Oleh: Prof. Shadiq Jibran
Tidak diragukan lagi bahwa dialog Islam - Islam harus memprioritaskan
penelitian dan peninjauan ulang berbagai masalah dalam pelataran Islam.
Hal ini sangat penting, mengingat tahap sensitif yang dialami oleh
semua kecenderungan dalam Islam di berbagai level.
Tampaknya pada kali pertama
dialog dipandang sebagai elemen etis komplementer yang tidak diperlukan,
tapi seiring dengan perkembangan hubungan individu pandangan itu
berubah. Seseorang keluar dari ruang lingkup hubungan individu ke ruang
lingkup hubungan sosial sehingga dia melihat dirinya berada dalam
lingkaran yang secara alamiah tidak memungkinkan para anggotanya dalam
kondisi normal untuk mempertahankan pendapatnya sendiri tanpa
memperdulikan pendapat orang lain. Suka tidak suka, dia harus menerima
kondisi tersebut.
Inilah
yang terlihat dalam perilaku anak kecil. Sebelum sampai pada fase
bermain bareng dengan anak-anak lain, anak kecil akan bermain semaunya,
dan itu normal. Namun, akan berbeda manakala dia mulai bergabung
dengan anak-anak yang lain. Dia harus melepaskan monopoli permainan
atau aturan permainan semaunya itu. Jika tidak, maka pengasuhnya bakal
mengarahkan agar menerima yang lain dan melepaskan sesuatu yang dia
yakini sebagai hak alaminya. Jadi, seseorang yang memasuki kehidupan
dan kegiatan yang lebih rumit akan sangat membutuhkan salah satu
kosakata dialog, yaitu memperhitungkan pendapat orang lain dan
mengikuti pendapat umum.
Adalah normal jika perilaku manusia berbeda. Karena itu manusia perlu
menata sejumlah kaidah yang mengatur perilakunya dalam berhubungan
dengan orang banyak. Dalam domain hukum, para pakar hukum telah
menetapkan dua jenis hukum: pertama, hukum yang menjelaskan tentang
hak-hak seseorang dan mengatur bagaimana hak itu timbul dan berakhir.
Inilah hukum yang menetapkan hak, semisal hukum sipil, hukum
perniagaan, dan hukum kelautan. Kedua, hukum yang menjelaskan tentang
media yang mendatangkan atau justru menghalangi hak-hak tersebut.
Dengan kata lain, menjelaskan hukuman atas pelanggaran terhadap hukum
tersebut, semisal hukum prinsip-prinsip peradilan. Inilah hukum pidana.
Hukum jenis pertama berkaitan dengan studi tentang asal-usul hak,
sementara hukum jenis kedua berkaitan dengan hukum formal, dalam arti
bahwa seorang individu harus mengambil tindakan atau situasi tertentu
jika menginginkan hak-haknya terlindungi. Kecuali itu, dia juga harus
mematuhi peraturan tertentu ketika ingin memutuskan sengketa.
Harus ada prosedur formal guna meyakinkan para individu bahwa hak-hak
mereka terlindungi bila mereka memilih situasi sesuai dengan yang
ditentukan oleh hukum. Formalitas ini juga diperlukan untuk memastikan
peradilan berfungsi sehingga keputusan tidak semata-mata merujuk kepada
perkiraan para hakim. Sebab, mereka -seperti manusia pada umumnya-
mempunyai metode yang berbeda-beda dalam menilai, menghukumi, dan
memahami. Oleh karena ini dan itu, tepat sekali pendapat yang
mengatakan bahwa formalitas adalah pasangan kebebasan. Bangsa Romawi
memahami diferensiasi yang maju, sehingga mereka membedakan sejumlah
prosedur. Secara khusus prosedur tersebut dituangkan dalam bab ketiga
dari hukum sipil supaya mencakup berbagai kasus, yakni prosedur
litigasi.[1]
Jadi, dalam
lingkup sengketa hukum yang terdekat dengan tema ini, kita menemukan
bahwa konflik dalam hukum didasarkan kepada asumsi hak, dimana setiap
pihak mengklaim dirinya paling berhak dibanding yang lain, untuk
membela hak tertentu, membela diri dari suatu tuduhan, dan
masalah-masalah sengketa hukum lainnya. Supaya hak tidak tersia-siakan,
maka legislator hukum langit (Allah) maupun legislator hukum positif
membuat seperangkat aturan dan undang-undang untuk memutuskan dan
dijadikan dasar dalam mengakhiri perselisihan. Lantaran klaim sebuah hak
memengaruhi semua pihak, maka legislator membuat seperangkat aturan
dan prinsip-prinsip yang menjadi rujukan bagi kedua belah pihak dalam
menyusun cara menuntut hak-hak mereka. Artinya, sistem ini menunjukkan
bagaimana mereka harus bersikap guna mendapatkan hak-hak mereka. Para
pakar hukum sepakat menamai aturan ini dengan hukum prinsip-prinsip
peradilan, seperti yang berlaku di Libanon, atau hukum acara,
sebagaimana yang dipakai di Mesir, atau dengan prosedur, sebagaimana
yang berlaku di Prancis, baik dalam peradilan sipil, peradilan pidana,
maupun peradilan-peradilan lainnya.
Hukum di sini berisi aturan-aturan netral demi sebuah kemaslahatan
yang bisa dipakai oleh semua pihak ketika terjadi sengketa. Di negara
hukum, seseorang tidak diperkenankan menghakimi sendiri m-eskipun cara
yang dilakukannya benar- dalam melaksanakan atau menerapkan program
keadilan. Itu karena ada hukum dan badan peradilan yang kompeten untuk
melakukannya.
Dalam bidang
fikih juga ada prinsip dan aturan yang dijadikan rujukan oleh para
pakar fikih dalam menggali hukum syariat. Secara global,
prinsip-prinsip itu merupakan kesepakatan di antara mereka, kecuali
beberapa masalah kecil yang menjadi objek perdebatan fundamental. Namun,
keberadaan kodifikasi kaidah-kaidah fundamental menjadikan hasil kerja
ulama fikih mendekati batas yang tidak menampakkan adanya perbedaan,
kecuali bagi para spesialis.
Atas dasar itulah, Sayyid Muhammad Taqi al-Hakim, dalam bukunya
al-Ushûl al-‘Âmah li al-Fiqh al-Muqârin, menyatakan bahwa fikih
perbandingan sangat berguna dalam menjembatani perbedaan antara kaum
Muslimin, mengurangi dampak faktor-faktor yang memecah belah, terutama
ketidaktahuan sebagian ulama suatu mazhab tentang doktrin dasar dan
pilar mazhab lain. Sebab, ketidaktahuan akan meninggalkan celah terbuka
bagi masuknya misi-misi yang dimaksudkan untuk mendistorsi pemahaman
pihak lain dan mengatakan tentang mereka dengan sesuatu yang tidak
mereka percayai dan yakini.
Lebih lanjut Sayyid al-Hakim menyatakan bahwa Ushul Fiqih Perbandingan
adalah seperangkat kaidah yang mendasari pengukuran para fukaha dalam
menggali hukum-hukum syariat yang bersifat cabang dan global, atau
menggali fungsi-fungsi yang dibuat oleh legislator (syâri‘) atau akal,
ketika putus asa mendapatkannya dalam hal pertimbangan dan
penilaiannya.
Bagi Sayyid
al-Hakim, yang dimaksud seperangkat aturan (al-qawâ‘id) adalah
premis-premis mayor yang seandainya digabungkan dengan premis-premis
minor akan menciptakan sebuah hukum atau fungsi. Sebab, premis mayorlah
yang pas untuk dijadikan kaidah dalam mengukur sebuah istinbâth
(penggalian hukum) dan mendasari hasilnya.
Oleh karena itu, Sayyid Muhammad Taqi al-Hakim menyerukan penyatuan
Ushul Fikih agar bisa sampai ke tujuan, di mana dalam bahasan
pengantarnya bagian kedua, ia memulai dengan sejumlah prinsip yang
jelas, yang ia sebut dengan prinsip atau prioritas berdalil.
Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1. Prinsip kausalitas, termasuk di dalamnya ketidakmungkinan
mendahulukan akibat atas sebab, atau mengakhirkan sebab dari akibat,
atau menyamakan tingkatannya lalu mencegah akibat tertinggal dari
sebab. Jadi, di mana ada sebab yang sempurna, niscaya di situ ada
akibat;
2. Prinsip ketidakmungkinan kontradiksi secara massal ketika tersedia syarat-syarat persatuan dan pertentangan;
3. Prinsip pantang bertemu dua hal yang bertentangan;
4. Prinsip kemustahilan daur;
5. Prinsip kemustahilan akibat mendahului sebab;
6. Prinsip kemustahilan tasalsul dalam sebab dan akibat.
Sayyid al-Hakim tidak memandang perlu merinci masalah-masalah di atas,
karena dia yakin semua orang sudah mempercayai semua prinsip tersebut,
dan mungkin dalam hal ini dia menyamakan mereka dengan pendapat para
filosof alam secara mutlak. Karena itu dia menjadikan prinsip-prinsip di
atas sebagai kaidah acuan dalam proyek ilmiahnya.
Bagaimana Kita Memahami Perbedaan?
Ada banyak pendapat dari para pemikir Islam tentang penyebab perbedaan
di antara mazhab-mazhab Islam, di antara faksi-faksi dalam gerakan
Islam, atau dalam proyek-proyek amal Islam, di mana pun keberadaannya.
Dalam konteks ini, sebagian orang berpendapat bahwa perbedaan adalah
sesuatu yang alami dan sah. Tapi, sebagian yang lain memandangnya
sebagai sesuatu yang jauh dari agama, perbuatan syaitan yang keji dan
harus dihindari. Namun, mayoritas pemikir kebangkitan Islam memandang
sebagian besar perbedaan yang ada merupakan tanda-tanda rahmat di antara
umat Islam, dan sebagian lainnya sebagai perpecahan yang tercela.
Terkait bagian yang terakhir ini, mereka mengembalikannya kepada
sejumlah alasan yang bersifat etis, psikologis, dan intelektual.
Dr. Yusuf al-Qaradhawi menyatakan ada perbedaan yang disebabkan oleh
alasan etis. Perbedaan yang timbul dari sifat-sifat buruk dan
mencelakakan adalah perbedaan yang tidak terpuji, bahkan masuk dalam
kategori perpecahan yang tercela. Penyebab tersebut antara lain:
1. Keangkuhan diri dan membanggakan pendapat sendiri;
2. Buruk sangka dan cepat menuduh orang lain tanpa bukti;
3. Cinta diri dan memperturutkan hawa nafsu;
4. Fanatik terhadap pendapat seseorang, mazhab, atau golongan;
5. Fanatik terhadap negara, wilayah, partai, kelompok, atau pimpinan, dan lain sebagainya.
Menurutnya, perbedaan yang disebabkan oleh alasan intelektual berujung
pada perbedaan cara pandang dalam menilai satu persoalan, baik
persoalan yang bersifat ilmiah, semisal perbedaan dalam cabang syariah
dan beberapa masalah akidah yang tidak tersentuh prinsip-prinsip dasar
yang pasti, maupun persoalan yang bersifat praktis, seperti perbedaan
dalam sikap politik, dalam mengambil keputusan, sebagai akibat dari
perbedaan sudut pandang, penilaian hasil, dan imbas dari ketersediaan
informasi di satu pihak dan ketiadaan informasi di pihak lain. Juga
bergantung kepada suasana hati dan sikap mental pihak-pihak yang
berseberangan, pengaruh lingkungan dan waktu yang positif maupun
negatif.[2]
Tentang realitas perbedaan dalam kehidupan manusia, Syaikh Hasan Shafar mengembalikannya kepada beberapa penyebab berikut:
1. Perbedaan tingkat keimanan menyebabkan perbedaan pemikiran, sikap,
dan praktek. "(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah,
dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan."[3]
2. Perbedaan tingkat pengetahuan dan kesadaran di kalangan manusia;
3. Perbedaan kepentingan di antara manusia.[4]
Sebagian pakar menyatakan bahwa penyebab perbedaan adalah meninggalkan
teks pertama, yaitu al-Quran mulia dan Sunah Nabi Saw yang sahih dan
muttafak alaih. Menurutnya, perbedaan terjadi karena teks kedua, ketiga,
atau catatan pinggir yang disematkan kepada teks pertama, semisal
tafsir dan ijtihad. Tapi pendapat ini tidak sepenuhnya benar, karena
seperti kita ketahui, kaum Muslimin periode awal juga sudah berbeda
pendapat sesaat setelah pemilik teks pertama (Rasulullah) menghadap
kepada Sang Pencipta Yang Mahatinggi, di mana kaum Anshar menyeru kepada
kaum Muhajirin bahwa hendaknya mereka punya pemimpin sendiri-sendiri
dari kelompok masing-masing....
Bagaimana Kita Memulai Dialog?
Saya sama sekali tidak mengaku-aku punya resep jitu untuk mengatasi
masalah dialog Islam - Islam. Ini jelas merupakan upaya kumulatif yang
harus dilakukan oleh semua pemikir yang tertarik memajukan umat. Namun,
saya menyerukan perlu adanya sistem yang berbasis dialog. Itulah yang
disebut dengan ushûl al-hiwâr (prinsip-prinsip berdialog), ushûl
al-munâzharah (prinsip-prinsip berdiskusi), atau ushûl al-jadal
(prinsip-prinsip berdebat). Tapi, kalau diminta harus memilih, saya
lebih mantap dengan istilah yang pertama, karena bayang-bayang istilah
ini tidak membuat dua sisi persamaan yang menandakan bahwa salah satu
pihak menang sementara pihak yang lain menanggung getir kekalahan.
Sebab, tujuan dialog bukanlah kemenangan, melainkan menemukan
titik-titik kesamaan, atau minimal mendengarkan pendapat pihak lain
tanpa sensitivitas.
Keberadaan prinsip-prinsip dialog merupakan
sebuah keniscayaan, sesuai dengan tuntunan ajaran Islam yang hanif dan
tuntutan fase dimana kita hidup sekarang ini. Konflik yang ada saat ini
dan fase mendatang adalah konflik pemikiran tingkat tinggi. Otomatis
mekanisme yang dipakai untuk mengatasinya berbeda dengan mekanisme yang
dipakai pada tahap-tahap sebelumnya. Hal ini mengharuskan kita beralih
kepada dialog antara kita untuk memasuki -minimal- sebuah visi yang
jelas dan siap untuk menghadapi fase berikutnya. Dialog adalah pintu
masuk yang alami untuk itu, yang membuat kita lebih kuat secara fisik,
begitu juga secara hujah. Orang yang meninggalkan dialog dan menggunakan
mekanisme lain untuk memaksakan pendapatnya kepada orang lain pada
hakikatnya adalah pihak yang paling lemah pada tahap berikutnya yang
diperkirakan akan berjudul dialog antar arus intelektual dengan berbagai
jenisnya.
Kita dapat mengidentifikasi prinsip dan kaidah dialog Islam-Islam dalam poin-poin berikut:
1. Kaidah-kaidah moral, yaitu kaidah yang menjaga keselamatan proses
dan metodologi dialog, dan memastikan efektivitasnya. Poin-poin penting
pada bagian ini adalah sebagai berikut:
a. Ikhlas karena Allah Swt dan melepaskan hawa nafsu;
b. Melepaskan fanatisme terhadap seseorang, mazhab, atau kelompok;
c. Adil dan yakin dalam menilai orang;
d. Moderat dalam mencinta dan membenci;
e. Menyebutkan kelebihan dan kekurangan dengan seimbang. "dan kamu jangan merugikan orang sedikit pun."[5]
f. Mengabstraksikan kebenaran dari yang mengatakannya dan kebaikan dari yang melakukannya.
2. Kaidah-kaidah Intelektual, yaitu kaidah yang membantu menampilkan
pandangan dengan benar dan berkontribusi pada fertilisasi gagasan untuk
mencapai hasil yang lebih baik. Poin-poinnya sebagai berikut:
a. Hati-hatilah dalam mengeluarkan postulat dan hukum-hukum yang bersifat absolut.
b. Berhati-hatilah mengutip kata-kata dari lawan. Upayakan sebisa
mungkin mengutip pendapat orang lain dari sumber aslinya. Kutiplah
pendapat yang disepakati dan hindarilah mengutip pendapat yang
menyimpang. Selain itu, perlu juga mengutip sesuatu yang valid menurut
yang lain dan meninggalkan sesuatu yang dianggap lemah.
c. Perlu
mengawal dialog dengan kaidah-kaidah hukum, seperti saling menghormati
dan menjamin kebebasan berpendapat, dan lain sebagainya, untuk
mendapatkan lebih banyak prospek dan kosa kata kebebasan sosial dan
politik. (IRIB Indonesia/Taqrib/SL)
* Peneliti dari Arab Saudi
________________________________________
[1] Dr. Ahmad Abu al-Wafa, Ushûl al-Muhâkamât al-Madaniyyah (Beirut), hlm. 30.
[2] Lihat al-Shahwah al-Islâmiyyah baina al-Ikhtilâf al-Masyrû‘ wa al-Tafarruq al-Madzmûm (Libanon: Dar al-Risalah, 1993).
[3] QS. Alu ‘Imran [3]: 163.
[4] Lihat Hasan Shafar, al-Ta‘adudiyyah wa al-Huryah fî al-Islâm: Bahts
hawla Huryah al-Mu‘taqid wa Ta‘adud al-Madzâhib (Libanon: Dar al-Bayan
al-‘Arabi, 1990).
[5] QS. al-A‘raf [7]: 85.
http://muslimunity.net/index.php?option=com_content&view=article&id=154:menggagas-dialog-islam-islam-&catid=38:artikel&Itemid=67
Tidak ada komentar:
Posting Komentar