Bismillah Ar-Rahman
Ar-Rahim Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam tercurahkan kepada
Rasulullah. Amma Ba’du. Majalah ‘Oktober’ volume 4601 tanggal 25 Agustus
1985 memuat sebuah surat yang ditulis oleh Abdul Aziz Saqid kepada
Syekh Al-Azhar saat itu, Syekh Jad Al-Haqq. Ringkasan dari surat dengan
judul ‘Al-Azhar Benteng Pertama Agama’ tersebut adalah demikian;
Dalam sepekan terakhir, saya menerima
surat yang ditulis oleh sejumlah aktivis pusat-pusat kegiatan Islam
negara bagian Virginia Amerika yang isinya sebagai berikut:
“Musuh-musuh Islam terus melakukan
langkah-langkah untuk menciptakan perpecahan di tengah warga minoritas
muslim di negara-negara Afrika, Asia dan Amerika. Mereka mengemas
berbagai isu perbedaan yang ada dengan kemasan agama. Mereka mengkfirkan
para pengikut berbagai madzhab Syiah seperti Imamiyah, Zaidiyah, dan
lainnya. Serangan licik ini dilakukan untuk memecah belah umat Islam.
Sebagian orang beranggapan bahwa ibadah dan muamalah seorang muslim
hanya sah jika mengikuti salah satu dari empat mazhab Ahlussunnah wal
Jamaah.”
Wahai Syekh yang Terhormat!
Apakah Anda setuju dengan anggapan itu?
Sebagian orang menyebut Syiah sebagai
kelompok sesat dan kafir. Mereka berlepas tangan dari keislaman para
pengikut Syiah. Apakah jawaban Anda dalam hal ini? Apakah orang Islam
dapat mengkafirkan kaum muslimin dari kelompok yang lain?
Mendapat pertanyaan seperti itu kami menyatakan ;
Pertama; tentang masalah taqlid, dan
apakah wajib bagi seseorang untuk mengikuti satu madzhab tertentu
ataukah tidak? Seluruh ulama ilmu ushul mengatakan bahwa orang yang awam
yakni orang yang tidak memiliki kelayakan dan kecakapan untuk
berijtihad dalam hukum syariat, orang seperti ini, meski menguasai limu
yang lain, dalam masalah syariat harus mengikuti seorang mujtahid dan
fatwanya. Prinsip ini sejalan dengan ayat Al-Qur’an yang berbunyi
Bertanyalah kepada orang-orang yang mengetahui jika kalian tidak mengetahui. (Q.S. Al-Nahl ayat 43)
Ayat ini mengandung makna umum yang
meliputi semua orang yang tidak menguasai ilmu hukum syariat. Umumnya
orang bahkan di zaman para sahabat dan tabi’in dalam masalah syariat dan
hukum agama bertanya kepada para mujtahid dan mengamalkan kata-kata
mereka. Para mujtahid yang menguasai hukum syariat mengeluarkan fatwa
dengan berpijak pada sumber-sumber utama agama Islam untuk dimanfaatkan
oleh orang-orang lain. Mereka tidak merasa keberatan untuk menjawab
setiap pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang awam. Keabsahan untuk
bertaqlid dalam masalah furu’ddin adalah hukum yang disepakati oleh
semua ulama (ijma’). Hanya saja, orang awam hanya dapat bertaqlid kepada
orang yang layak untuk berijtihad dan berfatwa, yaitu orang yang diakui
telah mencapai derajat keilmuan tinggi, memiliki keadilan dan layak
untuk berfatwa. Sebab masalah agama adalah urusan yang sangat vital dan
diperlukan kehati-hatian dalam hal ini.
Mayoritas ulama meyakini bahwa mengikuti
satu madzhab tertentu dan mengamalkan kewajiban serta meninggalkan yang
dianggap haram didalamnya, bukanlah sebuah kewajiban bagi semua orang.
Tidak ada yang bisa memasung seseorang dalam satu madzhab tertentu.
Semua orang berhak untuk mengikuti fatwa seorang mujtahid dalam satu
kasus dan mengikuti fatwa mujtahid yang lain dalam kasus yang lain.
Seluruh mufti sepanjang sejarah, sejak zaman sahabat sampai kini
melakukan hal demikian. Pendapat itu diyakini oleh para ulama besar
semisal Amudi, Ibnu Hajib, Kamal dalam kitab tahrir, Rafi’i dan lainnya.
Sebab memegang teguh satu mdzhab tertentu dalam semua masalah hukum
syariat bukan satu keharusan. Satu-satunya hal yang wajib dilakukan
adalah yang diwajibkan oleh Allah dan RasulNya. Allah dan RasulNya (SAW)
tidak pernah mewajibkan kepada seorang pun untuk mengikuti madzhab
tertentu dari madzhab-madzhab yang ada, mengamalkan apa yang dititahkan
dalam madzhab tersebut dan meningggalkan pendapat orang lain.
Ibn Amir Hajj salah seorang ulama ilmu
Ushul mengatakan, tidak benar menyebut seorang awam dengan embel-embel
sebutan suatu madzhab hanya lantaran ia mengikuti madzhab tersebut.
Sebab, madzhab hanya bisa dinisbatkan kepada orang yang memiliki
pandangan dalam dan argumentatif tentang madzhab yang ia anut, atau
orang yang telah membaca dan menguasai kitab-kitab yang ditulis dalam
madzhab tersebut sehingga ia mengetahui dengan sempurna fatwa-fatwa dan
pendapat imam madzhab tersebut. Karena itu tidak benar menisbatkan
madzhab kepada orang yang tidak memiliki kemampuan tersebut dan hanya
bertaqlid kepada salah satu madzhab lantas mengatakan bahwa “Saya adalah
Hanafi atau Syafi’i”.
Penjelasan tadi mengungkapkan bahwa tidak
ada keharusan untuk bertaqlid kepada seorang mujtahid tertentu. Banyak
ulama yang meyakini kebolehan mengamalkan talfiq dalam artian bertaqlid
dalam satu masalah kepada seorang mujtahid dan dalam masalah yang lain
bertaqlid kepdaa mujtahid yang lain. Hal itu bisa dilakukan -dengan
sebab apapun- baik dalam masalah ibadaat maupun mu’amalaat. Talfiq
semacam rahmat dan kemudahan bagi umat Islam. Bahkan banyak ulama yang
memperbolehkan untuk mencari hal-hal yang mudah dan memberi kelonggoran
di sela-sela fatwa para mujtahid, sehingga seorang mukallaf dalam
menjalankan kewajibannya semudah mungkin dan dalam setiap masalah yang
ia belum bertaqlid kepada seorang mujtahid pun, ia bebas memilih
mujtahid untuk diikuti.
Singkatnya, setiap orang yang tidak
mencapai derajat mujtahid mutlaq harus bertaqlid dalam fiqh, sebab ia
wajib untuk mengamalkan hukum syariat. Tetapi ia tidak diwajibkan untuk
mengikuti satu madzhab tertentu dalam semua hal. Ia dapat mengikuti
fatwa mujtahid lain dalam berbagai masalah. Madzhab setiap orang yang
awam adalah fatwa mujtahid yang ia ikuti yang memenuhi syarat keilmuan
dan ‘adalah (keadilan). Tidak ada larangan untuk melakukan talfiq yaitu
beramal dalam banyak kasus berdasarkan fatwa berbagai mujtahid yang
berbeda.
Kedua, hukum takfir, dan apakah boleh orang muslim mengakirkan muslim yang lain?
Dalam menjawab pertanyaan ini pertama kami harus menjelaskan hakikat makna keimanan, keislaman dan kekafiran.
i- Keimanan dan
hakikatnya: Iman secara bahasa berarti pembenaran. Pembenaran yang
dimaksud tidak terbatas pada hal-hal tertentu. Sedangkan dalam istilah,
iman berarti pembenaran akan adanya Tuhan, para nabi, kitab-kitab suci,
para malaikat, hari kiamat, serta qadha’ dan qadar.
Allah swt berfirman,
Artinya, “Rasul beriman kepada apa yang
diturunkan Allah kepadanya. Demikian juga orang-orang mukmin. Mereka
semua beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab dan para rasul.
Kami tidak membedakan satupun dari rasul-rasulNya.” (Q. S. Al-Baqarah
285)
Dengan demikian, makna dari iman adalah pembenaran dalam hati kepada
agama dan keyakinan-keyakinan yang ada di dalamnya. Hati dipenuhi oleh
keyakinan dan pembenaran akan ketuhanan dan tekad untuk mengikuti
agamaNya. Kesimpulan ini dikukuhkan oleh Nabi SAW dalam sabdanya,
“Ya Allah tetapkanlah hatiku pada agamaMu.”
Beliau juga pernah bersabda kepada Usamah
yang membunuh salah seorang tentara musuh yang telah mengucapkan laa
ilaaha illallah. Beliau bersabda, “Apakah engkau telah membelah dadanya
(untuk mengetahui apakah ia mengucapkan kalimat tauhid itu dari hati
atau hanya sekedar untuk mencari selamat)?” (Shahih Bukhari dan Muslim)
ii- Islam dan hakikat keislaman: Islam berasal dari kata aslama berarti tunduk. Dalam istilah Islam dijelaskan lewat sebuah hadis;
“Islam berarti engkau bersaksi bahwa
tidak tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya,
menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan
berhaji ke baitullah jika engkau mampu melakukannya.” (Hadis riwayat
Bukhari dan Muslim)
Karena itu Islam berarti mengamalkan
kewajiban agama, mengucapkan ikrar dua kalimah syahadat, melaksanakan
kewajiban dan meninggalkan larangan Allah dan RasulNya (SAW). Sedangkan
iman adalah keyakinan hati. Siapa saja yang mengingkari salah satu
prinsip keyakinan yang ada dalam keimanan, berarti ia telah keluar dari
golongan kaum muslimin. Allah swt berfirman:
“Siapapun yang mengingkari Allah, para
malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya dan hari akhir, berarti ia
telah tersesat dalam kesesatan yang jauh.” (Q. S Al-Nisa’: 136)
Islam adalah perbuatan dan perkataan. Amal dengan anggota tubuh dan
perkataan dengan lisan. Perbedaan antara iman dan islam disebutkan dalam
firman Allah swt:“Orang-orang Badwi berkata, ‘Kami telah beriman’, katakanlah ‘Kalian belum beriman tapi katakana kami telah masuk Islam, karena keimanan belum masuk ke hati kalian” (Q.S. Al-Hujurat: 14)
iii- Kapan seorang masuk kategori sebagai muslim?
Rasul SAW menjawab pertanyaan ini dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari. Beliau bersabda,
“Aku diperintah untuk memerangi umat
manusia sampai mereka bersaksi tidak ada tuhan selain Allah serta
beriman kepadaku dan kepada apa-apa yang aku bawa. Jika mereka melakukan
hal itu berarti darah dan harta benda mereka terjaga dariku kecuali
atas hak-haknya masing-masing dan Allah-lah yang akan memperhitungkan
mereka (jika mereka ternyata hanya berdusta dan munafik).”
Hadits itu menjelaskan kapan seorang bisa
dikatakan muslim. Kapan orang muslim keluar dari kelompok umat Islam?
Apakah dengan melakukan maksiat dan mengerjakan perbuatan haram atau
meninggalkan kewajiban ia keluar dari keislaman dan kehilangan hak-hak
sebagai muslim?
Allah swt berfirman:
“Allah tidak akan mengampuni perbuatan syirik terhadapNya dan mengampuni selainnya jika Dia berkehendak.” (Q. S. Al-Nisa’ 116)
iv- Apa arti kufur?
Kufur secara bahasa berarti menutupi
sesuatu. Secara istilah, kufur berarti pengingkaran terhadap perintah
Allah untuk beriman padahal kewajiban perintah beriman itu telah sampai
kepadanya dan tak alasan baginya untuk ingkar.
Kufur biasa disebut sebagai lawan dari
iman. Kufur berarti menutupi kebenaran dan menyembunyikannya. Tetapi
terkadang, kufur diartikan sebagai kufur atas nikmat Allah.
Kufur terburuk adalah kufur terhadap
keesaan Allah dan menyekutukan Allah dengan selainNya, kufur kepada
kenabian Rasulullah SAW dan syariat yang beliau bawa. Kafir adalah
sebutan bagi mereka yang terjerumus dalam kekufuran tersebut.
Jika makna keimanan, keislaman dan
kekafiran seperti yang telah dijelaskan tadi sesuai dengan dalil-dalil
yang ada pada nash Al-Qur’an dan konteks hadits, berarti orang muslim
yang melakukan dosa meski ia berdosa dan bermaksiat kepada Allah swt
serta berhak mendapat murka Allah dan azab ilahi, namun ia tetap berada
dalam lingkungan orang-orang yang beriman dan tetap dianggap sebagai
muslim. Ia masih berhak menyandang sebutan muslim dan berhak untuk
memperoleh hak-hak sebagai bagian dari umat Islam. Dosa yang dilakukan
oleh muslim tadi, baik dosa itu kecil atau besar, tidak akan membuatnya
keluar dari lingkup Islam dan iman. Ini adalah makna dan kesimpulan dari
ayat suci Al-Qur’an dan firman ilahi yang berbunyi:
Allah swt berfirman:
“Allah tidak akan mengampuni perbuatan syirik terhadapNya dan mengampuni selainnya jika Dia berkehendak.” (Q. S. Al-Nisa’ 116)
v- Bolehkah mengkafirkan
seorang muslim karena dosa-dosa yang ia lakukan? Apakah boleh
mengkafirkan orang mukmin yang masih tetap memiliki keimanan di hati?
Adakah hukum syariat dalam hal ini? Siapakah yang dapat menjelaskan
hukum itu?
Allah swt berfirman:
Artinya, “Jangan kalian katakan kepada
orang yang mengaku sebagai muslim ‘Engkau bukan orang mukmin’ sehingga
dengan itu kalian dapat memperoleh keuntungan duniawi. Sesungguhnya apa
yang ada di sisi Allah adalah keuntungan yang banyak.” (Q. S. Al-Nisa’:
94)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Rasul SAW bersabda;
Artinya, “Ada tiga hal yang menjadi dasar
keimanan, salah satunya adalah mencegah adanya gangguan terhadap mereka
yang mengucapkan laa ilaaha illallah, tidak menuduhnya kafir karena
dosa yang ia lakukan dan tidak menudingnya telah keluar dari Islam
karena perbuatannya.”
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda;
Artinya, “Tidak ada yang menuduh orang
lain dengan tuduhan fasik atau melemparkan tudingan kafir kepadanya
kecuali hal itu kembali kepada pengucapnya jika orang tersebut bukan
fasik dan bukan kafir.”
Dari nash-nash tersebut dapat difahami
tidak boleh menisbatkan kufur kepada orang muslim karena dosa yang ia
lakukan atau kewajiban yang ia tinggalkan atau perbuatan haram yang ia
kerjakan. Barang siapa mengkqfirkan seorang muslim atau menuduhnya fasik
jika ternyata ia bukan fasik dan bukan kafir, maka tuduhan itu kembali
kepada yang menuduh.
vi- Siapakah yang berhak untuk mengeluarkan hukum kekufuran dan kefasikan terhadap orang lain?
Allah swt berfirman;
Artinya, “Jika kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasul…” (Q. S. Al-Nisa’; 59)
Ayat yang lain menyebutkan;
Artinya, “Mengapa sekelompok orang dari
mu’minin tidak pergi untuk memperdalam ilmu agama lalu mengingatkan
kepada kaumnya ketika mereka kembali.” (Q. S. Al-Taubah : 122)
Di bagian lain Allah swt berfirman;
Artinya, “Bertanyalah kepada orang-orang yang mengetahui jika kalian tidak tahu.” (Q. S. Al Nahl: 43)
Diriwayatkan oleh Zuhri dari Omar Ibn
Syuaib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW pernah mendengar
sekelompok orang berdebat tentang ayat-ayat Al-Qur’an, lalu beliau
bersabda;
Artinya, “Sesungguhnya orang-orang
sebelum kalian binasa karena masalah ini, sebagian orang menafikan
ayat-ayat Tuhan dengan ayat-ayat yang lain. Padahal ayat-ayat Allah
diturunkan untuk saling membenarkan bukan saling mendustakan. Apa yang
kalian ketahui sampaikanlah dan yang tidak kalian ketahui serahkanlah
kepada orang yang mengetahuinya.”
Ayat-ayat dan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW tersebut mengajarkan
kepada kita untuk menyerahkan urusan perbedaan pandangan dalam masalah
agama kepada Allah dan RasulNya (SAW). Mereka yang berhak untuk
mengurusi masalah agama dan perselisihan ini adalah mereka yang
mengetahui tentang Al-Qur’an dan Sunnah. Karena itu, tidak ada seorang
muslim pun yang berhak menghukumi muslim lainnya dengan kekafiran atau
kefasikan, sementara ia tidak mengetahui orang yang bersangkutan telah
terjerumus ke dalam hal-hal yang membuatnya jatuh kepada kekafiran atau
tidak mengetahui bahwa orang tersebut benar-benar berbuat dosa sehingga
layak disebut fasik.
Islam adalah aqidah dan syariat. Dalam
dunia Islam ada banyak ulama yang memiliki spesialisasi dalam masalah
ilmu-ilmu keagamaan. Mereka menjalankan perintah dan ajaran Allah dan
RasulNya (SAW). Semua orang muslim taat beragama, sedangkan yang berhak
untuk berbicara tentang halal dan haram adalah orang-orang yang memiliki
spesialisasi di bidang ini. Hanya mereka, para ulama, lah yang berhak.
Karena itu tidak benar bila
madzhab-madzhab Islam dijadikan alat untuk kepentingan politik, atau
untuk mendukung penguasa atau kelompok tertentu. Sebaiknya, umat Islam
diseru untuk memperlakukan sesama layaknya saudara. Mereka hendaknya
mengenalkan Islam baik aqidah maupun syariatnya kepada
komunitas-komunitas non muslim. Semua madzhab-madzhab Islam yang ada
mengambil ajaran dari sumber suci yang sama yaitu, Nabi Muhammad SAW.
Al-Azhar menganggap upaya seperti itu
sebagai perbuatan yang keji dan buruk. Al-Azhar mencela tindakan
orang-orang yang berbuat demikian. Tidak ada seorang muslim Syiah pun
yang berhak mengajak muslim Sunni untuk meninggalkan madzhabnya
–Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali- dan mengikuti madzhab Syiah. Orang
Sunni juga tidak berhak untuk melakukan hal yang sama terhadap muslim
Syiah.
Selama mereka masih termasuk golongan
kaum muslimin, mereka harus diperlakukan seperti saudara dalam
menyebarkan ajaran Islam di tengah kaum non muslim. Perselisihan dan
perpecahan di tubuh umat Islam harus dihindari. Jangan sampai umat Islam
memperlakukan madzhab-madzhab Islam layaknya aliran dan partai politik,
sebab hal itu tidak pernah dilakukan oleh kaum muslimin di era pertama
Islam. Perbuatan itu bertentangan dengan aman ayat Al-Qur’an yang
berbunyi:
“Sesungguhnya umat ini adalah umat yang
satu dan Aku adalah Tuhan bagi kalian, maka sembahlah Aku.” (Q. S.
Al-Mu’minun : 52)[im/mt/taghrib]
Sumber: Islam Muhammadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar