondisi
masyarakat Muslim setempat dan dengan memperhatikan mazhab-mazhab yang
ada.
Kedua,
negara-negara adidaya secara umum, dan Amerika secara khusus, adalah
pihak-pihak yang menjadikan Islam dan penganutnya sebagai sasaran utama
mereka. Umat Islam harus mengerti tindakan dan usaha kolektif apa yang
harus dilakukan guna menghadapi mereka.
Ketiga,
kita harus waspada dengan maraknya istilah-istilah seperti teroris,
kekerasan, kejahatan dan lain sebagainya, yang mana semua kata-kata itu
ditujukan kepada kita, umat Islam.
Keempat,
kita harus memiliki sikap bersama dalam hal bagaimana seharusnya kita
menghadapi upaya-upaya musuh yang berlawanan dengan persatuan umat
Islam, juga dalam menyikapi istilah-istilah baru yang tersebar di
tengah-tengah komunitas dunia, agar kesatuan umat Islam tetap terjaga.
Persatuan
antar umat Islam bukan sekedar formalitas dan slogan belaka, bahkan
berkaitan langsung dengan keberadaan Islam dan kaum Muslimin di
panggung dunia yang keadaan mereka saat ini sedang terpuruk. Poin
terakhir yang perlu kami ingatkan adalah, jika kita memang benar-benar
tidak mampu mencapai persatuan, maka paling tidak kita harus bisa
mengatur dan memahami perbedaan-perbedaan antara sesama kita, agar
keutuhan kita sesama sebagai ummatan wahidah (umat yang satu) selalu terjaga.
Jalan
terjal dan berliku yang kita sedang kita lewati begitu banyak. Kita
sedang berada di situasi yang genting. sepanjang sejarah kita belum
pernah menemukan keadaan umat Islam seperti saat ini. Karena itu, kita
harus waspada dan bersikap bijaksana. Jika kita masih sibuk mengungkit
perbedaan dan isu ikhtilaf mazhab, maka kita harus bersiap-siap untuk
terus terpuruk dan kemudian mengalami kebinasaan. (IRIB
Indonesia/Taqrib/SL)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar