Selasa, 15 Mei 2012

Menggagas Dialog Islam-Islam

Oleh: Prof. Shadiq Jibran

Tidak diragukan lagi bahwa dialog Islam - Islam harus memprioritaskan penelitian dan peninjauan ulang berbagai masalah dalam pelataran Islam. Hal ini sangat penting, mengingat tahap sensitif yang dialami oleh semua kecenderungan dalam Islam di berbagai level.

Tampaknya pada kali pertama dialog dipandang sebagai elemen etis komplementer yang tidak diperlukan, tapi seiring dengan perkembangan hubungan individu pandangan itu berubah. Seseorang keluar dari ruang lingkup hubungan individu ke ruang lingkup hubungan sosial sehingga dia melihat dirinya berada dalam lingkaran yang secara alamiah tidak memungkinkan para anggotanya dalam kondisi normal untuk mempertahankan pendapatnya sendiri tanpa memperdulikan pendapat orang lain. Suka tidak suka, dia harus menerima kondisi tersebut.


Inilah yang terlihat dalam perilaku anak kecil. Sebelum sampai pada fase bermain bareng dengan anak-anak lain, anak kecil akan bermain semaunya, dan itu normal. Namun, akan berbeda manakala dia mulai bergabung dengan anak-anak yang lain. Dia harus melepaskan monopoli permainan atau aturan permainan semaunya itu. Jika tidak, maka pengasuhnya bakal mengarahkan agar menerima yang lain dan melepaskan sesuatu yang dia yakini sebagai hak alaminya. Jadi, seseorang yang memasuki kehidupan dan kegiatan yang lebih rumit akan sangat membutuhkan salah satu kosakata dialog, yaitu memperhitungkan pendapat orang lain dan mengikuti pendapat umum.


Adalah normal jika perilaku manusia berbeda. Karena itu manusia perlu menata sejumlah kaidah yang mengatur perilakunya dalam berhubungan dengan orang banyak. Dalam domain hukum, para pakar hukum telah menetapkan dua jenis hukum: pertama, hukum yang menjelaskan tentang hak-hak seseorang dan mengatur bagaimana hak itu timbul dan berakhir. Inilah hukum yang menetapkan hak, semisal hukum sipil, hukum perniagaan, dan hukum kelautan. Kedua, hukum yang menjelaskan tentang media yang mendatangkan atau justru menghalangi hak-hak tersebut. Dengan kata lain, menjelaskan hukuman atas pelanggaran terhadap hukum tersebut, semisal hukum prinsip-prinsip peradilan. Inilah hukum pidana.


Hukum jenis pertama berkaitan dengan studi tentang asal-usul hak, sementara hukum jenis kedua berkaitan dengan hukum formal, dalam arti bahwa seorang individu harus mengambil tindakan atau situasi tertentu jika menginginkan hak-haknya terlindungi. Kecuali itu, dia juga harus mematuhi peraturan tertentu ketika ingin memutuskan sengketa.


Harus ada prosedur formal guna meyakinkan para individu bahwa hak-hak mereka terlindungi bila mereka memilih situasi sesuai dengan yang ditentukan oleh hukum. Formalitas ini juga diperlukan untuk memastikan peradilan berfungsi sehingga keputusan tidak semata-mata merujuk kepada perkiraan para hakim. Sebab, mereka -seperti manusia pada umumnya- mempunyai metode yang berbeda-beda dalam menilai, menghukumi, dan memahami. Oleh karena ini dan itu, tepat sekali pendapat yang mengatakan bahwa formalitas adalah pasangan kebebasan. Bangsa Romawi memahami diferensiasi yang maju, sehingga mereka membedakan sejumlah prosedur. Secara khusus prosedur tersebut dituangkan dalam bab ketiga dari hukum sipil supaya mencakup berbagai kasus, yakni prosedur litigasi.[1]


