Selasa, 15 Mei 2012

Iran, Mesir dan Pemikiran Taqrib

Oleh: Mohsen Pak Ain

Taqrib bermakna ajakan untuk mendekatkan pandangan antar mazhab Islam. Pemikiran ini memiliki sejarah khusus di negara-negara Islam, terutama Mesir. Taqrib juga berarti kerjasama antara ulama untuk menyelesaikan kesalahpahaman yang ada pada mazhab-mazhab Islam terutama mazhab Syiah dan Ahli Sunnah.

Para ulama Taqrib berkeyakinan bahwa untuk mewujudkan tujuan Taqrib, Ahli Sunnah dan Syiah tidak harus meninggalkan ajarannya; akan tetapi, poros Taqrib antar mazhab Islam adalah hidup bersama dengan jiwa bersaudara tanpa ada rasa bermusuhan satu sama lain. Alhasil, tujuan Taqrib adalah mengurangi kekerasan dan permusuhan antara pengikut mazhab-mazhab Islam.


Sejak lama Universitas al-Azhar Mesir sangat mendukung ajakan pada Taqrib hingga pada masa pemerintahan Anwar Sadat. Hasan Ibrahim Hasan dalam kitab "Tarikh al-Daulah al-Fatimiah" menulis:

"Nama al-Azhar berdasarkan nama putri Rasulullah saw, Fatimah Zahra as. karena "Fatimiun" -yang pada tahun 909 M di Mesir sampai pada tanjuk kekuasaan- mengaku sebagai keturunan beliau. Fatimiun mendirikan al-Azhar pada tahun 972 M untuk perluasan mazhab Syiah. Para pemimpin silsilah ini meyakini masa dakwah Syiah dengan memperkenalkan ilmunya sudah sampai dan ajaran-ajaran mazhab ini harus diperluas dengan pendidikan. Fatimiun tidak merasa cukup dengan mendirikan al-Azhar saja, akhirnya pada tahun 1005 M membentuk lembaga pusat kebudayaan "Dar al-Hikmah" yang juga bertujuan untuk dakwah Syiah."

Dapat dikatakan, berbeda dengan gerakan moderat Fatimiun pada awal pemerintahannya dalam memperluas mazhab Syiah, pada tahun-tahun berikutnya hal ini menjadi ekstrim dan berlebihan. Sebagai contoh, dinsti Fatimiah melarang masyarakat untuk membaca kitab-kitab mazhab lain dan berusaha untuk menghilangkan Ahli Sunnah. Mungkin siasat ini yang menjadi salah satu sebab penggerak Ayyubiun untuk menda'wahkan Ahli Sunnah dan diterimanya silsilah ini (Ayyubiun) oleh pengikut mazhab ini.

Ayyubiun yang memegang kekuasaan setelah tergulingnya dinasti Fatimiun pada tahun 1175 M merubah Mesir menjadi pusat kebudayaan yang kuat untuk memperluas mazhab Ahli Sunnah. Pendiri pemerintahan ini, Salahuddin Ayyubi yang bermazhab Syafi'i, melarang pengajaran fiqih Syiah di Al-Azhar. Siasat ini menyebabkan penurunan intelektual di al-Azhar dan kondisi ini berlangsung salama kurang lebih 80 tahun. Akan tetapi, pada masa pemerintahan "Mamlukian" dan "Utsmanian" di Mesir, meskipun pemerintahan berasaskan Ahli Sunnah, tetapi kondisi orang-orang Syiah lebih baik dari masa pemerintahan Ayyubian. Shalat Jumat di al-Azhar kembali dijalankan dan disamping pelajaran fiqih Syafi'i, beberapa ulama juga ditetapkan untuk mengajar fiqih mazhab lain termasuk mazhab Syiah.

Pada tahun 1789 penyerangan Perancis terhadap Mesir menyebabkan ulama al-Azhar mengangkat bendera perlawanan terhadap Perancis dengan dukungan dari masyarakat dan mewujudkan persatuan muslimin dengan melupakan perbedaan-perbedaan mazhab. Kerjasama ulama al-Azhar dan orang-orang Syiah serta anggota Taqrib yang lain menyebabkan kekalahan Perancis. Pada masa ini hukuman mati ulama Islam oleh kekuatan Perancis menguatkan lingkaran persatuan antarMuslim dalam menghadapi musuh luar.

Muhammad Ali terpilih sebagai wali Mesir pada tahun 1805. Dia, seorang yang mencintai kekuasaan, menganggap wujud ulama-ulama al-Azhar terutama persatuan di antara mereka dan masyarakat Islam sebagai penghalang untuk mengokohkan kekuasaannya. Untuk menghilangkan penghalang-penghalang ini, dengan menggunakan senjata perselisihan ia menimbulkan perpecahan, memerintah dengan sewenang-wenang dan memisahkan antara agama dan politik untuk melemahkan al-Azhar dan ulama Islam.

Politik ini –yang berakhir dengan tidak mampunya al-Azhar untuk mengelola keuangannya- menyebabkan gradasi bertahap universitas tersebut dan memaksanya untuk menggantungkan masalah keuangan pada pihak lain, terutama pemerintah Inggris. Pada tahun 1915 penasehat keuangan pemerintah Mesir –seorang Inggris- menyarankan kepada pemimpin al-Azhar untuk menerima bantuan dari pemerintah Inggris untuk memperbaiki keuangan ulama-ulama al-Azhar (1). Pada masa ini, siasat pemerintah Mesir dan pendatang dari Inggris adalah pemisahan antara agama dan politik serta menghalangi persatuan mazhab yang berbeda-beda dalam satu lingkup Islam. Dengan ini, ulama mazhab-mazhab di al-Azhar tidak dapat menjalankan misi Islami mereka dikarenakan tidak adanya persatuan, fanatisme dan memperhatikan keuntungan pribadi.

Pada tahun 70-an peningkatan hubungan antar ulama dan pusat-pusat lembaga agama yang berbeda-beda, terutama Syiah dan Ahli Sunnah, mendorong terbentuknya "Dar al-Taqrib" di Mesir. Beberapa marja' faqih Syiah dunia, seperti Ayatullah Uzdma Burujerdi ra. memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan pusat lembaga ini. Beliau memiliki keyakinan kuat akan perlunya pemecahan masalah di antara mazhab-mazhab Islam dan perwujudan hal ini akan meninggikan martabat Islam.

Ayatullah Uzdma Boroujerdi mengetahui dengan kebijaksanaan bahwa jika kesepakatan di antara orang-orang muslim akan dibentuk, harus bersumber dari lembaga keilmuan. Dari sisi lain, beliau juga mengetahui tingkatan keilmuan al-Azhar. Jadi, beliau menggunakan fasilitas dan kesempatan ini secara efisien untuk mengadakan hubungan dengan ulama-ulama Mesir. Untuk memulai hubungan ini beliau mengirim Allamah Syeikh Muhammad Tagi Qumi ke Mesir sebagai perwakilannya. Tugas beliau adalah berusaha untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan Taqrib di Mesir dan mendorong ulama Islam untuk mementingkan terwujudnya persatuan umat Islam.

Allamah Syeikh Muhammad Taqi Qumi menyampaikan pesan lisan Ayatullah kepada Syeikh Majid Salim yang menjabat sebagai presiden al-Azhar pada waktu itu. Pesan jawaban Syeikh Salim kepada Ayatullah Burujerdi membuka pintu kerjasama dan surat menyurat dalam hal Taqrib antara hauzah Qom dan al-Azhar. Tidak lama kemudian Syeikh Hasan Baquri, dosen dan seorang alim universitas al-Azhar, dan menteri wakaf Mesir, pergi ke Iran untuk bertemu dengan Ayatullah Boroujerdi. Sebagai balasan, kitab "Mukhtasar al-Manafi' Allamah Hilli dan kitab tafsir "Majma' al-Bayan" َAllamah Tabarsi dicetak dan dipelajari di Mesir.