Jadi, dalam lingkup sengketa hukum yang terdekat dengan tema ini, kita menemukan bahwa konflik dalam hukum didasarkan kepada asumsi hak, dimana setiap pihak mengklaim dirinya paling berhak dibanding yang lain, untuk membela hak tertentu, membela diri dari suatu tuduhan, dan masalah-masalah sengketa hukum lainnya. Supaya hak tidak tersia-siakan, maka legislator hukum langit (Allah) maupun legislator hukum positif membuat seperangkat aturan dan undang-undang untuk memutuskan dan dijadikan dasar dalam mengakhiri perselisihan. Lantaran klaim sebuah hak memengaruhi semua pihak, maka legislator membuat seperangkat aturan dan prinsip-prinsip yang menjadi rujukan bagi kedua belah pihak dalam menyusun cara menuntut hak-hak mereka. Artinya, sistem ini menunjukkan bagaimana mereka harus bersikap guna mendapatkan hak-hak mereka. Para pakar hukum sepakat menamai aturan ini dengan hukum prinsip-prinsip peradilan, seperti yang berlaku di Libanon, atau hukum acara, sebagaimana yang dipakai di Mesir, atau dengan prosedur, sebagaimana yang berlaku di Prancis, baik dalam peradilan sipil, peradilan pidana, maupun peradilan-peradilan lainnya.


Hukum di sini berisi aturan-aturan netral demi sebuah kemaslahatan yang bisa dipakai oleh semua pihak ketika terjadi sengketa. Di negara hukum, seseorang tidak diperkenankan menghakimi sendiri m-eskipun cara yang dilakukannya benar- dalam melaksanakan atau menerapkan program keadilan. Itu karena ada hukum dan badan peradilan yang kompeten untuk melakukannya.


Dalam bidang fikih juga ada prinsip dan aturan yang dijadikan rujukan oleh para pakar fikih dalam menggali hukum syariat. Secara global, prinsip-prinsip itu merupakan kesepakatan di antara mereka, kecuali beberapa masalah kecil yang menjadi objek perdebatan fundamental. Namun, keberadaan kodifikasi kaidah-kaidah fundamental menjadikan hasil kerja ulama fikih mendekati batas yang tidak menampakkan adanya perbedaan, kecuali bagi para spesialis.


Atas dasar itulah, Sayyid Muhammad Taqi al-Hakim, dalam bukunya al-Ushûl al-‘Âmah li al-Fiqh al-Muqârin, menyatakan bahwa fikih perbandingan sangat berguna dalam menjembatani perbedaan antara kaum Muslimin, mengurangi dampak faktor-faktor yang memecah belah, terutama ketidaktahuan sebagian ulama suatu mazhab tentang doktrin dasar dan pilar mazhab lain. Sebab, ketidaktahuan akan meninggalkan celah terbuka bagi masuknya misi-misi yang dimaksudkan untuk mendistorsi pemahaman pihak lain dan mengatakan tentang mereka dengan sesuatu yang tidak mereka percayai dan yakini.


Lebih lanjut Sayyid al-Hakim menyatakan bahwa Ushul Fiqih Perbandingan adalah seperangkat kaidah yang mendasari pengukuran para fukaha dalam menggali hukum-hukum syariat yang bersifat cabang dan global, atau menggali fungsi-fungsi yang dibuat oleh legislator (syâri‘) atau akal, ketika putus asa mendapatkannya dalam hal pertimbangan dan penilaiannya.


Bagi Sayyid al-Hakim, yang dimaksud seperangkat aturan (al-qawâ‘id) adalah premis-premis mayor yang seandainya digabungkan dengan premis-premis minor akan menciptakan sebuah hukum atau fungsi. Sebab, premis mayorlah yang pas untuk dijadikan kaidah dalam mengukur sebuah istinbâth (penggalian hukum) dan mendasari hasilnya.


Oleh karena itu, Sayyid Muhammad Taqi al-Hakim menyerukan penyatuan Ushul Fikih agar bisa sampai ke tujuan, di mana dalam bahasan pengantarnya bagian kedua, ia memulai dengan sejumlah prinsip yang jelas, yang ia sebut dengan prinsip atau prioritas berdalil. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:


1. Prinsip kausalitas, termasuk di dalamnya ketidakmungkinan mendahulukan akibat atas sebab, atau mengakhirkan sebab dari akibat, atau menyamakan tingkatannya lalu mencegah akibat tertinggal dari sebab. Jadi, di mana ada sebab yang sempurna, niscaya di situ ada akibat;

2. Prinsip ketidakmungkinan kontradiksi secara massal ketika tersedia syarat-syarat persatuan dan pertentangan;
3. Prinsip pantang bertemu dua hal yang bertentangan;
4. Prinsip kemustahilan daur;
5. Prinsip kemustahilan akibat mendahului sebab;
6. Prinsip kemustahilan tasalsul dalam sebab dan akibat.
Sayyid al-Hakim tidak memandang perlu merinci masalah-masalah di atas, karena dia yakin semua orang sudah mempercayai semua prinsip tersebut, dan mungkin dalam hal ini dia menyamakan mereka dengan pendapat para filosof alam secara mutlak. Karena itu dia menjadikan prinsip-prinsip di atas sebagai kaidah acuan dalam proyek ilmiahnya.

Bagaimana Kita Memahami Perbedaan?

Ada banyak pendapat dari para pemikir Islam tentang penyebab perbedaan di antara mazhab-mazhab Islam, di antara faksi-faksi dalam gerakan Islam, atau dalam proyek-proyek amal Islam, di mana pun keberadaannya.

Dalam konteks ini, sebagian orang berpendapat bahwa perbedaan adalah sesuatu yang alami dan sah. Tapi, sebagian yang lain memandangnya sebagai sesuatu yang jauh dari agama, perbuatan syaitan yang keji dan harus dihindari. Namun, mayoritas pemikir kebangkitan Islam memandang sebagian besar perbedaan yang ada merupakan tanda-tanda rahmat di antara umat Islam, dan sebagian lainnya sebagai perpecahan yang tercela. Terkait bagian yang terakhir ini, mereka mengembalikannya kepada sejumlah alasan yang bersifat etis, psikologis, dan intelektual.


Dr. Yusuf al-Qaradhawi menyatakan ada perbedaan yang disebabkan oleh alasan etis. Perbedaan yang timbul dari sifat-sifat buruk dan mencelakakan adalah perbedaan yang tidak terpuji, bahkan masuk dalam kategori perpecahan yang tercela. Penyebab tersebut antara lain:


1. Keangkuhan diri dan membanggakan pendapat sendiri;

2. Buruk sangka dan cepat menuduh orang lain tanpa bukti;
3. Cinta diri dan memperturutkan hawa nafsu;
4. Fanatik terhadap pendapat seseorang, mazhab, atau golongan;
5. Fanatik terhadap negara, wilayah, partai, kelompok, atau pimpinan, dan lain sebagainya.

Menurutnya, perbedaan yang disebabkan oleh alasan intelektual berujung pada perbedaan cara pandang dalam menilai satu persoalan, baik persoalan yang bersifat ilmiah, semisal perbedaan dalam cabang syariah dan beberapa masalah akidah yang tidak tersentuh prinsip-prinsip dasar yang pasti, maupun persoalan yang bersifat praktis, seperti perbedaan dalam sikap politik, dalam mengambil keputusan, sebagai akibat dari perbedaan sudut pandang, penilaian hasil, dan imbas dari ketersediaan informasi di satu pihak dan ketiadaan informasi di pihak lain. Juga bergantung kepada suasana hati dan sikap mental pihak-pihak yang berseberangan, pengaruh lingkungan dan waktu yang positif maupun negatif.[2]


Tentang realitas perbedaan dalam kehidupan manusia, Syaikh Hasan Shafar mengembalikannya kepada beberapa penyebab berikut:


1. Perbedaan tingkat keimanan menyebabkan perbedaan pemikiran, sikap, dan praktek. "(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan."[3]

2. Perbedaan tingkat pengetahuan dan kesadaran di kalangan manusia;
3. Perbedaan kepentingan di antara manusia.[4]

Sebagian pakar menyatakan bahwa penyebab perbedaan adalah meninggalkan teks pertama, yaitu al-Quran mulia dan Sunah Nabi Saw yang sahih dan muttafak alaih. Menurutnya, perbedaan terjadi karena teks kedua, ketiga, atau catatan pinggir yang disematkan kepada teks pertama, semisal tafsir dan ijtihad. Tapi pendapat ini tidak sepenuhnya benar, karena seperti kita ketahui, kaum Muslimin periode awal juga sudah berbeda pendapat sesaat setelah pemilik teks pertama (Rasulullah) menghadap kepada Sang Pencipta Yang Mahatinggi, di mana kaum Anshar menyeru kepada kaum Muhajirin bahwa hendaknya mereka punya pemimpin sendiri-sendiri dari kelompok masing-masing....


Bagaimana Kita Memulai Dialog?

Saya sama sekali tidak mengaku-aku punya resep jitu untuk mengatasi masalah dialog Islam - Islam. Ini jelas merupakan upaya kumulatif yang harus dilakukan oleh semua pemikir yang tertarik memajukan umat. Namun, saya menyerukan perlu adanya sistem yang berbasis dialog. Itulah yang disebut dengan ushûl al-hiwâr (prinsip-prinsip berdialog), ushûl al-munâzharah (prinsip-prinsip berdiskusi), atau ushûl al-jadal (prinsip-prinsip berdebat). Tapi, kalau diminta harus memilih, saya lebih mantap dengan istilah yang pertama, karena bayang-bayang istilah ini tidak membuat dua sisi persamaan yang menandakan bahwa salah satu pihak menang sementara pihak yang lain menanggung getir kekalahan. Sebab, tujuan dialog bukanlah kemenangan, melainkan menemukan titik-titik kesamaan, atau minimal mendengarkan pendapat pihak lain tanpa sensitivitas.

Keberadaan prinsip-prinsip dialog merupakan sebuah keniscayaan, sesuai dengan tuntunan ajaran Islam yang hanif dan tuntutan fase dimana kita hidup sekarang ini. Konflik yang ada saat ini dan fase mendatang adalah konflik pemikiran tingkat tinggi. Otomatis mekanisme yang dipakai untuk mengatasinya berbeda dengan mekanisme yang dipakai pada tahap-tahap sebelumnya. Hal ini mengharuskan kita beralih kepada dialog antara kita untuk memasuki -minimal- sebuah visi yang jelas dan siap untuk menghadapi fase berikutnya. Dialog adalah pintu masuk yang alami untuk itu, yang membuat kita lebih kuat secara fisik, begitu juga secara hujah. Orang yang meninggalkan dialog dan menggunakan mekanisme lain untuk memaksakan pendapatnya kepada orang lain pada hakikatnya adalah pihak yang paling lemah pada tahap berikutnya yang diperkirakan akan berjudul dialog antar arus intelektual dengan berbagai jenisnya.


Kita dapat mengidentifikasi prinsip dan kaidah dialog Islam-Islam dalam poin-poin berikut:


1. Kaidah-kaidah moral, yaitu kaidah yang menjaga keselamatan proses dan metodologi dialog, dan memastikan efektivitasnya. Poin-poin penting pada bagian ini adalah sebagai berikut:


a. Ikhlas karena Allah Swt dan melepaskan hawa nafsu;

b. Melepaskan fanatisme terhadap seseorang, mazhab, atau kelompok;
c. Adil dan yakin dalam menilai orang;
d. Moderat dalam mencinta dan membenci;
e. Menyebutkan kelebihan dan kekurangan dengan seimbang. "dan kamu jangan merugikan orang sedikit pun."[5]
f. Mengabstraksikan kebenaran dari yang mengatakannya dan kebaikan dari yang melakukannya.

2. Kaidah-kaidah Intelektual, yaitu kaidah yang membantu menampilkan pandangan dengan benar dan berkontribusi pada fertilisasi gagasan untuk mencapai hasil yang lebih baik. Poin-poinnya sebagai berikut:


a. Hati-hatilah dalam mengeluarkan postulat dan hukum-hukum yang bersifat absolut.

b. Berhati-hatilah mengutip kata-kata dari lawan. Upayakan sebisa mungkin mengutip pendapat orang lain dari sumber aslinya. Kutiplah pendapat yang disepakati dan hindarilah mengutip pendapat yang menyimpang. Selain itu, perlu juga mengutip sesuatu yang valid menurut yang lain dan meninggalkan sesuatu yang dianggap lemah.
c. Perlu mengawal dialog dengan kaidah-kaidah hukum, seperti saling menghormati dan menjamin kebebasan berpendapat, dan lain sebagainya, untuk mendapatkan lebih banyak prospek dan kosa kata kebebasan sosial dan politik. (IRIB Indonesia/Taqrib/SL)

* Peneliti dari Arab Saudi

________________________________________
[1] Dr. Ahmad Abu al-Wafa, Ushûl al-Muhâkamât al-Madaniyyah (Beirut), hlm. 30.
[2] Lihat al-Shahwah al-Islâmiyyah baina al-Ikhtilâf al-Masyrû‘ wa al-Tafarruq al-Madzmûm (Libanon: Dar al-Risalah, 1993).
[3] QS. Alu ‘Imran [3]: 163.
[4] Lihat Hasan Shafar, al-Ta‘adudiyyah wa al-Huryah fî al-Islâm: Bahts hawla Huryah al-Mu‘taqid wa Ta‘adud al-Madzâhib (Libanon: Dar al-Bayan al-‘Arabi, 1990).
[5] QS. al-A‘raf [7]: 85.



http://muslimunity.net/index.php?option=com_content&view=article&id=154:menggagas-dialog-islam-islam-&catid=38:artikel&Itemid=67

Tidak ada komentar:

Posting Komentar