Berdasarkan itu universitas al-Azhar untuk pertama kalinya dalam sejarah pendiriannya, mengadakan majlis Asyura' (acara peringatan syahadah imam Husein as.) yang sangat besar. Syeikh Syaltut mengemban kepemimpinan universitas al-Azhar setelah meninggalnya Syeikh Majid Salim. Beliau, seorang yang menginginkan persatuan umat Islam dan memiliki pengetahuan yang dalam tentang masalah Taqrib, menjalin hubungan erat dengan Ayatullah Boroujerdi ra dan dalam salah satu suratnya, beliau memanggilnya dengan sebutan "saudara yang agung".

Pendirian Darul Taqrib Baina Mazahib Al Islami di Mesir berperan penting dalam penyelarasan antara mazhab-mazhab Islam dan pada akhirnya menjadi satu langkah yang penting dan menentukan. Langkah penting ini adalah pengajaran fiqih mazhab-mazhab Islam, Ahli Sunnah maupun Syiah, di universitas al-Azhar. Hal ini ditulis di bab ke tiga undang-undang Dar al-Taqrib seperti berikut:

"Pengajaran fiqih mazhab-mazhab Islam di universitas-universitas Islam dan di pusat-pusat pendidikan lainnya, akan dilaksanakan sebaik mungkin."

Saran program pengajaran mazhab Ja'fari di al-Azhar meskipun tidak terlaksana akan tetapi berhubungan dengan satu kejadian penting yang lain yaitu fatwa syeikh Syaltut yang berisikan pembolehan menganut fiqih Syiah. Dengan ini, marja' terbesar Ahli Sunnah Mesir mengatakan bahwa para pengikut mazhab Syiah Itsna Asyariah memiliki hak yang sama sebagai seorang muslim seperti pengikut mazhab-mazhab lain; meskipun selalu ada propaganda-propaganda buruk yang merugikan. Kepada seluruh umat Muslim Ahli Sunnah Wa Jamma'ah juga diperbolehkan untuk mengikuti fatwa-fatwa ulama Syiah.

Ulama-ulama Mesir setelah masa Syeikh Syaltut juga memiliki hubungan erat dengan hauzah-hauzah ilmiah Syiah; ia pun terus melanjutkan kegiatan-kegiatan Taqrib. Hal ini menciptakan hubungan erat antara masyarakat Iran dan Mesir. Dapat dikatakan meskipun fiqih yang dikenalkan di Mesir bukanlah fiqih Syiah, tetapi hati nurani masyarakat Mesir memiliki kecondongan terhadap Syiah. Karena itu, pengikut mazhab Wahabi dengan niat menjauhkan masyarakat Mesir dari garis-garis fiqih dan pemikiran logis mazhab Syiah, melawan tasyayu' dan berusaha untuk menyimpangkan kecenderungan persatuan ulama dan masyarakat Mesir.

Saat ini ada banyak dalil yang menunjukkan kecenderungan masyarakat Mesir untuk saling memahami dengan saudara-saudara Syiah dan hal ini disebabkan kecintaan mereka pada Ahlul Bait as. Sebagai contoh, masyarakat Mesir suka berziarah ke makam-makam mulia ma'sumin dan membolehkan menciumnya. Nama yang paling banyak dipakai di Mesir setelah nama nabi Muhammad Saw adalah nama Ali (untuk laki-laki) dan Fatimah (untuk perempuan). Dalam banyak syair kanak-kanak Mesir yang paling terkenal, Sayyidah Fatimah as disebut sebagai ibu dan Ali as sebagai ayah. Khususnya pada penyelenggaraan hari-hari Ied dan adat-adat bulan suci Ramadhan, masyarakat Mesir mengikuti adat-adat khusus Fatimiah yang berasal dari budaya Syiah.

Penerbitan kitab "Al-Muraja'at" yang merupakan surat menyurat dari diskusi antara ulama besar Islam, Abdul Husain Syarafuddin Al-Musawi, salah satu dari pembawa bendera Taqrib di Jabal Amil, Lebanon, dan Syeikh Salim, Syeikh al-Azhar, mempunyai peran penting dalam menyelesaikan kesalahpahaman Ahli Sunnah terhadap Syiah. Syeikh Salim dalam pertemuan terakhirnya mengakui bahwa tidak ada perbedaan (yang mendasar-pent.) di antara Ahli Sunnah dan Syiah dan pertentangan yang ada diantara Syiah dan Ahli Sunnah lebih sedikit dari pertentangan antara imam-imam empat mazhab.

Sebenarnya kehidupan kebudayaan Mesir memimiliki kecondongan kuat untuk mewujudkan misi Taqrib. Alasannya adalah sebagai berikut:

1. Adanya makam orang-orang yang dinisbatkan ke Ahllul Bait, seperti Malik Asytar di Mesir, yang menyebabkan masyarakat negara ini menunjukkan kecintaannya pada Ahlul Bait lebih dari masyarakat Negara-negara lain.

2. Masyarakat Mesir secara terbuka memiliki kecenderungan untuk bersatu dan saling memahami antarsaudara Muslim yang lain, termasuk Syiah; dan kecenderungan ini bertambah setelah kemenangan revolusi Islam.

3. Peran al-Azhar yang merupakan basis besar dalam sisi moral dan spiritual, yang pada awalnya didirikan untuk memperluas mazhab Syiah dan pendekatan antarmazhab, tidak dapat dipandang sebelah mata.

4. Dari sisi sejarah, pendirian pemerintahan Fatimiun oleh orang-orang Syiah di Mesir dan permusuhan bersejarah antara masyarakat Mesir dengan Wahabi selalu menjadi penghalang usaha musuh-musuh Islam untuk menebar perpecahan. Tidak mengherankan jika dengan alasan di atas sebagian penetapan undang-undang Mesir dilakukan berasaskan paham mazhab Syiah. Sebagai contoh, dua pasal dari hukum perdata Mesir diambil dari mazhab Syiah. Pada masa Abdul Nasir, al-Azhar menerbitkan sebuah ensiklopdi fiqih yang bernama "Fiqh-e Islam Dar Mazaheb-e Hasytgone" (fiqih Islam dalam 8 mazhab) yaitu 4 mazhab Ahli Sunnah, mazhab Syiah 12 Imam, Zaidi, Ibadhi dan Dhohiri.

Suatu perkumpulan bernama Ahlul Bait dibentuk di Mesir dalam dekade ini dan terdaftar dalam daftar kementrian perkara sosial dengan nomor 1852. Kelompok ini memiliki beberapa karya yang sudah diterbitkan. Namun Ahlul Bait dihentikan oleh Anwar sadat setelah kemenangan revolusi Islam Iran. Kelompok ini juga memiliki peran penting dalam misi Taqrib. Di Mesir para sadah (keturunan nabi) dikenal sebagai "Asyraf" dan kelompok ini bertugas untuk menjaga nasab keturunan Ahlul Bait yang sudah meninggal.

Ada kelompok yang bernama "Ja'afirah" yang nasab mereka sampi pada imam Ja'far as. di daerah Said, terutama di provinsi Qina dan Iswan. Mereka juga menganut faham Taqrib dan hidup bersama secara akur dengan Ahli Sunnah. Jumlah pengikut Ja'afirah di Mesir mencapai 2 juta orang.

"Buhrah" adalah kelompok Syiah Ismailiah Afrika yang hijrah ke Mesir pada masa pemerintahan Anwar Sadat. Mereka menggunakan kemampuannya untuk meyakinkan menteri Wakaf Mesir agar memperbaiki masjid-masjid Syiah Fatimi –dengan kemampuan mereka– seperti masjid al-Anwar yang pada akhirnya menjadi tempat tinggal mereka. Buhrah juga memperbaiki dan membangun ulang masjid al-Husain as dan masjid Zainab as.

Mazhab Sufi di Mesir yang merupakan pengikut imam Ali as juga selalu memiliki kerjasama ilmiah yang baik dengan ulama-ulama Ahli Sunnah. Mereka juga selalu berusaha keras menghadang Wahabi untuk menyebarkan perpecahan antar umat.

Wujud Buhrah, Sufi, Ja'afirah dan kelompok-kelompok pengikut Ahlu Bait lain dari satu sisi, dan dari sisi lain pemikiran cerah sebagian ulama Ahli Sunnah Mesir seperti Syeikh Syaltut dan Kawakibi menyebabkan berkembangnya pemikiran Taqrib di Mesir secara pesat, meskipun usaha-usaha Wahabi yang dimulai pada masa Abdul Nasir sampai sekarang guna menjatuhkan misi ini selalu ada.

Setelah kemenangan revolusi Islam di Iran dan berkibarnya bendera persatuan dari imam Khomeini ra, masyarakat Mesir menyambut persatuan ini dengan semangat dan kegembiraan yang mendalam. Akan tetapi, alat-alat propaganda Barat dan media internasional Wahabi berusaha menghapus wajah tasyayyu' di kalangan Ahli Sunnah dengan menerbitkan buku-buku "miring". Dengan ini, kitab-kitab yang menghina dan memojokkan Syiah dan kitab-kitab yang menyerang pemikran Ahli Sunnah dikeluarkan dari gudangnya dan disebarkan kembali. Penerbitan al-Shohwah digunakan kembali untuk menghadang pemikiran Syiah di Mesir. Penerbit ini menerbitkan lebih dari 100 buku terkait dari tahun 1983 sampai 1986. Seluruh biaya penerbitan buku-buku ini dipasok oleh Wahabi.

Meskipun penyerangan ini mengecam mazhab Syiah, tap dari sisi lain menguntungkan dakwah Taqrib, karena masyarakat Mesir menjadi ingin mencari tahu perbedaan Syiah dan Ahlu Sunnah. Munculnya intelek-intelek masa itu membuat isu Taqrib semakin diangkat. Sebagai contoh, marhum Allamah Syeikh Muhammad Ghazali, seorang ulama yang diterima diseluruh kalangan masyarakat Mesir, selalu membantah perselisihan diantara umat Islam dan mendukung pemikiran Taqrib. Beliau berkata:

"Kekhawatiran akan perbedaan dalam fiqih tidak perlu dikhawatirkan. Karena perbedaan Fiqih tidak dapat dipungkiri. Pelarangan taqlid pada mazhab tertentu tidak lebih dari sekedar fanatisme yang tidak berharga". (Koran al-Zahram, 17/12/1370)

Para pemimpin Ikhwanul Muslimin juga sangat mementingkan masalah pendekatan dan menganggap urgen persatuan umat Islam dalam menghadapi musuh yang bersatu pada zaman ini.

Program Taqrib di Mesir terus berlangsung. Para ulama dan intelek Mesir yang dalam gerakan baru mereka berusaha menghidupkan Islam murni, mengetahui pentingnya persatuan dalam menghadapi musuh bersama. Sejarah dan kebudayaan masyarakat juga membuktikan hal ini. Jadi, dapat dikatakan jika Taqrib di Mesir dibimbing pada jalan yang benar, pada masa yang akan datang dapat menjadi sandaran kuat untuk persatuan politik dan persaudaraan dunia Islam. Jelas, perubahan positif apapun dalam hubungan antara Iran dan Mesir akan memperkuat posisi para pendukung Taqrib di kedua negara. (IRIB Indonesia/Taqrib/SL)

Sumber
1.Khaterat-e Zendegani-e Hadzrat-e Ayatullah Al-Udzma Aghay-e Boroujerdi, Muhammad husein Tabataba'i.
2.Majalah Taqrib j 1,2 dan 3, bagian konferensi persatuan Islam.

Catatan kaki:
1)Akan tetapi tidak ada catatan mengenai penerimaan hal ini oleh Al-Azhar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar